Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS PENGARUH INFLASI DAN TINGKAT

PENGAGGURAN TERBUKA TERHADAP KEMISKINAN DI


JAWATIMUR TAHUN 2020-2021

OLEH:
SYAHRONI
NIM: 18.60201.1.207

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BOJONEGORO
2021
BAB I

Latar Belakang
Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah dilakukan berbagai
upaya dalam menanggulanginya, namun hingga saat ini tidak ada satu negara yang bebas dari
masalah kemiskinan. Terlebih bagi Indonesia, sebagai negara berkembang, masalah kemiskinan
adalah permasalahan yang sangat penting dan pokok dalam pembangunan. Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak. Ini berarti dengan dukungan sumber daya kekayaan alam yang
melimpah, pemerintah bertanggung jawab terhadap masalah kesejahteraan masyarakat, termasuk
masalah kemiskinan yang dialami oleh setiap warga negaranya. Melalui konsep pembangunan
desentralisasi, upaya untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada di setiap daerah diharapkan
dapat memberi keuntungan dan kesejahteraan pada masyarakat. Ini berarti ada harapan besar
bagi masyarakat agar bebas dari jerat kemelaratan dan kemiskinan. Dalam tataran konsep, semua
pemerintah provinsi, daerah dan kota berkomitmen untuk mensejahterakan masyarakatnya, hal
tersebut dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang
memuat berbagai program dan kegiatan yang berorientasi pada pencapaian visi dan misi
kesejahteraan sebagai tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat, akan tetapi pada tahap
implementasi hal tersebut sangat diragukan bila dihubungkan dengan fakta yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat yang masih jauh dari kategori sejahtera.
Upaya penanggulangan kemiskinan terus menerus dilakukan, program-program anti
kemiskinan yang digulirkan oleh pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dan Perdesaan, Kredit Usaha
Rakyat (KUR) dan lain sebagainya memang membuat jumlah penduduk miskin terkoreksi dan
terus mengalami penurunan, namun mengeluarkan masyarakat dari perangkap kemiskinan,
memperkecil ketimpangan di antara penduduk miskin maupun penduduk yang tidak miskin
merupakan tugas dan tantangan yang harus menjadi prioritas semua pihak, terutama pemerintah,
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Program-program anti kemiskinan sudah
seharusnya didasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan, mengingat
gejala dan faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat bervariasi setiap daerah.
Menurut Hari Srinivas dari Maxwell School of Syracuse University bahwa Causes of
Poverty theory atau teori penyebab kemiskinan Maxwell School menyatakan secara garis besar
sebab kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu individu dan agregat. Secara individu,
faktor penentu kemiskinan antara lain: pendidikan, keterampilan, pengalaman, kecerdasan,
kesehatan, cacat, usia, orientasi kerja, budaya kemiskinan, diskriminasi (gender, ras atau agama)
dan jenis kelamin. Sedangkan secara aggregat, faktor penentu kemiskinan dapat berupa faktor-
faktor ekonomi yang lebih luas, seperti ketersediaan kesempatan kerja layak yang terbatas,
kegagalan pasar (penawaran dan permintaan tidak seimbang) dan pendapatan nasional yang
rendah.
Banyak indikator yang mempengaruhi kemiskinan di suatu daerah seperti
pengangguran, inflasi, pendapatan daerah, bencana alam dan lain sebagainya Kompleksnya
permasalahan dan penyebab kemiskinan menjadikan topik kemiskinan menarik dan perlu dikaji
oleh berbagai pihak terutama sebagai bahan referensi dalam pengambilan kebijakan.
Faktorfaktor yang mempengaruhi masalah kemiskinan tersebut saling berkaitan satu sama lain
sehingga menjadi masalah yang kompleks (Kartini, 2018). Berbagai istilah seperti Garis
Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan, Indeks Keparahan Kemiskinan menjadi hal yang
banyak dipelajari saat ini.
Menurut BPS, Garis Kemiskinan (GK) dapat diartikan sebagai tingkat minimum
pendapatan yang diperlukan oleh suatu daerah untuk memenuhi standar hidup layak, Garis
Kemiskinan ini dapat dibedakan menjadi Garis Kemiskinan Makanan dan Garis Kemiskinan
Non Makanan. Penentuan besaran Garis Kemiskinan di suatu daerah dilakukan Pemerintah
melalui perhitungan pemenuhan kebutuhan kedua hal tersebut. Setiap tahun relatif akan
berfluktuasi apakah naik atau turun sesuai dengan kondisi perekonomian daerah tersebut.
Penyebab naik turunnya Garis Kemiskinan bisa diteliti dengan menganalisa faktor-faktor yang
berkemungkinan mempunyai pengaruh, baik berpengaruh kuat, sedang maupun tidak
berpengaruh sama sekali.
Piachaud (2002) mengemukakan bahwa modal menjadi faktor penentu bagi kemiskinan
dan Social Exclusion atau keterkucilan sosial . Piachaud membedakan lima bentuk jenis modal,
yaitu Financial Capital (Modal Keuangan), Physical Capital (Modal Fisik), Human Capital
(Modal Manusia), Public Infrastructure (Infrastruktur Publik) dan Sosial Capital (Modal Sosial).
Moeis (2006) menyebutkan bahwa faktor penentu atau determinan kemiskinan diantaranya
adalah ekonomi (pendapatan, nutrisi, perumahan), sosial (keterasingan, merasa tidak aman),
politik dan budaya (pendidikan, kepercayaan diri), sedangkan World Bank (2002) dalam Usman,
et al. (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat berupa karakteristik
makro, sektor, komunitas, rumah tangga, dan individu. Pada karakteristik makro, determinan
kemiskinan dapat berupa potensi ekonomi daerah, tingkat inflasi dan lainlain. Pada karakteristik
sektoral, determinan kemiskinan dapat berupa tingkat pengangguran, pendidikan atau kontribusi
sektor primer tehadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada karateristik komunitas,
determinan kemiskinan dapat berupa infrastruktur. Selain faktor-faktor tersebut, kemiskinan juga
dipengaruhi oleh karakteristik geografis.
Dalam teori makro masalah makroekonomi yang selalu dihadapi suatu negara adalah
masalah pertumbuhan ekonomi, masalah ketidakstabilan kegiatan ekonomi, masalah
pengangguran, masalah kenaikan harga-harga (inflasi), dan masalah neraca perdagangan. Isu
perekonomian yang selalu menjadi perhatian penting dari pemerintahan negara-negara di dunia
khususnya negara berkembang yaitu Indonesia adalah inflasi. Inflasi merupakan kenaikan harga-
harga umum yang berlaku dalam suatu perekonomian dari suatu periode ke periode lainnya.
Inflasi merupakan salah satu indikator stabilitas perekonomian. Jika tingkat inflasi rendah dan
stabil akan menjadi stimulator pertumbuhan ekonomi. Setiap kali ada gejolak sosial, politik dan
ekonomi di dalam maupun di luar negeri masyarakat selalu mengaitkan dengan masalah inflasi
(Mankiw, 2006).
Sejumlah teori telah dikembangkan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
inflasi. Menurut pandangan monetaris penyebab utama inflasi adalah kelebihan penawaran uang
dibandingkan yang diminta oleh masyarakat. Menurut Bank Indonesia (2015), uang beredar
dapat didefinisikan dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit meliputi uang kartal
yang dipegang masyarakat dan uang giral (giro berdenominasi Rupiah), sedangkan dalam arti
luas meliputi uang kartal,uang giral dan uang kuasi (mencakup tabungan, simpanan berjangka
dalam rupiah dan valas, serta giro dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh
sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan
satu tahun.
Golongan non monetaris, yaitu keynesian tidak menyangkal pendapat pandangan
monetaris tetapi menambahkan bahwa tanpa ekspansi uang beredar, kelebihan permintaan
agregat dapat saja terjadi jika terjadi kenaikan pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran
pemerintah atau ekspor bersih. Dengan demikian, inflasi dapat disebabkan oleh faktor moneter
dan non moneter.
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia telah banyak
dilakukan diantaranya adalah Theodores, Vecky, Henly (2014). Teori yang mendasari penelitian
tersebut adalah ada banyak faktor yang mem pengaruhi perubahan inflasi, secara garis besar
dibagi menjadi dua bagian yaitu tarikan permintaan atau demandpull inflation dan desakan biaya
atau cost push inflation.

Tingkat suku bunga merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dapat
mempengaruhi inflasi ((Santoso, 2010), (Sinambela, 2011), dan (Adrian dan Zulfahmi, 2012)).
Nopirin (2000) mendefinisikan suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh peminjam atas
pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya.
Kenaikan tingkat suku bunga yang sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi
money suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk sektor riil (Atmadja,
1999). Oleh karena itu, tingkat suku bunga dapat memicu inflasi.

Inflasi di Indonesia juga dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditi impor (imported
inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika dan mata uang asing lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan
inflasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
khususnya dolar Amerika (Atmadja, 1999). Ketidakstabilan nilai tukar ini akan mempengaruhi
arus modal atau investasi dan pedagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang banyak
mengimpor bahan baku industri mengalami dampak dan ketidakstabilan kurs ini, yang dapat
dilihat dari rnelonjaknya biaya produksi sehingga menyebabkan harga barangbarang milik
Indonesia mengalami peningkatan. Dengan melemahnya rupiah menyebabkan perekonomian
Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis ekonomi dan kepercayaan terhadap mata uang dalam
negeri. Dengan adanya lonjakan-lonjakan drastis pada tingkat kurs tersebut ini akan membuat
para produsen kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, barang modal dan barang modal yang
mempunyai kangdungan impor yang tinggi sehingga kemudian akan berdampak pada naiknya
biaya untuk mengimpor barang untuk keperluan proses produksi sehingga akan mempengaruhi
tingkat harga domestik yang merupakan cerminan dari tingkat inflasi. Oleh karena itu, nilai tukar
(kurs) juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi inflasi di Indonesia (Saputra,
2013).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi inflasi yaitu ekspor. Ekspor ditentukan oleh
beberapa faktor yang akan menentukan kemampuan negara pengekspor. Menurut Sukirno (2004)
beberapa faktor tersebut antara lain adalah daya saing di pasaran luar negeri, keadaan ekonomi di
negara-negara lain, kebijakan proteksi di negara luar, dan kurs valuta asing.

Pembangunan ekonomi ditujukan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sisi


ekonomi maupun sisi sosial. Salah satu tujuan dari pembangunan ekonomi itu sendiri yaitu
menciptakan kesempatan dan lapangan kerja semaksimal mungkin supaya angkatan kerja yang
berada di dalam suatu negara tersebut dapat terserap dalam proses kegiatan ekonomi di negara
tersebut. Di lain sisi tujuan dari pembangunan ekonomi ialah terciptanya pertumbuhan serta
peningkatan sumber daya manusia (SDM).

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, yang di mana dalam


pengelompokan negara berdasarkan taraf kesejahteraan masyarakatnya, di mana salah satu
permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah masalah
pengangguran. Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi
sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang tidak
selalu mudah untuk dipahami. Apabila pengangguran tersebut tidak segera diatasi maka dapat
menimbulkan kerawanan sosial, dan berpotensi mengakibatkan kemiskinan.

Terjadinya pengangguran di suatu negara dapat dikarenakan jumlah lapangan pekerjaaan


di suatu wilayah tertentu tidak dapat mencukupi jumlah angkatan kerja atau jumlah permintaan
akan lapangan pekerjaan akan penawaran lapangan kerja tidak seimbang. Hal tersebut berakibat
bertambahnya jumlah pertumbuhan tenaga kerja melebihi jumlah kesempatan kerja.

Dalam pembangunan ekonomi negara negara berkembang, pengangguran yang semakin


bertambah jumlahnya merupakan masalah yang lebih rumit dan lebih serius dari pada masalah
perubahan dalam distribusi pendapatan yang kurang menguntungkan penduduk yang
berpendapatan rendah. Keadaan di negara-negara berkembang dalam beberapa dasawarsa ini
menunjukkan bahwa pembangunan yang telah tercipta tidak sanggup mengadakan kesempatan
kerja yang lebih cepat dari pada pertambahan penduduk yang berlaku. Oleh karenanya, masalah
pengangguran yang mereka hadapi dari tahun ke tahun semakin lama semakin bertambah serius.
Lebih prihatin lagi di beberapa negara miskin bukan saja jumlah pengangguran menjadi
bertambah besar, tetapi juga proporsi mereka dari keseluruhan tenaga kerja semakin bertambah
tinggi.

Pengangguran diartikan sebagai seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja dan
secara aktif mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak memperoleh
pekerjaan yang diinginkan. Banyaknya pengangguran di suatu wilayah merupakan masalah yang
tidak hanya mencakup bidang perekonomian saja. Di sisi lain, masalah pengangguran juga
mempunyai hubungan erat dengan bidang sosial dan pendidikan. Di zaman seperti sekarang
bukan hanya masyarakat yang memiliki pendidikan rendah saja yang menganggur, masyarakat
yang memiliki tingkat pendidikan tinggi pula juga banyak yang menganggur (Sukirno, 2008).

Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi tingkat pengangguran di suatu daerah. Semakin


tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu daerah maka akan semakin tinggi pula kesempatan
berkembang bagi perusahaan dan penciptaan kesempatan kerja bagi masyarakat daerah tertentu.
Di samping itu pertumbuhan ekonomi melalui PDRB yang meningkat, diharapkan dapat
menyerap tenaga kerja di wilayah tersebut, karena dengan kenaikan PDRB kemungkinan dapat
meningkatkan kapasitas produksi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penurunan PDRB suatu
daerah dapat dikaitkan dengan tingginya jumlah pengangguran pada daerah tersebut. Angka
pengangguran yang rendah dapat mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Jumlah
tingkat pengangguran serta angkatan kerja menunjukkan besarnya jumlah penduduk yang harus
diikutsertakan dalam proses pembangunan yang berarti bahwa tingkat pengangguran dan
angkatan kerja merupakan bagian dari penduduk yang mampu menggerakkan proses ekonomi.
Ini menggambarkan bahwa dinamika proses pembangunan harus mampu melibatkan seluruh
angkatan kerja maka jumlah angkatan kerja yang besar itu dapat menjadi beban bagi
pembangunan ekonomi.

Jumlah tingkat pengangguran serta angkatan kerja menunjukkan besarnya jumlah


penduduk yang harus diikutsertakan dalam proses pembangunan yang berarti bahwa tingkat
pengangguran dan angkatan kerja merupakan bagian dari penduduk yang mampu menggerakkan
proses ekonomi. Ini menggambarkan bahwa dinamika proses pembangunan harus mampu
melibatkan seluruh angkatan kerja maka jumlah angkatan kerja yang besar itu dapat menjadi
beban bagi pembangunan ekonomi.

Di masa sekarang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan


kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada dan mencerminkan tingkat
kepandaian atau pencapaian pendidikan formal dari penduduk karena semakin tingginya tamatan
pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kemampuan kerja atau produktivitas seseorang
dalam bekerja. Tujuan akhir program pendidikan adalah teraihnya lapangan kerja yang
diharapkan.

Pendidikan pada diri seseorang dapat meningkatkan kemampuan dalam memperoleh dan
menggunakan informasi dan memperoleh pemahaman akan perekonomian serta memberikan
pilihan apakah seseorang ingin menjadi konsumen, produsen atau menjadi warga negara biasa.
Secara tidak langsung pendidikan juga berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan pribadi
seseorang dengan cara meningkatkan produktivitas sehingga akan mencapai standar hidup yang
lebih baik. Angkatan kerja yang bekerja, modal fisik dan tanah dapat mengalami diminishing
return sedangkan ilmu pengetahuan tidak bisa. Jadi investasi modal manusia merupakan faktor
utama dalam peningkatan produktifitas faktor produksi secara total (Kuncoro, 2004).

Pendidikan tersebut termasuk ke dalam salah satu investasi pada bidang sumber daya
manusia, yang mana investasi tersebut dinamakan dengan Human Capital (teori modal manusia).
Investasi pendidikan merupakan kegiatan yang dapat dinilai stok manusia, di mana nilai stock
manusia setelah mengikuti pendidikan dengan berbagai jenis dan bentuk pendidikan diharapkan
dapat meningkatkan berbagai bentuk nilai berupa peningkatan penghasilan individu, peningkatan
produktivitas kerja, dan peningkatan nilai rasional (social benefit) individu dibandingkan dengan
sebelum mengecap pendidikan (Idris, 2007).

Dalam UUD 1945 pasal 28C yang telah diamandemen disebutkan bahwa: “Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Berdasarkan UU
Nomor 20 Tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan bahwa besarnya porsi
anggaran pendidikan adalah 20 persen dari total APBN. Ini mengimplikasikan bahwa komitmen
bangsa ini untuk menempatkan pendidikan sebagai salah satu komponen sumber daya
pengetahuan, sehingga dipahami bahwa pengetahuan akan menjadi pembangkit kemajuan
ekonomi.

Di mata penduduk berkembang, pendidikan dipandang sebagai sarana guna


meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan kesempatan kerja yang ada. Atau dalam
kalimat lain, tujuan akhir dari program pendidikan adalah teraihnya lapangan kerja yang
diharapkan.
Setidaknya masyarakat yang telah mengenyam pendidikan setelah selesai mereka mendapatkan
pekerjaan yang lebih berkelas di sektor formal. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap
pekerjaan yang mereka dapatkan kelak. Semakin lama jangka waktu yang masyarakat
habiskan untuk mendapatkan pendidikan maka semakin tinggi atau bermartabat pula pekerjaan
yang mereka dapatkan dan semakin terhindar mereka dari masalah pengangguran.

Bank Indonesia mendefenisikan Inflasi sebagai suatu kondisi dimana harga mengalami
kenaikan secara umum dan terus menerus pada jangka waktu tertentu. Berpengaruh atau
tidaknya inflasi terhadap kemiskinan perlu dilakukan analisa lebih lanjut. Sebuah kajian kajian
tentang pengaruh inflasi terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa timur menunjukkan bahwa nilai
inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan (Imelia 2012). Demikian juga hasil
penelitian lainnya mengatakan inflasi berpengaruh tidak langsung dan tidak signifikan terhadap
kemiskinan di Kota Samarinda (Susanto, Rochaida, & Ulfah, 2018) Menurut Shinta Setya
Ningrum, 2017 dijelaskan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka, Indeks Pembangunan Manusia
dan Upah Minimum berpengaruh signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di
Indonesia.Tingkat pendidikan, budaya kerja, keterbatasan lapangan kerja, modal dan sumber
daya alam juga bisa menjadi penyebab terhadap angka kemiskinan (Itang, 2015). Penelitian lain
juga menyebutkan bahwa PDRB berpengaruh kuat terhadap kemiskinan sedangkan tingkat
pengangguran tidak terlalu berpengaruh terhadap angka kemiskinan (Rusdarti dan Sebayang,
2013).

Penelitiaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Tingkat Inflasi (I) dan Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) terhadap Garis Kemiskinan (GK) di Provinsi Sumatera Selatan.
Banyak faktor yang bisa di analisa dalam mempelajari faktor yang berpengaruh tersebut, namun
dalam hal ini hanya dibatasi menjadi dua indikator diatas.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat
dirumuskan permasalahanya sebagai berikut:

1. Adakah pengaruh inflasi dapat menyebabkan tingkat kemiskinan meningkat?


2. Apakah tingkat pengangguran terbuka mempengaruhi kemiskinan di Jawa Timur?

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis pengaruh inflasi yang menyebabkan tingkat kemiskinan di Jawa Timur


meningkat.
2. Mengidentifikasi hubungan antara tingkat penggangguran terbuka yang mempengaruhi
kemiskinan.

Manfaat penelitian

Penelitian yang dilakukan pada kali ini akan memberikan beberapa kegunaan atau
manfaat antara lain:

1. Bagi Peneliti
a. Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti mengenai
inflasi dan tingkat pengangguran terbuka yang mempengaruhi kemiskinan.
b. Sebagai implementasi atas teori yang telah didapatkan pada perkuliahan dan
menambah wawasan.
2. Bagi pembaca
Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh infestasi dan
tingkat pengganguran terbuka yang nantinya akan mempengaruhi meningkatnya
kemiskinan di Jawa Timur.
3. Bagi universitas
Memberikan tambahan perbendaharaan kepustakaan khususnya yang
berhubungan dengan meningkatnya kemiskinan.

Anda mungkin juga menyukai