Anda di halaman 1dari 9

PUNCAK LABIRIN KETIMPANGAN

Ahmad Erani Yustika


Guru besar FEB Universitas brawijaya; Ekonom Senior Indef;
Kepala Sekretariat Wakil Presiden

MARTIN WOLF DALAM BUKU TERBARUNYA . CRISIS


OF DEMOCRATIF CAPITALISM (2023), MENUKILKAN
KEMBALI KEGAGALAN AKUT YANG DIBUAT PARA
PEMIMPIN NEGARA DAN EKONOM. YAKNI PATOLOGI
KETIMPANGAN EKONOMI YANG KIAN BRUTAL
Akibat dari perkara ini, kelas menengah mengidap penyakit
ketidakpastian dan ketakutan atas potensi besar terjadinya keruntuhan
sosial dan eksklusi kesempatan ekonomi.
Situasi ini menyasar hampir semua negara, termasuk negara
maju yang disebut democratic capitalism. Sekedar ilustrasi, pada 1980
rasio gaji eksekutif top dengan karyawan terendah di AS baru 42:1.
Namun, pada 2016 melonjak tak kepalang menjadi 317:1. Periode
1993-2015, kumulatif pertumbuhan riil pendaapatan 1 persen,
sementara 99 di AS mencapai 95 persen, sementara 99 persen warga
lain hanya tumbuh 14 persen. Fenomena ini hampir menyergap semua
negara, tanpa kecuali.

Bencana kesenjangan
Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat pokok kemajuan
ekonomi. Teori-teori ekonomi pembangunan decade 1950-an dan
1960-an semuanya mempromosikan pertumbuhan ekonomi sebagai
gagasan penopang utama pembangunan (ekonomi). Tingkat tabungan
dan investasi menjadi amunisi pokok untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi. Implikasinya, kebijakan ekonomi di produksi dengan jalan
memberikan ruang yang lebih kecil bagi kelompok ekonomi
bawah/menengah dan memperlebar luas kamar ekonomi kelompok
atas.
Argumennya lugas: kelas bawah tidak meciptakan nilai tambah
dan penyebaran ekonomi yang cepat. Selebihnya para konseptor teori
ekonomi pembangunan yakin bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi
yang dihela kelas atas akan menarik gerbong kelompok ekonomi lain,
lewat penciptaan lapangan kerja dan integrasi dengan usaha kecil.
Inilah sumber awal bencana kesenjangan.
Saat ini tumbuh pesimisme yang cukup kental untuk
“menyatukan” pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan.
Kelembagaan ekonomi (economic in stitutions) yang disusun puluhan
tahun gagal mempertemukan dua capaian ideal pembangunan itu. Saat
ini pilihannya ialah teciptanya perbaikan kesetaraan politik (political
equality) untuk memperbaiki level permainan di lapangan ekonomi
(pasar tenaga kerja, tata kelola korporasi, dan lain-lain) (Allen, 2021).
Opsi ini dikerjakan karena dampak dari pertumbuhan ekonomi
yang beralas kelompok kaya mengakibatkan kekuasaan sebagian besar
di genggam kelompok ini, termasuk dinegara kapitalisme demokratik
(yang saat ini sedang mengalami krisis ekonomi-politik yang hebat).
Lebih mendasar lagi, jika kebijakan ini yang di ambil, harga yang
mesti dibayar adalah berakhirnya ideologi pertumbuhan ekonomi
tinggi (degrowth).
Belum berhenti disitu, perkembangan pemanfaatan teknologi
dan laju inovasi yang luar biasa pesat, khususnya sejak awal abad
milenium, membuat pemerintah kesukaran menciptakan lapangan
kerja sebab intensitas digitalisasi dan otomatisasi tak bisa dibendung.
Perkara ini tidak hanya menjadi kerisauan di negara
berkembang, tetapi juga kecemasan di negara maju. Level
pengangguran di negara mapan (Eropa dan AS) melesat tinggi
beberapa dasawarsa terakhir. Bahkan, kelangkaan peluang kerja yang
bermutu dan kegelisahan ekonomi telah memperbesar ekonomi
kelompok ekstrem (far right) yang mengganggu stabilitas sosial dan
politik.
Apalagi ditambah dengan munculnya populisme otoritarian.
Singkatnya, ketimpangan telah menjadi puncak labirin. Salah satu
yang di desain oleh produsen kebijakan sekarang ialah pengurangan
insentif kapital dan menambah subsidi bagi penggunaan tenaga kerja.

Trimatra produksi
Mata air asimetri kesejahteraan yang menggelayuti dunia
bersumber dari trimatra produksi (Blanchard dan Rodrik, 2021).
Pertama, ketimpangan praproduksi. Disparitas ini bersumber dari
perbedaan keterampilan, bakat, akses pendidikan dan kesehatan, dan
sebagainya.
Kebijakan pemerintah yang tak merata di bidang pendidikan dan
kesehatan menyebabkan kualitas keterampilan (juga dalam beberapa
hal tertentu bakat) tak dapat dioptimalkan.
Kasus tengkes (stunting) merupakan contoh yang bisa di rujuk,
dimana literasi yang terbatas soal gizi dan perkembangan anak
mengakibatkan sulitnya penurunan angka tengkes. Di Indonesia,
sampai saat ini angka tengkes masih 21,6 persen (2022). Artinya, satu
dari lima balita mengalami masalah ini (angka ini sudah turun drastis,
pada 2013 masih 37,8 persen). Generasi ini dalam jangka Panjang
jadi salah satu sebab pemicu ke-timpangan via daya saing yang
rendah.
Kedua, disimilaritas tahap produksi. Problem divergensi ini
sudah kerap di ulas, yakni kepincangan ekonomi antara pemilik modal
dan pekerja. Di negara-negara yang serikat kerjanya dilindungi dan
dimapankan, kesenjangan ekonomi di korporasi bisa dikurangi karena
akses pekerja untuk mengambil keputusan (khususnya penentuan upah
dan bonus) cukup besar. Sebaliknya, di negara yang kurang menjamin
serikat kerja, pengambilan keputusan dimonopoli oleh pemilik modal
sehingga ketimpangan berpotensi membesar.
Hal lain, intervensi negara sangat vital terutama dalam
penentuan upah minimum dan Pendidikan vokasional (Dustmann,
2021). Kebijakan ini mencegah eksploitasi badan usaha dalam
mengenakan tingkat upah yang (sangat) rendah sehingga praktik
pengisapan/ekstraksi ekonomi bisa dihindarkan. Pada level meso ini,
“kebijakan industrial” (pemapanan serikat kerja dan keterlibatan
pemerintah dalam penentuan upah) jadi kunci mencegah pendalaman
disparitas.
Ketiga, ketidakseimbangan pascaproduksi. Perbedaan
pendapatan ini merupakan konsekuensi dari munculnya ketimpangan
di level praproduksi dan produksi. Jika di kedua level ini kepincangan
berlangsung, dipastikan terjadi divergensi pascaproduksi. Kelompok
yang menikmati Pendidikan akan terus mengakumulasi kenaikan
kesejahteraan (pendapatan) sehingga kelas masyarakat lain makin
tertinggal.
Pendapatan kelompok kaya mengikuti deret ukur, sebaliknya
kelas rentan naik mengikuti deret hitung. Pemilik modal memperoleh
nisbah ekonomi yang jauh lebih besar dalam bentuk laba yang
direnggut, juga gaji yang kian mengangkasa. Jika tak tersedia
kebijakan pemangkas untuk membatasi kekayaan (misalnya pajak
progresif) dan membantu beban kelompok paling rendah (seperti
transfer pendapatan), ketimpangan akan merajalela.

Penikmat liberalisasi
Diluar soal asimetri yang berakar dari fase produksi dan moda
produksi, disparitas juga kerap ditelaah dari sumber lain. Pertama,
demokrasi dianggap sebagai pilihan sistem politik yang masuk akal
mencegah pembesaran kesenjangan karena menutup peluang
penguasaan sumber daya secara monopolistik.
Perspektif ini mengandaikan ketimpangan ekonomi buah dari
sistem politik yang tertutup. Keputusan alokasi sumber daya bisnis
hanya diurus segelintir elite poltik sehingga sekawanan pelaku
ekonomi lain terlempar dari arena perburuan faktor produksi. Kasus di
negara-negara Amerika Latin (Selatan), sebagian Asia, dan Eropa
Timur di masa lalu sering dirujuk untuk memperkuat pandangan ini.
Indonesia dimasa silam juga menjadi referensi sahih dalam
pembahasan terkait disekuilibrium ekonomi. Meski fondasi ide ini
cukup kuat, rujukan riset mutakhir layak diselisik kembali guna
menguji postulat ini.
Kedua, perayaan globalisasi/liberalisasi. Globalisasi mengubah
secara mendasar lanskap (ekonomi) dunia. Interaksi antarnegara yang
semula dijaga amat ketat dalam wujud proteksi (lewat aneka
instrument ekonomi: bea impor , kuota, dumping, dan lain-lain)
dicairkan lewat pembukaan pasar ekonomi, kebebasan mobilitas
penduduk antarnegara, investasi, perdagangan, dan seterusnya.
Harus diakui sejak dijalankan secara massif mulai dasawarsa
1980-an, terdapat dari beberapa negara penikmat liberalisasi, seperti
China, Korsel, India, Vietnam, dan (dalam berapa hal) Indonesia.
Negara-negara ini melesat ukuran ekonominya (dilihat dari PDB)
sehingga menjadi anggota G20 (kecuali Vietnam). Implikasinya,
selisih kesejahteraan antara negara maju dan berkembang
(ketimpangan eksternal) makin kecil.
Disisi lain pada tiap-tiap negara (internal) muncul ketimpangan yang
membesar. Inilah dua paras globalisasi yang menjadi paradoks.
Ketiga, ekonom dan pemerintah memiliki keraguan akut
menetapkan kebijakan progresif terkait ketimpangan, sejak dari hulu
kehilir. Sirkulasi modal yang tak menyebar dan kepemilikan lahan
yang memusat merupakan contoh yang kerap dikutip, dimana sangat
sedikit negara yang secara terukur melakukan upaya pembatasan
kepemilikan .
Kebijakan reforma agraria biasanya diterapkan hanya untuk
memberi tanah bagi yang tak memilikinya (inipun dalam jumlah
sangat terbatas) tanpa memangkas pelaku ekonomi yang punya lahan
diluar batas( ratusan ribu sampai jutaan hektar). Laba yang ditimbun,
profit jumbo yang diperolah dari transaksi derivatif disektor keuangan,
dan kekayaan besar dari warisan terhindar dari kebijakan pajak
progresif, sehingga kelompok ini mengakumulasi kekayaan dalam
jumlah yang gigantic (Piketty, 2014). Negara -negara Skandinavia
termasuk Kawasan yang relatif progresif dalam isu ini.

Pembangunan Ilusif
Indonesia termasuk negara yang menyadari bahwa ketidakadilan
ekonomi yang tak diurus secara militan akan mendorong
pembangunan mengalami pembalikan. Kemajuan ekonomi yang
disertai kenaikan kepincangan ekonomi membuat ikatan sosial
mengalami korosi dan derajat kepercayaan politik terdelusi. Inilah
yang disebut dengan pembangunan yang ilusif , yakni kemajuan
ekonomi yang diikuti munculnya pelemahan sosial dan kerentanan
politik.
Indonesia sedang berkejaran dengan perkara ini setelah pada
periode sebelumnya ketimpangan ekonomi mengalami pemburukan.
Rasio gini naik tangga demi tangga hingga menembus angka di atas
0,41. Maka sejak 2015 dikerjakan langkah sistematis untuk
menurunkan ketimpangan ini. Sejarah juga mencatat Indonesia sukses
besar mengungkit cakupan warga yang terlindungi akses kesehatan
dan pendidikan . Ini kesuksesan praproduksi yang amat vital.
Dari sisi investasi, salah satu pengungkit kepincangan bertumpu
dari dominasi PMA sehingga Kementrian investasi/BKPM diberi
mandate meningkatkan porsi PMDN. Hasilnya amat menjanjikan,
karena sejak 2020 porsi PMDN sudah hampir setara dengan PMA.
Lebih dari itu, pada 2022 dominasi investasi yang selama ini hanya di
Jawa (47,3 persen) sekarang sudah diiimbangi investasi diluar Jawa
(52,7 persen).
Kementerian Investasi juga mewajibkan setiap penanaman
modal besar berkongsi dengan UMKM dan penduduk lokal. Investasi
ini penting dikelola karena menjadi telaga terciptanya pelebaran
disparitas antara pemodal besar dan kecil, domestik dengan luar
negeri, dan Indonesia bagian barat dengan timur. Indonesia juga terus
menjamin pemapaman serikat kerja serta campur tangan negara dalam
penentuan upah minimum setiap tahunnya. Ini salah satu sebab mogok
kerja bisa dihindari. Benih kebijakan tahap produksi yang bagus ini
wajib terus dirawat dengan baik.
Pada pascaproduksi, kebijakan pajak progresif dimapankan,
khususnya kenaikan (pajak) pemangkasan pendapatan tertingggi
menjadi 35 persen (dari semula 30 persen). Ini diiringi dengan
kenaikan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) menjadi Rp. 4,5
juta/bulan, sehingga warga berpendapatan dibawah Rp. 54 juta/tahun
tak dibebani pajak. Sungguhpun begitu, terkait pajak atas laba, profit
transaksi disektor keuangan, warisan dan aset lahan, dan lain-lain
belum ada spirit progresivitas muncul.
Soal lainnya, kebijakan disisi hulu, yakni pembatasan
kepemilikan lahan dan kapital. Sampai sekarang isu ini masih jadi
pekerjaan rumah yang besar. Dibutuhkan visi dan afirmasi politik
yang kokoh untuk masuk ke arena ini karena pasti akan mengahadapi
arus kekuatan politik yang deras. Perang mengahadapi ketimpangan
adalah suatu moral yang mesti dimenangi “ if we fail, the light of
political and personal freedom might one again disappear from the
word .” demikian taklimat wolf.

Anda mungkin juga menyukai