NIM:1910211220009
Matkul:Administrasi Negara(C)
B. Wabah Corona
Wabah Corona (Covid-19) telah mengubah wajah dunia. Sejak ia menjadi isu serius ‘pembunuh’
umat manusia, saat ini semua negara bertindak untuk mengamankan keselamatan
warganegaranya.Badan Dunia WHO menyatakan bahwa virus ini telah menjadi pandemi global,
beberapa negara pun telah melakukan karantina diri atau yang disebut dengan lockdown.
Sejak munculnya virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019, -yang tanpa
diduga penularannya begitu cepat, tampaknya tidak ada satu negara pun yang ‘steril’ terhadap
virus Corona saat ini.Dalam kasus penyebaran Virus Corona, maka ia menyeruak bukan hanya
menjadi isu kesehatan, akan tetapi menjadi isu multi dimensi yang bersinggungan dengan
konteks sosial masyarakat.Namun, hal ini tampak bertolak belakang dengan isu lingkungan
yaitu perubahan iklim dan dampak pemanasan global. Jika Virus Corona sudah dinyatakan
sebagai pandemik oleh WHO, maka perubahan iklim pun derajat isunya seharusnya setingkat
dengan penyebaran Corona. [10.24, 30/3/2020] .: Tanpa disadari dampak perubahan iklim
bakal berpengaruh bagi kehidupan seluruh umat manusia di bumi. Beragam kejadian bencana
alam yang sudah merusak dan menyebabkan kematian, belum membuat manusia tersadar.
Padahal dampak perubahan iklim merupakan ancaman bagi kemanusiaan yang sama-sama
memiliki daya bunuh dengan Virus Corona. Bahkan mungkin lebih.Sebelum terjadinya wabah
Corona, rezim perubahan iklim (para pihak yang terlibat dalam KTT Perubahan Iklim) hanya
disibukkan dengan isu ‘yang itu-itu saja’ yaitu tanggung jawab untuk mengurangi emisi karbon.
Bahkan, tampak kesan kesenjangan kepentingan ekonomi antara negara-negara berekonomi
maju dengan negara miskin dan berkembang, menyebabkan KTT Perubahan Iklim hanya
menjadi sekedar seremonial tahunan dan retorika belaka.Akhir tahun 2019 semestinya menjadi
tonggak para pihak dalam rezim perubahan iklim maupun pemimpin dunia untuk menyadari
bagaimana ‘panasnya’ bumi saat ini.Para pemimpin dunia maupun elit politik global hingga elit
politik lokal masih terjebak pada populisme yang menunjukkan wajah asli untuk
menyelamatkan kepentingannya.Di sisi lain, kaum tidak berpunya hanya bergantung pada
sumber daya alam dan tidak paham perubahan iklim. Tetapi mereka menjadi pihak yang paling
merasakan dan paling menderita akibat perubahan iklim, akibat variabilits iklim yang
menunjukkan anomali.Padahal berdasarkan data NOAA (The National Oceanic and Atmospheric
Administration) tahun 2019 merupakan tahun kedua yang terpanas setelah tahun 2015. Suhu
bumi mencapai 2,07 derajat Farenheit atau mengalami kenaikan 1,15 derajat Celcius. Hal
tersebut menunjukkan kondisi bumi memasuki masa kritis karena kenaikan suhu bumi
mencapai 2 derajat Celcius akan menyebabkan kekeringan ekstrem dan kenaikan permukaan
laut.Kekeringan ekstrem akan menyebabkan petani subsisten dan peladang tradisional yang
akan mengalami penderitaan terlebih dahulu. Kenaikan permukaan laut pun menyebabkan
nelayan dan masyarakat pesisir terancam kehidupannya.Wacana upaya bersama untuk
menjaga agar suhu bumi tidak 2 derajat Celcius, gagal menjadi kesepakatan dalam KTT
Perubahan Iklim. Isu Lingkungan Belum Jadi Alasan Urgen Masyarakat Global untuk Bertindak
Jika kegagalan hasil dari KTT Perubahan Iklim adalah indikasi dari bagaimana lemahnya
komitmen para pemimpin dunia. Hal tersebut, diperburuk dengan perilaku masyarakat global
yang tidak ramah lingkungan.Kerusakan ekosistem dipercepat dengan laju pertumbuhan
ekonomi dan kebijakan yang memudahkan kepentingan ekonomi politik untuk merambah dan
melakukan eksploitasi lingkungan hidup.Lingkungan hidup menjadi komoditas yang bisa
dipertukarkan untuk pemuasan kepentingan yang bersifat materialistis. Maka, laju
konsumerisme semakin tidak terkendali. Konsumerisme membutuhkan pemuasan kebutuhan
melalui gambaran gaya hidup yang pada akhirnya menghasilkan lautan sampah yang sulit untuk
diurai.Maka, struktur yang demikian memberikan keleluasaan bagi korporasi dan elit politik
korup untuk melakukan transaksi. Berikutnya, masyarakat yang mengedepankan konsumerisme
sebagai gaya hidup semakin abai dengan realita kerusakan lingkungan hidup. Berbagai
kerusakan lingkungan yang bersumber dari pengambilan kebijakan, tata kelola hingga budaya
konsumerisme menutupi narasi bahwa bumi saat ini sedang sakit. Keseimbangan bumi yang
semakin tidak menentu menyebabkan bencana alam menjadi kerapkali terjadi.Virus Corona
muncul di saat perubahan iklim terjadi semakin ekstrem. Solusi untuk mengurangi laju
perubahan iklim belum optimal dan kemudian ditambah dengan permasalahan lainnya yang
membutuhkan daya dukung ekologis dan sosial.Lalu bentuk reaksi sosial seperti apa yang
sekarang dapat kita lihat dari kasus Corona?Saat wabah terjadi, perilaku ‘memborong’ barang
untuk memenuhi kebutuhan diri atau perilaku pedagang untuk menjual barang dengan harga
berkali-kali lipat kemudian terjadi. [10.31, 30/3/2020] .: Hal tersebut menunjukkan, empati
yang minim. Maka, pertanyaannya adalah apabila kepedulian kepada sesama manusia saja
minim, bagaimana dengan kepedulian terhadap lingkungan hidup?
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sistem kapasitas penyangga virus ini? Bagaimana
dengan daya dukung lingkungan yang kita miliki? Bagaimana keterhubungan ekologis yang
terbangun selama ini antara kita (manusia) dan bentang alam? Bagaimana modal sosial yang
kita miliki untuk melawan wabah ini?
Apabila 4 pertanyaan saya di atas dijawab dengan berbagai ketersendatan, maka wabah Virus
Corona saat ini akan menjadi penentu ketahanan sosial ekologi saat ini dan masa depan.
Satu titik yang dapat dilakukan oleh komunitas lokal dan global menghadapi wabah Corona dan
bersamaan tengah menghadapi perubahan iklim adalah mempererat kolaborasi dan solidaritas
sosial.Bagi level pembuat kebijakan sudah tidak dapat lagi bekerja sendiri, maka perlu
berkolaborasi. Selain itu, bagi pembuat kebijakan perlu kembali mengkaji produk kebijakan
yang tidak lagi melakukan eksploitasi lingkungan hidup dan menyebabkan kerentanan sosial
bagi masyarakat kecil.Pada level negara, negara perlu memberikan kecukupan informasi, sistem
preventif dan penanganan yang holistik. Maka, pada saat krisis ini, negara hadir bersama
masyarakat dan membangun penanganan krisis secara terukur, menindak perilaku spekulan
dengan tegas dan memastikan keyakinan bahwa ‘kita mampu melewati krisis ini’.
Bagi masyarakat, selain empati, maka solidaritas sosial perlu kembali dipererat. Solidaritas
sosial perlu dibangun dengan kesadaran kemanusiaan, tanpa memandang perbedaan pilihan
politik, agama, kepercayaan, hingga etnis.