Anda di halaman 1dari 7

TEOLOGI PENCIPTAAN

A. Pendahuluan
Salah satu inspirasi yang mendorong penulis untuk melakukan studi terhadap
penanggulangan krisis ekologi yang melanda dunia dewasa ini, timbul dari pucuk
semboyan Green Peace, yakni: “Jika pohon terakhir telah dicabut, sungai terakhir telah
tercemar, ikan terakhir telah ditangkap, maka manusia akan sadar bahwa uang tidak dapat
dimakan dan uang bukan segala-galanya”.1
Gagasan ini merupakan suatu kritik sekaligus ungkapan keprihatinan para pencinta
lingkungan hidup akan adanya bahaya yang mengancam kehancuran seluruh penduduk
planet bumi kita ini. Kerusakan ekologis tidak hanya memberikan stress terhadap kualitas
kehidupan manusia itu sendiri, tetapi juga membawa malapetaka bagi makhluk ciptaan
lainnya. Menurut Robert Borrong, planet bumi ini sedang menderita sakit, kurus dan
terancam kematian.2 Inilah masalah besar dan bersifat global yang dihadapi umat manusia
dewasa ini dan di masa depan. Dunia boleh menganggap terorisme sebagai musuh terbesar
saat ini. Tapi sesungguhnya, musuh terbesar dunia sekarang adalah berbagai bencana alam
secara global.
Dewasa ini dunia sedang diperhadapkan dengan suatu krisis (krisis = suatu
keadaan yang benar-benar gawat atau genting) yang mengecam segenap makhluk ciptaan
Allah, yaitu “krisis lingkungan hidup” (Ecological Crisis).3
Komunitas bumi dalam krisis. Selain konflik dan peperangan, krisis yang
mengancam lebih banyak orang adalah krisis ekologi. Gejala-gejala ke arah tersebut sudah
mulai tampak beberapa tahun terakhir ini. Warming Music Concert 2007 di Kemayoran,
Jakarta pada 18-19 Agustus 2007 dan Konferensi Internasional tentang Pemanasan
Global di Denpasar, Bali, pada Desember 2007, menyebutkan gejala-gejala tersebut
sebagai berikut:
 Salju di pegunungan Kilimanjaro (Afrika) dan berbagai gletser di sejumlah negara
(seperti: Grinnel, Boulder, dan Columbia di Amerika Serikat; di Kilimanjaro, Nepal;
Adamello Mandron di Italia; Tschierva dan Rhone di Swiss; serta beberapa gletser lainnya
di Peru dan Argentina) sudah menipis.
 Naiknya temperatur air laut telah menimbulkan sejumlah badai topan: topan Jeanne dan
Ivan di Florida serta topan Frances di Laut Atlantik (September 2004), sejumlah topan di
perairan Jepang (2004), topan Emily di Karibia-Brasil dan topan Dennis di Florida (Juli
2005), serta topan Katrina di California (Agustus 2005).
 Sementara di beberapa bagian dunia terjadi badai topan dan banjir, di beberapa bagian
dunia lainnya justru terjadi kekeringan, seperti: Darfur - Sudan dan Nigeria. Situasi seperti
ini juga terjadi di Indonesia.-Bulan Juli lalu, hujan masih mengguyur sejumlah wilayah di
1
Hayati, Sri. “Pendidikan Joyful Learning Dalam Pembelajaran Lingkungan Hidup” dalam
http://kutada.wordpress.com/2011/07/page/2/
2
Borrong, Erika Bumi Baru, 16.
3
Dalam perkembangan alur pemikiran telah dicapai suatu konsep ideal tentang pembagian
lingkungan yang pada hematnya dapat dibagi dalam tiga bagian utama, yakni (a) lingkungan fisik (physical
environment) atau lingkungan anorganik, yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang bersifat benda mati
seperti: gunung, bebatuan, gedung, air, gas, udara, tanah, mineral, energi matahari dan lain-lain yang
semacamnya ; (b) lingkungan biologis (biological environment) atau lingkungan organik, yaitu segala
makhluk hidup di sekitar manusia seperti manusia, binatang, jasad renik, tumbuh-tumbuhan dan
semacamnya; dan (c) lingkungan sosial (social environment), manusia-manusia lain yang berada di sekitar
kita atau kepad siapa kita mengadakan hubungan atau inteaksi sosial. Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip
Masalah Pencemaran Lingkungan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), 11-12; Nursid Sumaatmadja, Studi
Lingkungan Hidup (Bandung: Penerbit Alumni, 1989), 27.
11
12

Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, sementara kekeringan mulai terjadi di beberapa


wilayah Pulau Jawa.4
Di dalam skala dunia, masalah lingkungan hidup yang paling krusial dapat
dikategorikan di dalam tiga hal.5 Yang pertama adalah pemanasan global (global
warming), yaitu kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan
daratan bumi, yang disebabkan terutama oleh efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi
karena meningkatnya kandungan gas-gas CO2 (terutama dari sisa pembakaran bahan dari
minyak bumi), metanol, CFK (Chloor [klor]-Fluor-Kool [arang]), dan menipisnya ozon
(O3) pada lapisan troposfir (10 km dari permukaan tanah). Kadar campuran gas-gas ini
terus ditambah dengan pengotoran udara oleh oksida pelemas (NOx) dan penggunaan zat
organik mudah menguap (VOS). Secara sederhana, kondisi efek rumah kaca adalah
pantulan panas sinar matahari ke bumi terbendung oleh campuran gas-gas di atas,
sehingga panas di lapisan troposfir (di mana manusia hidup) terus meningkat. Maka,
akibat-akibat krisis lingkungan hidup yang lain akan segera menyusul; seperti perubahan
iklim, naiknya permukaan air laut karena es di kutub yang mencair, dan juga gangguan
kesehatan yang serius bagi manusia. Kondisi pemanasan global ini masih terus diperparah
oleh bocornya lapisan ozon yang melindungi mahluk hidup di bumi dari bahaya sinar
ultraviolet matahari.
Masalah lingkungan yang krusial selanjutnya adalah penggundulan dan perusakan
hutan secara massal, serta erosi tanah. Hutan-hutan tropis merupakan stabilisator atas
iklim di bumi ini. Dengan semakin menipisnya ”paru-paru” bumi ini, maka semakin
banyak terjadi kekacauan iklim di dunia. Di daerah tertentu mengalami kekeringan yang
panjang. Sedangkan di belahan dunia yang lain mengalami banjir yang besar.6 Ancaman
yang lain dari kondisi hutan tropis yang menipis adalah erosi tanah yang berujung kepada
meluasnya daerah gurun pasir. Menghilangnya hutan-hutan tropis ini terjadi sangat cepat.
Sebagai contoh, belum lama ini masih terdapat sekitar 62.000 km2 hutan hujan tropis di
Madagaskar. Kini luas hutan tersebut tinggal seperempatnya saja. Di Filipina, hutan seluas
250.000 km2, saat ini menjadi kurang 12.000 km2 saja. Bahkan di Brazil Timur, hutan
yang dulunya seluas 1 juta km2 kini tinggal 2 persennya.7
Permasalahan lingkungan hidup yang krusial lainnya adalah masalah polusi.
Perkembangan industri-industri besar di berbagai kota di dunia telah melahirkan masalah
limbah yang mencemari baik udara, tanah, maupun air. Demikian juga dengan
penggunaan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk produk-produk massal yang
menunjang kenyamanan hidup manusia, akhirnya malah membawa dampak kerusakan dan
pencemaran bagi lingkungan. Norman L. Geisler mencatat beberapa data ilmiah mengenai
dampak pencemaran bahan-bahan kimia ke dalam lingkungan manusia: 70% dari orang-
orang Amerika, dan 90% dari anak-anak, membawa lebih banyak timah dalam tubuh
mereka dari ambang batas yang disampaikan Environmental Protection Agency (Agen
Perlindungan Lingkungan). Sepuluh ribu orang mati setiap tahunnya karena terkena racun

4
Yusuf Deswanto, “Krisis Ekologi Global: Sebuah Tantangan bagi Kepemimpinan Kristen” dalam
http://deswaprodei.blogspot.com/2008/04/krisis-ekologi-global-sebuah-tantangan.html
5
Sinode Am Gereja Hervormd Belanda (NHK), Taman Eden itu Semakin Tandus (terj. S. L.
Tobing-Kartohadiprojo) (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), 97. Pengelompokkan ini bukan sesuatu yang baku,
karena beberapa sumber lainnya menggunakan kategori yang lain. R. J. Berry (ed.), The Care of Creation
(Leicester: Inter Varsity, 2000), 18; bnd. juga Michael S. Northcott, The Environment and Christian Ethics
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2-28.
6
Northcott, The Environment, 14-20.
7
Sinode Am NHK, Taman Eden itu, 99.
13

pestisida dan empat puluh ribu orang menjadi sakit. Belum lagi masalah sampah dari
limbah rumah tangga. Sepertiga dari seluruh sampah rumah tangga berasal dari bahan
pembungkus makanan (yang sulit didaur ulang). Rata-rata orang Amerika membuang lima
pon sampah setiap harinya. Sejak tahun 1960, Amerika Serikat telah menutup 3.500
daerah tempat penimbunan sampa.8
Di dalam skala nasional, kejadian bencana seperti banjir bandang, longsor,
pencemaran udara dan air, kekeringan, kebaran hutan, dll. adalah fenomena gunung es dari
krisis ekologi yang lebih parah akibat tindakan destruktir yang dilakukan manusia selama
beberapa dekade ini. Berikut ini dilampirkan fakta intensitas kejadian bencana dalam data
yang dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)9 sejak 2002-2009
(lihat tabel di bawah). Jika melihat fakta tersebut bencana bukan lagi merupakan sesuatu
yang asing, melainkan telah merupakan bagian dari realitas kita di Indonesia. Tidak heran
Indonesia disebut sebagai “supermarket bencana”, dan Indonesia hampir tidak pernah
lepas dari duka akibat bencana yang datang silih berganti.
Tabel Tentang Jenis dan Jumlah Kejadian
Bencana Alam di Indonesia (2002 - 2009)10

Jumlah Meninggal &


Jenis Bencana
Kejadian Hilang
Aksi Teror/Sabotase 26 324
Angin Topan 610 86
Banjir 901 1.468
Banjir dan Tanah Longsor 187 1.374
Gelombang Pasang/Abrasi 93 16
Gempa Bumi 74 8.405
Gempa Bumi dan Tsunami 2 166.628
Kebakaran 481 139
Kebakaran Hutan dan Lahan 6 8
Kecelakaan Industri 19 57
Kecelakaan Transportasi 97 2.606
Konflik/Kerusuhan Sosial 45 2.251
Letusan Gn. Api 21 6
Tanah Longsor 530 1.099
Grand Total 3.092 184.467

Dari data yang ada, terlihat bahwa bencana-bencana ekologis dan perubahan iklim,
seperti banjir, angin topan, tanah longsor, banjir dan tanah longsor, dan kebakaran
mempunyai jumlah kejadian yang tinggi dibandingkan dengan bencana-bencana geologis,
seperti gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami.
Melihat kondisi alam yang sedemikian rusak, sebagai umat-Nya yang ditempatkan
hidup di atas bumi ini, seharusnya umat Kristen bertanya kepada dirinya, “sejauh mana
8
Norman L. Geisler, Christian Ethics: Options and Issues (Grand Rapids: Baker, 1989), 293.
9
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan lembaga pemerintah
nondepartemen setingkat menteri yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan penanggulangan bencana
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007.
10
Materi presentasi BNPB yang disampaikan dalam Pelatihan Dasar Penanggulangan Bencana:
Pengembangan Relawan Organisasi Masyarakat, Cibogo, 8-11 Juli 2011.
14

umat Kristen, sebagai gereja Tuhan, telah berperan mencegah kerusakan alam ini?”
Apakah gereja atau kekristenan selama ini telah memberikan sikap dan perilaku alternatif
dan produktif di dalam memandang dan memperlakukan alam atau lingkungan hidup?
Atau malah sebenarnya pemikiran dan tindakan kristiani selama ini telah memberikan
kontribusi yang besar bagi kerusakan alam yang kita diami?
Alkitab (terutama Perjanjian Lama) telah menyatakan mandat Allah bagi manusia,
yaitu menguasai dan mengayomi ciptaan yang lain sebagai wakil Allah (bnd. Kej. 1:26-
28). Selain sebagai pelaksana pertanggungjawaban manusia kepada Allah, manusia
berkewajiban memelihara alam ini, sebab manusia juga adalah bagian dari alam.
Tegasnya, manusia dan alam sama-sama merupakan ciptaan. Jadi, di samping kedudukan
manusia untuk menguasai, dalam arti memanfaatkan dan memelihara alam, manusia juga
harus menyadari kesatuannya dengan alam (Kej. 2:15). Itu sebabnya manusia harus
memperlakukan alam sebagai sesama ciptaan. Manusia harus membangun relasi
kooperatif dengan alam. Chung Choon Kim menyebut hubungan manusia dengan alam
sebagai “of nature relationship”, yaitu bahwa manusia adalah bagian dari alam, sebab
manusia diciptakan dari debu tanah (Kej. 2:7), dan jika mati akan kembali kepada tanah
(Mzm. 90:3). Pada dasarnya manusia adalah bagian dari alam, sehingga disebut juga anak
(dari) alam.11 Kallistos Ware mengatakan bahwa manusia adalah imago mundi selain
sebagai imago dei. Manusia adalah mikrokosmos selain sebagai mikrotheos. Dengan
pernyataan ini tidak berarti bahwa manusia sama dengan alam, tetapi bahwa manusia
mempunyai relasi dengan alam sebagai sesama ciptaan dan relasi itu mengandung makna
kesatuan manusia-alam dalam aspek biologis.12 Manusia memang mempunyai kedudukan
khusus di antara ciptaan, sebab selain adalah imago dei, tetapi juga sekaligus merupakan
bagian dari alam dan terikat dalam kesatuan dengan bagian-bagian alam yang lain, bahkan
bergantung secara timbal balik dengan alam. Manusia adalah mahkluk biologis-alamiah.
Manusia harus takluk kepada hukumhukum alam. Manusia harus makan, minum, dan
tidur. Manusia memperoleh keturunan melalui proses kehamilan dan kelahiran seperti
mahkluk-mahkluk menyusui yang lain. Akhirnya, sama seperti binatang, manusia akan
mati. Pokoknya, manusia adalah bagian dari alam dan terikat dalam hubungan timbal balik
dengan alam.13

B. Mitologi Bangsa-bangsa Kuno (Primitif) Tentang Penciptaan


1. Agama Fenisia-Kanaan
Agama orang Fenisia dan agama orang Kanaan adalah merupakan satu kesatuan,
yakni penyembahan kepada banyak dewa (politheisme). Jumlah dewa-dewa yang
disembah tidak terhitung banyaknya. Tapi walaupun jumlah yang besar itu tidak
merupakan kekacauan, melainkan sebaliknya mereka justru mengatur kosmos,
keseimbangan dan ketertiban. Sebab dewa-dewa tersebut mempunyai kedudukan dan
fungsi masing-masing.
Dari sekian banyaknya dewa yang ada, dewa yang tertinggi adalah El, yang
diyakini sebagai pencipta alam semesta dan tidak hanya dihormati sebagai raja dewa-
dewa, tetapi juga sebagai kepala dari semua dewa. El mempunyai otoritas untuk
menentukan dimulainya segala sesuatu. Tetapi meskipun demikian bahwa dewa tersebut

11
Borrong, Etika Bumi Baru, 165.
12
Ibid.

13
Ibid., 166.
15

mempunyai kedudukan sebagai raja atau kepala Pantheon, namun dari insripsi teks Ugarit
tahun 1400 SM diperoleh data yang menunjukkan bahwa orang Kanaan lebih
memperhatikan pemujaan terhadap dewa Baal daripada dewa El.14
Dewa Baal bagi orang Kanaan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Selain
oleh karena dianggap tidak transenden (karena berdiam diri dalam kuil - berbeda dengan
dewa El yang sulit dijumpai dengan cepat karena jaraknya yang jauh dan terpencil), tetapi
juga karena dianggap mempunyai kedudukan sebagai raja dan merupakan personifikasi
topan, yakni Hadad, yang berkuasa atas manusia dan dewa. Baal adalah penguasa yang
utama dan dihormati sebagai dewa hujan dan dewa angin.
Dengan demikian bukan yang menjamin kesuburan bagi tanaman (hasil panen),
ternak dan keturunan manusia, tetapi juga memanifestasikan kekuatannya dalam hujan dan
peristiwa-peristiwa lain yang diasosiasikan dengan kesuburan. Dengan kesuburan itu
eksistensi kehidupan akan terjamin dan berkelanjutan. Tetapi sebaliknya dengan topan,
Baal dapat bertindak semena-mena, penuh dengan perubahan yang menakutkan dan tidak
terduga, serta penuh dengan kuasa yang menghancurluluhkan.15
Selain bencana yang ditimbulkan, dewa Baal juga dapat mengakibatkan adanya
pertempuran antara dua personifikasi kuasa alam, yakni antara Hidup dan Maut, yang
masing-masing diabadikan oleh Baal dan Mot. Pertempuran kedua kuasa ini sangat
menentukan pergantian musim (musim penghujan dan kemarau). Jika kuasa maut menang,
maka bumi menjadi tandus dan tidak menghasilkan apa-apa. Sebaliknya jika Baal menang
berarti ada kesuburan tanah.16
Orang Kanaan yang berlatar belakagn petani dengan sendirinya akan senantiasa
menggantungkan diri kepada dewa kesuburan, yakni dewa Baal, yang dianggap
memberikan masa depan yang baik. Tegasnya, seluruh kehidupan dan kesejahteraan
manusia tergantung pada hasil baik pertempuran antara dewa Baal dengan dewa Mot.
Dengan pengalaman-pengalaman ini menunjukkan bahwa seluruh aspek kehidupan
manusia tergantung pada dewa Baal. Manusia tidak dapat berbuat apa-apa sebab manusia
tidak lebih dari noktah di tengah-tengah kuasa alam tersebut. Manusia tidak dapat berbuat
apa-apa selain melayani, memuja dan menyenangkan hati dewa dengan harapan berada di
pihaknkya, bersikap baik dan tidak memusuhi manusia yang mendambakan kesuburan.
Menurut Frank E. Eakin, oleh karena tidak ada pemisahan antara yang sakral dan
sekular, yakni antara dewa dan kesuburan, maka partisipasi manusia dalam upacara kultus
sangat menentukan stabilitas dan kesuburan, menjauhkan dari kekacauan dan kesia-
siaan.17 Dengan partisipasi itu pula akan membuat eksistensi manusia menjadi sejahtera,
menentukan masa depan yang baik dengan hasil tanaman yang subur, mendatangkan
hujan, memberikan makanan serta kehidupan.
Dengan demikian menurut orang Kanaan, yang mengatur manusia adalah
kesuburan tanah (alam semesta) yang pada hakekatnya dewa itu sendiri. Hal itu berarti
manusia harus tunduk kepada alam semesta sebagai ruang kuasa-kuasa yang menakutkan
dan menentukan nasib manusia. Antara manusia dengan alam terdapat perbedaan-

14
Frank E. Eakin, Jr., The Religion and Culture of Israel: An Introduction to Old Testament
Thought ( Boston: 1971), h. 200.
15
G.E. Wright, A. de Kuiper, Perjanjian Lama Terhadap Sekitarnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1967), h. 15.
16
Ibid.
17
Eakin, Jr., The Religion and Culture of Israel: An Introduction to Old Testament Thought , h.
203.
16

perbedaan yang hakiki di mana alam dipandang sebagai subyek dan manusia sebagai
obyek.

2. Agama Babilonia
Pada dasarnya agama Babilonia mempunyai banyak titik persamaan dengan agama
Fenisia-Kanaan karena kedua-duanya menganut Politheisme. Perbedaannya adalah di
sekitar asal-usul mitologi tentang penciptaan langit dan bumi. Dalam agama Fenesia-
Kanaan, dewa pencipta langit dan bumi adalah El. Sedangkan menurut pandangan agama
Babilonia, alam semesta merupakan hasil pertentangan antara kuasa-kuasa Choas
(kekacauan) dan kuasa-kuasa ketertiban.
Konfrontasi antara dua aspek kuasa berlawanan itu bermula dari adanya oknum-
oknum: Apsu dan Tiamat. Kisahnya diriwayatkan dalam cerita penciptaan dunia
kepunyaan bangsa Babel atau menurut kata-kata pembukaan yang disebut Enuma Elis
(when on high).
Sebelum ada formasi langit dan bumi, segala sesuatu tidak ada kecuali air. Secara
generasi unsur yang mula-mula diidentikkan dengan Apsu (suami) personifikasi air tawar,
dan isterinya diasosiasikan dengan Tiamat (air asin). Dari hasil pergaulan Apsu dan
Tiamat lahirlah keturunan para dewa dari generasi yang pada akhirnya kembali menentang
dan mengganggu kesejahteraan Tiamat dan Apsu, dan bahkan menyebabkan suami Tiamat
(Apsu) mati terbunuh.18
Tiamat berusaha untuk membalas dendam atas kematian Apsu, tetapi upaya
tersebut sia-sia belaka sebab dewa Marduk selaku pemimpin dewa-dewa yang menentang
Tiamat berhasil mengalahkannya. Dewi Tiamat yang ganas berhasil dibunuh dan
mayatnya dipotong dua oleh dewa Marduk lalu dijadikannya sebagai langit dan bumi.
Kemudian langit dijadikan sebagai tempat Marduk bersemayam.19
Perjuangan Marduk tidak berakhir sampai di sini. Dewa-dewa yang diberikan tugas
oleh Marduk dalam rangka pengembangan dan pemeliharaan alam semesta sering tidak
melakukan fungsinya sesuai tata tertib kosmos yang ditetapkan oleh Marduk. Akibatnya
timbulllah kekacauan. Pertentangan itu merupakan pertentangan abadi. Peperangannya
diperbaharui dari tahun ke tahun, karena pada tiap tahun Marduk harus mengalahkan
kuasa Chaos (kekacauan) yakni personifikasi dari Tiamat. Karena itu segala sesuatu
adalah hasil dari pertentangan dan berakhir dengan pertentangan. Hidup ini merupakan
perjuangan terus menerus untuk mempertahankan struktur-struktur yang tertib dari bahaya
kekacauan.20
Sama seperti agama Fenisia-Kanaan, di tengah-tengah perselisihan antara kuasa-
kuasa ketertiban dan kuasa-kuasa kekacauan, manusia merasa diri kecil dan tidak tentram
sebab dikelilingi oleh berbagai kuasa lain yang mendatangkan berbagai macam
malapetaka. Untuk menjamin ketentraman dan kehidupan manusia termasuk alam
semesta, maka manusia harus takluk kepada alam atau dewa. Manusia harus melayani para
dewa dalam bentuk pelaksanaan ritus-ritus keagamaan. Menurut Walter Harrelson,
maksud ritus-ritus keagamaan itu ialah untuk untuk membujuk para dewa agar
memperhatikan berkat atas hidup manusia, menundukkan kuasa Chaos dengan kuasa
ketertiban, menjamin keamanan dan keselamatan manusia. Tanpa ibadah dunia ini akan

18
Nahum M. Sarna, Understanding Genesis: the Heritage of Biblical Israel (New York: 1972), h.
4.
19
Ibid.
20
Th. C. Vriezen, Agama Israel Kuno (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), h. 44.
17

jatuh ke tangan Chaos dan mengalami kehancuran serta tidak akan pernah mengalami
pembaharuan.21
Peranan kultus bagi orang Babilonia sangat penting. Bukan hanya hidup manusia
yang terjamin, tetapi juga dunia secara keseluruhan akan terhindar dari kuasa kekacauan.
Dengan kultus berarti ada relasi yang tetap harmonis antara manusia dengan dewa-dewa
dan ketentraman di alam semesta ini akan tetap terjamin. Manusia yang tidak berdasarkan
harapannya pada dewa, dalam hidupnya tetap dihantui perasaan tidak aman dan tetap
terancam.
Demikian menurut paham orang Babilonia bahwa oleh karena alam ini bersifat
keramat dan menakutkan maka manusia harus tunduk kepada alam dan berusaha
menyesuaikan diri dengan alam dalam bentuk-bentuk ritus keagamaan. Antara manusia
dengan alam terdapat jarak di mana manusia bukan merupakan satu kesatuan dengan alam,
melainkan berdiri berhadapan dengan kosmos.

21
Walter Harrelson, From Fertility Culture to Worship (New York: 1970), h. 3.

Anda mungkin juga menyukai