Anda di halaman 1dari 2

Nama : MUHAMMAD KHUFRONI

Nim : 2281131508
Kelas : A31

1. Perubahan Iklim (ClimateChange), Korupsi, Degradasi Moral, dan


Kesenjangan Sosial
Perubahan iklim tanpa bisa dielakkan telah hadir dan mengancam siapa saja di muka bumi. Namun,
yang paling miskinlah yang paling rentan terdampak. Di Indonesia, dampak perubahan iklim ini
diperparah oleh korupsi yang bisa membajak daya adaptasi masyarakat.
Meningkatnya kejadian banjir, kekeringan, badai, naiknya muka air laut, ledakan serangan hama,
hingga penyebaran berbagai penyakit hanyalah sebagian contoh dari dampak perubahan iklim yang
telah hadir itu. Laporan Global Humanitarian Forum (The Anatomy of Silent Crisis, 2009)
menyebutkan, perubahan iklim telah menyebabkan kematian 300.000 orang dan berdampak pada
hidup 325 juta orang.
Kenapa kalangan miskin yang lebih rentan terdampak? Masyarakat miskin di kota dipaksa hidup di
kawasan rawan longsor, di bantaran sungai yang sering dilanda banjir, atau di tepi laut yang tak aman
dari terjangan gelombang pasang bahkan tsunami, serta di lingkungan yang paling tercemar dan
langka air bersih. Mereka juga tak mudah mengakses layanan kesehatan dan obat-obatan di tengah
ledakan penyakit menular.
Bagi Indonesia yang dua pertiga warga miskinnya tinggal di pedesaan dan mengandalkan hidup
sebagai petani, cuaca ekstrem menyebabkan penurunan produksi pertanian. Padahal, petani tidak
mendapat asuransi atas kegagalan panen maupun akses modal untuk berusaha pada musim tanam
berikutnya.
Data (Rizaldi Boer, 2003) menunjukkan, hilangnya produksi padi akibat kejadian iklim ekstrem pada
periode 1981-1990 adalah sekitar 100.000 ton per tahun per kabupaten, meningkat menjadi 300.000
ton pada periode 1991-2000. Seorang panelis meramalkan, pada tahun 2050 terjadi defisit gabah
kering sebesar 60 juta ton, dengan asumsi tidak ada penambahan lahan atau pengurangan konsumsi
per kapita.
Sedangkan warga miskin dari kalangan nelayan menghadapi tingginya intensitas badai dan
ketidakpastian cuaca. Data (KIARA, 2010) selama Januari-September 2010, sebanyak 68 nelayan
tradisional hilang di laut karena cuaca ekstrem. Selama periode awal hingga pertengahan Januari
2011, sudah 20 nelayan yang hilang di laut.
Ketidakadilan
Para panelis mengingatkan, kemiskinan bukan hadir begitu saja. Dia tercipta dari sistem ekonomi-
politik, global maupun lokal, yang tidak adil. Seorang panelis memberi contoh ekstrem dengan
memaparkan fakta masyarakat miskin di Tanjung Priok, Jakarta Utara, harus membayar air bersih
yang dibeli dari pengecer dengan harga jauh lebih mahal dibandingkan dengan masyarakat kaya di
perumahan mewah yang membeli air dari Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta.
Demikian halnya, perubahan iklim bukanlah pemberian begitu saja dari alam. Kerusakan ekologis ini
terjadi karena peningkatan emisi gas karbondioksida (CO). Mereka yang paling banyak mengeluarkan
CO adalah kalangan kaya dari negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Australia, Singapura,
Jepang, dan negara-negara Eropa.
Namun, mereka yang menjadi sumber utama pemanasan global ini cenderung mengelak dari tanggung
jawab. Kini, mereka nyaris sukses memaksakan diktum baru pascaprotokol Kyoto bahwa negara-
negara miskin dan berkembang adalah juga penghasil emisi rumah kaca yang sama besar beban dan
kewajibannya dengan negara-negara industri maju (Hira Jhamtani, 2008).
Dengan memaksakan diktum baru itu, perbincangan soal transfer teknologi bersih dan bantuan dana
adaptasi dari negara maju ke negara berkembang menjadi semakin sunyi. Kalah riuh oleh diskusi soal
perdagangan karbon yang mencerminkan sikap business as usual. Keadilan iklim yang disuarakan
gerakan masyarakat sipil juga tidak menjadi arus utama dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC).
Kondisi ini semakin memperjelas bahwa praktik adaptasi terhadap perubahan iklim masih juga
menganut teori lama tentang survival of the fittest; yang kuat, yang menang. Teori ini mengandung
makna, jika 1,7 miliar masyarakat miskin di seluruh belahan dunia—termasuk 31 juta penduduk
miskin di Indonesia—tidak mampu bertahan menghadapi perubahan iklim adalah salah sendiri dan
karena itu ”layak punah”.

2. KONSEP DAN URGENSI PENDIDIKAN PANCASILA

Dalam tinjauan pedagogik, Pendidikan Pancasila merupakan bidang kajian keilmuan,program kurikuler,
dan aktivitas sosial-kultural yang bersifat multidimensional. Sifatmultidimensional ini menyebabkan
Pendidikan Pancasila dapat disikapi sebagai:pendidikan nilai dan moral, pendidikan kemasyarakatan,
pendidikan kebangsaan,pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan hukum dan hak
asasimanusia, serta pendidikan demokrasi.Di Indonesia, arah pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan
dan Pancasila tidakboleh keluar dari landasan ideologi Pancasila, landasan konstitusional Undang-
UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan landasan operasional Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, tidakboleh juga keluar dari koridor Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan filosofiBhinneka Tunggal Ika. Hal ini yang menyebabkan secara
terminologi untuk pendidikankewarganegaraan di Indonesia digunakan istilah Pendidikan Pancasila
danKewarganegaraan
Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, danalat pemersatu
bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, dasarnegara, dan pemersatu
bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besarpengaruh Pancasila terhadap bangsa
dan negara Indonesia? Kondisi ini dapatterjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas
keberadaan bangsa Indonesiaseperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat
istiadat, kebiasaanbudaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak
harusdipersatukan
Begitu banyak permasalahan yang sedang bangsa kita hadapi, mulai dari yangsepeles
amapi ke persoalan yang vital. Salah satunya adalah masalah pendidikandan substansi
dalam pendidikan tersebut. Sudah jelas bagi kita bahwa pendidikanyang murah masih sulit
didapatkan bagi masyarakat yang dalam taraf kesejahteraan
yang masih “sulit”. Yang
kedua adalah materi pendidikan yang belum memenuhikebutuhan dunia global. Selain
belum sesuai dengan kebutuhan globalisasi jugabelum siap menghadapi globalisasi. Pada
dasarnya materi atau kurikulum yangmasih sering berubah-ubah di tiap jenjang pendidikan
menyebabkan tidak stabilnyasistem pendidikan

Anda mungkin juga menyukai