Anda di halaman 1dari 4

What We

When We
Talk
About
Climate
Crisis
Sebuah Perenungan

Artikel ini dibuat bukan untuk menakut-nakuti akan betapa dekatnya kita dengan masa
depan katastrofik yang disebabkan oleh krisis iklim. Artikel ini juga dibuat bukan untuk
menggugat teori mengenai relasi krisis iklim dan aktivitas antropogenik. Semuanya sudah
sangatlah jelas, kita dapat melihat dan merasakan dampaknya sekarang. Meminjam
terminologi dari filsuf asal Inggris, Timothy Morton, krisis iklim adalah sebuah hiperobjek; hal
yang sangat sukar dimengerti dan terhubung dengan begitu banyak persoalan. Artikel ini
adalah sebuah refleksi dan penerimaan diri atas ketidaktahuan yang maha luas, rasa
ketidakberdayaan yang kita miliki, serta tanggung jawab moral yang kita bagi bersama.
Pengetahuan dan keyakinan akan masih adanya harapan adalah suluh yang dibagi bersama.
Maka, artikel ini adalah telapak tangan yang terbuka.

Krisis Iklim
Saya masih ingat betul ketika pertama kali mendengar istilah global warming. Saat itu saya
masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, mengerjakan tugas makalah Pendidikan
Lingkungan Hidup (PLH) tentang bahaya global warming. Saya beri foto es di kutub beserta
beruang kutub yang terlihat mencemaskan di sampul depan makalahnya untuk memberi
efek dramatis. Isu mengenai global warming saat itu terasa jauh sekali, hanya urusan di bagian
kutub utara dan selatan; seperti nubuat yang entah kapan akan terjadi secara tiba-tiba. Kini
saya berumur 25 tahun dan saya sudah tidak bisa menghitung berapa kali saya berkata kasar
dan merasa cemas setiap kali cuaca ekstrim menerpa. Krisis iklim sangatlah dekat, Ia bukan
hanya urusan es mencair dan kepunahan hewan, Ia mengintai dan mengendap-ngendap
kepada semua orang di mana pun mereka tinggal, mulai dari pesisir hingga kota besar. Krisis
iklim jauh lebih dekat dibanding yang kita kira.

Ketika kita berbicara mengenai krisis iklim kita membicarakan rentetan dari banyak hal,
namun fokus utamanya adalah emisi karbon, efek rumah kaca, dan kenaikan tempatur Bumi;
tiga faktor yang memiliki hubungan kausalitas. Karbon dalam konteks emisi karbon berbicara
mengenai karbon dioksida (CO2). Secara alamiah, CO2 dilepaskan ke atmosfer dengan
berbagai macam cara. Alam memiliki tendensi untuk menjaga emisi karbon dalam kondisi
yang stabil melalui siklus karbon (udara, air, dan tanah) sebagai proses yang selalu
berlangsung dan menjadi tulang punggung kehidupan di bumi. Peningkatan produktivitas
(dalam sektor industri, transportasi, dan faktor antropogenik lainnya) di berbagai negara turut
meningkatkan emisi karbon ke atmosfer. Menurut International Energy Agency, emisi total
karbon global pada tahun 2017 adalah 32,5 gigaton, naik dari 22.4 gigaton pada 1990 (Wallace-
Wells, 2019).
Upaya banyak negara yang terhimpun dalam PBB untuk mengatasi emisi karbon yaitu
disahkannya Paris agreement. Paris agreement adalah perjanjian internasional penting yang
diadopsi oleh hampir setiap negara pada tahun 2015 untuk mengatasi perubahan iklim dan
dampak negatifnya. Perjanjian tersebut bertujuan untuk secara substansial mengurangi emisi
gas rumah kaca global dalam upaya untuk membatasi kenaikan suhu global di abad ini
hingga 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, sambil mengejar cara untuk membatasi
kenaikan hingga 1,5 derajat. Perjanjian tersebut mencakup komitmen dari semua negara
penghasil emisi utama untuk mengurangi polusi iklim mereka dan untuk memperkuat
komitmen tersebut dari waktu ke waktu.

Dampak Krisis Iklim


Penggunaan terminologi “Krisis” menandakan adanya desakan untuk mengedepankan isu
iklim sehingga menjadi perhatian bagi khalayak luas, terlebih lagi kepada para pembuat
kebijakan dan kepala negara karena dampak dari krisis iklim sangatlah besar dan mengancam
keberlanjutan kehidupan bagi beberapa hewan, ekosistem, hingga masyarakat daerah pesisir
maupun urban.
Dampak dari krisis iklim meliputi kenaikan suhu laut, kenaikan permukaan laut, cuaca
ekstrim, kenaikan suhu permukaan bumi, kerusakan ekosistem, kebakaran hutan, banjir,
kekeringan, hingga kelaparan.

Banyak yang Dapat Kamu Lakukan


Perasaan cemas dan tidak berdaya yang kamu rasakan akan krisis iklim sangatlah lumrah. Kita
ingin marah, takut, bingung, berdebat tentang siapa yang “paling salah” dan bertanggung
jawab atas semuanya. Terminologi “Eco-anxiety” diciptakan untuk menjelaskan perasaan yang
kompleks tadi, yaitu kecemasan akan kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini atau yang
diperkirakan akan terjadi di masa depan, terlebih lagi karena krisis iklim (Ojala et al., 2021). Kita
semua merasakan hal yang sama, kamu tidak sendiri, kita semua berbagi beban yang sama.
Sudah saatnya kita keluar dari narasi pesimistik akan krisis iklim dan mulai bersemuka dengan
permasalahan krisis iklim dengan rasa tanggung jawab dan harapan yang sama. Masih banyak
yang bisa kita lakukan dan semua orang memegang peran!

Hal kecil yang dapat dilakukan sebagai individu ialah perubahan pola hidup, memperhatikan
pola konsumsi, pembatasan emisi karbon (seperti menggunakan transportasi umum),
memperbanyak bacaan dan diskusi tentang krisis iklim, serta mengawal pemerintah dalam
pembuatan kebijakan yang bersifat ramah lingkungan dan mengedepankan urgensi krisis
iklim. Apapun yang kamu kerjakan, siapapun dirimu, di manapun kamu tinggal, kita masih
bisa memukul mundur krisis iklim bersama.
Pale Blue Dot

Perenungan tentang krisis iklim membawa saya teringat kembali tulisan Carl Sagan, seorang
ahli astrofisika dari Amerika, tentang foto Bumi yang diambil oleh pesawat luar angkasa
Voyager 1. Di dalam foto itu Bumi terlihat kecil sekali di tengah alam kosmik yang maha luas.
Carl Sagan mengajak para pembaca untuk mempertanyakan kembali eksistensi manusia di
muka Bumi, tanggung jawab moral yang kita pikul bersama untuk mempertahankan
kehidupan di bumi, serta menunjukan betapa kecil dan tidak pentingnya ego manusia.

Harapan, resistensi, dan Bumi,


hanya itulah yang kita punya!

Referensi

Ojala, M., Cunsolo, A., Ogunbode, C. A., & Middleton, J. (2021). Anxiety, worry, and grief in a time
of environmental and climate crisis: a narrative review. Annual Review of Environment and
Resources, 46, 35-58.

Wallace-Wells, David. 2019. The Uninhabitable Earth. Penguin Random House LLC, New York

Anda mungkin juga menyukai