15-pemanasan-global
muhammad rizki
Lian Chan
sigit oktavian
jiffriandi arc
1
UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PELESTARIAN HUTAN SEBAGAI PENCEGAH
PEMANASAN GLOBAL*)
Abstrak
Pemanasan global yang kini menjadi isu dunia, nampaknya mulai dirasakan oleh
sebagian dari masyarakat, dengan berubahnya suhu udara, naiknya jumlah volume
hujan dan munculnya genangan (banjir) di beberapa daerah. Atas dasar itulah
pemberdayaan masyarakat untuk ikut berkiprah, merupakan salah satu bentuk
sumbangsih kiat-kiat kepedulian dalam kaitannya dengan upaya pengendaliannya.
Bab I
Pendahuluan
Pemanasan global telah menjadi isu internasional sejak beberapa dekade yang lalu,
walaupun mungkin sebenarnya masih terdapat ketidakpastian apakah benar akan terjadi pemanasan
global. Sebagai akibat dari pemanasan global, memberikan dampak sangat besar baik terhadap iklim
dunia, maupun kenaikan permukaan air laut.
Dampak iklim global ini akan mengakibatkan perubahan tatanan hujan pada suatu wilayah;
dimana sebagian wilayah hujannya akan bertambah dan di beberapa wilayah lainnya hujannya akan
berkurang. Hal ini memberikan dampak turunan terhadap sistem pertanian dalam arti luas.
Kenaikan permukaan laut akan menyebabkan terendamnya daerah pantai yang rendah, hal
ini akan menimbulkan kesulitan terhadap negara-negara yang memiliki pulau- pulau kecil, seperti
Maldives, Fiji dan Marshall; negara dengan delta yang luas (Mesir dan Banglades); serta negara yang
memiliki daerah rawa pantai yang luas seperti Indonesia.
Di Indonesia daerah rawa pantai seperti mangrove, tambak udang, daerah pasang surut dan
kota-kota yang berdataran rendah seperti (Jakarta, Surabaya dan Banjarmasin), terancam akan
terendam. Kerugian lain misalnya akan munculnya gelombang badai dan menyusupnya intrusi air
laut.
Mencermati atas uraian tersebut di atas, dalam kaitannya dengan upaya pengendalian terhadap
pemanasan global, memberdayakan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membangun kawasan
hijau baik dalam bentuk hutan maupun hijauan lainnya, merupakan alternatif pendekatan yang dinilai
efektif dan rasional.
*). Paparan disampaikan kepada Menteri Negara Permukiman dan Pengembangan Wilayah
(Kimpraswil), Selasa 9 April 2002.
**). Staf pengajar FMIPA dan Pengelola Hutan Kota Universitas Indonesia
Bab II
Pemanasan Global dan Pelestarian Hutan
2.1. Fenomena Pemanasan Global
Bumi mempunyai suhu yang sesuai bagi kehidupan baik manusia maupun lainnya, akibat
dari efek rumah kaca (ERK). Jika tidak ada ERK di dunia ini, maka bumi akan mempunyai suhu di
bawah titik beku, yang akan berpengaruh terhadap kehidupan di muka bumi ini. Dengan demikian
ERK tidaklah seburuk apa yang diduga oleh setiap insan yang awam terhadap penge-tahuan
tersebut.
Cahaya matahari yang berwarna putih, sebenarnya terdiri atas berbagai macam jenis warna
(merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu). Masing-masing jenis warna mempunyai panjang gelobang
tertentu, cahaya ungu mempunyai panjang gelombang terpendek, dan merah terpanjang. Di sisi lain
ada cahaya yang tidak tampak yaitu “Ultra violet” dengan panjang gelombang lebih pendek dari
pada cahaya unggu; namun sebaliknya cahaya infra- merah dengan panjang gelombang lebih panjang
dari pada merah, dan merupakan sinar yang bersifat panas.
Di dalam atmosfer, bumi terdapat berbagai jenis gas; dimana gas-gas tersebut dapat meneruskan
sinar matahari yang bergelombang pendek, hingga sinar mata hari dapat sampai ke permukaan bumi dan
akibat yang ditimbulkannya permukaan bumi menjadi panas; dan permukaan bumi memancarkan
kembali sinar yang diterimanya. Menurut hukum fisika panjang gelombang sinar yang dipancarkan
sebuah benda tergantung pada suhu benda tersebut. Makin tinggi suhunya akan semakin pendek
gelombangnya. Matahari dengan suhu yang tinggi, memancarkan sinar dengan gelombang yang pendek.
Namun sebaliknya karena permukaan bumi dengan suhu yang rendah, maka memancarkan sinar
dengan gelombang panjang yaitu sinar infra-merah. Sinar infra merah dalam atmosfer terserap oleh gas
tertentu, hingga tidak terlepas ke angkasa luar. Panas yang terperangkap di dalam lapisan bawah
atmosfir yang disebut troposfer; sebagai akibat yang ditimbulkannya permukaan bumi dan tropsfer
menjadi naik suhu udaranya; dan peristiwa inilah yang disebut dengan istilah “efek rumah kaca”.
Gas yang menyebabkan terjadinya ERK disebut “gas rumah kaca“ (GRK); yang antara
lain meliputi uap air (H2O); Carbon dioksida (CO2); metan (CH4); N02; Ozon dan CFC (gas buatan
manusia).
Pemantauan terhadap kadar GRK dalam atmosfer, kecuali air menunjukan kecende- rungan
semakin meningkat; oleh karena itu dikhawatirkan intensitas ERK akan menjadi naik, hingga suhu
permukaan bumi akan menjadi lebih tinggi dari keadaan sekarang ini; peristiwa inilah yang dikenal
dengan istilah “pemanasan global”. Menurut Scneirder (1989), jika
a.Perubahan iklim
Para pakar lingkunagan sependapat bahwa pemanasan global akan menyebab-kan terjadinya
perubahan iklim sedunia. Karena kenaikan suhu udara di permukaan bumi, maka laju penguapan air
akan meningkat, dengan demikian jumlah awan dan hujan secara umum akan meningkat; dan
menyebabkan distribusi curah hujan secara regional akan berubah. Di suatu daerah tertentu jumlah
hujannya naik, akan tetapi di beberapa tempat lainnya akan mengalami penurunan.
Di Asia Tenggara, curah hujan akan bertambah; sedangkan di wilayah Indonesia bagi daerah-
daerah yang memiliki curah hujan tinggi, penambahan curah hujan akan menimbulkan bahaya banjir dan
meningkatnya erosi. Sedangkan kenaikan suhu udara karena pemanasan global akan mempersulit masalah
kekurangan air (defisit air) di daerah tertentu.
Mencermati pernyataan Scneirder (1989), terhadap perubahan suhu udara, kecende- rungan yang
kini dirasakan telah menjadi kenyataan. Di beberapa kota di Indonesia, pada tahun 1970-an rata-rata
suhu udara di Jakarta tercatat berkisar antara 24 oC dan 26oC, dan kini telah berubah antara 28,12oC dan
30,26oC; di Bogor tercatat berkisar antara 24,09oC dan 25,11oC, kini telah berubah antara 25,14oC dan
27,31oC, sedangkan di kota Bandung tercatat berkisar antara 18,11oC dan 23,15oC, dan kini telah
berubah antara 24,28oC dan 26,22oC. Perubahan suhu udara di beberapa kota juga berpengaruh terhadap
kelembaban relatif, yang cenderung turun rata-rata dari ketiga kota 6,23% hingga 8,35%.
Perkiraan lainnya yang menyertai perubahan iklim di Asia Tenggara, menurut Scneirder
(1989), naiknya frekuensi dan intensitas badai. Indonesia saat ini masih beruntung karena terletak di luar
daerah badai topan; namun demikian apakah badai yang berlangganan di bagian wilayah Filipina akan
bergeser kearah selatan.
Terhadap perubahan curah hujan, nampaknya juga mulai dirasakan pengaruh- pengaruhnya.
Walaupun curah hujan meningkat dan ditandai dengan peningkatan genangan (banjir), akan tetapi neraca
keseimbangan air setiap tahunnya memperlihatkan defisit air yang semakin berkelanjutan. Suatu contoh
S. Ciliwung di Kota Depok, pada tahun 1970-an, pada bulan kering (Agustus), tercatat memiliki
debit >413 m3/detik; namun kini pada bulan yang sama hanya memiliki debit 32,44 m3/detik; S.
Serayu di Rawalo (Jembatan Cindaga), pada bulan Juli tercatat memiliki debit 1.843 m3/detik, dan
kini pada bulan yang sama hanya memiliki debit 169,65 m3/detik, dan kemungkinan juga terjadi pada
beberapa sungai lainnya. Contoh isu di atas, memperlihatkan adanya perubahan-perubahan yang
terjadi akibat pemanasan global dimuka bumi ini.
Bab III
Upaya Penanganan Terhadap Penyebab
Pemanasan Global
Apabila benar kenaikan kadar GRK akan menyebabkan pemanasan global, maka fenomena
yang terjadi tidak dapat dihindari lagi, akan tetapi harus diatasi serta ditangani seraca cermat
berkelanjutan. Oleh karena itu usaha pertama yang harus ditempuh adalah dengan mengurangi
emisi karbon ke atmosfer; dengan demikian upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain; (a)
menaikan efesiensi penggunaan energi bahan bakar fosil; (b) mengikat dan mendaur ulang C02; (c)
pengendalian pemanfaatan hutan secara tidak terkontrol; (d) pening-katan reboisasi dan penghijauan
yang secara rinci diuraikan sebagai berikut:
Bab IV
Beberapa Aspek Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Pelestarian Hutan
Masyarakat baik di pedesaan dan atau diperkotaan dan peralihannya, pada hakekatnya
cenderung mendambakan atas kenyamanan lingkungan hidupnya. Oleh sebab itu masyarakat juga
berkepentingan terhadap sumber-sumber kenyamanannya yang berarti pula masyarakat tergolong salah
satu stake holder. yang harus bersama-sama dengan pihak yang berkepentingan untuk ikut serta
bertanggung-jawab terhadap upaya-upaya pengen- dalian pemanasan global.
Di lingkungan perkotaan, kenyamanan nampaknya kini menjadi persyaratan mutlak yang
harus dipenuhi, terlebih lagi di kawasan-kawasan permukiman, dimana keteduan, keredupan dan
kesan pandang menjadi indaman bagi para huniannya. Secara alami makana kenyamanan lingkungan
hidup diilustrasikan sebagai berikut:
cahayamata hari
C02 02
+ H2 0 C6 H12 06 +
Dengan mencermati rumus fotosistesis yang sederhana di atas, nampaknya jelas bahwa
kenyamanan lingkungan permukiman sangat dipengaruhi oleh kemampuan kawasan hijau untuk mengikat
dan atau mendaur ulang jumlah polutan yang didominan oleh C02 .
Dalam kaitannya dengan pelestarian hutan dan atau kawasan hijau di wilayah perkotaan,
yang dinilai mampu sebagai pengendali dan pencegah terhadap pemanasan global, tampaknya
partisipatif masyarakat perlu digalang dan dipacu untuk ikut serta dalam pelestariannya dalam pada
itu aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat meliputi hal-hal sebagai
berikut:
Bab V
Kesimpulan dan Saran
(1). Dampak pemanasan global akibat efek rumah kaca, nampaknya kini menjadi tanggung- jawab
bersama mengingat bahwa ancaman-ancamanya mulai dapat dirasakan.
(2). Upaya pengendalian terhadap pemanasan global dinilai belum terlambat; serta keyakinan para
pakar lingkungan bahwa pepohonan baik dalam bentuk hutan, budidaya pertanian dan atau lainnya
mampu untuk mengegah dan mengendalikannya. Untuk itu menggalakan partisipasi masyarakat
untuk ikut berkiprah merupakan pendekatan yang dinilai cukup strategis.
(3). Penyuluhan atas peranan fungsi jasa biologis, ekologis dan hidrologis kawasan hijau,
nampaknya perlu diperdayakan kepada masyarakat secara luas; mengingat bahwa pepo- honan
merupakan bagian dari kehidupan setiap insan.
Daftar Pustaka
Anonimuos., 1994. Sea level rise. A selective retrospection. Delft Hydraulics. Nederland. Falk., J,. and
Brownlow, 1989. The Greenhouse challenge. Penguin Books Australia.
Graedal., TE,. 1989. The Changging Atmosfer. Scientific American. UNEP,
1989. Criteria for assessing vunerability to sea level rise.
Wind,. MG., Impact and level rise on society.
Waryono., Tarsoen,. 1990. Konsepsi Pembangunan Hutan Kota Berwawasan Lingkungan.
Jurusan Geografi FMIPA Universitas Indonesia.