Anda di halaman 1dari 31

KELOMPOK 1

BERTI PURNAMA SARI 161122535

FITRIANA AYU ANGGRAENI


161122809

SERGINA TINEZIA ILI BELE


161123157

GANIS AYUDYAH PUTRI 161122825


Pendahuluan

– Ketika merdeka tahun 1945, sebagian besar penduduk Indonesia hidup


dalam keadaan yang sangat miskin sebagai akibat pendudukan Jepang
selama Perang Dunia ke-2, setelah sebelumnya mengalami penjajahan
kolonial dan eksploitasi perdagangan selama bertahun-tahun.
– Namun tahun 1993, dengan angka kemiskinan yang turun menjadi 14% dan
pertumbuhan ekonomi tahunan yang mencapai lebih dari 7%, Indonesia
bersama dengan sejumlah negara Asia Timur lainnya dikelompokkan sebagai
‘Negara Asia dengan kinerja ekonomi tinggi’ (Bank Dunia, 1993) dan
disanjung karena perkembangannya yang menakjubkan.
ERA BARU DALAM PENGENTASAN
KEMISKINAN DI INDONESIA
Tiga sudut pandang kebijakan yang berbeda dalam
mengentaskan kemiskinan di Indonesia dari era SBY
sampai era Jokowi

– Pertama, kebijakan pengentasan kemiskinan pada periode Orde Baru.


Momen paling penting dalam kebijakan pengentasan kemiskinan di era
ini adalah pada periode tahun 1970-1990, yang mana. turun dari serkitar
60% menjadi 15% pada awal tahun 1990.
Oil Boom pada periode tersebut memberikan ruang yang cukup luas bagi
pemerintah untuk menggelontorkan keuntungan penjualan minyak yang
besar bagi kebijakan pengentasan kemiskinan.
Tercatat ada banyak instrumen kebijakan pengentasan kemiskinan pada
periode ini. Yang utama adalah Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI),
bentuknya adalah Kredit Investasi Kecil dan Kredit Modal Kerja
Permanen. Kebijakan-kebijakan lain adalah program pengembangan
daerah tertinggal melalui Inpres Desa Tertinggal, Transmigrasi.
– Kedua, adalah kebijakan pengentasan kemiskinan periode Presiden SBY.
Pada periode ini, kemiskinan turun dari sekitar 16% pada awal
pemerintahan menjadi 11,25% pada tahun 2014.
Kebijakan pro-poor pada periode ini cenderung diarahkan pada
pendekatan karitatif seperti pemberian bantuan langsung tunai dan
subsidi energi. Peningkatan bantuan pada periode ini memang berdampak
pada kenaikan tingkat konsumsi masyarakat miskin.
Meski demikian kebijakan tersebut memiliki beberapa kelemahan seperti
tidak tepat sasaran dan sempitnya ruang fiskal karena besarnya subsidi
yang diberikan.
– Ketiga, periode kebijakan pengentasan kemiskinan Presiden Jokowi. Fokus
penting pada periode ini adalah pemerataan daerah tertinggal dan
pengurangan subsidi untuk belanja produktif.
Kebijakan seperti dana desa dan Program Keluarga Harapan (PKH) terbukti
efektif dalam meningkatkan elastisitas konsumsi perkapita untuk penduduk
termiskin di luar jawa, dibanding dengan elastisitas penduduk di Pulau jawa.
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi di luar Jawa cukup mampu
mendorong pertumbuhan konsumsi perkapita penduduk termiskin di wilayah
tersebut. Pada periode ini, alokasi subsidi energi juga diarahkan untuk
belanja produktif seperti belanja Infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Setiap periode memiliki pola yang berbeda dalam mengentaskan
kemiskinan. Selain faktor politis, struktur ekonomi yang terjadi pada
masing-masing periode juga turut berdampak pada efektifitas kebijakan
pada masing-masing periode.
Ditambah lagi, elastisitas pendapatan di masing-masing periode terhadap
perubahan struktur ekonomi yang berbeda.
Pada era Jokowi, penurunan kemiskinan menurut
BPS (Badan Pusat Statistik) kemiskinan Indonesia pada Maret
2019 mencapai 25,95 juta orang (9,82 persen), Angka ini berkurang
sebesar 633,2 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2017
yang sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen).
Krisis keuangan

– Efek berantai dari krisis Baht( mata uang Thailand) pada pertengahan tahun
1997 disertai kelemahan sistem dan serangkaian peristiwa yang terjadi
kemudian mengakibatkan Indonesia mengalami pertumbuhan negatif sebesar
13,1 % pada tahun 1998 dan menjerumuskan 25 persen penduduk Indonesia
yang sudah tidak lagi miskin kembali ke jurang kemiskinan.
– Depresiasi rupiah yang mulai merangkak naik pada Juli 1997, dari posisi sedikit
di bawah Rp 2.400 per 1 dolar AS pada saat sebelum krisis menjadi Rp 18.000
per 1 dolar AS pada bulan Januari 1998, berdampak pada hancurnya pasar
pertanian dan non-pertanian, serta merosotnya daya beli penduduk miskin.
 Dampak krisis tersebut bagi
keluarga miskin dan hampir-
miskin di seluruh negeri sangat
dahsyat karena mereka
kehilangan pekerjaan dan jauh
lebih menderita akibat kenaikan
harga beras dan barang-barang
dagangan lainnya yang memicu
inflasi. Hal yang paling parah
adalah kenaikan harga beras
sebesar 300 persen di sepanjang
tahun.
 Hal itu khususnya dirasa berat
oleh penduduk yang
menyisihkan 20-25 persen dari
pengeluaran rumah tangga untuk
memenuhi kebutuhan ini saja.
Karena beras memberi kontribusi
hingga setengah dari rata-rata
asupan energi orang Indonesia.
 Krisis ini pun berdampak pada sedikit
meningkatnya sektor-sektor seperti
pertanian dan manfaktur, sementara
sektor lainnya seperti konstruksi,
keuangan, dan perdagangan
mengalami penyusutan (lihat Tabel
2.5). Sifat lentur atau fleksibel pasar
kerja Indonesia mengandung
kelebihan sekaligus kelemahan.
 Sementara jumlah pengangguran
hanya mengalami sedikit kenaikan
(lihat Tabel 2.6), tingkat inflasi yang
tinggi menyebabkan upah riil
mengalami penurunan tajam sebesar
27 persen.
 Sementara jumlah pengangguran hanya
mengalami sedikit kenaikan (lihat Tabel
2.6), tingkat inflasi yang tinggi
menyebabkan upah riil mengalami
penurunan tajam sebesar 27 persen.
Masalah kemiskinan yang dihadapi Indonesia sejak diawal masa
pemerintahan orde baru dengan penekan dengan masalah yang dihadapi
selama periode reformasi . Memperkenalkan triple problem kemiskinan ,
kerentanan dan ketidakmerataan .
BEBERAPA PERTANYAAN PENTING

– Mengapa selama Orde Baru –kemiskinan turun drastis tetapi distribusi


pendapatan relative stabil ditengah laju pertumbuhan ekonomi yang
tinggi?
– Mengapa tren ini tidak berlanjut dalam era Reformasi (Post Orde Baru)?
– Bagaimana peran transformasi structural dalam proses (1) dan (2)
– Bagaimana kebijakan pemerintah merespon masalah ketimpangan ini?
TRANSFORMASI STRUKTURAL
IMPLIKASI TRANSFORMASI STRUKTURAL TERHADAP
PENDUDUK MISKIN : PRODUKTIVITAS PENDUDUK
TRIPLE PROBLEM KEMISKINAN
Kemiskinan, Kerentanan, dan Ketidakmerataan

– Ketimpangan ekonomi adalah perbedaan pembangunan ekonomi antar


suatu wilayah dengan wilayah lainnya secara vertikal dan horizontal
yang menyebabkan disparitas atau ketidakpemerataan pembangunan.
– Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan selama 15 tahun di Indonesia telah
membantu mengurangi kemiskinan dan menciptakan kelas menengah
yang berkembang. Namun, pertumbuhan selama satu dasawarsa terakhir
hanya menguntungkan 20 persen warga terkaya, sementara 80 persen
populasi tertinggal di belakang.
ADA EMPAT PENDORONG UTAMA
KETIMPANGAN DI INDONESIA
YANG MEMENGARUHI HIDUP
GENERASI MASA KINI MAUPUN KETIMPANGAN
MASA DEPAN
KEBIJAKAN PUBLIK YANG
DAPAT MEMUTUS SIKLUS
– Ketimpangan Peluang KETIMPANGAN ANTAR
– Pekerjaan yang tidak merata GENERASI

– Tingginya konsentrasi kekayaan • Memperbaiki pelayanan public


– Ketahanan ekonomi rendah di daerah.
• Menciptakan lapangan
pekerjaan dan melatih
keterampilan para pekerja
• Memastikan perlindungan dari
guncangan.
• Menggunakan pajak dan
anggaran belanja pemerintah
untuk mengurangi ketimpangan
KERENTANAN
– Sebanyak 41 persen penduduk Indonesia hidup pada garis kemiskinan dengan
penghasilan antara 1 dan 2 dolar AS perhari. Ini adalah salah satu aspek yang
mencolok dan menentukan dari kisah kemiskinan di Indonesia. Pola distribusi
pendapatan (lihat Gambar 3.2) menunjukkan bahwa tingkat penghasilan
sebagian besar penduduk Indonesia berada di sekitar tiga garis kemiskinan.
– Meskipun belum lama ini Indonesia telah berhasil melewati ambang batas
kemiskinan dan menjadi negara berpenghasilan menengah, jumlah penduduk
Indonesia dengan penghasilan di bawah 2 dolar per hari mendekati negara-
negara berpenghasilan rendah di kawasan Asia Timur.
– Tingginya proporsi penduduk hampir-miskin juga tercermin pada kondisi
penduduk Indonesia yang sangat rentan terhadap kemiskinan dan ‘pergerakan’
(churning) keluar masuk kemiskinan. Chaudhuri dan Suryahadi (2002)
menunjukkan bahwa risiko ex ante sebuah rumah tangga untuk jatuh ke bawah
garis kemiskinan, jika pun saat ini tidak miskin, masih tinggi di Indonesia.
– Dengan demikian, Indonesia memiliki jumlah penduduk ‘hampir-miskin’ yang
sangat besar. Dalam laporan ini, kategori penduduk ‘hampir-miskin’ diartikan
sebagai penduduk yang hidup di atas garis kemiskinan nasional (yakni,
pendapatan sekitar 1,55 dolar AS per hari), tetapi termasuk ke dalam 40 persen
kelompok penduduk dengan tingkat penghasilan terendah.
 Kemiskinan kembali ke tingkat sebelum krisis pada tahun 2004, tetapi melonjak kembali pada tahun
2005-2006. Meskipun mengalami kemunduran yang luar biasa akibat krisis keuangan Asia pada tahun
1997, Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam upaya menurunkan tingkat
kemiskinan.
 Tahun 1999, yaitu pada masa puncak krisis, 23,4% penduduk memiliki tingkat pendapatan yang tidak
cukup untuk menopang kebutuhan dasar mereka. Hanya dalam 5 tahun kemudian, yakni pada tahun
2004, tingkat kemiskinan turun menjadi 16,7%, yang berarti selama periode tersebut sebanyak 7,6 juta
orang berhasil keluar dari kemiskinan.

 Tingkat kemiskinan pada tahun 2004 itu bahkan lebih rendah dibandingkan
tingkat kemiskinan pada masa sebelum krisis, yakni pada tahun 1996, yang
mencapai 17,6%. Selain perbaikan dalam hal penurunan angka kemiskinan,
sejak tahun 2002 tingkat kesenjangan kemiskinan dan tingkat keparahan
kemiskinan telah kembali ke tingkat sebelum krisis, dan bahkan mencapai
tingkat yang lebih rendah di sebagian wilayah

Anda mungkin juga menyukai