ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan dua variabel ekonomi makro yang
sering mendapat perhatian dan perdebatan. Sampai saat ini terdapat tiga aspek yang
menjadi fokus perhatian tentang pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Pertama,
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan. Kedua, strategi
pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada penduduk miskin. Ketiga, indikator
yang dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada penduduk
miskin.
Tujuan utama tulisan ini adalah untuk menjelaskan ketiga aspek tersebut
berdasarkan studi literatur. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan kebijakan-
kebijakan yang berkaitan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia.
Bahagian terakhir mengemukakan beberapa implikasi kebijakan yang dapat
dilaksanakan untuk mengentaskan kemiskinan di daerah.
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Pembahasan hubungan pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan mengalami
perkembangan sejalan dengan perkembangan teori dan bukti empiris. Sampai saat ini
terdapat dua ketetapan yang jelas tentang hubungan kedua variabel tersebut.
distribusi aset dan sebagainya. Menurut Bank Dunia (2000) dan Stern (2003),
kemiskinan adalah hasil dari pada interaksi institusi ekonomi, sosial dan politik
dalam proses pembangunan. Interaksi ketiga-tiga institusi tersebut dapat
meningkatkan atau menurunkan kemiskinan. Pengaruh resesi ekonomi lebih jelas
dan lebih lama terhadap kelompok penduduk miskin di negara-negara yang
mempunyai tingkat korupsi yang tinggi dan undang-undang tidak dilaksanakan
dengan ketat. Dengan demikian kelemahan institusi yang ada di tingkat makro
menyumbang terhadap fluktuasi ekonomi yang pada giliran berikutnya menurunkan
taraf kehidupan kelompok miskin.
Variabel institusi yang dikemukakan oleh Bank Dunia (2000) sebagai
penentu kemiskinan bukanlah sesuatu hal yang baru. Mancur Olson (1998) salah
seorang pemenang hadiah nobel dalam bidang ekonomi telah lama mengemukakan
bahwa kualitas institusi dan kebijakan sebagai faktor penentu perbedaan tingkat
kesejahteraan. Ia dengan jelas menyatakan:
Why a country is relatively prosperous or relatively poor, is the quality
of the policies and institutions of that countries. Luck and natural
resources play a role but are secondary. It is institution and policy that
determine whether nations are rich or poor; whether life is good or bad;
whether a country is a country that people are trying to get into or that
that they try to flee from (Buxton, ND.,1998: 2)
Gambar 1
Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Dengan Kemiskinan
Pertubuhan Ekonomi
(% pertambahan PDB)
+/ -
- Institusi
- Distribusi
Aset
- Struktur
Kemiskinan
- Ekonomi
(% penduduk
- Lainnya
miskin)
perlu dirancang untuk memberi faedah yang terbesar kepada kelompok penduduk
miskin.
Salah satu kebijakan yang dapat memberi faedah yang terbesar kepada kelompok
penduduk miskin adalah pertumbuhan dengan redistribusi (redistribution with
growth) (lihat Ghatak, 1995: 250; Kakwani dan M.Pernia, 2000; dan Growth With
Equity; w.ww.oxfarm.org.uk). Konsep pertumbuhan dengan redistribusi menjelaskan
bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mencukupi untuk mengurangkan kemiskinan
karena pertumbuhan tersebut memerlukan suatu perjalanan yang panjang untuk
sampai kepada kelompok penduduk miskin. Oleh sebab itu strategi pertumbuhan
dengan redistribusi mempromosikan empat pendekatan: (a) memaksimumkan
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan simpanan dan mengalokasikan sumber
ekonomi secara efisien yang memberi keuntungan kepada seluruh kelompok dalam
masyarakat, (b) menumpukan investasi untuk kepentingan kelompok penduduk
miskin dalam bidang pendidikan, kebutuhan dasar dan meningkatkan peluang untuk
memperoleh kredit, (c) meredistribusikan (redistributing) pendapatan kepada
kelompok penduduk miskin melalui sistem kebijakan fiskal atau secara langsung
kepada kelompok miskin, dan (d) memindahkan aset yang tersedia kepada kelompok
miskin seperti land reform.
Selanjutnya pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada kelompok miskin (pro-
poor growth) juga dapat dilaksanakan dengan kebijakan (Weiss, 1995:117; Kakwani
dan Pernia, 2000:3-4): (a) mendorong pertumbuhan ekonomi berdasarkan padat
tenaga kerja (labor intensive), sehingga peluang kesempatan kerja bertambah untuk
kelompok miskin, (b) meningkatkan aset kelompok penduduk miskin, terutama
modal manusia, (c) menyediakan jaringan pengaman sosial (social safety net) untuk
kelompok yang tidak disentuh oleh pertumbuhan ekonomi. Dengan kebijakan ini
kelompok penduduk miskin akan mempunyai banyak peluang dalam proses
pembangunan dan kelompok penduduk termiskin memperoleh perlindungan dari
pemerintah.
kebijakan pengontrolan harga makanan pokok pada tingkat yang rendah adalah
faktor utama yang menyebabkan kemiskinan di negara-negara berkembang.
Selanjutnya, di negara-negara yang mempunyai pendapatan per kapita relatif
tinggi dan telah terjadi transformasi ekonomi dari sektor pertanian tradisional
kepada sektor industri, tumpuan pengontrolan harga adalah untuk melindungi
kepentingan produsen atau petani. Harga makanan pokok yang tinggi di negara-
negara berpendapatan tinggi tidak akan menimbulkan berbagai masalah, karena
agihan peruntukan pengeluaran untuk keperluan makanan pokok adalah semakin
kecil dibandingkan keseluruhan pengeluaran.
Persoalan yang dihadapi oleh negara-negara membangun saat ini adalah
kebijakan harga makanan pokok tidak dapat ditumpukan kepada konsumen atau
produsen saja. Ini disebabkan oleh tekanan harga makanan di pasaran internasional
dan kemampuan negara-negara membangun yang semakin berkurang untuk memberi
subsidi kepada konsumen atau produsen. Kemampuan negara-negara berkembang
yang semakin berkurang adalah disebabkan oleh krisis hutang, resesi ekonomi dan
musim kemarau di luar dugaan. Oleh sebab itu kebijakan pengontrolan makanan
pokok di negara-negara berkembang saat ini tidak dapat memberi perlindungan
kepada konsumen dan produser pada waktu yang sama.
Indonesia adalah salah satu negara sedang berkembang yang melaksanakan
kebijakan pengotrolan harga makanan pokok. Beras adalah makanan pokok di
Indonesia. Ia diproduksi oleh sebahagian besar petani. Ini berarti bahwa aktivitas
penanaman padi merupakan sumber pendapatan sebahagian besar penduduk
Indonesia. Selanjutnya beras menyediakan rata-rata 80 % dari kebutuhan kalori
dalam makanan sehari-hari keluarga. Akibatnya, sebahagian besar rumah tangga
mengalokasikan pengeluaran yang besar untuk mendapatkan beras. Dalam konteks
ini, harga beras menjadi variabel yang menentukan tingkat kesejahteraan sebahagian
besar penduduk Indonesia dan kestabilan negara. Oleh sebab itu, pemerintah
Indonesia telah mengambil langkah mengontrol harga beras sejak tahun 1967.
Pada tahap awal, kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah untuk
menstabilkan harga beras yang dapat memberi keuntungan kepada kepada konsumen
perbagai subsidi jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga penjualan padi yang
ditetapkan oleh pemerintah. Akibat selanjutnya adalah pendapatan petani, terutama
petani yang tidak mempunyai luas tanah yang mencukupi terus-menerus mengalami
penurunan pendapatan dan kekal dalam kemiskinan. Pengurangan pendapatan petani
telah dibuktikan oleh berbagai hasil studi yang telah dilaksanakan. Misalnya, hasil
kajian Carunia M Firdausy (1996) menemukan bahwa penghapusan subsidi pupuk
membawa dampak negatif terhadap pendapatan buruh tani dan petani yang
mempunyai luas tanah yang tidak mencukupi. Oleh sebab itu, kebijakan pengawalan
harga yang tidak seimbang antara keperluan produsen dengan konsumen adalah di
antara faktor yang menyebabkan kemiskinan berkelanjutan di Indonesia sejak
pertengahan tahun 1990-an dan setelah krisis ekonomi menghimpit Indonesia.
Sampai saat ini petani sawah di Indonesia semakin diancam kemiskinan,
karena harga padi yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah
(Pantjar Simatupang, 2000). Keadaan ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama,
Bulog saat ini tidak dapat menjalankan fungsinya melakukan operasi pasar untuk
mengendali harga beras dan monopoli impor beras karena Bank Indonesia tidak
menyediakan kredit dengan tingkat bunga yang rendah seperti yang terjadi pada
dekade 1990-an. Kedua, harga beras di internasional lebih rendah berbanding harga
pasar dalam negeri. Akibatnya, harga beras dalam negeri tidak dapat bertahan pada
harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Keadaan ini diperparah lagi oleh kurangnya
pengawalan terhadap penyeludupan beras ke Indonesia (Pantjar Simatupang, 2000).
5. Implikasi Kebijakan
Pertumbuhan ekonomi baik badasarkan teori maupun berdasarkan temuan empiris
tidak secara otomatis mengurangi kemiskinan. Terdapat beberapa variabel yang
menentukan bentuk dan tingkat hubungan kedua variabel tersebut. Diantra variabel
yang menentukan tersebut adalah kualitas institusi dan kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Selanjutnya tingkat korupsi, bubble economy dan rent-seeking
adalah faktor penyebab kemiskinan secara tidak langsung. Jika pemerintah daerah
menginginkan pertumbuhan ekonomi berpihak kepada penduduk miskin, maka
miskin yang tidak dapat disentuh dengan mekanisme non-pasar. Pemilahan ini perlu
dilakukan karena pendataan sosial ekonomi penduduk mengandung banyak
informasi yang diperlukan oleh pemerintah daerah.
PENUTUP
Pembahasan yang dikemukakan hanya berdasarkan tinjaun literatur. Untuk pemaham
lebih jauh apakah di Sumatera Barat terjadi kebijakan pertumbuhan yang berpihak
kepada penduduk miskin perlu dilakukan kajian yang mendalam. Namun teori dan
kebijakan yang telah dibahas dapat memberi beberapa implikasi bagi daerah untuk
mengurangi kemiskinan.
DAFTAR BACAAN
Asian Development Bank (2000), ADB Poverty Assessment, High Level Forum
Poverty Reduction: The Way Forward, February 17 th, 2000, Jakarta
Bhagwati, Jagdish (1988), ‘Poverty and Public Policy’, World Development,
16(5):539-555
Bigsten, Arne. et.al (2003), ‘Determinant Poverty in Ethiopia’, World Development,
31 (1): 87-106
Booth, Anne (2000), ‘Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assessment’,
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(1): 73-104
Bungaran Saragih (1998), ‘Jangan Menyubsidi Konsumen Kaya’, Forum Keadilan,
2(7): 73
Buxton, ND. (1998), ‘In Memoriam: Mancur Olson 1932-1998’, Iris Update, 8 (1);
1-2
Carunia M. Firdausy (1996), ‘The Effects of Price Liberalization and Market
Reforms on the Poverty Situation of Rural Communities and Farm Family’,
dalam Escap, Economic Liberalization and Rural Poverty: A Study on the
Effect of Price Liberalizaation and Market Reforms in Asian Developing
Countries. Bangkok: Escap
Deuster, P.R. (1982b), ‘The Green Revolution in Village of West Sumatra”, Bulletin
of Indonesia Economic Studies, 18 (2): 86-95
Getubig. I.P and A.J. Ledesma (Editor) (1988), Voices From The Culture of Silence:
the Most Disadvantaged Groups in Asian Agriculture, Kuala Lumpur: Asia
and Pacific Development Centre (APDC).
Growth With Equity, w.w.w.oxfarm.org.uk
Hanshom, Dirk, et.al. (2001), ‘Trade Policy, Poverty and Inequality in Namibia’
dalam Francis Wilson, et.al.(Editors), Poverty Reduction: What Role for the
State in Today’s Globalized Economy, Cape Town: New Africa Education
Publishing
Hemmer, Hans R. (1994), ‘Toward a New Policy on Poverty Reduction’,
Development and Cooperation, 5(6):8-11
Hulme, David and Andrew Shepherd (2003), ‘Conceptualizing Chronic Poverty’,
World Development, 31(3): 403-423
Hughes, Helen (2000), ‘Growth, Poverty and Income Distribution’, Journal of the
Asia Pacific Economy, 5(1/2): 38-44.
Kakwani, Nanak (1980), ‘On a Class of Poverty Measures’, Econometrica,
48(2):437-446.
Kakwani, Nanak (2000a), ‘Economic Growth, Poverty and Income Support
Programmes in Australia’, Journal of the Asia Pacific Economy, 5(1-2): 14-
37.
Kakwani Nanak (2000b), ‘Economic Growth, Poverty and Income Support
Programmes in Australia’, Journal of the Asia Pacific Economy, 5(1/2):14-37
Kakwani, Nanak and Ernesto M. Pernia (2000) “What is Pro-poor Growth?”, Asian
Development Bank Review, 18(1): 1-16.
Kasliwal, Pari, (1997) Development Economics, Cincinnati: South-Western College
Publishing
Killick, Tony (1981), Policy Economics: A Textbook of Applied Economics on
Developing Countries, Louis: Heineman
Lipton, Michael (1977), Why Poor People Stay Poor: Urban Bias in Wolrd
Development Cambridge, MA: Harvard University Press
Lipton, Michael (1991), Progress and Poverty, Institute of Development Studies.
Lipton, Michael (1995), ‘Growing Points in Poverty Researc: Labour Issues’, dalam
Gerry Rodgers, “The Poverty Agenda and the ILO Issues for Researc and
Action”, Geneva: International Institute for Labour Studies
Lipton, Michael and Simon Maxwel (1992), The New Poverty Agenda: An
Overview, Institute of Development Studies
Lipton, Michael and Martin Ravallion (1995), ‘Poverty and Policy ‘ dalam Jere
Behrman and T.N. Srinivasan (Editors), Handbook of Development
Economics, Volume III B, Amsterdam: Elsevier Science B.V.
Morley, Samuel A. (1995), Poverty and Inequality in Latin America: The Impact of
Adjusment and Recovery in the 1980s, Baltimore and London: The Johns
Hopkins University Press.
Narayan, Deepa, et.al (2000), Voice of the Poor: Can Anyone Hear Us?, New York:
Oxford University Press.
yen, Else (1996), “Poverty Research Rethought” dalam Else yen et.al (Editors)
Poverty: A global Review, Handbook on International Poverty Research, Oslo:
Scandinavian University Press.
Pantjar Simatupang (2000), ‘Mission Impossible Pertahankan Harga Dasar Gabah’,
Kompas, 1 November.