TUGAS 2
NIM : 043715228
UNIVERSITAS TERBUKA
1. Jelaskan delapan faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-
negara sedang berkembang!
Jawab:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita
Dalam demografi, pertumbuhan penduduk ditentukan tiga faktor, yaitu kelahiran,
kematian, dan migrasi. Angka pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat disebabkan dua hal,
pertama karena tingginya angka kelahiran dan kedua karena tingginya angka migrasi bersih
(migrasi masuk dikurangi migrasi keluar). Tingginya pertumbuhan penduduk akibat migrasi
masuk sebenarnya menjadi sinyal bahwa daerah itu memiliki daya tarik ekonomi yang kuat.
Pertumbuhan penduduk akibat tingginya angka kelahiran menciptakan angka
ketergantungan yang besar.
2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan
pertambahan produksi barang-barang.
Salah satu penyebab ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah
inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proposional dengan
pertambahan produksi barang secara umum (Irma Adelman dan Chynthia Taft Morris dalam
Arsyad, 2004). Lonjakan inflasi yang terlalu tinggi dan tidak diimbangi oleh pemerataan
ekonomi akan memperluas kemiskinan, meningkatnya tingkat pengangguran, penurunan
kesejahteraan dan meningkatkan ketimpangan pendapatan.
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.
Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam
kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan pada awalnya disebabkan oleh adanya
perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat
pada masing – masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pembangunan juga menjadi
berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat
wilayah maju (Development Region) dan wilayah terbelakang (Underdevelopment Region).
Terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah selanjutnya membawa implikasi
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat pada wilayah bersangkutan. Biasanya implikasi
ini ditimbulkan adalah dalam bentuk kecemburuan dan ketidakpuasan masyarakat yang
dapat pula berlanjut dengan implikasi politik dan ketentraman masyarakat. Karena itu, aspek
ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah ini perlu ditanggulangi melalui formulasi
kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ketimpangan
antar wilayah dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan jumlah penduduk yang pada
akhirnya menghasilkan pendapatan perkapita dan dijadikan sebagai salah satu indikator
tingkat kesejahteraan.
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase
pendapatan modal kerja tambahan besar dibandingkan persentase pendapatan yang berasal
dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.
Terdapat dua model ketimpangan yaitu teori menurut Harrod Domar dan teori menurut
Neo-klasik. Kedua teori tersebut memberikan peranan khusus pada peranan modal yang
dapat direpresentasikan dengan kegiatan investasi yang ditanamkan pada suatu daerah
untuk menarik modal kedalam daerahnya. Hal tersebut jelas akan mempengaruhi
kemampuan setiap daerah untuk tumbuh sekaligus akan menciptakan perbedaan dalam
kemampuan menghasilkan pendapatan. Investasi dianggap lebih menguntungkan jika
dialokasikan pada daerah yang mampu menghasilkan pengembalian (return) yang besar
dalam jangka waktu yang relatif cepat. Mekanisme pasar justru akan menyebabkan
ketidakmerataan, dimana daerah-daerah yang relatif maju akan bertumbuh semakin cepat
sementara daerah yang kurang maju tingkat pertumbuhannya justru relatif lambat. Hal ini
yang menyebabkan timbulnya ketimpangan pendapatan antar daerah, sehingga diperlukan
suatu perencanaan dan kebijakan dalam mengarahkan alokasi investasi menuju suatu
kemajuan ekonomi yang lebih berimbang di seluruh wilayah dalam negara (Sjafrizal, 2012).
5. Rendahnya mobilitas sosial.
Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan
yang satu ke lapisan yang lain. Contohnya seorang pelajar lulus dari sekolah dan melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi merupakan contoh mobilitias sosial vertikal. Sedangkan,
mobilitas sosial horizontal dapat terjadi pada seorang dokter yang berpindah tempat bekerja
dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang setara. Namun, dalam pelaksanaannya,
mobilitas sosial juga tidak dapat terjadi karena beberapa faktor penghambat.
Faktor Penghambat Mobilitas Sosial
1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang banyak ditemukan di berbagai negara.
Keadaan ekonomi tentu saja dapat mendorong terjadinya mobilitas sosial di masyarakat.
Namun kemiskinan justru merupakan keadaan ekonomi yang dapat menghambat terjadinya
mobilitas sosial. Kemiskinan akan berdampak pada rendahnya pendidikan yang ditempuh
seseorang. Padahal semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, semakin terbukanya
kesempatan untuk terjadinya mobilitas sosial ke atas. Di jaman globalisasi seperti sekarang
ini, banyak pekerjaan yang membutuhkan kemampuan dan jenjang pendidikan tinggi.
Sehingga, kemiskinan yang berdampak pada rendahnya pendidikan menjadi penghambat
kemudahan mobilitas sosial. Oleh karena itu, berbagai negara berusaha untuk mengurangi
kemiskinan di negaranya.
2. Diskriminasi
Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara karena alasan
perbedaan golongan, suku, ekonomi, agama, warna kulit, dan sebagainya. Diskriminasi
merupakan bentuk tidak menghargai keberagaman yang ada. Diskriminasi ini juga menjadi
faktor penghambat terjadinya mobilitas sosial di masyarakat. Peristiwa diskriminasi ini
pernah terjadi pada masa penjajahan. Masyarakat Indonesia tidak disediakan sekolah yang
berkualitas oleh pemerintah Hindia Belanda. Orang Eropa yang tinggal di Indonesia pada
masa penjajagan mendapatkan sekolah berkualitas, dengan pendidik dan sistem pendidikan
yang sudah maju. Namun, karena masyarakat Indonesia dijajah, sistem pendidikan yang
diperoleh tidak sama kualitasnya dengan orang-orang Eropa. Ini menyulitkan warga
Indonesia untuk mengubah status sosial dan melakukan mobilitas sosial.
3. Stereotipe Gender
Selain karena kemiskinan dan diskriminasi, stereotipe gender juga masih menjadi
penghambat terjadinya mobilitas sosial. Stereotipe menurut KBBI adalah konsepsi mengenai
sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif. Dalam pengertian sederhana,
stereotipe adalah pandangan terhadap suatu kelompok yang berdasarkan karakteristik
perilaku kelompok tersebut. Sedangkan stereotipe gender biasanya dialami oleh kaum
perempuan yang sering dianggap tidak memiliki kemampuan yang sama seperti laki-laki. Ini
berdampak pada mobilitas sosial terhadap kaum perempuan yang tidak bisa memiliki jabatan
tinggi atau kesempatan mengembangkan diri yang sama seperti laki-laki. Pada zaman Ibu
Kartini, stereotipe gender masih berlaku dan menghambat kaum perempuan tidak bisa
belajar atau mendapatkan pendidikan seperti laki-laki. Namun, dengan adanya emansipasi,
stereotipe gender ini mulai berkurang di masa sekarang, sehingga perempuan mempunyai
kesempatan yang sama dengan laki-laki.
6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga
barang hasil industry untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.
Strategi substitusi impor yang diterapkan di Indonesia memiliki berbagai bentuk, namun
prinsip utama yang diterapkan adalah prinsip proteksi pada sektor domestik dari impor
melalui tarif maupun non-tarif, bahkan investasi asing. Hal ini diterapkan dan didukung oleh
argumen infant industry. Perlindungan produsen domestik dari kompetisi membantu
perusahaan domestik untuk recover investasi biaya tetap (fixed cost) di tahap awal sampai
akhirnya produsen tersebut menjadi kompetitif dan proteksi tidak dibutuhkan lagi (Cali,
2017). Beberapa negara di Amerika Latin pada tahun 1950-an dan 1960-an merupakan studi
kasus penerapan kebijakan substitusi impor dengan temuan campuran yang dianggap sukses
dalam menstimulasi industrialisasi (Cali, 2017). Temuan keberhasilan mengenai strategi
substitusi impor menunjukan bahwa argumen infant industry perlu dilakukan, namun di sisi
lain proteksi yang terlalu tinggi dapat menghasilkan penciptaan excessive long term rent
untuk produsen domestik. Sebagai tambahan, industri yang menggunakan input dari sektor
yang diproteksi dapat terkena dampak negatif jika sektor yang diproteksi tersebut kurang
kompetitif di pasar internasional (Cali, 2017).
7. Memburuknya nilai tukar bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan
dengan negara- negara maju, sebagi akibat ketidak elastisan permintaan negara-negara maju
terhadap barang-barang ekspor NSB.
Perekonomian Negara berkembang di dasarkan pada produksi primer yang di ekspor ke
negara–negara maju. Sehingga devisa hasil ekspor ini, kemudian di gunakan untuk
mengimpor barang-barang capital guna menyelenggarakan industrialisasi atau
pembangunan di negaranya. Dengan memusatkan perhatian pada produksi primer untuk
ekspor, Negara berkembang selalu menghadapi masalah yang sulit dalam pembangunan
ekonomi, karena ketidak setabilan pendapatan dari sector ekspor tersebut.
Sebab-sebab ketidak stabilan pendapatan dari sektor ekspor antara lain:
Kenaikan volume ekspor selalu menghadapi berbagai macam kekuatan persaingan
yang makin besar baik yang datang dari Negara eksportir maupun importir yang
telah mampu menciptkan barang sintesis.
Nilai tukar (Term of trade) barang ekspor Negara sedang berkembang yang umumnya
berwujud barang produksi primer, selalu mengalami penurunan dalam menghadapi
barang-barang produksi yang terutama dihasilkan oleh Negara maju.
Seringnya terjadi fluktuasi harga produksi primer dipasar dunia baik yang di sebabkan
oleh naik atau turunya permintaan maupun penawaran produksi primer.
Sebab-sebab rendahnya elastisitas pendapatan terhadap impor produksi inpor dinegara
maju antara lain:
Adanya kenaikkan barang produksi barang-barang primer di Negara maju.
Ada perubahan pola konsumsi yang membuat hasrat berkonsumsi terhadap produksi
primer tersebut rendah.
Adanya kenajuan teknoligi mengurangi bahan dasar dalam berbagai macam industri.
Adanya perkembangan barang sintesis.
Ada berbagai macam peraturan yang membatasi impor terhadap beberapa produksi
primer.
8. Hancurnya industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-
lain.
Satu masalah utama industri kerajinan adalah sulitnya para pengrajin mengakses modal
dari perbankan. Seluruh pihak, termasuk pemerintah dapat menyusun langkah strategis agar
persoalan itu dapat diatasi.
2. Jelaskan dimana kegiatan ekonomi perkotaan sebaiknya berlokasi dengan menggunakan model
Von Thunen sebagai dasar!
Jawab:
Von Thunen melalui teorinya menciptakan contoh cara berfikir efektif yang di dasarkan atas
penelitian statistik, yang mulai dengan model sederhana selangkah demi selangkah memasukkan
komplikasi atau unsur baru sehingga semakin mendekati konkret. Ia mengembangkan suatu teori
sewa tanah dan teori produktivitas marginal yang di terapkan dalam upah dan bunga.
Menurut Von Thunen guna lahan kota dipengaruhi oleh biaya produksi, biaya transportasi dan daya
tahan hasil komoditi. Sehingga berpengaruh terhadap munculnya pasar lahan yang kompetitif. Pada
model Von Thunen hubungan antara transportasi dan lokasi aktivitas terletak pada biaya
transportasi dan biaya sewa lahan. Guna lahan akan menentukan nilai lahan, melalui kompetisi
antara pemakai lahan. Karenanya nilai lahan akan mendistribusikan guna lahan menurut
kemampuan untuk membayar sewa lahan, sehingga akan menimbulkan pasar lahan yang
kompetitif. Faktor lain yang menentukan tinggi rendahnya nilai lahan adalah jarak terhadap pusat
kota. Melalui adanya nilai lahan maka terbentuk zona-zona pemakaian lahan seperti lahan untuk
kegiatan industri, kegiatan komersil, serta lahan untuk kegiatan pemerintahan. Selain memiliki
pengaruh terhadap zona lahan, teori Von Thunen juga berpengaruh terhadap struktur keruangan
kota. Perkembangan kota yang didasarkan terhadap penggunaan lahan kota memunculkan elemen-
elemen baru dalam struktur keruangan kota
Dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh tingginya arus urbanisasi di Indonesia adalah sebagai
berikut :
b. Jelaskan ciri-ciri permukiman atau daerah perkampungan kumuh dan miskin dipandang dari segi
sosial ekonomi!
Jawab:
Menurut Direktorat Jenderal Bangda Kemendagri, ciri-ciri permukiman atau daerah perkampungan
kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai berikut:
1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah, memiliki sistem sosial
yang rentan.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan permukiman kumuh antara lain
mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang
mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Di daerah
perkotaan, warga yang paling tidak terpenuhi kebutuhan fasilitas perumahan dan permukimannya
secara memadai adalah mereka yang tergolong berpenghasilan rendah dan atau dengan kata lain
orang miskin. Abrams (1964) misalnya mengatakan bahwa pada waktu seseorang dihadapkan
pada sebuah masalah mengenai pengeluaran yang harus dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan hidupnya, makan, berpakaian, dan pengobatan untuk kesehatan, maka yang pertama
dikorbankan adalah pengeluaran untuk rumah dan tempat tinggalnya.
Masalahnya, bagi mereka masyarakat miskin yang berpenghasilan rendah, tidak dapat
mengabaikan begitu saja kebutuhan akan rumah dan tempat tinggal karena masalah ini penting
dalam dan bagi kehidupan mereka, tetapi di satu sisi mereka juga tidak mampu untuk
mengeluarkan biaya prioritas bagi pengembangan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan
permukimannya agar layak untuk dihuni. Semakin kecil bagian dari penghasilan yang dapat
disisihkan guna pembiayaan pemeliharaan rumah dan fasilitas permukiman, semakin kumuh pula
kondisi permukimannya.
2. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal. Lingkungan permukiman,
rumah, fasilitas dan prasarananya di bawah standar minimal sebagai tempat bermukim, misalnya
memiliki:
a. Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2.
b. Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha.
c. Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan).
d. Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk.
e. Kondisi bangunan rumah yang tidak permanen.
f. Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, dan penyakit.
g. Kawasan permukiman dapat berpotensi menimbulkan ancaman fisik dannon fisik bagi dirinya
dan lingkungannya.