Anda di halaman 1dari 12

Mengatasi Ketidakadilan Sosial, Ekonomi dan Ekologi:

Telaah Berbasis Ekonomi Hijau dan Pancasila*

Oleh: Andreas Lako


Guru Besar Akuntansi Berkelanjutan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

1. Pemicu-Pemacu Ketidakadilan
Dalam dua dekade terakhir, terjadi reformasi dan transformasi besar dalam
arus kehidupan sosial, ekonomi, politik dan ekologi bangsa Indonesia. Secara politik,
sejak Mei 1998 bangsa Indonesia telah beralih dari kungkungan rejim pemerintahan
Orde Baru yang otoriter di bawah pimpinan Presiden Suharto, ke rejim pemerintahan
reformasi di bawah pimpinan Presiden BJ Habbibie (1998-1999), Presiden KH
Abdurrahman Wahid (199-2001), Presiden Megawati Sukarnoputri (2001-2004),
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Presiden Joko Widodo
(2014-2019). Selama era reformasi (1998-2016), telah terjadi reformasi dan
tranformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,
terutama dalam aspek regulasi, hukum, politik, ekonomi, sosial dan lingkungan.
Otonomi daerah, multi partai, Pilkada langsung dan kebebasan berserikat dan
berpendapat merupakan salah satu produk dari era reformasi politik.
Secara ekonomi, reformasi dan transformasi dalam strategi dan kebijakan
ekonomi yang lebih berorientasi pada pendekatan pasar besar (market-friendly)
dengan alasan bangsa Indonesia menghadapi globalisasi dan era pasar bebas telah
mengubah secara signifikan kehidupan sosial-ekonomi rakyat Indonesia. Nilai tukar
Rupiah (Rp) terhadap Dollar AS ($US) yang pada akhir tahun 1997 masih berada
pada kisaran Rp 2.000-Rp 2.500 per dolar AS, pada akhir Oktober 2016 telah
mencapai angka Rp 13.00an per dollar AS. Penurunan nilai tukar Rupiah terhadap
mata uang asing yang demikian fantastis tersebut telah menaikkan struktur harga-
harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat, korporasi dan negara. Penurunan

*
Disajikan dalam Studium General Pendidikan Pancasila dengan tema “ Ketimpangan Keadilan Sosial –
Ekonomi dan Urgensi Ekonomi Hijau: Perspektif Pancasila” untuk mahasiswa yang diselenggarakan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, pada 5 November 2016
nilai Rupiah tersebut, di satu sisi merupakan “berkah” bagi sekelompok masyarakat.
Namun pada sisi yang lain, depresiasi tersebut merupakan “mudarat dan beban”
bagi masyarakat umum dan negara.
Selain itu, dengan alasan bahwa Indonesia telah masuk dalam era
globalisasi dan era pasar bebas serta ingin memajukan Indonesia dan
menyejahterakan rakyat, sejak awal era Reformasi 1998 hingga saat ini sistem
ekonomi Indonesia secara tak disadari telah menganut Sistem Ekonomi Kapitalis
yang berbasis pendekatan dan kekuatan persaingan pelaku pasar (Swasono, 2015).
Sistem ekonomi atau sistem pembangunan yang berbasis pada nilai-nilai utama
(core values) Pancasila tampaknya mulai ditinggalkan karena dinilai kian tidak
relevan dan kontekstual dalam konstruksi dan tatakelola pembangunan nasional.
Dampak negatifnya adalah pemerintah memberikan keluasaan kepada para
pemodal asing maupun pemodal lokal untuk menguasai dan mengeksploitasi
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak di Indonesia. Bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya juga banyak diserahkan kepada pemodal asing (dan pemodal dari dalam
negeri) untuk dieksploitasi sebesar-besarnya dengan dalih demi kepentingan
pertumbuhan ekonomi, kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat.
Selain itu, perekonomian nasional tampaknya juga sengaja didesain dan
diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi pasar atau demokrasi
ekonomi berbasis pasar. Prinsip-prinsip tersebut adalah kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwaawasan lingkungan, kemandirian, dan prinsip
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Meskipun prinsip-prinsip
tersebut diamanatkan dalam Pasal 33, ayat (4) UUD 1945 (hasil amandemen),
namun sulit dipungkiri bahwa prinsip-prinsip tersebut sesungguhnya diadopsi dari
prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) yang lebih
berorientasi pada kepentingan pelaku pasar, pertumbuhan laba dan pertumbuhan
ekonomi, serta kepentingan kenaikan ekuitas pemilik modal (Al Gore, 2013).
Dalam konsep ekonomi modern berbasis Pembangunan Berkelanjutan,
perilaku para pelaku ekonomi diharapkan tidak hanya mementingkan kepentingan
pemodal atau pemegang saham, tapi juga peduli pada masyarakat dan lingkungan.
Sistem dan tatakelola ekonomi dan bisnis diharapkan mengintegerasikan
kepentingan-kepentingan ekonomi dengan kepentingan-kepentingan daril
masyarakat (people) dan lingkungan (planet) demi keberlanjutan ekonomi dan bisnis
(profit) itu sendiri (Lako, 2015a). Dengan kata lain, dalam sistem dan tatakelola
ekonomi modern berbasis pada konsep Pembangunan Berkelanjutan, prinsip-prinsip
perekonomian nasional dan demokrasi ekonomi yang diamanatkan dalam Pasal 33
Ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen sesungguhnya adalah demi untuk memenuhi
kepentingan kekeberlanjutan ekonomi dan bisnis dari para pelaku pasar, pelaku
ekonomi, korporasi dan negara, bukan untuk kepentingan peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak, serta kelestarian lingkungan alam.
Pertanyaannya, apa dampak posisit-negatif yang telah ditimbulkan dari
reformasi dan transformasi politik dan ekonomi tersebut? Jawabnya, sangat banyak
dan serius!
Di satu sisi, secara fisik kita memang menyaksikan kemajuan-kemajuan
pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara
statistik, indikator-indikator keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan sosial-
ekonomi masyarakat diklaim terus meningkat dari tahun ke tahun dalam dua dekade
terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang sempat terjun bebas mencapai angka minus
13,1% pada tahun 1999, dalam beberapa tahun terakhir bertumbuh di atas 5% per
tahun. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita meningkat drastis dari US$
807,15 (2000) menjadi US$ 3.371,1 (2015). Jumlah jumlah penduduk miskin
dilaporkan menurun dari 49,5 juta orang atau 25,72% dari total penduduk (1998)
menjadi 28,01 juta orang (10,86%) pada Maret 2016. Sementara Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) meningkat dari 64,3 (1999) menjadi 69,55 (2015).
Jumlah pengangguran juga diklaim terus menurun. Secara keseluruhan,
kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat diklaim terus meningkat.
Namun di sisi yang lain, kita juga menyaksikan fakta-fakta sebaliknya.
Kemiskinan, kemelaratan, penderitaan dan kesenjangan sosial-ekonomi, serta
kerusakan lingkungan dan krisis ekologi yang diakibatkan oleh perilaku keserakahan
dan ketamakan dari para individu pelaku ekonomi, korporasi dan negara sangat
serius dan mengkuatirkan. Dibalik klaim keberhasilan pemerintah tentang tren
kemajuan pembangunan nasional, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat seperti dipaparkan di atas, fakta-fakta lain
juga menunjukkan bahwa kesenjangan sosial-ekonomi atau kesenjangan
pendapatan antar kelompok masyakarat yang diukur dengan koefisien indeks Gini,
terus meningkat dratis dalam dua dekade terakhir. Indeks Gini meningkat dari 0,31
(1999) menjadi 0,41 (2016). Kesenjangan antarwilayah, yang diukur dengan indeks
Williamson, juga masih sangat tinggi di atas 0,70. Kesenjangan tersebut ditengarai
menjadi pemicu dan pemacu radikalisme sosial yang kian marak (Lako, 2016a)
Sementara itu, menurut Laporan Bank Dunia (Desember 2015), dalam 15
tahun terakhir, Indonesia memang telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang
kuat sehingga berdampak positif mengurangi kemiskinan. Namun, manfaat dari
pertumbuhan tersebut ternyata lebih dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya atau
kalangan elit. Sekitar 80% penduduk atau lebih dari 205 juta orang rawan tertinggal
atau miskin. Dikatakan bahwa distribusi pendapatan di Indonesia sangat tidak setara
atau tidak setara sama sekali. Tingkat ketimpangan di Indonesia relatif tinggi dan
naik lebih pesat dibanding banyak negara Asia Timur lain.
Sama seperti ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi yang terjadi di
Amerika Serikat, menurut Stiglitz (2015) ketimpangan tersebut sesungguhnya terjadi
karena dipicu oleh perilaku tak etis dari para elit pemimpin pemerintahan atau para
individu yang memimpin jabatan-jabatan penting negara. Mereka (disebut sebagai
the 1 percent’s Problem) adalah orang-orang elit kaya raya yang menggunakan
posisi dan otoritas yang dimiliki untuk membuat keputusan-keputusan dan kebijakan
negara terutama yang menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompoknya,
bukan untuk kepentingan rakyat luas. Itu sebabnya, ketimpanagan sosial-ekonomi
dan ekologi terus melebar.
Dari sisi ekologi, eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara besar-
besaran oleh para pelaku ekonomi atau korporasi untuk mendorong kemajuan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta pendapatan negara telah
menimbulkan kerusakan lingkungan dan kelangkaan sumberdaya serta krisis energi
yang serius. Eksploitasi sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM)
secara serakah dan tamak telah menimbulkan krisis ekologi dan krisis sosial yang
kian serius dan mengkuatirkan. Terjadinya berbagai bencana alam di berbagai
wilayah, seperti banjir, rob, tanah longsor, kabut asap, pencemaran dan lainnya,
yang diakibatkan oleh ulah masyarakat, korporasi dan negara menunjukkan bahwa
krisis ekologi sangat serius dan harus segera dicarikan solusinya (Lako, 2016b).

Eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara masif dan tidak etis oleh
korporasi juga menjadi pemicu dan pemacu meningkatnya kemiskinan, kemelaratan
dan penderitaan serta kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah-wilayah
yang kaya sumberdaya alam. Negara juga harus menanggung kerugian yang besar
akibat ulah korporasi ulat (tamak-serakah). Sebagai contoh, pembakaran lahan oleh
korporasi dan masyarakat untuk kepentingan tanaman industri dan perkebunan yang
terus terjadi di Sumatera dan Kalimantan telah menimbulkan kerugian material dan
nonmaterial yang harus ditanggung oleh masyarakat dan negara. Harian Kompas
(11/3/2016) melaporkan bahwa secara ekonomi, kerugiannya mencapai Rp 209
triliun. Secara sosial, Indeks Standar Polusi mencapai level maksimal 1.000 dan
kualitas udara memburuk sehingga menyebabkan kesehatan masyarakat terganggu
dan lebih dari 500.000 orang menderita infeksi saluran pernapasan. Sementara
secara ekologi, total lahan terbakar mencapai 2.089.912 hektar, kerugian
keragaman hayati mencapai sekitar Rp 3,8 triliun dan emisi gas rumah kaca
mencapai 15,95 ton karbondioksida per hari.

Lalu, bagaimana solusi untuk mengatasi atau meminimalisir dampak-dampak


negatif tersebut? Tulisan ini akan berusaha memaparkan solusinya dari perspektif
pendekatan Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Pancasila (Pancasila
Economy).

2. Solusi Mengatasi Ketidakadilan: Pendekatan Ekonomi Hijau

Pada masa pemerintahan Presiden SBY-Budiono (2009-2014) dan Presiden


Jokowi-JK (2014-saat ini), dampak-dampak atau sisi-sisi negatif dibalik keberhasilan
pembangunan nasional dalam dua dekade terakhir tampaknya mulai disadari dan
dicarikan solusinya.

Selama periode 2009-Oktober 2014, Presiden SBY getol mengkampanyekan


pentingnya menerapkan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan dan Ekonomi
Hijau yang mengintegrasikan kepentingan pembangunan ekonomi, sosial dan
lingkungan secara terpadu dan berkelanjutan dalam tatakelola pembangunan
nasional dan tatakelola korporasi yang baik (corporate governance). Gerakan
Ekonomi Hijau (Green Economy) selalu digelorakan Presiden SBY dalam berbagai
forum nasional dan internasional. Tujuannya adalah untuk mengajak dan mendorong
jajaran pemerintahan, pelaku bisnis dan korporasi serta masyarakat luas mencegah
perilaku tamak dan merusak lingkungan serta mendukung tujuan pembangunan
berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan. Menurut SBY, kerusakan lingkungan
dan kemiskinan terjadi akibat keserakahan, tingkat konsumsi yang berlebihan, dan
diabaikannya kelestarian lingkungan (Lako 2015a).

Namun dalam realitasnya, Pemerintahan SBY justru tidak konsisten dan tidak
jelas arahnya dalam menerjemahkan dan mengimplementasikan gerakan Ekonomi
Hijau dalam kebijakan dan pengambilan keputusan stratejik, taktikal dan operasional
pembangunan. Bahkan, antar kementerian negera dan antara pemerintah pusat dan
daerah terlihat tidak ada kesepahaman dan koordinasi tentang visi dan implementasi
ekonomi hijau dalam strategi dan agenda pembangunan berkelanjutan. Hal itu
tercermin dari sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi dari pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi hijau
dan pembangunan berkelanjutan. Itu sebabnya, selama periode kedua
pemerintahan Presiden SBY, krisis sosial-lingkungan, kesenjangan sosial-ekonomi
dan ketidakadilan sosial-ekonomi dan ekologi justru kian meningkat.

Pada masa pemerintahan Jokowi-JK saat ini, terlihat ada secercah harapan
untuk mengatasi permasalahan krisis sosial-lingkungan dan ketidakadilan sosial,
ekonomi dan ekologi yang kian melebar. Melalui Nawacita, Jokowi-JK berkomitmen
mengatasi krisis dan ketidakadilan tersebut. Dalam dua tahun terakhir, pemerintahan
Presiden Jokowi terus berusaha mengkaji ulang sejumlah regulasi dan kebijakan
pemerintah yang dinilai tidak ramah terhadap masyarakat dan lingkungan.
Pemerintahan Jokowi juga merekonstruksi tatakelola pembangunan nasional ke
arah yang lebih green.

Selain itu, saat ini Pemerintah Jokowi juga terlihat berkomitmen kuat untuk
melaksanakan amanat dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah
disepakati oleh para kepala negara dan pemerintahan dari seluruh dunia dalam KTT
Rio+20 (Juni 2012) di Brasil. Seperti diketahui, konsep SDGs berusaha
mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan menekankan
pada lima dimensi dasar pembangunan. Yaitu, kelestarian lingkungan (planet),
kesejahteraan sosial (people), kemakmuran bersama (prosperity), sinergitas antar
pemangku kepentingan (partnership) dan penciptaan lingkungan kehidupan yang
damai (peace) atau disebut 5P Pembangunan Berkelanjutan. Dalam Sustainable
Developments Goals (SDGs) 2015-2030 yang diterbitkan PBB (2015), kelima
dimensi dasar tersebut lalu diterjemahkan ke dalam 17 tujuan dan 169 target yang
mesti dicapai pemerintah dan para stakaholder terkait. Saat ini, baik pada level
pemerintah maupun pada level korporasi dan masyarakat sedang ada gerakan
bersama untuk mendorong tatakelola dan perilaku pembangunan nasional dan
perilaku dan tatakelola korporasi ke arah SDGs (Lako, 2016b).

Menurut hemat penulis, penerapan konsep Ekonomi Hijau (Green Economy)


dalam tatakelola pembangunan nasional dapat menjadi solusi yang tepat dan efektif
untuk mengatasi ketidakadilan sosial, ekonomi dan ekologi yang selama ini
dirasakan masyarakat. Mengapa?

Jawabnya, karena pada hakikatnya Ekonomi Hijau adalah konsep


pembangunan ekonomi dan bisnis yang berbasiskan pada nilai-nilai kasih pada
sesama dan lingkungan, dan pada suasana kesejukan dan kedamaian serta
kelestarian dalam relasi dengan sesama yaitu antara korporasi, masyarakat dan
lingkungan semesta alam. Ekonomi Hijau sesungguhnya juga menginternalisasikan
nilai-nilai ketulusan, kejujuran, keadilan, kebenaran, kebersamaan dan keberlanjutan
relasi yang harmonis antara masyarakat, korporasi dan lingkungan dalam jangka
panjang. Tujuannya adalah untuk menciptakan keterpaduan, sinergisitas,
keharmonisan dan keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan sebagai pilar
dasar kehidupan umat manusia. Peran dari pemerintah (negara) dalam tatakelola
pemerintahan dan pembangunan adalah mewujudkan prinsip-prinsip dasar dan
tujuan mulia tersebut.

Secara lebih operasional, United Nations Environment Programme (UNEP)


mendefinisikan Ekonomi Hijau sebagai konsep ekonomi yang dapat menghasilkan
keadilan sosial dan perbaikan kehidupan manusia yang lebih baik, yang secara
signifikan dapat mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan sumberdaya ekologis.
Caranya adalah pihak-pihak yang memiliki pertumbuhan pendapatan dan melakukan
investasi harus mengurangi emisi karbon dan polusi, melakukan efisiensi
penggunaan sumberdaya dan energi, serta mencegah kehilangan keanekaragaman
hayati dan jasa ekosistem. Tujuannya adalah untuk meminimalisir kerusakan dan
krisis lingkungan global yang kian serius (Lako, 2015a).

Dari dua definisi tersebut di atas, penerapan konsep Green Economy dalam
tatakelola pembangunan nasional diharapkan akan menghasilkan pertumbuhan
ekonomi hijau dan keberlanjutan perekonomian nasional. Juga, diharapkan akan
meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat dan menjaga kelestarian
lingkungan serta mencegah krisis lingkungan dan kelangkaan sumberdaya.
Pertumbuhan ekonomi hijau adalah pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dengan
cara-cara yang etis, yaitu tidak merusak lingkungan dan mengorbankan daya
dukung ekologi terhadap kehidupan masyarakat, serta tidak memeras dan
menyengsarakan masyarakat (Lako, 2016b).

Pertumbuhan ekonomi hijau mensyaratkan bahwa dalam tatakelola dan


perilaku pembangunan ekonomi dan bisnis oleh negara, korporasi dan masyarakat,
semua pihak hendaknya menginternalisasikan nilai-nilai kasih, tetulusan, kejujuran,
dan keberlanjutan kepada sesama dan lingkungan. Pelaku usaha dan korporasi juga
hendaknya mentransformasikan paradigma bisnis, tatakelola korporasi serta perilaku
bisnisnya ke arah green business dan green corporation. Demikian pula masyarakat
luas juga harus didorong untuk berperilaku green dalam aktivitas kehidupan. Dengan
dengan cara begitu maka akan tercipta sinergisitas, kemakmuran, kesejahteraan,
kedamaian dan keberlanjutan bersama dalam jangka panjang.

3. Mengatasi Ketidakadilan: Bangun Ekonomi Pancasila!


Menurut hemat saya, penerapan pendekatan SDGs maupun Ekonomi Hijau
dalam tatakelola pembangunan nasional tidak sepenuhnya akan berhasil secara
signifikan dalam mengatasi atau meminimalisir ketidakadilan sosial, ekonomi dan
ekologi yang kian serius.
Alasannya, konsep SDGs maupun Ekonomi Hijau sesungguhnya merupakan
“wajah baru” dari konsep Ekonomi Kapitalis yang lebih mengutamakan pada
kepentingan untung-rugi dalam berperikehidupan ekonomi, pertumbuhan ekonomi
dan laba, peningkatan kapital pemodal dan peningkatan aset korporasi. Karena
konsep Ekonomi Kapitalis mulai dikritik, terdesak dan terancam ditinggalkan oleh
sejumlah negara karena penerapannya telah menimbulkan malapetaka dan krisis
sosial, ekologi dan ekonomi global (Baumol, Lita dan Schramm, 2007), para
pendukung konsep ini lalu bertransformasi ke konsep SDGs dan Green Economy
yang terlihat lebih ramah dan peduli pada masyarakat dan lingkungan.
Pendekatan Corporate Social Responsibility (CSR) yang dalam satu dekade
terakhir ini gencar dilakukan oleh korporasi internasional dan korporasi nasional kita
sesungguhnya juga adalah wujud dari proses transformasi tersebut karena korporasi
dan pemilik modal mulai terdesak oleh krisis sosial-lingkungan dan tekanan para
stakeholder. Tujuan akhir dari proses transformasi tanggung jawab korporasi dari
tanggung jawab menghasilkan laba sebesar mungkin (profits maximize) untuk
kepentingan pemodal menuju tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) tersebut
sesungguhnya adalah demi keberlanjutan pertumbuhan bisnis dan laba serta
peningkatan nilai aset dan ekuitas pemilik korporasi (Lako, 2015b).
Karena itu, solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan pelik kemiskinan dan
kemelaratan, kesenjangan sosial-ekonomi, krisis lingkungan, dan ketidakadilan
sosial, ekonomi dan ekologi yang sedang dihadapi bangsa ini adalah kembali
kepada Pancasila yang menjadi ideologi negara dan falsafah kehidupan bangsa.
Artinya, konsep dan tatakelola pembangunan berkelanjutan nasional harus
didasarkan pada nilai-nilai keutamaan (core values) dari Pancasila. Yaitu,
Ketuhanan Yang Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /
perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Menurut Swasono (2015), pembangunan Keindonesiaan berbasis Pancasila
akan menciptakan demokrasi ekonomi berkedaulatan dan berkemandirian.
Alasannya, karena nilai-nilai luhur Pancasila merupakan common denominator
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang digali dari kearifan bumi Indonesia,
dan telah menjadi pandangan hidup bangsa, serta sebagai dasar negara. Nilai-nilai
keutamaan keindonesiaan yang berdasarkan Pancasila adalah “kebersamaan”
berasaskan “kekeluargaan” sebagai “kebutuhan bersatu”.
Lebih lanjut, Swasono (2015) menyatakan bahwa dalam upaya mengatasi
ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan sosial-ekonomi,
menciptakan keunggulan komparasi baru dan memajukan ekonomi rakyat maka
pengembangan dan penerapan Ekonomi Pancasila menjadi suatu keharusan.
Ekonomi Pancasila pada dasarnya adalah suatu solusi moral dan politik untuk
mendekonstruksi ekonomi penindasan kolonial/kapitalis atau neoliberal menuju
rekonstruksi sistem ekonomi nasional. Landasan hukum Ekonomi Pancasila adalah
Pasal 33 UUD 1945, yang dilatarbelakangi oleh jiwa Pembukaan UUD 1945 dan
didukung atau dilengkapi oleh Pasal-pasal 18, 23, 27 Ayat (2) dan 34. Keseluruhan
Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi nasional untuk mewujudkan sila kelima
Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara umum, saya sepakat dengan konstruksi Ekonomi Pancasila yang
dinyatakan oleh Swasono (2015) maupun oleh para pengggas sebelumnya seperti
Prof Emil Salim, Prof Mubyarto dan Prof Dawan Rahardjo. Namun secara khusus,
saya ingin mengkonstruksi ada lima landasan filosofis dan operasional yang
mendasari Ekonomi Pancasila.
Landasan yang pertama (utama) adalah Ketuhanan yang maha esa.
Landasan filosofis ini menekankan bahwa Indonesia mengakui Tuhan yang sama,
yaitu Tuhan Yang Maha Esa Sang Pencipta, Sang Pemilik dan Pengelola Alam
Semesta dan Bumi Pertiwi Indonesia. Tuhan yang esa itu Allah. Karena itu,
pembangunan nasional atau pembangunan ekonomi nasional harus mengakui
bahwa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya lingkungan yang
ada di bumi Indonesia adalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya,
pengelolaan dan pemakaian sumberdaya-sumberdaya tersebut harus didasarkan
pada nilai-nilai Ketuhanan (pencipta, pengasih, pemurah, penolong), bukan pada
nilai-nilai individu dan kolektivitisme kelompok atau korporasi. Bumi Indonesia ini
harus dirawat oleh negara dan semua pihak karena merupakan “rumah kita
bersama” yang dititipkan Tuhan.
Landasan filosofis kedua adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.
Landasan kedua ini menekan bawa manusia Indonesia adalah manusia yang adil
dan beradab. Karena itu, proses pembangunan nasional haruslah didesain dalam
upaya membangun kemanusiaan Indonesia yang seutuhnya dan menjadikan rakyat
Indonesia sebagai manusia-manusia yang adil dan beradab. Selain itu, proses
pembangunan ekonomi haruslah berbasiskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab, serta ditujukan untuk meningkatkan harkat,martabat dan kemanusiaan
Indonesia.
Landasan filosofis ketiga adalah persatuan Indonesia. Pilar dasar ketiga dari
Pancasila ini menekankan bahwa Indonesia hanya akan tetap bersatu, utuh, damai,
sejahtera dan lestari apabila kebersamaan dan persatuan Indonesia terus dipelihara,
dijaga dan ditingkatkan nilai-nilainya oleh seluruh komponen bangsa, tanpa
pengecualian. Pembangunan nasional haruslah dirancang dan dikelola dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan, kedamaian dan kemakmuran umum bangsa Indonesia
sehingga persatuan dan kesatuan Indonesia akan tetap terjaga dan terpelihara serta
lestari. Dalam konteks ekonomi, landasan filosofis ketiga ini menekankan bahwa
pembangunan ekonomi haruslah dirancang dan dilaksanakan dalam upaya
mengurangi kemiskinan dan kensejangan sosial-ekonomi, meningkatkan
kesejahteraan rakyat, serta memelihara kelestarian lingkungan untuk meningkatkan
kualitas persatuan dan kesatuan Indonesia.
Landasan filosofis keempat adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan rakyat. Landasan filosofis dari
sila keempat Pancasila ini menekankan bahwa negara, rakyat dan seluruh
sumberdaya yang dimiliki Indonesia harus dipimpin dan dikelola secara hikmat dan
bijaksana, serta harus didasarkan pada hasil permusyawarahan bersama atau
melalui perwakilan untuk kepentingan rakyat luas. Karena itu, pembangunan
nasional dan pembangunan ekonomi nasional harus dirancang dan dikelola secara
hihmat dan bijaksana, serta didasarkan pada hasil permusyawaratan bersama.
Landasan filosofis kelima adalah keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan hal yang
paling esensial dan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu,
landasan filosofis ini menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan nasional
haruslah dirancang dan dikelola dengan didasarkan pada nilai-nilai keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Proses pembangunan dan hasilnya haruslah
diperuntukkan bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat, serta dalam upaya mewujudkan keadilan sosial-eonomi bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Menurut hemat penulis, kelima landasan filosofis tersebut di atas harus
menjadi pijakan utama bagi pemerintah, pelaku usaha, korporasi dan masyarakat
luas dalam perumusan konsep dan tatakelola pembangunan nasional, serta dalam
pelaksanaan dan pengendalian pembangunan nasional baik untuk jangka panjang,
jangka menengah maupun jangka pendek. Dalam konteks pembangunan ekonomi
dan bisnis, kelima dasar filosofis tersebut harus dipaksakan melalui pendekatan-
pendekatan intervensi regulasi negara untuk dinternalisasikan para pelaku ekonomi
atau pelaku usaha dalam tatakelola dan praktik ekonomi/bisnis entitas korporasi.
Hanya dengan cara-cara (keras) seperti itu maka permasalahan ketidakadilan
sosial, ekonomi dan ekologi, kesenjangan sosial-ekonomi dan krisis lingkungan atau
krisis ekologi dapat teratasi atau diminimalisir secara efektif.
Referensi

Baumol, W.J., R.E. Litan dan C.J. Schramm. 2007. Kapitalisme Baik, Kapitalisme
Buruk dan Ekonomi Pertumbuhan dan Kemakmuran. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. (terjemahan)

Gore, Al. 2013. The Future: Six Drivers of Global Change. Random House. New
York

Lako, Andreas. 2015. Green Economy: Menghijaukan Ekonomi, Bisnis & Akuntansi.
Penerbit Erlangga. Jakarta (a)

Lako, Andreas. 2015. Berkah CSR Bukan Fiksi. La Tofi Publishing Enterprises.
Jakarta (b)

Lako, Andreas. 2016a. Pertumbuhan Ekonomi dan Radikalisme Sosial. Suara


Pembaruan. 10 Januari 2016

Lako, Andreas. 2016b. Mendesak, Reformasi Tatakelola Pembangunan. Suara


Pembaruan. Sabtu-Minggu 17-18 September 2016

Stiglitz, J.E. 2015. The Great Divide: Unequal Societies and What We Can Do About
Them. W.W. Norton & Company. New York

Swasono, Sri-Edi. 2015. Keindonesiaan: Demokrasi Ekonomi, Keberlanjutan dan


Kemandirian. Universitas Sarjanawiyata-Press. Yogyarkarta

Anda mungkin juga menyukai