Home
About
FAQ
Hubungi Kami
A. Latar Belakang
Hasil sementara Sensus Penduduk tahun 2000 memperkirakan jumlah penduduk 203.456.005,
dengan laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 adalah 1,35 (BPS, 2001). Dari total penduduk
tersebut, diperkirakan proporsi balita adalah 8.88%, usia reproduktif 15-49 tahun: 55,28%
(perempuan), dan 54,86% (laki-laki). (lihat table 1). Uraian berikut ini dikaitkan dengan analisis
situasi, issue serta kebijakan tentang kesehatan dan gizi. Informasi dari Sensus Penduduk ini
menjadi penting dalam upaya pemerintah, khususnya kesehatan dan gizi, dalam mentargetkan
kelompok rawan pada penduduk yang memerlukan intervensi.
Memasuki milenium baru, Indonesia dihadapi dengan perubahan ekonomi dan politik yang tidak
menentu. Walaupun tidak merata, secara umum Bank Dunia melaporkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang positif sebelum tahun 1997 (lihat figure 1: GNP per capita 1986-2000).
Pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada penurunan angka kemiskinan dari 40% tahun 1976
menjadi 11% tahun 1996 (Figure 2); penurunan kematian bayi; penurunan kematian anak 0-4
tahun; dan 25% penurunan kematian ibu. Secara statistik hal ini ditunjang pula dengan
pencapaian keamanan pangan, dan pencapaian pelayanan kesehatan terutama pada ibu dan anak.
Krisis ekonomi memperlambat proses penurunan yang telah terjadi selama tiga dekade terkakhir.
Krisis ekonomi menurunkan nilai rupiah yang berakibat pada merosotnya pendapatan perkapita
(lihat figure 1) dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 11% tahun 1996 atau 34.5 juta orang
menjadi 16.64% tahun 1999 atau 47,9 juta orang (lihat figure 2). Dampak krisis ekonomi
ternadap kesehatan masyarakat dapat dilihat secara tidak langsung. Disadari secara luas bahwa
dampak krisis ekonomi berdampak negatif pada status kesehatan masyarakat, akan tetapi bukti
nyata secara statistik masih perlu dikaji agar tidak terjadi kontradiksi. Kenyataannya kajian
perubahan morbiditas dan mortalitas pada penduduk masih dilakukan terus menerus. Diperlukan
informasi data kesehatan dengan kualitas yang baik dari sistem pelayanan kesehatan dan juga
survei lainnya.
Berikut ini adalah kajian kecenderungan beberapa indikator kesehatan dan gizi tahun 1990-2000,
serta issue dan kebijakan untuk program kesehatan dan gizi pada masa mendatang.
B. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh kesehatan dan gizi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MEMAHAMI KEMISKINAN
1. Berbagai Pengertian
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalani bentuk minimnya
kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masakini mereka tidak menikmati
fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia
pada jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang
sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara
Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi
industri yang muncul di Eropah. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga
kerja pabrik yang sebefumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga
kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang
rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa
depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai
negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan.
Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di
balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya
tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa
penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah
penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan.
Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis
ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan
15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan
karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas,
penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan buatan terjadi karena
lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu
menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek,
sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutarria akibat terbatasnya interaksi sosial
dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat
produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari
aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan,
dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fa,silitas dan kesempatan,
diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif
dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup
minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin
relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah
kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap
seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.
Garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan
masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan
tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang
dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan
pengeluaran.
Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk perkotaan
ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan pendudukjniskin perdesaan sebesar Rp.
72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungah uang tersebut dapat dibelanjakan untuk
memenuhi konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan
kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka
garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis
ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp.
27.413 bagi penduduk perdesaan.
Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai defmisi dan klasifikasi kemiskinan ini.
Dalam bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith melihat kemiskinan di Amerika
Serikat terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan
kasus. Pakar ekonomi lainnya melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif,
kemiskinan musiman (cyclical), dan kemiskinan individu.
Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami kekurangan
pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab keadaan itu. Kemiskinan
musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli masyarakat menurun atau rendah.
Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu dapat
terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok
lanjut usia.
2. Penanggulangan Kemiskinan
Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak. Teori ekonomi mengatakan
bahwa untnk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan peningkatan
keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan
teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun,
dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?
Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara. Sebagai
perbandingan, di Amerika Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk
meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi permukiman
perkotaan dan perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para pemuda,
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada
kaum miskin usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut terlibat
membantu kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.
Deputi Bidang Pendanaan Kemenneg PPN/ Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo mengemukakan
dana tersebut merupakan rancangan awal pada RKP 2007. Selanjutnya, anggaran itu dibahas
Panitia Kerja (Panja) Panitia Anggaran DPR sekaligus mengakomodasi usulan KL jika ada
rencana mengubah pagu indikatif tersebut.
Penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas pertama dari sembilan prioritas program Kerja
pemerintah pada,2007, Deputi Bidang Pendanaan Kemenneg PPN/ Bappenas Lukita Dinarsyah
Tuwo mengemukakan dana tersebut merupakan rancangan awal pada RKP 2007. Selanjutnya,
anggaran itu dibahas Panitia Kerja (Panja) Panitia Anggaran DPR sekaligus mengakomodasi
usulan KL jika ada rencana mengubah pagu indikatif tersebut.
Target program penanggulangan kemiskinan pada 2007 adalah mengurangi penduduk miskin
sampai 14,4% dari saat ini yang mencapai di atas 15%. Berdasarkan Data yang diperoleh dari
Bappenas menyebutkan dana akan disalurkan kepada masyarakat melalui beberapa KL.
Untuk peningkatan akses dan kualitas pendidikan dikelola Departemen Pendidikan Nasional dan
Departemen Agama senilai Rp 12,84 triliun. Pelayanan kesehatan keluarga miskin di Puskemas,
Rumah Sakit kelas III, daerah terpencil dan terisolasi, serta pelatihan teknis bidan dan tenaga
medis melalui Departemen Kesehatan senilai Rp5,751 triliun.
Rehabilitasi rumah nelayan, rakyat perbatasan, dan pulau kecil sebanyak 2.600 unit senilai Rp
108,4 miliar dikerjakan Kemenneg Perumahan Rakyat. Departemen Pekerjaan Umum mengelola
dana kemiskinan sebesar senilai Rp385 miliar.
Dana ini digunakan membangun rumah dan sarana prasarananya di pemukiman kumuh, desa
tradisional, nelayan, eks transmigrasi (150 kawasan), dan kawasan terpencil (25 kawasan),
perbaikan sarana dan prasarana air minum pada 150 desa miskin, desa rawan air, desa pesisir dan
terpencil.
3. SLT Bersyarat
Dana subsidi tunai langsung bersyarat direncanakan sebesar Rp4 triliun, disalurkan Dinas
Pendidikan Nasional sebanyak Rpl,8 triliun, dan KL yang dikoordinasikan Bappenas Rp2,2
triliun. Program perlindungan sosial dilaksanakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional senilai Rp285,9 triliun untuk program KB dan membuka akses informasi kesehatati
masyarakat.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengelola program penanggulangan kemiskinan senilai
Rp4 miliar untuk mengatasi masalah gender dan anak. Departemen Sosial melaksanakan
program pemberdayaan masyarakat miskin, dan memberikan bantuan jaminan sosial bagi
masyarakat korban atau masyarakat rentan terkena bencana senilaj Rp550 miliar. -.
Penanganan masalah gizi kurang dan rawan pangan dilaksanakan Departemen Kesehatan dengan
kebutuhan dana sebesar RpSOO miliar. Bentuk kegiatan member! gizi dan vitamin kepada
masyarakat.
Bagi Badan Pertanahan Nasional dianggarkan Rp218,l miliar untuk melayani masyarakat
mendapatkan kepastian hukum atas hak tanah. Kemenkop dan UKM sebesar Rpl55 miliar untuk
menyediakan sarana dan prasarana, pelatihan bagi pelaku usaha mikro.
Departemen Dalam Negeri meningkatkan kelembagaan dan keberadaan masyarakat pedesaan
dengan anggaran Rp860,3 miliar. Pada 2007 pemerintah juga berencana meningkatkan kapasitas
masyarakat miskin perkotaan melalui Departemen Pekerjaan. Umum dengan perkiraan anggaran
Rp221 miliar.
Dari diskusi terbatas pada Oktober 2005 di Bappenas, terungkap bahwa pada tahun 2003
prevalensi gizi kurang dan buruk adalah 27,5 persen, mengindikasikan belum tercapainya
sasaran (20 persen).
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) ini; jauh berbeda dengan data Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 2001-2004. Dengan menggunakan acuan BB/U (berat badan menurut
umur), SKRT 2001 menemukan prevalensi gizi kurang sebesar 22,5 persen dan gizi buruk 8,5
persen. Adapun data Susenas menunjukkan prevalensi gizi kurang 19,8 persen dan gizi buruk 6,3
persen. Karena itu, diperlukan harmonisasi data dengan memerhatikan keunggulan dan
kelemahan pelaksanaan masing-masing survei.
Hasil survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998, dan 2003 menunjukkan penurunan
prevalensi GAKY yang cukup berarti. Pada tahun 1980, prevalensi GAKY pada anak usia
sekolah adalah 30 persen, lalu turun menjadi 27,9 (1990), selanjutnya menjadi 9,8 persen
(1996/1998). Survei tahun 2003 menunjukkan, prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11,1
persen.
Usaha-usaha menurunkan prevalensi GAKY mungkin dapat dikatakan sudah on the right track.
Pencapaian target GAKY biasanya terkait cakupan konsumsi garam beryodium di rumah tangga.
Rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium secara cukup, hingga tahun 2003 adalah
73.2 persen. Jika dibandingkan dengan target tahun 2004 sebesar 90 persen, maka pencapaian
sasaran adalah 81,3 persen.
Prevalensi anemia gizi besi (AGB) pada ibu hamil turun dari 50,9 persen (1995) menjadi 40,1
persen (2001). Dengan sasaran yang ingin dicapai 40 persen, maka pencapaian target adalah
sebesar 99,75 persen. Intervensi yang dilakukan saat ini masih berkisar pada suplementasi atau
pemberian tablet besi. Strategi lain masih belum dioptimalkan seperti fortifikasi besi pada
makanan serta penyuluhan.
Banyak wanita hamil yang menderita anemia karena kebutuhan zat gizi umumnya meningkat,
tetapi konsumsi makanannya tidak memenuhi syarat gizi. Selain konsumsi makanan yang tidak
cukup, kondisi anemia juga diperburuk oleh kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan
gizi yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya. Itulah
sebabnya, pengaturan jarak kehamilan menjadi penting untuk diperhatikan sehingga ibu siap
hamil kembali tanpa harus menguras cadangan gizi.
Meski dinyatakan bebas xerophthalmia (kurang vitamin A) pada tahun 1992, di Indonesia masih
dijumpai 50 persen dari anak balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 meg/100 ml.
Tingginya proporsi anak balita dengan serum retinol kurang dari 20 meg/100 ml disertai pola
makanan anak balita yang belum seimbang menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko dan
menjadi amat tergantung kapsul vitamin A dosis tinggi, terutama pada daerah-daerah dengan
tingkat kemiskinan tinggi.
Masalah kekurangan vitamin A adalah bentuk kelaparan tak kentara yang sering lepas dari
perhatian para pengambil kebijakan. WHO memperkirakan, pada tahun 1995 lebih kurang 250
juta anak balita di seluruh dunia menderita kurang vitamin A, 3 juta di antaranya dengan gejala
kerusakan mata yang menuju kebutaan. Kira-kira 10 person kasus orang buta di negara
berkembang disebabkan kekurangan vitamin A.
Mereka yang buta karena kurang vitamin A sekitar 70 persennya meninggal dalam waktu satu
tahun. Hasil penelitian Tarwotjo, Muhilal, dan Sommer di Sumatera tahun 1980-an yang
dipublikasikan di berbagai jurnal internasional mengungkap kaitan kekurangan vitamin A
dengan mortalitas dan morbiditas.
Angka kematian bayi terkait erat status gizi anak. Anak-anak penderita gizi kurang umumnya
memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan hal ini menjadikan dirinya rawan terhadap infeksi
yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit infeksi yang senantiasa mengintai bayi adalah diare
dan infeksi saluran pernapasan.
Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan
dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain,
kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah,
masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu
terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.
Berdasar Susenas 2002, konsumsi kalori rata-rata penduduk 1.985 kkal dan 54,4 gram protein.
Angka ini mendekati sasaran yang ditetapkan pemerintah. Namun, ketidakseimbangan di
wilayah masih terjadi karena banyak penduduk mengonsumsi kurang dari 70 persen dari
kecukupan gizi yang dianjurkan. Ini mengindikasikan, isu ketahanan pangan masih perlu
diwaspadai.
Pada tahun 1997, WHO Expert Consultation on Obesity memperingatkan tentang meningkatnya
masalah kegemukan dan obesitas di berbagai belahan dunia. Jika tidak ada tindakan untuk
mengatasi masalah pandemik ini, jutaan manusia di negara maju maupun berkembang akan
menghadapi risiko noncommunicable diseases (NCDs) seperti penyakit jantung koroner,
hipertensi, dan stroke.
Disadari, banyak negara tidak memiliki data akurat mengenai masalah kegemukan dan obesitas
di kalangan penduduknya. Hal ini disebabkan kurangnya prioritas untuk memahami masalah
kesehatan yang amat serius ini. Apalagi negara-negara berkembang lebih memfokuskan diri pada
dimensi masalah gizi kurang.
Berbagai indikator gizi itu menunjukkan, masih ada PR bagi pemerintah untuk memperbaiki
kualitas SDM kita. Persoalan kualitas SDM masih ditambah masalah-masalah moral, kejujuran,
kedisiplinan yang menjadikan bangsa Indonesia sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Untuk kelompok bayi dan anak yang dipantau perkembangannya, ada peningkatan yang cukup
baik, akan tetapi angkanya masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, seperti
Malaysia, Filipina dan Thailand. Walaupun terjadi penurunan angka kematian bayi dan balita,
masih diperkirakan dari 4 juta anak yang lahir di Indonesia, 300.000 diantaranya meninggal
sebelum mencapai usia 5 tahun (Sumantri, 2000). Lihat figure 3. Angka kematian bayi dan
anak ini bervariasi cukup lebar antar provinsi. Dijumpai 23 kematian bayi per 1000 lahir hidup di
Jogjakarta dan 111 kematian bayi per 1000 lahir hidup di NTB, hal yang sama terjadi juga untuk
kematian balita (Sumantri, 2000).
Masalah gizi kurang, terutama pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas. Pada
tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37.5% menurun menjadi 24,7% tahun
2000. Walaupun terjadi penurunan prevalensi gizi kurang, yang menjadi pusat perhatian adalah
penderita gizi buruk pada anak balita, yang terlihat tidak ada penurunan semenjak tahun 1989.
Pada tahun 1989, prevalensi gizi buruk anak balita adalah 6.3%. Prevalensi ini meningkat
menjadi 11,56% pada tahun 1995 dan menurun menjadi 7,53% pada tahun 2000 (Direktorat Gizi,
2001). Berdasarkan hasil sementara SP 2000, maka diperkirakan jumlah penderita gizi buruk
pada balita adalah 1.520.000 anak, atau 4.940.000 anak menderita gizi kurang.
Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan dengan masih tingginya
bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Prevalensi BBLR ini masih berkisar antara 7
sampai 14% pada periode 1990-2000. (Lihat figure 5). Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada
balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah. Berdasarkan hasil
pemantauan tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak
pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999. Anak
yang terpantau dari TBABS adalah anak usia 5-9 tahun. Jika jumlah anak 5-9 tahun menurut SP
2000 diperkirakan 21.777.000, maka 7.800.000 anak usia baru masuk sekolah mengalami
hambatan dalam pertumbuhan. Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia
subur, yang akan melahirkan anak dengan risiko BBLR disertai dengan masalah anemia dan gizi
mikro lainnya. Dari kajian Susenas, proporsi wanita usia 15-49 tahun dengan Lingkar Lengan
Atas (LILA <23.5 cm) adalah 24,9% tahun 1999 dan 21,5% pada tahun 2000 (Lihat Figure 6 dan
7). Proporsi ini sama dengan 13.316.561 wanita usia subur diperkirakan mempunyai risiko
kurang energi kronis. Terlihat juga bahwa wanita usia subur, khususnya pada kelompok yang
paling produktif: usia 15-19, 20-24 dan 25-29 tahun, mempunyai proprosi LILA <23.5% yang
tertinggi.
Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang
yodium dan zat besi. Pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GARY) pada
anak usia sekolah adalah 30%, prevalensi ini menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun
terjadi penurunan yang cukup berarti, masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena
prevalensi di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi antar kecamatan, masih dijumpai kecamatan
dengan prevalensi GAKY di atas 30% (daerah endemik berat). Berdasarkan prevalensi tersebut,
diperkirakan 10 juta penduduk menderita GAKY, dan kemungkinan 9000 bayi lahir dengan
kretin. Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Kajian Survei Kesehatan
Rumah Tangga (1995) menunjukkan bahwa prevalensi anemi pada ibu hamil adalah 50,9%, pada
wanita usia subur 39,5%, pada remaja putri 57,1%, dan pada balita 40,5%.
Faktor penyebab dari tingginya kematian ibu, bayi dan anak ini tidak lain disebabkan karena
belum memadainya pelayanan kesehatan masyarakat dan keadaan gizi, diluar faktor pencetus
lainnya yang memperkuat masalah ini seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan. Akibat yang
terlihat dari kemiskinan adalah masih dijumpai hampir 50% rumah tangga mengkonsumsi
makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan (2200
Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Kita ketahui Human Development Index pada
tahun 2000 yang dilaporkan oleh UNDP adalah 109 untuk Indonesia, tertinggal jauh dari
Malaysia, Filipina dan Thailand. Masih tingginya masalah gizi, akan berpengaruh nyata terhadap
tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan berakibat pada
rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran terhadap kesehatan. Krisis ekonomi
yang berkepanjangan akan berdampak lebih nyata pada masalah kesehatan dan gizi penduduk.
1. Mentargetkan dan memberikan pelayanan kesehatan khusus pada keluarga miskin yang
membutuhkan. Pemilihan keluarga miskin ini dilakukan menurut indikator yang telah
disepakati bersama.
2. Memberikan pelayanan khusus seperti pemberian makanan tambahan pada balita dan ibu
hamil kurang gizi.
3. Memberikan pelayanan kebidanan pada ibu hamil dengan memberdayakan bidan di desa
4. Melakukan revitalisasi Posyandu agar pemantauan pertumbuhan pada bayi dan
balita tetap dilaksanakan.
5. Melakukan advokasi pada pemerintah daerah setempat untuk selalu mentargetkan dengan
alokasi yang memadai untuk lokasi yang berisiko tinggi masalah gizi dan kesehatan.
6. Melakukan promosi untuk peningkatan pendidikan dan peningkatan pelayanan kesehatan
dasar.
7. Mengembangkan program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.
8. Mengembangkan dan memperkuat sistem monitoring dan evaluasi (surveilans) untuk
kepentingan daerah, terutama untuk memperbaiki kebijakan daerah terhadap pelayanan
kesehatan dan gizi.
Mempelajari permasalahan yang ada dan upaya yang telah dilakukan, Indonesia mencanangkan
Indonesia Sehat 2010, dengan menetapkan issue strategis yang menjadi titik tolak kebijakan
intervensi atau program yang diperlukan pada saat ini dan masa yang akan datang. Issue
strategisnya adalah sebagai berikut1:
1. Kerjasama lintas sektor
Perubahan perilaku masyarakat untuk hidup sehat dan peningkatan mutu lingkungan sangat
berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Selain itu, masalah kesehatan
dan gizi merupakan masalah nasional yang tidak dapat terlepas dari berbagai kebijakan dari
sektor lain. Peningkatan upaya dana manajemen pelayanan kesehatan tidak dapat terlepas dari
peran sektor yang membidangi pembiayaan, pemerintahan dan pembangunan daerah,
ketenagaan, pendidikan, perdagangan dan social budaya. Dengan demikian kerja sama lintas
sektor yang masih belum berhasil pada masa lalu perlu lebih ditingkatkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka strategi pembangunan kesehatan untuk mewujudkan
Indonesia Sehat 2010 adalah:
Strategi program gizi mengikuti strategi pembangunan kesehatan dan juga memfokuskan pada:
Sejalan dengan kebijakan pembangunan kesehatan, telah dibuat pula rencana program aksi
pangan dan gizi yang juga merupakan penjabaran Propenas, yaitu:
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia Sehat 2010 merupakan goal yang akan dicapai. Hal ini tidak mungkin dicapai jika
peningkatan kualitas dan akses masyarakat terhadap kesehatan dan gizi tidak menjadi perhatian
utama. Alokasi kesehatan yang masih sekitar 3% tentunya tidak berarti untuk mencapai tujuan
ini. Goal ini juga mengarahkan kita semua untuk mendukung upaya berkaitan dengan
peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kualitas hidup. Diperlukan penjabaran
Propenas dan Propeda kedalam bentuk program aksi yang lebih konkrit. Fokus perhatian
diutamakan pada keluarga miskin di wilayah kumuh perkotaan dan pedesaan. Selain itu
peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat tidak akan terlepas juga dari kontribusi
komprehensif dan pelayanan profesional yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara
keseluruhan.
Rekomendasi yang diperlukan tentunya berkaitan dengan:
1. paradigma sehat yang berlandaskan pada visi dan misi pembangunan kesehatan nasional;
2. revitalisasi pada infrastruktur yang berkaitan dengan upaya desentralisasi;
3. alokasi kesehatan dan gizi yang optimal;
4. memperkuat aspek teknologi bidang kesehatan dan gizi;
5. memperkuat aspek pelayanan kesehatan dan gizi secara profesional;
6. mengembangkan JPKM;
7. memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi program.
Pada akhirnya kajian terus menerus berkaitan dengan kependudukan sangat diperlukan, terutama
pada kelompok sasaran yang menjadi prioritas dalam pembangunan kesehatan dan gizi.
Peningkatan derajat kesehatan dan gizi penduduk merupakan investasi yang besar bagi negara.
search terms:
pengaruh kemiskinan dalam pendidikan moral bangsa di maluku (12),pengaruh kesehatan
dangizi terhadap tingkat kemiskinan (6),yang berhubungan dengan pertumbuhan kemiskinan
(3),pengaruh kemiskinan terhadap gizi pada anak (2),pengaruh gizi terhadap kemiskinan
(2),pengaruh sumber daya manusia kemiskinan dan kesehatan (2),pengaruh kesehatan
masyarakat (2),tingkat kesehatan terhadap pangan dan gizi (2),latar belakang terjadinya
kemiskinan dan rawan gizi (1),pemukiman kumuh bagi kesehatan (1),MENURUT SKRT
TENTANG GIZI BURUK PADA BAYI DI BERBAGAI BELAHAN PROVINSI DI
INDONESIA SEPANJANG TAHUN 2011 (1),pengaruh iptek terhadap daya beli makanan
masyarakat kota (1),masalah-masalah sosial yang dihadapi negara-negara dunia III kurangnya
perhatian di sektor kesehatan (1),masalah pelayanan kesehatan masyarakat pesisir (artikel)
(1),pengaruh kependudukan terhadap gizi kesehatan (1),pengaruh kependudukan terhadap
kesehatan dan gizi (1),pengaruh kesehatan dan gizi terhadap tingkat kemiskinan di indonesia?
(1),tingkat kesehatan dan gizi (1),proses pelayanan manajemen posyandu di wilayah terpencil
terhadap pemberian makanan tambahan (1),proposal penelitian kebijakan pemda terhadap
pelayanan kesehatan bagi korban bencana alam (1),pnegaruh peningkatan pendidikan dan
kesehatan terhadap penurunan kemiskinan (1),dampak buruk kemiskinan kepada pelayanan
kesehatan (1),pengaruh status gizi dengan aspek politik (1),Pengaruh promosi kesehatan terhadap
tingkat pengetahuan garam beryodium pada ibu rumah tangga (1),pengaruh lingkungan yang
kurang sehat pada ibu hamil (1),pengaruh kesehatan terhadap kemiskinan (1),peran ibu dalam
pengasuhan balita terhadap status gizi dipandang dari islam (1),masalah keshatan yang dihadapi
oleh wanita rawan sosial ekonomi (1),masalah gizi terhadap peningkatan mutu pendidikan
(1),jumlah anak sekolah yang mengalami defisiensi vitamin A (1),hubungan pelayanan gizi
dengan tingkat pendapatan pada masyarakat (1),hubungan kemiskinan gizi sumber daya manusia
pertumbuhan ekonomi (1),data upah minimum nasional tahun 1980-1990 (1),dampak
pemukiman kumuh bagi kesehatan masyarakat (1),dampak gizi pada kemiskinan (1),cara
mengatasi perubahan sosial budaya yang terjadi di kalangan masyarakat bagi tenaga medis
(1),bentuk program pangan yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan masyarakat (1),bab ii
pembahasan gizi buruk dan kemiskinan (1),artikel tentang kasus pelayanan kesehatan bagi warga
miskin di rumah sakit yang berkaitan dengan mutu (1),aplikasi teori ekonomi di sektor kesehatan
dan dampaknya terhadap sistem manajemen pelayanan kesehatan (1),jumlah kemiskinan
terhadap kesehatan (1),jurnal dasar - dasar demografi tentang angkakemiskinan pada petani
(1),masalah gizi pada tenaga kerja pabrik (1),masalah ekonomi dipandang dari segi desentralisasi
kebijakan kesehatan dalam mikro ekonomi (1),makalah penggunaan obat terhadap peningkatan
derajat kesehatan di indonesia (1),makalah kasus kerawanan pangan dan gizi yg menyebabkan
kemiskinan (1),makalah gizi umum kaitannya dengan mobilisasi sosial (1),kurangnya perhatian
pemerintah terhadap masalah kesehatan bagi masyarakat (1),kemiskinan indikator gizi buruk
(1),kemiskinan dan kualitas kesehatan (1),keadaan/ kondisi/fakta pada suatu daerah kemiskinan
(1),Kasus gender dampak gizi pada balita (1),jurnal Penanggulangan bencana pada aspek gizi
kesehatan (1),apakah pengetahuan rendah mempunyai pengaruh gizi buruk pada ibu hamil (1)
17 December 2009 by Super Keren 0 Responses
Share on Facebook
Stumble This Article
Digg this Article
Bookmark on Delicious