Anda di halaman 1dari 5

PERANAN HUTAN DALAM PEMANASAN GLOBAL

OLEH : IRSAL MAHMUD, S.HUT.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya hutan adalah kekayaan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dapat
memberikan manfaat serba guna bagi kehidupan mahluk di bumi ini sepanjang masa. Peranan sumber
daya alam hutan terhadap manusia baik secara ekologis, ekonomi dan sosial dibutuhkan terus menerus.
Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominansi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan
merupakan penyanggah ekosistem di muka bumi ini, hal ini sangat erat kaitannya dengan Pemanasan
global yang sedang menjadi isu sentral di wacana lingkungan dunia. Kurangnya hutan menyebabkan
peningkatan suhu permukaan beberapa derajat per tahun sebagai dampak naiknya permukaan air laut
beberapa centimeter. Kenaikan ini dipicu oleh mencairnya es di kutub utara dan selatan, yang
diakibatkan oleh pemanasan global.
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi
(Wikipedia Indonesia, 2007). Pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim yang signifikan,
seperti yang terjadi
di negara kita Republik Indonesia, efek dari pemanasan ini telah menyebakan perubahan iklim yang
ekstrim. Di beberapa daerah sering terjadi hujan lebat yang mengakibatkan banjir bandang dan longsor,
munculnya angin puting beliung, bahkan kekeringan yang mengancam jiwa manusia. Keseluruhan ini
sebagai akibat berkurangnya hutan.
Kondisi iklim dan cuaca tidak terlepas dari peranan hutan yang merupakan faktor penentu utama bagi
pertumbuhan dan produktifitas tanaman pangan.
Makalah ini akan membahas peranan hutan dalam pengendalian pemanasan global atau perubahan
iklim

B. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah
1. Sebagai bahan dalam sosialisasi pengendalian pemanasan global.
2. Untuk memberikan gambaran kepada peserta tentang peranan hutan dalam pengendalian pemanasan
global.

II. PERANAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN PEMANASAN GLOBAL

Tumbuhan, air, sungai, langit, manusia dan mahluk lainnya berada dalam satu kesatuan yang
merupakan mata rantai kehidupan yang tak terpisahkan sebagai gambaran suatu ekosistem. Apabila
salah satunya rusak ataupun musnah akan mengakibatkan terganggunya keberlangsungan ekosistem
yang telah diciptakannya.
Kawasan hutan merupakan areal yang mempunyai manfaat langsung bagi masyarakat, namun pada
kenyataannya selama ini belum banyak dipahami kalangan awam sebagai sesuatu yang berarti. Mereka
menilai kawasan hutan merupakan kawasan tutupan hutan yang hanya mempunyai makna ekonomi jika
kayu yang ada didalamnya bisa dijual atau dimanfaatkan untuk bangunan.
Air yang terserap dari gunung menciptakan kesuburan tanah dan menjaga kecukupan air masyarakat
yang keluar lewat mata air kemudian dialirkan melalui sungai2 dan air tersebut dimanfaatkan untuk
lahan pertanian masyarakat sekitar.
Memang sangat berorientasi pada kepentingan manusia yang ada disekitar kawasan hutan, namun jika
dihubungkan secara global, ekosistem hutan lebih dari itu. Hutan telah berjasa dalam keseimbangan
iklim, mengurangi polusi, mereduksi, menyerap CO2 dan mengurangi pemanasan global
Beberapa tahun terakhir ini penjarahan hutan atau penebangan liar di kawasan hutan makin marak
terjadi dimana-mana seakan-akan tidak terkendali. Ancaman kerusakan hutan ini jelas akan
menimbulkan dampak negatif yang luar biasa besarnya karena adanya efek elnino dari hilangnya hutan,
terutama pada kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi ekologis dan biodiversiti besar. Badan
Planologi Departemen Kehutanan melalui citra satelit menunjukkan luas lahan yang masih berhutan
atau yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa tahun 1999/2000 hanya tinggal empat persen saja.
Kawasan ini sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Akibat
dari kejadian ini hilangnya suatu kawasan hutan yang tadinya dapat mendukung kehidupan manusia
dalam berbagai aspek. seperti kebutuhan air, oksigen (O2), kenyamanan (iklim mikro), keindahan
(wisata), penghasil kayu, rotan, dammar, penyerapan karbon, pangan dan obat-obatan, sekarang ini
sudah sulit di dapatkan lagi.
Pada kesempatan ini pembahasan peranan hutan difokuskan pada penyerapan CO2 dan penghasil O2.
Proses untuk menyerap CO2 dan menghasilkan O2 oleh pohon disebut proses fotosintesis. Fotosintesis
adalah suatu proses biokimia yang dilakukan tumbuhan, termasuk alga, dan beberapa jenis bakteri
untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya matahari.

III. PEMANASAN GLOBAL

Akibat dari berkurangnya kawasan yang berhutan di muka bumi ini mengakibatkan terjadinya
pemanasan global karena kurangnya penyerap CO2 dan penghasil O2. Terjadinya pemanasan global
yang terlampau ekstrim ini adalah akibat pembakaran bahan bakar fosil terutama batu bara, minyak
bumi dan gas alam yang berlebihan. Pembakaran tersebut melepaskan gas-gas lain yang disebut dengan
gas rumah kaca (GRK). GRK ini menimbulkan dampak yang disebut dengan Efek Rumah Kaca yakni
makin tingginya suhu bumi akibat pemanasan global. Pola iklim akan berubah akibat dari kenaikan
suhu, melelehnya es abadi dan perubahan arus laut.
Efek Rumah Kaca dapat divisualisasikan sebagai sebuah proses yang pada kenyataannya, di lapisan
atmosfer terdapat selimut gas. Rumah kaca adalah analogi atas bumi yang dikelilingi gelas kaca. Nah,
panas matahari masuk ke bumi dengan menembus gelas kaca tersebut berupa radiasi gelombang
pendek. Sebagian diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke angkasa sebagai radiasi
gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dapat dipantulkan kembali ke angkasa menyentuh
permukaan gelas kaca dan terperangkap di dalam bumi. Layaknya proses dalam rumah kaca di
pertanian dan perkebunan, gelas kaca memang berfungsi menahan panas untuk menghangatkan rumah
kaca. Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di
atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari
yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses itu lah yang disebut Efek
Rumah Kaca. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari Efek Rumah Kaca
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi
Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya,
gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di
perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan
mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin
sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur
pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para
ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan
pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca,
sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang
lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya
matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus
air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk
setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen
dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat
menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin
akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang
memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan
pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca
menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim

IV. PENGENDALIAN PEMANASAN GLOBAL

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah
yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global
di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan
langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan
dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu
populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat,
dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya,
mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-
lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama,
mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen
karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua,
mengurangi produksi gas rumah kaca.
Menghilangkan karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara
pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat
pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan
menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level
yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah
kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau
pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali
yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbondioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan
(menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke
permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di
bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di
salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbondioksida yang terbawa ke
permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat
kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan
bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu,
batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada
pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber
energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah
mengurangi jumlah karbondioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbondioksida lebih
sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun
demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbondioksida
ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang
berbahaya, bahkan tidak melepas karbondioksida sama sekali.
Persetujuan internasional Protokol Kyoto
Reaksi dunia dengan adanya pemanasan global ini mengakibatkan timbulnya Kerjasama internasional
untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de
Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk
menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160
negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang
memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi
mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling
lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan
yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni
Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen.
Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam
pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush
mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbondioksida tersebut menelan biaya yang
sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani
dengan persyaratan pengurangan karbondioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila
negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca
pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden
Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini
mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera,
ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu
tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang
dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035.
Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika
Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan
lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa
biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar
AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa
biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta
dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses
industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun
berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbondioksida terbukti sulit
dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah
berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi
produksi karbondioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk
menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib
diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang
sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil
keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut
perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda,
dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia,
merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi
Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil
memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual
kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
Bangsa Indonesia juga telah melakukan aksi nyata dalam menyikapi pemanasan global ini, ini
dibuktikan dengan adanya kegiatan melakukan penanaman melalui program Kampanye Indonesia
Menanam, Kecil Menanam Dewasa Memanen, Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Aksi Penanaman
Serentak, Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon. Dilanjutkan dengan adanya pertemuan
internasional di Provinsi Bali yaitu Conference Of Parties (COP) 13 United Nation Framework
Convention On Climate Change (UNFCCC) pada tanggal 3 s/d 14 Desember 2007 yang dihadiri oleh
103 negara dengan 9000 peserta.

V. KESIMPULAN
Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting
dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan
melalui fungsinya baik sebagai penyedia sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan
penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur iklim global.

Dalam pengelolaan hutan, sudah saatnya didorong untuk mempertimbangkan manfaat, fungsi dan
untung-rugi apabila akan dilakukan kegiatan eksploitasi hutan. Berapa banyak nilai dari fungsi yang
hilang akibat kegiatan penebangan hutan pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai strategis seperti
pada kawasan hutan di daerah hulu DAS, sehingga pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat
dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan
hutan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”,
Intan Pariwara, Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.
Koento Wibisono S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian
Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta p.3, 14-16.
____________________., 1996., “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte”,
Cet.Ke-2, Gadjah Mada University Press Yogyakarta, p.8, 24-26, 40.
____________________., 1999., “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan
Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”, Makalah, Ditjen Dikti
Depdikbud – Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, p.1.
Nuchelmans, G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam,
Dialihbahasakan Oleh Soejono Soemargono”, Fakultas Filsafat – PPPT UGM Yogyakarta p.6-7.
Soeparmo, A.H., 1984., “Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam”, Penerbit Airlangga
University Press, Surabaya, p.2, 11.

Anda mungkin juga menyukai