1. Pemicu-Pemacu Ketidakadilan
Dalam dua dekade terakhir, terjadi reformasi dan transformasi besar dalam
arus kehidupan sosial, ekonomi, politik dan ekologi bangsa Indonesia. Secara politik,
sejak Mei 1998 bangsa Indonesia telah beralih dari kungkungan rejim pemerintahan
Orde Baru yang otoriter di bawah pimpinan Presiden Suharto, ke rejim pemerintahan
reformasi di bawah pimpinan Presiden BJ Habbibie (1998-1999), Presiden KH
Abdurrahman Wahid (199-2001), Presiden Megawati Sukarnoputri (2001-2004),
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Presiden Joko Widodo
(2014-2019). Selama era reformasi (1998-2016), telah terjadi reformasi dan
tranformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,
terutama dalam aspek regulasi, hukum, politik, ekonomi, sosial dan lingkungan.
Otonomi daerah, multi partai, Pilkada langsung dan kebebasan berserikat dan
berpendapat merupakan salah satu produk dari era reformasi politik.
Secara ekonomi, reformasi dan transformasi dalam strategi dan kebijakan
ekonomi yang lebih berorientasi pada pendekatan pasar besar (market-friendly)
dengan alasan bangsa Indonesia menghadapi globalisasi dan era pasar bebas telah
mengubah secara signifikan kehidupan sosial-ekonomi rakyat Indonesia. Nilai tukar
Rupiah (Rp) terhadap Dollar AS ($US) yang pada akhir tahun 1997 masih berada
pada kisaran Rp 2.000-Rp 2.500 per dolar AS, pada akhir Oktober 2016 telah
mencapai angka Rp 13.00an per dollar AS. Penurunan nilai tukar Rupiah terhadap
mata uang asing yang demikian fantastis tersebut telah menaikkan struktur harga-
harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat, korporasi dan negara. Penurunan
*
Disajikan dalam Studium General Pendidikan Pancasila dengan tema “ Ketimpangan Keadilan Sosial –
Ekonomi dan Urgensi Ekonomi Hijau: Perspektif Pancasila” untuk mahasiswa yang diselenggarakan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, pada 5 November 2016
nilai Rupiah tersebut, di satu sisi merupakan “berkah” bagi sekelompok masyarakat.
Namun pada sisi yang lain, depresiasi tersebut merupakan “mudarat dan beban”
bagi masyarakat umum dan negara.
Selain itu, dengan alasan bahwa Indonesia telah masuk dalam era
globalisasi dan era pasar bebas serta ingin memajukan Indonesia dan
menyejahterakan rakyat, sejak awal era Reformasi 1998 hingga saat ini sistem
ekonomi Indonesia secara tak disadari telah menganut Sistem Ekonomi Kapitalis
yang berbasis pendekatan dan kekuatan persaingan pelaku pasar (Swasono, 2015).
Sistem ekonomi atau sistem pembangunan yang berbasis pada nilai-nilai utama
(core values) Pancasila tampaknya mulai ditinggalkan karena dinilai kian tidak
relevan dan kontekstual dalam konstruksi dan tatakelola pembangunan nasional.
Dampak negatifnya adalah pemerintah memberikan keluasaan kepada para
pemodal asing maupun pemodal lokal untuk menguasai dan mengeksploitasi
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak di Indonesia. Bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya juga banyak diserahkan kepada pemodal asing (dan pemodal dari dalam
negeri) untuk dieksploitasi sebesar-besarnya dengan dalih demi kepentingan
pertumbuhan ekonomi, kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat.
Selain itu, perekonomian nasional tampaknya juga sengaja didesain dan
diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi pasar atau demokrasi
ekonomi berbasis pasar. Prinsip-prinsip tersebut adalah kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwaawasan lingkungan, kemandirian, dan prinsip
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Meskipun prinsip-prinsip
tersebut diamanatkan dalam Pasal 33, ayat (4) UUD 1945 (hasil amandemen),
namun sulit dipungkiri bahwa prinsip-prinsip tersebut sesungguhnya diadopsi dari
prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) yang lebih
berorientasi pada kepentingan pelaku pasar, pertumbuhan laba dan pertumbuhan
ekonomi, serta kepentingan kenaikan ekuitas pemilik modal (Al Gore, 2013).
Dalam konsep ekonomi modern berbasis Pembangunan Berkelanjutan,
perilaku para pelaku ekonomi diharapkan tidak hanya mementingkan kepentingan
pemodal atau pemegang saham, tapi juga peduli pada masyarakat dan lingkungan.
Sistem dan tatakelola ekonomi dan bisnis diharapkan mengintegerasikan
kepentingan-kepentingan ekonomi dengan kepentingan-kepentingan daril
masyarakat (people) dan lingkungan (planet) demi keberlanjutan ekonomi dan bisnis
(profit) itu sendiri (Lako, 2015a). Dengan kata lain, dalam sistem dan tatakelola
ekonomi modern berbasis pada konsep Pembangunan Berkelanjutan, prinsip-prinsip
perekonomian nasional dan demokrasi ekonomi yang diamanatkan dalam Pasal 33
Ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen sesungguhnya adalah demi untuk memenuhi
kepentingan kekeberlanjutan ekonomi dan bisnis dari para pelaku pasar, pelaku
ekonomi, korporasi dan negara, bukan untuk kepentingan peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak, serta kelestarian lingkungan alam.
Pertanyaannya, apa dampak posisit-negatif yang telah ditimbulkan dari
reformasi dan transformasi politik dan ekonomi tersebut? Jawabnya, sangat banyak
dan serius!
Di satu sisi, secara fisik kita memang menyaksikan kemajuan-kemajuan
pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara
statistik, indikator-indikator keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan sosial-
ekonomi masyarakat diklaim terus meningkat dari tahun ke tahun dalam dua dekade
terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang sempat terjun bebas mencapai angka minus
13,1% pada tahun 1999, dalam beberapa tahun terakhir bertumbuh di atas 5% per
tahun. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita meningkat drastis dari US$
807,15 (2000) menjadi US$ 3.371,1 (2015). Jumlah jumlah penduduk miskin
dilaporkan menurun dari 49,5 juta orang atau 25,72% dari total penduduk (1998)
menjadi 28,01 juta orang (10,86%) pada Maret 2016. Sementara Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) meningkat dari 64,3 (1999) menjadi 69,55 (2015).
Jumlah pengangguran juga diklaim terus menurun. Secara keseluruhan,
kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat diklaim terus meningkat.
Namun di sisi yang lain, kita juga menyaksikan fakta-fakta sebaliknya.
Kemiskinan, kemelaratan, penderitaan dan kesenjangan sosial-ekonomi, serta
kerusakan lingkungan dan krisis ekologi yang diakibatkan oleh perilaku keserakahan
dan ketamakan dari para individu pelaku ekonomi, korporasi dan negara sangat
serius dan mengkuatirkan. Dibalik klaim keberhasilan pemerintah tentang tren
kemajuan pembangunan nasional, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat seperti dipaparkan di atas, fakta-fakta lain
juga menunjukkan bahwa kesenjangan sosial-ekonomi atau kesenjangan
pendapatan antar kelompok masyakarat yang diukur dengan koefisien indeks Gini,
terus meningkat dratis dalam dua dekade terakhir. Indeks Gini meningkat dari 0,31
(1999) menjadi 0,41 (2016). Kesenjangan antarwilayah, yang diukur dengan indeks
Williamson, juga masih sangat tinggi di atas 0,70. Kesenjangan tersebut ditengarai
menjadi pemicu dan pemacu radikalisme sosial yang kian marak (Lako, 2016a)
Sementara itu, menurut Laporan Bank Dunia (Desember 2015), dalam 15
tahun terakhir, Indonesia memang telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang
kuat sehingga berdampak positif mengurangi kemiskinan. Namun, manfaat dari
pertumbuhan tersebut ternyata lebih dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya atau
kalangan elit. Sekitar 80% penduduk atau lebih dari 205 juta orang rawan tertinggal
atau miskin. Dikatakan bahwa distribusi pendapatan di Indonesia sangat tidak setara
atau tidak setara sama sekali. Tingkat ketimpangan di Indonesia relatif tinggi dan
naik lebih pesat dibanding banyak negara Asia Timur lain.
Sama seperti ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi yang terjadi di
Amerika Serikat, menurut Stiglitz (2015) ketimpangan tersebut sesungguhnya terjadi
karena dipicu oleh perilaku tak etis dari para elit pemimpin pemerintahan atau para
individu yang memimpin jabatan-jabatan penting negara. Mereka (disebut sebagai
the 1 percent’s Problem) adalah orang-orang elit kaya raya yang menggunakan
posisi dan otoritas yang dimiliki untuk membuat keputusan-keputusan dan kebijakan
negara terutama yang menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompoknya,
bukan untuk kepentingan rakyat luas. Itu sebabnya, ketimpanagan sosial-ekonomi
dan ekologi terus melebar.
Dari sisi ekologi, eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara besar-
besaran oleh para pelaku ekonomi atau korporasi untuk mendorong kemajuan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta pendapatan negara telah
menimbulkan kerusakan lingkungan dan kelangkaan sumberdaya serta krisis energi
yang serius. Eksploitasi sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM)
secara serakah dan tamak telah menimbulkan krisis ekologi dan krisis sosial yang
kian serius dan mengkuatirkan. Terjadinya berbagai bencana alam di berbagai
wilayah, seperti banjir, rob, tanah longsor, kabut asap, pencemaran dan lainnya,
yang diakibatkan oleh ulah masyarakat, korporasi dan negara menunjukkan bahwa
krisis ekologi sangat serius dan harus segera dicarikan solusinya (Lako, 2016b).
Eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara masif dan tidak etis oleh
korporasi juga menjadi pemicu dan pemacu meningkatnya kemiskinan, kemelaratan
dan penderitaan serta kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah-wilayah
yang kaya sumberdaya alam. Negara juga harus menanggung kerugian yang besar
akibat ulah korporasi ulat (tamak-serakah). Sebagai contoh, pembakaran lahan oleh
korporasi dan masyarakat untuk kepentingan tanaman industri dan perkebunan yang
terus terjadi di Sumatera dan Kalimantan telah menimbulkan kerugian material dan
nonmaterial yang harus ditanggung oleh masyarakat dan negara. Harian Kompas
(11/3/2016) melaporkan bahwa secara ekonomi, kerugiannya mencapai Rp 209
triliun. Secara sosial, Indeks Standar Polusi mencapai level maksimal 1.000 dan
kualitas udara memburuk sehingga menyebabkan kesehatan masyarakat terganggu
dan lebih dari 500.000 orang menderita infeksi saluran pernapasan. Sementara
secara ekologi, total lahan terbakar mencapai 2.089.912 hektar, kerugian
keragaman hayati mencapai sekitar Rp 3,8 triliun dan emisi gas rumah kaca
mencapai 15,95 ton karbondioksida per hari.
Namun dalam realitasnya, Pemerintahan SBY justru tidak konsisten dan tidak
jelas arahnya dalam menerjemahkan dan mengimplementasikan gerakan Ekonomi
Hijau dalam kebijakan dan pengambilan keputusan stratejik, taktikal dan operasional
pembangunan. Bahkan, antar kementerian negera dan antara pemerintah pusat dan
daerah terlihat tidak ada kesepahaman dan koordinasi tentang visi dan implementasi
ekonomi hijau dalam strategi dan agenda pembangunan berkelanjutan. Hal itu
tercermin dari sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi dari pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi hijau
dan pembangunan berkelanjutan. Itu sebabnya, selama periode kedua
pemerintahan Presiden SBY, krisis sosial-lingkungan, kesenjangan sosial-ekonomi
dan ketidakadilan sosial-ekonomi dan ekologi justru kian meningkat.
Pada masa pemerintahan Jokowi-JK saat ini, terlihat ada secercah harapan
untuk mengatasi permasalahan krisis sosial-lingkungan dan ketidakadilan sosial,
ekonomi dan ekologi yang kian melebar. Melalui Nawacita, Jokowi-JK berkomitmen
mengatasi krisis dan ketidakadilan tersebut. Dalam dua tahun terakhir, pemerintahan
Presiden Jokowi terus berusaha mengkaji ulang sejumlah regulasi dan kebijakan
pemerintah yang dinilai tidak ramah terhadap masyarakat dan lingkungan.
Pemerintahan Jokowi juga merekonstruksi tatakelola pembangunan nasional ke
arah yang lebih green.
Selain itu, saat ini Pemerintah Jokowi juga terlihat berkomitmen kuat untuk
melaksanakan amanat dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah
disepakati oleh para kepala negara dan pemerintahan dari seluruh dunia dalam KTT
Rio+20 (Juni 2012) di Brasil. Seperti diketahui, konsep SDGs berusaha
mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan menekankan
pada lima dimensi dasar pembangunan. Yaitu, kelestarian lingkungan (planet),
kesejahteraan sosial (people), kemakmuran bersama (prosperity), sinergitas antar
pemangku kepentingan (partnership) dan penciptaan lingkungan kehidupan yang
damai (peace) atau disebut 5P Pembangunan Berkelanjutan. Dalam Sustainable
Developments Goals (SDGs) 2015-2030 yang diterbitkan PBB (2015), kelima
dimensi dasar tersebut lalu diterjemahkan ke dalam 17 tujuan dan 169 target yang
mesti dicapai pemerintah dan para stakaholder terkait. Saat ini, baik pada level
pemerintah maupun pada level korporasi dan masyarakat sedang ada gerakan
bersama untuk mendorong tatakelola dan perilaku pembangunan nasional dan
perilaku dan tatakelola korporasi ke arah SDGs (Lako, 2016b).
Dari dua definisi tersebut di atas, penerapan konsep Green Economy dalam
tatakelola pembangunan nasional diharapkan akan menghasilkan pertumbuhan
ekonomi hijau dan keberlanjutan perekonomian nasional. Juga, diharapkan akan
meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat dan menjaga kelestarian
lingkungan serta mencegah krisis lingkungan dan kelangkaan sumberdaya.
Pertumbuhan ekonomi hijau adalah pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dengan
cara-cara yang etis, yaitu tidak merusak lingkungan dan mengorbankan daya
dukung ekologi terhadap kehidupan masyarakat, serta tidak memeras dan
menyengsarakan masyarakat (Lako, 2016b).
Baumol, W.J., R.E. Litan dan C.J. Schramm. 2007. Kapitalisme Baik, Kapitalisme
Buruk dan Ekonomi Pertumbuhan dan Kemakmuran. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. (terjemahan)
Gore, Al. 2013. The Future: Six Drivers of Global Change. Random House. New
York
Lako, Andreas. 2015. Green Economy: Menghijaukan Ekonomi, Bisnis & Akuntansi.
Penerbit Erlangga. Jakarta (a)
Lako, Andreas. 2015. Berkah CSR Bukan Fiksi. La Tofi Publishing Enterprises.
Jakarta (b)
Stiglitz, J.E. 2015. The Great Divide: Unequal Societies and What We Can Do About
Them. W.W. Norton & Company. New York