PENDAHULUAN
3.1. Kesimpulan
Masalah ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia sangat sulit dipecahkan. Bukan hanya di
Indonesia, tetapi negara-negara berkembang pun menghadapi masalah serupa. Masalah ini
ada yang berdampak positif dan negatif. Dampak positif ketimpangan sosial ekonomi adalah
mendorong adanya persaingan antar individu, sedangkan dampak negatifnya adalah dapat
membuat kemiskinan serta kriminalitas.
Upaya mengurangi ketimpangan sosial di bidang ekonomi dapat dilakukan dengan beberapa
cara yang efektif seperti memberikan bantuan/ subsidi pada masyarakat kurang mampu,
membuka lapangan kerja dan memberantas korupsi. Upaya tersebut dilakukan untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di Indonesia.
Selain itu, upaya mengurangi ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia dapat terealisasi
dengan adanya pendidikan yang baik dan teknologi yang memadai. Oleh karena itu,
pemerintah perlu memberi sosialisasi dan pendidikan untuk masyarakat Indonesia agar
mereka dapat mengubah pola pikir ( mindset) mereka menjadi lebih kritis lagi
3.2. Saran
Dalam menghadapi ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia pada zaman globalisasi,
diperlukan usaha yang lebih kreatif, inovatif dan eksploratif.
Selain itu, diperlukan kesadaran masyarakat unuk berubah dan dukungan atau bantuan
pemerintah kepada masyarakat yang kurang mampu melalui pendidikan dan progam padat
karya. Dengan adanya program padat karya, pemerintah bisa memberikan pelatihan dan
pengajaran serta pekerjaan untuk masyarakat yang kurang mampu, ini merupakan salah satu
cara yang dapat mengurangi angka pengangguran di Indonesia dan meningkatkan kualitas
sumber daya masyarakat (SDM) dalam pengetahuan, wawasan, skill, dan moralitas
DAFTAR PUSTAKA
2. Faktor Eksternal: faktor ketimpangan sosial ini berada di luar diri seseorang. Faktor ini
muncul dari kebijakan atau birokrasi pemerintah yang mengekang atau mengucilkan satu
pihak tertentu. Faktor eksternal bisa menimbulkan kemiskinan struktural.
Ketimpangan sosial ekonomi dapat terjadi karena beberapa faktor. Berikut ini beberapa
faktor penyebab terjadinya ketimpangan sosial ekonomi yang ada di Indonesia:
1. Kebijakan Pemerintah yang Tidak Adil
Kebijakan pemerintah yang tidak adil menyebabkan sejumlah ketimpangan sosial ekonomi.
Salah satu bentuk kebijakan pemerintah yang menyebabkan ketimpangan sosial ekonomi
adalah kebijakan pembangunan negara. Dalam masalah pembangunan, pemerintah seringkali
terlalu fokus membangun daerah perkotaan atau beberapa pulau besar seperti Jawa dan
Sumatera. Hal ini dikarenakan pemerintah masih menganggap daerah-daerah tersebut
berpotensi sangat tinggi dan dapat menghasilkan pemasukan yang tinggi bagi negara. Selain
itu, ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola pulau-pulau Indonesia yang banyak
membuat mereka lebih fokus mengurus perkotaan atau pulau-pulau besar di Indonesia.
Ini mengakibatkan ketimpangan sosial ekonomi antara daerah perkotaan dengan daerah
terpencil. Daerah perkotaan atau pulau besar yang mengalami pembangunan pesat akan
memperoleh fasilitas memadai, pendapatan yang tinggi, serta kesejahteraan penduduk yang
lebih baik. Ini berbeda dengan daerah terpencil yang kondisinya tertinggal dan membuat
fasilitas yang didapat tidak memadai, pendapatan daerah yang rendah, serta kesejahteraan
penduduk yang memprihatinkan. Kemiskinan akan dapat dijumpai di daerah terpencil. Bila
dibiarkan, maka akan terjadi kecemburuan sosial antara daerah terpencil dengan daerah yang
lebih maju.
2. Persebaran Penduduk
Faktor-faktor yang mempengaruhi persebaran penduduk juga mempengaruhi ketimpangan
sosial ekonomi. Di Indonesia, persebaran penduduk masih tidak begitu merata. Hal ini bisa
dilihat dari banyaknya penduduk yang menghuni Pulau Jawa dibanding pulau-pulau lainnya.
Anggapan bahwa Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan berpotensi tinggi membuat
sejumlah penduduk bermigrasi ke pulau ini.
Selain itu, faktor pembangunan yang tidak merata juga mengakibatkan penduduk daerah
terpencil pindah ke Pulau Jawa karena pulau tersebut dianggap lebih maju dibanding daerah
asal mereka.. Akibatnya, terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara Pulau Jawa
dengan pulau-pulau terpencil. Pulau Jawa akan mengalami pertumbuhan ekonomi lebih
tinggi dibanding pulau lainnya.
4. Lapangan Pekerjaan
Lapangan pekerjaan yang sedikit hanya mampu menampung angkatan kerja dengan jumlah
yang sedikit. Hal ini akan mengakibatkan ketimpangan sosial ekonomi antara angkatan kerja
yang telah bekerja dengan angkatan kerja yang belum bekerja.
Secara ekonomi, angkatan kerja akan berpotensi meraih pendapatan dan kesejahteraan hidup
yang lebih baik dibanding angkatan kerja yang masih menganggur. Jika tidak diatasi,
angkatan kerja yang menganggur akan semakin sedikit dan membuat perekonomian negara
semakin rapuh. Meningkatkan lapangan pekerjaan bisa menjadi solusi untuk mengatasi
ketimpangan ini.
Selain itu, cara mengatasi masalah pengangguran juga harus dilakukan dalam menangani
ketimpangan sosial ekonomi ini.
5. Kemiskinan
Kemiskinan membuat masyarakat sulit mendapatkan kesejahteraan hidup yang layak,
sehingga masyarakat yang mengalami kemiskinan akan mengalami ketimpangan sosial
ekonomi dengan masyarakat yang lebih kaya. Kemiskinan bisa disebabkan oleh kualitas
pribadi yang rendah serta sikap malas yang diidap masyarakat. Kemiskinan juga dapat terjadi
karena pengaruh struktur sosial yang juga disebut sebagai kemiskinan struktural.
Secara umum, kemiskinan mempunyai bermacam-macam ciri, yaitu:
• Angka kematian yang diri.
• Tingkat kesehatan yang rendah.
• Tingkat pendidikan yang rendah.
• Memiliki mata pencaharian yang berpenghasilan rendah.
• Mempunyai sikap tidak menerima perubahan.
Kemiskinan struktural mempunyai macam-macam golongan, yaitu:
• Kaum petani yang tidak mempunyai lahan sendiri.
• Petani yang mempunyai lahan sendiri namun lahannya begitu kecil.
• Para buruh yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang baik serta tidak terlatih.
• Pengusaha yang tidak mempunyai modal dan fasilitas dari pemerintah.
6. Globalisasi
Ketimpangan sosial ekonomi akibat globalisasi bisa disebabkan oleh sikap masyarakat
terhadap globalisasi. Jika masyarakat mampu beradaptasi terhadap globlisasi, maka mereka
mampu bertahan hidup lebih lama serta kesejahteraan ekonomi mereka relatif lebih tinggi.
Sebaliknya, jika tidak mampu beradaptasi terhadap globalisasi, masyarakat akan makin
tertinggal dan kesejahteraan eknominya akan jauh lebih rendah.
7. Teknologi
Sama seperti globalisasi, pemanfaatan teknologi juga berpengaruh terhadap ketimpangan
sosial ekonomi. Jika mampu memanfaatkan teknologi secara optimal, maka masyarakat akan
mampu bertahan hidup dan kesejahteraan ekonominya pun akan membaik. Sebaliknya,
kegagalan memanfaatkan teknologi akan merugikan masyarakat dan kesejahteraan
ekonominya pun akan menurun.
8. Letak Geografis
Pengaruh letak geografis juga dapat mempengaruhi ketimpangan sosial ekonomi. Hal ini
bisa dilihat dari kemajuan ekonomis masyarakat di daerah dataran tinggi dengan dataran
rendah.
Secara ekonomi, daerah dataran tinggi akan meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi
karena pembangunan di daerah tersebut cukup pesat dan fasilitas pendidikan dan
kesehatannya pun terbilang memadai.
9. Pendapatan
Sebenarnya, pendapatan bukanlah suatu hal yang dapat menimbulkan ketimpangan sosial
ekonomi. Itu pun dengan catatan bahwa pendapatan yang diterima harus sesuai dengan
bidang pekerjaan, tingkat kesulitan, kualitas, serta kinerja dari tenaga kerja. Jika tidak sesuai
dengan hal tersebut, maka ketimpangan sosial ekonomi pasti akan terjadi. Gaji buruh dan
guru yang kecil adalah contoh ketimpangan yang disebabkan oleh faktor ini. Bila dilihat dari
tingkat kesulitan dan kualitas dari tenaga kerja, gaji yang diterima dari dua profesi itu bisa
lebih layak lagi.
3.1. Kesimpulan
Masalah ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia sangat sulit dipecahkan. Bukan hanya di
Indonesia, tetapi negara-negara berkembang pun menghadapi masalah serupa. Masalah ini
ada yang berdampak positif dan negatif. Dampak positif ketimpangan sosial ekonomi adalah
mendorong adanya persaingan antar individu, sedangkan dampak negatifnya adalah dapat
membuat kemiskinan serta kriminalitas.
Upaya mengurangi ketimpangan sosial di bidang ekonomi dapat dilakukan dengan beberapa
cara yang efektif seperti memberikan bantuan/ subsidi pada masyarakat kurang mampu,
membuka lapangan kerja dan memberantas korupsi. Upaya tersebut dilakukan untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di Indonesia.
Selain itu, upaya mengurangi ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia dapat terealisasi
dengan adanya pendidikan yang baik dan teknologi yang memadai. Oleh karena itu,
pemerintah perlu memberi sosialisasi dan pendidikan untuk masyarakat Indonesia agar
mereka dapat mengubah pola pikir ( mindset) mereka menjadi lebih kritis lagi
3.2. Saran
Dalam menghadapi ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia pada zaman globalisasi,
diperlukan usaha yang lebih kreatif, inovatif dan eksploratif.
Selain itu, diperlukan kesadaran masyarakat unuk berubah dan dukungan atau bantuan
pemerintah kepada masyarakat yang kurang mampu melalui pendidikan dan progam padat
karya. Dengan adanya program padat karya, pemerintah bisa memberikan pelatihan dan
pengajaran serta pekerjaan untuk masyarakat yang kurang mampu, ini merupakan salah satu
cara yang dapat mengurangi angka pengangguran di Indonesia dan meningkatkan kualitas
sumber daya masyarakat (SDM) dalam pengetahuan, wawasan, skill, dan moralitas
DAFTAR PUSTAKA
• http://catatankuliahfethamrin.blogspot.co.id/2013/01/makalah-tentang-kemiskinan-dan.html
• https://materiips.com/faktor-ketimpangan-sosial
• https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan
• https://fisipsosiologi.wordpress.com/mata-kuliah/sosiologi-kriminalitas/
• http://giovanishandika05.blogspot.com/
• https://yustinasusi.wordpress.com/2015/09/25/ketimpangan-sosial/
Dilihat dari gambar di atas, sangat nampak sekali kesenjangan pendidikan di Indonesia ini.
Kualitas pendidikan di desa Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan
perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar
rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak
memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
bahkan belajar di tempat yang tidak layak dan sebagainya.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di
Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah
terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat
hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal
seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
Dibandingkan dengan kualitas sarana fisik yang ada di kota-kota besar, mereka
memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai, mulai dari bangunan yang mewah, penggunaan
media belajar yang lengkap, laboratorium, perpustakaan,dan sebagainya.
Bagaimana siswa bisa meningkatkan prestasi belajar mereka, sedangkan kondisi
secara fisik tidak mendukung. Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan
SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258
ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi
baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26%
mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih
tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di
SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk.
Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya
punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang,
guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima
di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama
mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka
memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi
masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di
Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Selain rendahnya kualitas sarana fisik, Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Khususnya di daerah-daerah terpencil. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam
pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan
penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Dibandingkan pengajar di kota-kota
besar, mayoritas pengajar di kota sudah mendapatkan sertifikasi dan lulusan dari luar negeri.
3. Faktor Infrastruktur
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana
dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka proses pendidikan tidak dapat
berlangsung secara efektif.
Aspek sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tercapainya pendidikan
tidak hanya jumlah dan kondisi gedung sekolah atau tempat-tempat pendidikan, tetapi juga
akses menuju tempat pendidikan tersebut yang dalam hal ini berupa kondisi jalan sehingga
menghambat penyaluran bantuan dari pemerintah seperti buku-buku pelajaran ke daerah yang
sulit dijangkau.
4. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang
sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana
dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana
disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai,
serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur
dan berkelanjutan (ayat 1).
Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak lagi boleh dilakukan oleh
sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa secara bebas, melainkan harus sesuai
dengan buku sumber yag direkomendasikan oleh pemerintah
5. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT)
membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada
realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya
unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan,
karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat
dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan
Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab
negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.selain itu, mahalnya biaya pendidikan
menyebabkan banyaknya anak putus sekolah karena tidak mampu menjangkau biaya yang
tinggi,.
BAB III
PENUTUP
5.1.2 Saran
Permasalahan aktual berupa kesenjangan-kesenjangan yang pada saat ini kita hadapi dan
terasa mendesak untuk ditanggulangi beberapa masalah aktual pendidikan yang akan
dikemukakan aktual pendidikan ada yang mengenai konsep dan ada yang mengenai
pelaksanaannya.
Masalah aktual tersebut antara lain :
a. Masala keutuhan pencapaian sasaran
b. Masalah kurikulum
c. Masalah
d. Peranan guru
e. Masalah pendidikan 9 tahun
f. Hambatan lainnya berasal dari sambutan masyarakat.
Utamanya dari orang tua/kalangan orang yang kurang mampu, mereka mungkin cenderung
untuk tidak menyekolahkan anaknya karena harus membiayai anaknya lebih lama.
Berdasarkan kesimpulan, maka saran yang dapat penulis berikan untuk
memberikan sumbangsi terhadap kebijakan pemerintah selanjutnya adalah sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Semiawan, Conny R,. Dan Soedijarto, 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan
Nasional Menjelang Abad XXI, PT. Grasindo, Jakarta
Anonim, 1998, Upaya Perintisan Peningakatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (paper
kerja), Depdikbud, Jakarta