Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Kemiskinan di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru, bahkan sudah dikenal
dan dipelajari oleh pemerintah kolonial Belanda sejak awal abad. Kemiskinan harus
mendapat perhatian utama, karena kemanapun kita pergi kita bisa melihatnya
kemiskinan. Di perkotaan banyak mobil mahal lalu lalang namun masih bisa ditemui
pejalan kaki dan pengemis. Di daerah pedesaan terdapat Masyarakat yang masih
kekurangan makanan. Ini semua merupakan cerminan kemiskinan yang harus diakui
sebagai kenyataan yang ada di Indonesia. Definisi kemiskinan dewasa ini telah
mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab,
indikator, dan permasalahan lain yang semakin kompleks di sekitarnya. Kemiskinan
tidak hanya dilihat dari segi ekonomi namun semakin meluas ke aspek sosial,
kesehatan, pendidikan dan bahkan politik.
Kemiskinan berasal dari kata miskin, diambil awalan ke dan akhiran an
menjadi kemiskinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi baru (2012: 581),
miskin artinya tidak mempunyai harta, kekurangan segala-galanya.. Dalam bahasa
Inggris, Poor berarti miskin atau dapat diartikan memiliki sedikit uang; tidak ada
cukup uang untuk kebutuhan pokok masyarakat yang dibutuhkan untuk hidup layak,
yang mana berarti tidak ada cukup uang untuk kebutuhan pokok masyarakat untuk
hidup layak. Pernyataan di atas mengandung dua bentuk kausal dalam penafsiran
kata miskin, yaitu: (1) miskin mempunyai kuantitas yang sangat kecil dari sesuatu;
dan (2) buruk karena tidak baik kualitas atau kondisinya.

II. Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan kemiskinan?
b. Apa bentuk dan jenis kemiskinan?
c. Apa penyebab dari kemiskinan?
d. Apa yang dimaksud dengan distribusi pendapatan?
e. Apa teori dan bagaimana pengukuran distribusi pendapatan?
f. Bagaimana strategi dan kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia?
III. Tujuan masalah
a. Untuk mengetahui apa itu kemiskinan.
b. Untuk mengetahui apa saja bentuk dan jenis kemiskinan.
c. Untuk mengetahui apa penyebab dari kemiskinan.
d. Untuk mengetahui apa itu distribusi pendapatan.
e. Untuk mengetahui teori dan pengukuran distribusi pendapatan.
f. Untuk mengetahui apa saja strategi dan kebijakan Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kemiskinan
Menurut Jhingan (2012:16), terdapat tiga ciri utama negara berkembang,
keduanya merupakan penyebab dan akibat kemiskinan yang saling berkaitan.
Pertama, infrastruktur pendidikan yang tidak memadai, menyebabkan tingginya
tingkat buta huruf pada penduduk dan kurangnya keterampilan dan keahlian.
Karakteristik kedua, buruknya fasilitas kesehatan dan pola konsumsi, sehingga hanya
menyisakan sebagian kecil penduduk mampu berpartisipasi pada produksi, dan ciri
ketiga adalah penduduk terkonsentrasi pada sektor pertanian dan pertambangan
dengan metode manufaktur ketinggalan jaman dan ketinggalan jaman.
Menurut Niemietz (2011) dalam Maipita (2014), kemiskinan adalah
ketidakmampuan membeli kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, dan
obat-obatan. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (2016) mendefinisikan kemiskinan
sebagai ketidak mampuan dari sudut pandang ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
pokok makanan dan non-makanan, diukur dari aspek pengeluaran.
Kemudian menurut Kuncoro (2000) dalam Tyas (2016), kemiskinan adalah
keadaan tidak mampu mencapai taraf hidup minimum. Dengan demikian kita dapat
menyimpulkan bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang atau
suatu daerah tidak dapat meningkatkan taraf hidup yang layak atau dapat dikatakan
tidak dapat meningkatkan taraf hidup yang lebih baik.

Indikator kemiskinan yang diberikan oleh Bappenas (2004) dalam (Amir Machmud,
2016: 286) sebagai berikut :
1. Kurangnya pangan, sandang, dan perumahan dibawah standar.
2. Kepemilikan terbatas atas tanah dan alat-alat produksi.
3. Kurangnya kemampuan membaca dan menulis.
4. Kurangnya keamanan dan kesejahteraan.
5. Kerentanan dan kesulitan pada sektor ekonomi dan sosial.
6. Ketidakberdayaan atau lemahnya kemampuan bernegosiasi
7. Terbatasnya akses terhadap ilmu pengetahuan.
B. Bentuk dan Jenis Kemiskinan
Berdasarkan kondisi kemiskinan yang dipandang sebagai bentuk
permasalahan multidimensional, kemiskinan memiliki 4 bentuk. Adapun keempat
bentuk kemiskinan tersebut adalah (Purba, 2012: 77):

1. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut adalah suatu konsep yang pengukurannya tidak
didasarkan pada garis kemiskinan tetapi pada ketidakmampuan pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan minimum agar bisa bertahan hidup.
Kebutuhan minimum dimaksud antara lain sandang, pangan, papan, pendidikan
dan kesehatan. Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka atau hitungan,
untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di bawah
garis kemiskinan absolut. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang tetap
konstan secara riil, sehingga kita dapat melacak kemajuan dalam memerangi
kemiskinan absolut dari waktu ke waktu.
Garis Kemiskinan (GK) merupakan persentase penduduk miskin yang
berada di bawah garis kemiskinan, yang secara sederhana mengukur proporsi
jiwa yang tergolong miskin. Untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
appsroach), Konsep ini tidak hanya diterapkan oleh BPS saja, tetapi juga di
negara lainnya seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra
Leone dan Gambia. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dianggap sebagai
ketidakmampuan, dari sudut pandang ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
pokok makanan dan non-makanan, yang diukur dengan pengeluaran yang
dikonsep sebagai garis kemiskinan. GK adalah representasi dari jumlah rupiah
minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum
makanan yang setara dengan 1.200 kilokaloriper kapita per hari, dan kebutuhan
pokok non-makanan. GK yang digunakan oleh BPS terdiri dari dua Nonmakanan
(GKNM), sehingga GK merupakan penjumlahan dari GKMdan GKNM (Amir
Machmud, 2016:288)
2. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif adalah sebuah konsep yang digunakan untuk
menyebut garis kemiskinan yang pada hakikatnya merupakan ukuran tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan. Keadaan ini disebabkan karena dampak
kebijakan pembangunan belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga
menimbulkan ketimpangan pendapatan.

3. Kemiskinan Kultural
Kemiskinan Kultural adalah suatu konsep yang mengacu pada
permasalahan yang berkaitan dengan sikap seseorang atau masyarakat, yang
disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha meningkatkan taraf
hidup, malas, boros, dan tidak kreatif meski dengan bantuan dari luar.

4. Kemiskinan struktural
Kemiskinan struktural merupakan konsep kemiskinan yang disebabkan
oleh buruknya akses terhadap sumber daya. Kemiskinan ini terjadi dalam sistem
sosial budaya, dan sosial politik yang tidak mendukung jalan keluar dari
kemiskinan, namun seringkali menyebabkan peningkatan kemiskinan. Menurut
Sinaga dan White (1987) dalam Purba (2012), kemiskinan struktural terjadi
karena adanya institusi yang menciptakan kelompok masyarakat yang tidak
mempunyai kendali atas alat ekonomi (produksi) dan fasilitas secara merata.
Dalam kemiskinan struktural, terdapat sebagian anggota masyarakat akan tetap
miskin, walaupun total output yang dihasilkan masyarakat rata-rata mampu
membebaskan semua anggota masyarakat keluar dari kemiskinan.

Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu Kemiskinan alamiah
dan Kemiskinan buatan (artificial).
1. Kemiskinan Alamiah
Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan
prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Menurut Sinaga dan White
(1987) dalam Purba (2012), kemiskinan alamiah terjadi akibat langkahnya
sumber daya dan rendahnya produktifitas.
2. Kemiskinan Buatan (artificial)
Kemiskinan buatan banyak disebabkan oleh sistem yang dimodernisasi
atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak mampu menguasai sumber
daya, sarana, dan fasilitas yang ada secara merata.

C. Penyebab Kemiskinan
Beberapa sumber dan proses yang menyebabkan kemiskinan adalah sebagai berikut
(Purba, 2012: 56):
1. Policy induces processes yaitu proses kemiskinan yang dilestarikan,
direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induces of policy) di
antaranya adalah kebijakan yang katanya “anti kemiskinan”, namun justru
nyatanya masih tetap melestarikannya.
2. Socio-economic dualism yaitu gambaran kemiskinan yang diwarisi oleh
penjajah. Misalnya, petani di negara-negara bekas jajahan menjadi
terpinggirkan karena lahan paling subur dikuasai petani besar dan
berorientasi ekspor.
3. Population growth yang menganggap bahwa kemiskinan disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk yang cepat. Menurut teori Malthus, pertumbuhan
penduduk seperti deret geometri sedangkan pertumbuhan pangan seperti
deret numerologi sehingga suatu saat masyarakat akan semakin miskin.
4. Recources management and the environment dimana kemiskinan terjadi
karena faktor salah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, seperti
manajemen pertanian yang asal terbang akan menurunkan produktivitas.
Akibatnya, komunitas petani bisa menjadi miskin.

5. Natural cycle and processes yaitu kemiskinan terjadi karena siklus alam.
Hidup di lahan kritis sangat berbahaya dan kurang beruntung karena pada
musim hujan akan terjadi banjir dan pada musim kemarau akan kekurangan
air. Akibatnya produktivitas tidak maksimal dan tidak dapat didayagunakan
terus-menerus.
6. The marginalization of woman yaitu peminggiran kaum perempuan karena
masih dianggap kelas dua, sehingga akses dan evaluasi hasil kerja yang
diberikan lebih rendah dibandingkan laki-laki.
7. Cultural and ethnic factors dimana faktor budaya dan etnis turut berperan
dalam mengekang kemiskinan. Gaya hidup konsumtif petani dan nelayan
pada musim panen besar, serta kebiasaan konsumsi pada upacara adat atau
keagamaan adalah contohnya.
8. Explotative intermediation yaitu hadirnya pihak yang membantu menjadi
penodong, misalnya rentenir (lintah darat), sehingga orang yang dibantu
masih tereksploitasi dan terjebak dalam kemiskinan.
9. Internal politicalfragmentation and civil strate yaitu kebijakan yang
ditentukan di wilayah yang sangat terfragmentasi secara politik yang pada
gilirannya dapat menjadi penyebab kemiskinan.
10. International processes terkait dengan berfungsinya sistem internasional
(kolonialisme dan kapitalisme) menyebabkan banyak negara menjadi miskin.

D. Pengertian Distribusi Pendapatan


Disparitas (ketimpangan), distribusi pendapatan atau ketimpangan dan
kemiskinan merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh negara
berkembang, termasuk Indonesia. Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau
timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara yang tidak merata di antara
penduduknya. Distribusi pendapatan yang tidak merata akan menimbulkan
ketimpangan pendapatan yang merupakan awal mula munculnya masalah
kemiskinan. Masalah ketimpangan tidak hanya muncul di negara-negara
berkembang, namun juga di negara-negara maju. Perbedaan tersebut terletak pada
angka atau skala dari tingkat ketimpangan dan kemiskinan yang terjadi, serta sulitnya
penanggulangannya, yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu
negara. Semakin tinggi angka kemiskinan, semakin sulit penanggulangannya. Negara-
negara maju memiliki tingkat ketimpangan pendapatan yang relatif lebih rendah
dibandingkan negara-negara berkembang, dan mengatasinya tidaklah terlalu sulit
karena GNP dan PDB negara-negara maju relatif tinggi (Amir Machmud, 2016:288-
289).
Perbedaan pendapatan timbul dari perbedaan kepemilikan sumber daya dan
faktor produksi, khususnya kepemilikan modal barang (capital stock). Kelompok
masyarakat yang faktor produksinya lebih banyak juga akan mempunyai pendapatan
lebih besar. Menurut pandangan Neo klasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi
melalui proses penyesuaian secara otomatis yaitu “penetapan” hasil pembangunan
ke terbawah (Trickle Down), kemudian didistribusikan untuk menciptakan
keseimbangan baru. Jika proses otomatis tidak dapat mengurangi tingkat perbedaan
pendapatan yang tidak merata maka hal ini dapat dilakukan melalui sistem pajak dan
subsidi. Penetapan pajak penghasilan akan mengurangi pendapatan masyarakat
berpendapatan tinggi, begitu pula sebaliknya, subsidi akan membantu masyarakat
berpendapatan rendah selama tidak ada masalah dengan target yang dibelanjakan
dalam alokasi nya. Pajak yang dipungut pemerintah melalui sistem tarif progresif
(semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi persentasenya) akan digunakan untuk
mendanai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah muncul
redistribusi pendapatan yang akan mengurangi ketimpangan (Amir
Machmud 2016: 289).

E. Teori Dan Pengukuran Distribusi Pendapatan


Teori dan Pengukuran Distribusi Pendapatan Para ekonom sering
membedakan antara dua ukuran dasar distribusi pendapatan, keduanya digunakan
untuk tujuan analitis dan kuantitatif. Kedua ukuran ini adalah ukuran distribusi
pendapatan, khususnya besar atau kecilnya porsi pendapatan yang diterima setiap
orang (umumnya menggunakan metode kurva Lorenz, koefisien Gini dan kriteria
Bank Dunia). (Sirojuzilam, 2010:100-101) Terdapat beberapa indikator untuk
mengukur derajat ketimpangan distribusi pendapatan. Di bawah terdapar beberapa
contoh.

1. Koefisien Gini (Gini Ratio)


Pada kurva Lorenz, diagonal OE merupakan garis persamaan sempurna
karena setiap titik pada garis mewakili persentase penduduk yang sama dengan
persentase pendapatan Masuk dan mendapat. Koefisien Gini adalah,
perbandingan luas bidang A dan ruas segitiga OPE. Semakin jauh kurva Lorenz
dari garis pemerataan sempurna maka semakin tinggi tingkat ketimpangan dan
sebaliknya.
Dalam kasus ekstrim, jika pendapatan didistribusikan secara merata,
semua titik akan terletak pada diagonal dan daerah A akan menjadi nol.
Sebaliknya, jika hanya satu pihak yang menerima seluruh pendapatannya, maka
luas A akan menjadi sama dengan luas segitiga sehingga koefisien Gini menjadi
1, Oleh karena itu, distribusi pendapatan menjadi lebih merata jika nilai
koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya distribusi pendapatan dikatakan
semakin timpang jika nilai koefisien Gini mendekati. 1. Koefisien Gini (Gini
Ratio) merupakan salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk
mengukur tingkat pendapatan secara umum ketimpangan. Rumus menghitung
koefisien Gini adalah sebagai berikut:

Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yang merupakan kurva


pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi suatu variabel tertentu
(misalnya pendapatan) dengan distribusi seragam yang mewakili persentase
kumulatif akumulasi penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, grafik dari
proporsi kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) digambar pada
sumbu horizontal dan proporsi kumulatif pengeluaran (pendapatan) digambar
pada sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti pada gambar. Garis
diagonal melambangkan persamaan sempurna. Koefisien Gini didefinisikan
sebagai A/(A+B), dengan A dan B yang ditunjukkan pada diagram. Jika A=0
maka koefisien Gini bernilai 0 artinya pemerataan sempurna, sedangkan jika
B=0 maka koefisien Gini bernilai 1 artinya ketimpangan sempurna. Namun
pengukuran dengan menggunakan koefisien Gini tidak sepenuhnya
memuaskan. Tabel berikut menunjukkan titik acuan mengklasifikasikan
distribusi tidak merata berdasarkan nilai koefisien Gini.

2. Ukuran Bank Dunia

Bank Dunia mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan di


suatu negara dengan memeriksa kontribusi dari 40% penduduk termiskin dari
populasi. (Sirojuzilam, 2010:102). Kriterianya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

F. Strategi Dan Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia


Analisis Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia pemerintah
mengganti dan mengembangkan kebijakan penanggulangan kemiskinan sesuai
dengan era masa jabatan presiden. Secara ringkas jika disebutkan macam kebijakan
yang diambil sesuai era presiden menjabat adalah sebagai berikut:
1. Era Presiden Soekarno:
Pembangunan Nasional Berencana 8 tahun (Penasbede);
2. Era Presiden Soeharto:
Repelita I-IV melalui program Sektoral & Regional; Repelita IV-V melalui program
Inpres Desa Tertinggal; Program Pembangunan Keluarga Sejahtera; Program
Kesejahteraan Sosial; Tabungan Keluarga Sejahtera; Kredit Usaha Keluarga
Sejahtera;
Kredit Usaha Tani;
3. Era Presiden Habiebie:
Jaring Pengaman Sosial; Program Penanggulangan Kemiskinan & Perkotaan;
Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal; Program
Pengembangan Kecamatan;
4. Era Presiden Gusdur:
Jaring Pengaman Sosial; Kredit Ketahanan Pangan-Program Penangggulangan
Kemiskinan & Perkotaan;
5. Era Presiden Megawati:
Pembentukan Komite Penganggulangan Kemiskinan; Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan.
6. Era Presiden SBY:
Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan; Bantuan Langsung
Tunai; Program Pengembangan Kecamatan; Program Penanggulangan Kemiskinan
di Perkotaan; Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Selain program-
program di atas telah dibuat juga Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan
(SNPK) yang kemudian dintegrasi menjadi Dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 yang kemudian dilanjutkan dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014
sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010.

7. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Pada Masa Kepemimpinan Joko


Widodo dan Jusuf Kalla:
Penanggulangan kemiskinan yang komprehensif memerlukan keterlibatan
berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia
usaha (sektor swata) dan masyarakat merupakan pihak-pihak yang memiliki
tanggung jawab sama terhadap penanggulangan kemiskinan. Pemerintah telah
melaksanakan penanggulangan kemiskinan melalui berbagai program dalam
upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga negara secara layak, meningkatkan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat miskin, penguatan kelembagaan sosial
ekonomi masyarakat serta melaksanakan percepatan pembangunan daerah
tertinggal dalam upaya mencapai masyarakat Indonesia yang sejahtera,
demokratis dan berkeadilan. Namun keseluruhan upaya tersebut belum
maksimal jika tanpa dukungan dari para pemangku kepentingan lainnya. Untuk
menunjang penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan mewujudkan
percepatan penanggulangan kemiskinan dirumuskan empat strategi utama. Di
bawah kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, pemerintah menetapkan strategi
penanggulangan kemiskinan, diantaranya:
(1) peningkatan program perlindungan sosial;
(2) Meningkatkan akses terhadap layanan dasar;
(3) Memberdayakan kelompok masyarakat miskin dan Menciptakan
pembangunan yang menyeluruh. Berikut adalah strategi yang digunakan pada
masa Jokowi-Jusuf Kalla :
1) Strategi 1 : Memperbaiki Program Perlindungan Sosial
Prinsip pertama adalah meningkatkan dan mengembangkan sistem
perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan populasi. Sistem
jaminan sosial bertujuan untuk membantu individu dan komunitas
mengatasi guncangan hidup seperti penyakit, kematian anggota
keluarga, kehilangan pekerjaan, bencana alam, dll. Sistem perlindungan
sosial yang efektif akan memprediksi bahwa individu atau masyarakat
yang mengalami guncangan tidak akan jatuh miskin.

2) Strategi 2 : Meningkatkan Akses Terhadap Pelayanan Dasar


Prinsip penanggulangan kemiskinan yang kedua adalah meningkatkan
akses kelompok masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar. Akses
terhadap pendidikan, layanan kesehatan, air bersih dan layanan sanitasi
serta pangan dan gizi akan membantu mengurangi biaya bagi kelompok
masyarakat miskin. Di sisi lain, peningkatan akses terhadap layanan dasar
akan mendorong peningkatan investasi sumber daya manusia (human
capital).
3) Strategi 3 : Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Miskin
Prinsip ketiga adalah upaya pemberdayaan masyarakat miskin sangat
penting untuk meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan pengentasan
kemiskinan. Dalam upaya pengentasan kemiskinan, sangat penting untuk
tidak hanya menganggap masyarakat miskin sebagai objek pembangunan
saja. Perlu dilakukan upaya pemberdayaan penduduk miskin agar
penduduk miskin berusaha keluar dari kemiskinan dan tidak kembali
jatuh miskin.
4) Strateg 4 : Pembangunan Inklusif
Prinsip keempat adalah pembangunan inklusif yang diartikan sebagai
pembangunan yang inklusif dan sekaligus memberikan manfaat bagi
seluruh masyarakat. Partisipasi merupakan kata kunci dalam seluruh
kegiatan pelaksanaan pembangunan. Kenyataan di berbagai negara
menunjukkan bahwa kemiskinan hanya mampu dapat dikurangi dalam
perekonomian yang tumbuh secara dinamis. Sebaliknya, pertumbuhan
ekonomi yang stagnan hampir bisa dipastikan berujung pada peningkatan
angka kemiskinan.
Berdasarkan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan
perundang-undangan, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Joko Widodo-
Jusuf Kalla, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 166 Tahun
2014 tentang Program Percepatan Pengentasan Kemiskinan. Dalam Peraturan
Presiden disebutkan bahwa untuk mempercepat proses pengentasan
kemiskinan, Pemerintah menetapkan program kesejahteraan sosial yang
meliputi: (a) program tabungan untuk keluarga sejahtera; (b) Program
Indonesia Pintar; c) Program Indonesia Sehat.
1. Program Tabungan Keluarga Sejahtera
“Simpanan Keluarga Sejahtera diberikan kepada keluarga pemegang
Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang merupakan pengganti Kartu Perlindungan
Sosial (KPS). Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) merupakan penanda keluarga kurang
mampu yang berhak untuk mendapatkan berbagai bantuan sosial termasuk
simpanan keluarga sejahtera. Program Simpanan Keluarga Sejahtera bagi
pemengang KKS itu sendiri merupakan program pemberian bantuan non tunai
dalam bentuk simpanan yang diberikan kepada 15,5 Juta Keluarga kurangmampu
di seluruh Indonesia, sejumlah Rp 200.000/Keluarga/Bulan. Untuk tahun 2014,
dibayarkan sekaligus Rp 400.000 untuk bulan November dan Desember. Program
Simpanan Keluarga Sejahtera diberikankepada keluarga kurang mampu, secara
bertahap diperluas mencakup penghuni panti asuhan, panti jompo dan panti-
panti sosial lainnya.
Saat ini, 1 Juta keluarga diberikan dalam bentuk layanan keuangan digital
dengan pemberian SIM Card, sedangkan 14,5 Juta keluarga diberikan dalam
bentuk simpanan giro pos. Untuk tahap awal, pembagian Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS), SIM Card berisi uang elektronik, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu
Indonesia Sehat dilakukan di 19 Kabupaten/Kota masing-masing di Jembrana,
Pandeglang, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta
Utara, Cirebon, Kota Bekasi, Kuningan, Kota Semarang, Tegal, Banyuwangi, Kota
Surabaya, Kota Balikpapan, Kota Surabaya, Kota Kupang, Mamuju Utara, Kota
Pematang Siantar dan Kabupaten Karo.

2. Program Indonesia Pintar


Program Indonesia Pintar melalui KIP adalah pemberian bantuan tunai
pendidikan kepada seluruh anak usia sekolah (6-21 tahun) yang menerima KIP,
atau yang berasal dari keluarga miskin dan rentan (misalnya dari keluarga/rumah
tangga pemegang Kartu Keluarga Sejahtera/KKS) atau anak yang memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Program Indonesia Pintar melalui KIP
merupakan bagian penyempurnaan dari Program Bantuan Siswa Miskin (BSM)
sejak akhir 2014. KIP diberikan sebagai penanda/identitas untuk menjamin dan
memastikan agar anak mendapat bantuan Program Indonesia Pintar apabila anak
telah terdaftar atau mendaftarkan diri (jika belum) ke lembaga pendidikan formal
(sekolah/madrasah) atau lembaga pendidikan non formal (Pondok Pesantren,
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat/PKBM, Paket A/B/C, Lembaga
Pelatihan/Kursus dan Lembaga Pendidikan NonFormal lainnya di bawah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama). Program
Indonesia Pintar adalah salah satu program nasional (tercantum dalam RPJMN
2015-2019) yang bertujuan untuk:
a. Meningkatkan angka partisipasi pendidikan dasar dan menengah.
b. Meningkatkan angka keberlanjutan pendidikan yang ditandai dengan
menurunnya angka putus sekolah dan angka melanjutkan.
c. Menurunnya kesenjangan partisipasi pendidikan antar kelompok
masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara
penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara wilayah perkotaan dan
perdesaan, dan antar daerah.
d. Meningkatkan kesiapan siswa pendidikan menengah untuk memasuki pasar
kerja atau melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

3. Program Indonesia Sehat


Kartu Indonesia Sehat (KIS) menjamin dan memastikan masyarakat kurang
mampu untuk mendapat manfaat pelayanan kesehatan seperti yang dilaksanakan
melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS
Kesehatan. Lebih dari itu, secara bertahap cakupan peserta akan diperluas
meliputi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan bayi yang lahir dari
Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang selamaini tidak dijamin. KIS memberikan
manfaat tambahan, layanan pencegahan, promosi dan deteksi dini akan
dikerahkan secara lebih intensif dan terintegrasi. KIS memastikan pelayanan
fasilitas kesehatan tidak membeda-bedakan peserta berdasarkan status
sosialnya.Penyelenggara programnya adalah BPJS Kesehatan. Yang perlu
ditegaskan, pelayanan kesehatan terhadap pasien lain pemegang kartu yang
dikeluarkan BPJS tetap berjalan normal dengan manfaat yang sama dengan
pemegang kartu Indonesia Sehat.Penggantian kartu BPJS dengan kartu Indonesia
Sehat akan dilakukan secara bertahap.
G. Studi Kasus
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

kemiskinan merupakan ketidak mampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan,


sandang, papan, dan obat-obatan. Kemiskinan dan distribusi pendapatan atau ketimpangan
merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh negara berkembang, termasuk
Indonesia. Distribusi pendapatan mencerminkan timpangnya pembagian hasil pembangunan
suatu negara yang tidak merata di antara penduduknya. Distribusi pendapatan yang tidak
merata akan menimbulkan ketimpangan pendapatan yang merupakan awal mula munculnya
masalah kemiskinan. Selain itu, kemiskinan di indonesia juga disebabkan oleh beberapa
faktor seperti upah minimum yang tidak memadai, taraf hidup masyarakat yang buruk, dan
meningkatnya angka pengangguran setiap tahun tanpa adanya tambahan kesempatan kerja.
Kemiskinan pada masyarakat perkotaan juga disebabkan oleh kurangnya akses masyarakat
pada sumber kehidupan. Keterbatasan tersebut tidak saja disebabkan oleh masyarakat yang
kurang pengetahuan dan ketrampilan tetapi juga disebabkan oleh struktur yang membentuk
mereka untuk tidak mempunyai akses. Pemerintah berperan aktif dalam menanggulangi
masalah kemiskinan dan distribusi pendapatan di Indonesia melalui program
penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan merupakan kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah Daerah, dunia usaha serta masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan
masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro, serta program lain dalam rangka
meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai