I. KEMISKINAN.
1. Pengertian kemiskinan.
Masalah kemiskinan sudah menjadi masalah yang mengglobal, mendunia. Menurut
Martin dan Schuman kemiskinan di tingkat global perbandingannya sudah menjadi
20 banding 80, dalam arti 20% penduduk dunia menguasai 80% kekayaan dunia.
Akibatnya 20% penduduk dunia tersebut akan mengendalikan 80% penduduk
lainnya. Jadi kekayaan dunia ini hanya dinikmati oleh 20% penduduk dunia,
sedangkan sebagian besar penduduk dunia (80%) bisa digolongkan sebagai
masyarakat relatif miskin.
Kemiskinan secara umum dapat digolongkan dalam empat jenis yaitu,
a. Kemiskinan absolut.
b. Kemiskinan relatif.
c. Kemiskinan struktural.
d. Kemiskinan kultural.
5. Bersifat karitatif.
Upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan mengagendakan program-
program kemiskinan saja, bukan strategi dan kebijakan pengentasan masyarakat
dari kemiskinan. Program yang dilakukan pemerintah tidak menuju sasaran langsung
akar atau penyebab kemiskinan, tetapi bersifat karitatif sehingga hasilnya tidak
efektif.
Program-program pemerintah yang sudah dan sedang dilakukan antara lain Inpres
Desa Tertinggal (IDT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), pembagian beras untuk rakyat
miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan kartu-kartu sakti lainnya yang diluncurkan
oleh pemerintahan yang sekarang.
Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk program-program pengentasan
kemiskinan cukup banyak, bahkan dari tahun ke tahun kenaikan anggarannya cukup
besar. Tetapi karena kegiatannya bersifat karitatif, maka jumlah penduduk miskin
tidak berkurang secara signifikan.
3
Oleh karena itu sudah saatnya berbagai langkah pengentasan kemiskinan dievaluasi
kembali untuk mendapatkan formula atau strategi yang nyata untuk pengentasan
kemiskinan, utamanya akar-akar kemiskinan harus dihilangkan sampai tuntas.
Hal ini perlu dilakukan agar negara tidak dituding mengeksploitasi kemiskinan untuk
berbagai kepentingan.
d. Membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut mengelola sumber daya alam
secara berlebihan.
Komoditas pertambangan dan perkebunan memang menyumbang nilai ekspor
terbesar dari total pendapatan nasional Indonesia. Sebenarnya nilai ekspor masih
bisa ditingkatkan kalau yang diekspor bukan bahan baku dan bahan mentah.
Peningkatan eksploitasi lahan secara besar-besaran pada kenyataannya tidak
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi justru membuat kesenjangan
semakin lebar dan malahan meninggalkan ancaman kerusakan lingkungan.
Sebagian besar APBN terkuras untuk belanja rutin yaitu membiayai birokrasi,
padahal birokrasi tidak mampu menjalankan fungsinya sehingga malahan menjadi
penghambat pertumbuhan ekonomi dan penyejahteraan rakyat.
Anggaran untuk belanja rutin dan membayar hutang terus meningkat, tetapi
anggaran untuk subsidi dan belanja sosial justru turun. Anggaran yang sedikit itupun
lebih sering untuk biaya seminar, perjalanan dinas dan lain-lain, artinya belum tentu
anggaran yang sedikit itu diterima sepenuhnya oleh kelompok masyarakat miskin.
Demikian juga dengan subsidi untuk rakyat miskin, tidak sepenuhnya dinikmati oleh
rakyat miskin bahkan lebih banyak dinikmati oleh rakyat yang kaya, contohnya
subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh pemilik kendaraan roda empat. Kenaikan
anggaran untuk kemiskinan tiap tahun tidak diikuti dengan perbaikan dalam
efektivitas penggunaannya.
Indonesia tidak seperti Cina , Vietnam dan Laos yang sudah berhasil menurunkan
angka kemiskinan negaranya walaupun Indonesia lebih dulu menanggulanginya.
Kunci keberhasilan Cina adalah pembangunannya dimulai dari desa dan pertanian.
Sedangkan Indonesia dengan 60% penduduk miskin tinggal di desa-des, memulai
pembangunannya dari kota. Program kemiskinan dari pemerintah belum menyentuh
langsung akar permasalahan kemiskinan maupun hak-hak dasar orang miskin. Selain
itu tidak memiliki karakter penguatan lokal dan tidak mengatasi masalah kemiskinan
yang multidimensi.
Persoalan pembangunan dan kemiskinan adalah persoalan yang mutidimensional,
oleh karena itu keberhasilannya sangat ditentukan oleh kemampuan melihat
persoalan dan kebijakannya juga harus secara multidimensi.
Syarat kompetensi ini penting agar penyelenggaraan negara sukses, terutama dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan khususnya dalam menjalankan
program-program pemerintah di bidang penanggulangan kemiskinan. Sehingga
sinergitas pelaksanaan program pemerintah yang dijalankan bersama-sama
masyarakat akan tercipta keselarasan dan berjalan dengan baik.
7
3. Paradigma kebijakan.
Pada periode puncak pertumbuhan ekonomi tahun 1976-1996 Indonesia pernah
mengalami masa keemasan pemberantasan kemiskinan. Meskipun pemberantasan
kemiskinan secara eksplisit belum masuk agenda prioritas pembangunan sampai
awal 1990, pertumbuhan yang terjadi saat itu dinilai sangat pro-poor.
Ditopang dari devisa minyak, pemerintahan Soeharto mengombinasikan target
pertumbuhan ekonomi tinggi dengan berbagai program pengentasan kemiskinan.
Selama kurun waktu itu angka kemiskinan bisa ditturunkan lebih setengahnya dari
40,1% (1776) menjadi 11,3% (1996).
Pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi dunia, angka kemiskinan kembali naik. Pasca
krisis angka kemiskinan tidak kunjung membaik, kalaupun ada penurunan hanya
sedikit. Banyak faktor ekonomi mengaitkan sulitnya menurunkan angka kemiskinan
dengan praktik-praktik tata kelola pemerintah, selain itu juga adanya paradigma-
paradigma,
8