Anda di halaman 1dari 4

Dahulukan Bumi Sebelum Industri

Oleh : Bela Nurul Fadhilah/IPB

Udara panas dan gerah yang kita rasakan setiap hari bukanlah suatu hal yang tanpa
alasan. Semua orang di penjuru dunia berkeluh kesah atas apa yang telah terjadi di bumi
tempat kita hidup ini. Memasuki abad ke-21 ini bumi semakin tidak seimbang dengan
menyumbangkan bencana-bencana esktrem, seperti gelombang panas, banjir, kebakaran,
kekeringan, dan badai ganas (National Geographic, Desember 2018). Tercatat sudah ada 70
badai tropis yang menyerang wilayah bumi bagian utara dan menghancurkan wilayah
Kepulauan Mariana, Filipina, Vietnam dan sekitarnya. Bahkan Berdasarkan data dari Climate
Predicition Center di National Oceanic and Atmospheric Administration, El Nino meningkat
hingga 80% dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa
kekeringan di wilayah Indonesia karena meningkatnya presentase El Nino ini berdampak
pada kebakaran hutan yang terjadi di Riau. Peristiwa tersebut juga berdampak pada
perubahan iklim yang sangat signifikan sehingga prediksi musim tahunan seakan tidak
berpandangan lagi. Setiap harinya hujan dan kekeringan datang tanpa teratur seakan-akan
tidak memiliki siklus. Ketidakseimbangan alam ini tentu akan mempengaruhi hasil panen,
kelaparan, risiko kebakaran, pemutihan karang, ketahanan pangan dan cuaca ekstrem di suatu
negara. Segala bencana ini tidak lepas dari akibat peningkatan pemanasan global yang
diiringi oleh berkembangnya industri dunia.

Pemanasan global merupakan kondisi meningkatnya suhu rata-rata bumi akibat efek
rumah kaca yang berlebih. Sejak era industri suhu bumi meningkat setidaknya 1 derajat
celcius sampai saaat ini yang terjadi akibat efek rumah kaca, yaitu terperangkapnya udara
panas radiasi matahari yang tertahan oleh akumulasi lapisan gas rumah kaca (CO2, metana,
N2O) yang seharusnya dipantulkan ke luar angkasa (Kompasiana, Juni 2015). Bukan hanya
sekedar atmosfer yang panas, Global Warming dapat mengancam kelangsungan hidup
manusia. Oleh karena itu, PBB dalam program barunya, yaitu Suistanable Development
Goals (SDGs) sebagai pengganti Millenium Development Global (MDG) memasukan
keprihatinan terhadap bumi pada point ke-13 yang berbunyi “Aksi terhadap iklim, bertindak
cepat untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.” Secara tidak langsung PBB telah
menegaskan bahwa kelangsungan hidup planet hijau kita ini perlu dijaga dan dirawat. Namun
faktanya ketika Revolui Industri 4.0 sedang diperbincangkan semua orang dan berlomba-
lomba untuk berinovasi dalam teknologi, tidak ada yang melirik sedikitpun mengenai
revolusi iklim yang seharusnya diutamakan terlebih dahulu. Inovasi dalam segi bentuk
apapun tidak akan berguna jika tempat implementasinya sudah rusak karena sebenarnya
hanya bumilah tempat kita berpijak untuk saat ini. Industri memang penting namun
kelangsungan hidup kita berada di bumi, bukan di rantai pabrik.

Laporan yang dipublikasikan dalam “Gas Bulletin” tahun 2011 yang dikelola WMO
mencatat bahwa peningkatan gas rumah kaca sangat memprihatinkan. Pemasok terbesar
dalam 20 tahun terakhir ini adalah karbon dioksida. CO2 adalah gas rumah kaca yang
diproduksi oleh manusia dan memiliki kontribusi terbesar (64%) terhadap total peningkatan
efek pemanasan global. Kandungan CO2 di atmosfer naik 39% dari masa pra industri yang
terjadi sekitar tahun 1750. Data ini menunjukan peningkatan gas CO2 berbanding lurus
dengan peningkatan industri yang diciptakan manusia itu sendiri. Industri pasti memiliki
bahan untuk diproduksi yang dalam tata olahannya menghasilkan produk dan limbah
buangan. Sedangkan limbah memiliki tiga jenis bentuk yaitu limbah cair, limbah padat, dan
limbah gas yang masing-masing memiliki unsur tidak ramah lingkungan. limbah gas adalah
gas buangan pabrik yang dapat bercampur dengan udara yaitu karbon monoksida,
hidrokarbon, nitrogen oksida, sulfur oksida, karbon dioksida, dan partikel lainnya yang jika
tidak tersaring dengan benar akan menimbulkan pencemaran udara hingga berdampak pada
gas rumah kaca. Tragisnya tidak hanya satu pencemaran saja, polusi air dan tanah juga
mengikutinya dengan berdampak pada banyaknya organisme laut mati karena unsur limbah
yang mengkover laut sehingga tidak ada oksigen yang masuk ke air untuk kehidupan biota
laut.

Tidak lepas dari campur tangan industri, produk-produk hasilnya akan mempengaruhi
aktivitas manusia dalam bidang transportasi, energi listrik, peternakan, pertanian, hingga
pembuangan sampah sekalipun. Seiring berkembangnya dunia teknologi lahirlah banyak
sarana dan prasarana yang berenergi untuk bisa mendukung dan mempermudah pekerjaan.
Manusia tidak melihat bahwa energi yang sekarang dipakai adalah energi fosil yang salah
satu unsur pembuangnya berupa karbon dioksida. Sebut saja kendaraan motor, mobil, truk,
bus, kereta, kapal bahkan pesawat yang setiap harinya beroperasi maka setiap hari juga
mengeluarkan emisi gas buangan. Hal tersebut hanya dilihat dari segi transportasi belum segi
lainnya. Aktivitas lain yang sangat mencolok dan tak pernah terhitungkan adalah peternakan.
Industri peternakan menyumbang 9% CO2, 65% N2O, dan 37% NH4. Angka-angka tersebut
ternyata mengandung kerusakan tinggi untuk lingkungan. Nilai dari satu molekul N2O adalah
296 kali CO2, sedangkan satu molekul NH4 (metana) sebanding 25 kali CO2. Data PBB
menyebut bahwa industri peternakan menyumbnag 18% lebih banyak dibanding emisi gas
buangan kendaraan yang hanya 13,5%. Kebiasaan konsumsi daging di kalangan masyarakat
tentunya harus dibatasi sehingga usaha peternakan juga menurunkan presentase limbah yang
dihasilkan. Inilah potret kecil dari suatu aktivitas yang tak pernah dikira sebagai penyebab
pemanasan global. Sayangnya segala aspek industri yang sudah berjalan hanya bervisi pada
kepuasan konsumen yang akhirnya mengorbankan kepuasan lingkungan.

Bumi membutuhkan ruang untuk mengevaluasi alam yang sedang rapuh. Namun,
berdirinya banyak industri dalam berbagai bidang mengubah ruang alam tersebut sebagai
ladang keuntungan tanpa memikirkan akibatnya. Ketika alam tersakiti maka ia akan
mengeluarkan murka berupa bencana. Industri-industri yang secara illegal tidak patuh akan
regulasi akan terus menerus menggerus citra bumi. Mereka yang tidak memiliki rasa empati
akan terus merusak tanpa henti hingga mereka tak sadar hal tersebut adalah tindakan yang
tidak manusiawi. Satu industri saja dapat menghancurkan suatu negara bahkan dunia hanya
dengan persoalan limbah. Diperlukan ketegasan pemerintah dalam melihat badan-badan
usaha yang memang nakal dalam sistemnya. Sayangnya, saat ini peraturan pemerintah hanya
berupa formalitas saja yang kadang ditemukan ikatan hitam antara pemerintah dan pemilik
industri dalam meraup keuntungan. Sistem dan relasi seperti inilah yang akan
menghancurkan bumi sedikit demi sedikit. Industri tak pernah membayangkan bahwa ketika
ada kebakaran hutan adalah ulah mereka yang menebang pohon tanpa aturan ditambah
alokasi lahan, ketika ada bencana banjir rob adalah ulah mereka yang mendirikan pabrik di
pesisir pantai hingga tidak ada tempat resapan, ketika udara mulai keruh adalah ulah mereka
yang memasang cerobong asap seenaknya, ketika ikan-ikan di laut mati serempak adalah ulah
mereka yang membuang limbah cair ke tempat yang tidak semestinya, dan ketika es di kutub
utara mencair hingga mengancam tenggelamnya pula-pulau kecil kehidupan adalah ulah
mereka yang memelihara emisi gas rumah kaca. Pola kehidupan politik dan ekonomi harus
searah dengan hukum alam karena alam selalu menyeleksi segala bentuk tindakan yang
merujuk pada orientasi yang digunakan. Saat alam sudah tidak diperhatikan maka jangan
berharap alam akan memperhatikan kehidupan kita.

Peraturan dan sanksi yang tegas harus ditekankan oleh pemerintah terhadap industri-
industri yang tak patuh. Penyaringan limbah harus menjadi syarat utama suatu industri dapat
beroperasi dengan legal. Kegiatan filtrasi limbah bukan hanya sekedar pembuangan
melainkan harus berstandar internasional. Tipe-tipe pembuangan yang bersih dari unsur
pencemaran harus dievaluasi lagi hingga memang benar-benar tidak mengorbankan
lingkungan. Seharusnya pemerintah membentuk badan Industri hijau yang fungsinya
mengawasi tindak pabrik khususnya dalam pengolahan limbah sehingga tidak akan kelewatan
industri-industri yang hanya menggunakan alat filtrasinya pada pengecekan resmi saja.
Namun memang digunakan setiap hari selama industri tersebut masih beroperasi. Tidak
hanya dari pemerintah, kesadaran masyarakat juga mengambil peran penting untuk
lingkungan. Greta Thunberg adalah bukti nyata jika kesadaran satu orang mampu mengubah
kondisi bumi untuk lebih baik. Gadis belia ini mampu membujuk PBB untuk menggalangkan
aksi perubahan iklim yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan oleh kaum elite pemerintah.
Yang sekarang kita butuhkan adalah jiwa-jiwa Thunberg lainnya yang simpati terhadap
keadaan nyata bumi kita ini. Kesadaran diri adalah kunci utama untuk memerangi dan
mengubah pola kehidupan yang awalnya tak acuh menjadi peduli terhadap lingkungan.
Kesadaran dimulai dari dini dengan menggalangkan aksi cinta bumi dan hemat energi. Aksi
menanam pohon satu saja jika dilakukan oleh semua orang dunia akan sangat berdampak
bagi perubahan iklim. Selain itu, hemat energi yang bisa kita terapkan adalah dengan tidak
menggunakan alat transportasi yang menyumbangkan gas emisi secara keseringan. Ketika
kebiasaan mencintai bumi dari dini maka ketika dewasa meskipun mereka mendirikan
industri mereka akan tetap melindungi bumi dengan menjalankan industri sesuai regulasi.
Industri yang berjalan selaras dengan alam akan melahirkan respon alam yang selaras juga
dengan kebutuhan manusia.

Anda mungkin juga menyukai