Anda di halaman 1dari 8

GREEN ECONOMY:

Menghijaukan Ekonomi, Bisnis & Akuntansi 1

Oleh: Andreas Lako2

I. Pengantar

Dalam dua dekade terakhir, kerusakan lingkungan, pemanasan global (global


warming) dan perubahan iklim (climate change) kian serius dan menakutkan, serta telah
menimbulkan dampak-dampak negatif yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia dan
menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat internasional. Bencana alam seperti
banjir, rob, pencemaran udara, air dan tanah, perubahan iklim yang ekstrim, perubahan
cuaca yang ekstrim, dan lainnya terjadi dimana-mana. Sejumlah hasil analisis menunjukkan
bahwa kian masifnya eskalasi pemanasan global dan perubahan iklim tersebut disebabkan
oleh kerusakan lingkungan yang kian masif di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Kerusakan lingkungan tersebut tidak hanya telah menyebabkan terjadinya krisis lingkungan,
tapi juga menyebabkan krisis sosial, krisis ekonomi, krisis energi dan sumberdaya, serta
krisis-krisis lainnya yang serius.

1Disajikan dalam Seminar Nasional dan Bedah Buku “GREEN ECONOMY: Menghijaukan Ekonomi, Bisnis
& Akuntansi” (Penerbit Erlangga, 2015) yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika
Soegijapranata bekerjasama dengan IAI Wilayah Jawa Tengah dan Penerbit Erlangga, 1 Juni 2015

2 Guru Besar Akuntansi Berkelanjutan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang;
Ketua Forum Dosen “Corporate Governance, CSR & Green Accounting” IAI Kompartemen Akuntan
Pendidik (IAI-KAPd) periode 2014-2016; Penulis buku “GREEN ECONOMY: Menghijaukan Ekonomi,
Bisnis & Akuntansi” (Penerbit Erlangga, 2015). Kontak: a_lako@yahoo.com

1
Berbagai pihak menuding bahwa penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan
dan krisis sosial-lingkungan selama ini adalah akibat dari strategi dan kebijakan
pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan pro-rakyat. Strategi dan kebijakan
pembangunan nasional lebih mengutamakan pencapaian kepentingan ekonomi dari negara
dan para pemilik modal dibanding kepentingan lingkungan dan masyarakat. Bahkan,
lingkungan dan seluruh sumberdaya alam yang melekat padanya serta sumberdaya
ekonomi masyarakat diakuisisi dan dieksploitasi secara serakah oleh negara dan para
pelaku ekonomi untuk mewujudkan kepentingan pertumbuhan ekonomi negara dan laba
korporasi.

Akibatnya, meski di satu sisi pertumbuhan laba korporasi dan pertumbuhan


ekonomi negara (daerah) terus meningkat (EN), namun pada saat yang sama eskalasi krisis
sosial dan krisis lingkungan (EKSL) semakin meningkat pula. Permasalahan sosial dan
lingkungan yang timbul justru kian kompleks dan membahayakan. Fenomena ini sering
disebut sebagai “paradoks pertumbuhan ekonomi” yang dihasilkan dari perilaku ekonomi
yang tamak (greedy economy).

Merespon realitas tersebut dan juga merespon tekanan dari masyarakat


internasional yang kian kuat agar Indonesia berperan aktif dalam kolaborasi global untuk
mengatasi pemanasan global dan peruabahan iklim, pemerintah Indonesia di bawah
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 2009-2014 memang
sudah merumuskan langkah-langkah strategis dan operasional untuk “menghijaukan
Indonesia” melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan
ekonomi hijau (green economy). Pemerintah Indonesia bahkan berperan aktif terus
berusaha mengajak dan menggalang para kepala negara dan pemerintahan serta para
pemimpin bisnis dunia untuk kolaborasi global mencegah perilaku ekonomi yang tamak dan
merusak lingkungan.

Dalam pidato berjudul “Moving Towards Sustainability: Together We Must Create


The Future We Want” pada KTT Rio+20 di Rio de Janeiro pada 20 Juni 2012, Presiden
SBY secara lantang mengajak para pemimpin dunia untuk beralih dari greed economy
(perilaku ekonomi yang serakah) ke green economy (perilaku ekonomi yang ramah
lingkungan). Tujuannya, agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia bisa
berkelanjutan, kemiskinan dan kemelaratan masyarakat bisa dipangkas, dan keadilan serta
kesejahteraan bisa dinikmati semua orang. Menurut SBY, kerusakan lingkungan dan
kemiskinan terjadi akibat keserakahan, tingkat konsumsi yang berlebihan, dan diabaikannya
kelestarian lingkungan. Dalam forum KTT Rio+20, Presiden SBY juga menyatakan
komitmen Indonesia untuk mengimplementasikan ekonomi hijau dalam konteks
Pembangunan Berkelanjutan dan Penurunan Kemiskinan (Poverty Eradiction).

Pernyataan tersebut mendapat apresiasi dari sekitar 190an kepala negara dan
pemimpin pemerintahan serta para pemimpin bisnis yang hadir. Namun pasca KTT Rio+20,
mungkin karena disebabkan masa pemerintahan SBY-Boediono akan segera berakhir,
gaung implementasi ekonomi hijau di Indonesia kian meredup. Pemerintah bahkan makin
tidak konsisten dan tidak jelas arahnya dalam menerjemahkan dan mengimplementasikan
strategi ekonomi hijau dalam kebijakan dan pengambilan keputusan stratejik, taktikal dan
operasional pembangunan. Bahkan, antar kementerian negera dan antara pemerintah pusat
dan daerah terlihat tidak ada kesepahaman dan koordinasi tentang visi dan implementasi

2
ekonomi hijau dalam strategi dan agenda pembangunan berkelanjutan. Hal itu tercermin dari
sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah
yang banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi hijau dan pembangunan
berkelanjutan.

Saya mencermati, pemerintah sepertinya masih bingung tentang bagaimana


menerjemahkan, merumuskan dan menginternalisasikan prinsip-prinsip dan pilar-pilar
ekonomi hijau sebagaimana tercatum dalam dokumen “The Future We Want” hasil KTT
Rio+20 ke dalam Cetak Biru Pembangunan Ekonomi Hijau Nasional (CBPEHI) untuk
menghijaukan Indonesia. Dari amatan saya, empat pilar strategi pembangunan nasional
yang diusung pemerintahan Presiden SBY selama memimpin Indonesia, yaitu pro-growth,
pro-job, pro-poor dan pro-green, juga belum sesungguhnya merefleksikan pendekatan
pembangunan ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan masyarakat. Bahkan, visi
pembangunan ekonomi yang tercantum dalam MP3EI (Master Plan Percepatan
Pembangunan Ekonomi Indonesia), yaitu Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang
Mandiri,Maju, Adil, dan Makmur” belum merefleksikan visi pembangunan ekonomi hijau
atau pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya.

Karena itu, ketika Joko Widodo dan Jusuf Kalla atau disingkat Jokowi-JK terpilih
menjadi Presiden-Wakil Presiden untuk menggantikan SBY-Boediono, saya dan banyak
kalangan berharap banyak bahwa pemerintahan baru di bawah komando Jokowi-JK akan
memiliki komitmen kuat dan melakukan aksi-aksi nyata untuk menata ulang tatakekola
pembangunan ekonomi nasional yang lebih ramah lingkungan dan masyarakat.
Pemerintahan Jokowi-JK diharapkan dapat meninjau kembali strategi dan kebijakan
pembangunan nasional yang selama ini lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan
cenderung mengorbankan kepentingan masyarakat dan lingkungan dengan strategi dan
kebijakan pembangunan berkelanjutan yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial
dan lingkungan secara selaras, adil dan berkelanjutan.

Namun, harapan-harapan tersebut tampaknya akan sulit menjadi kenyataan.


Meskipun dalam Visi-Misi Jokowi-JK atau Nawacita tersurat bahwa Jokowi-JK memiliki
komitmen kuat untuk mewujudkan pendekatan Pembangunan Berkelanjutan dengan
pendekatan Green Economy, namun dalam tujuh bulan terakhir komitmen dan aksi-aksi
nyata untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan dan masyarakat
belum terlihat jelas. Indonesia yang selama kepemimpinan Presiden SBY diakui memiliki
komitmen politik yang kuat terhadap pelaksanaan green economy untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan mulai diragukan komitmennya
pada masa pemerintahan Jokowi-JK.

Banyak kalangan bahkan mulai pesimis bahwa Jokowi-JK memiliki “hati nurani”
untuk konsisten mengimplementasikan prinsip-prinsip ekonomi hijau dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan nasional karena Jokowi-JK berasal dari latar belakang
sebagai pengusaha atau pebisnis yang pragmatis. Latar belakang tersebut dikuatirkan akan
mempengaruhi pemikiran, keputusan dan aksi-aksi nyata-nyata yang cenderung pragmatis.

II. Strategi Menghijaukan Ekonomi, Bisnis dan Akuntansi

Harus diakui bahwa pendekatan pembangunan selama pemerintahan SBY-Boediono


selama 2004-2014 telah menghasilkan pertumbunan ekonomi yang tinggi, yaitu di atas 5
persen per tahun (kecuali 2009). Namun bersamaan dengan pertumbuhan yang tinggi
tersebut, juga terjadi kerusakan lingkungan dan krisis sosial-lingkungan yang kian serius
dan mengkuatirkan. Kemiskinan, pengangguran, ketimpangan ekonomi, kerusakan

3
lingkungan dan bencana alam yang diakibatkan oleh perilaku serakah para pelaku ekonomi
dan bisnis juga kian meningkat. Kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, yang
tercemin dalam Rasio Gini, terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir hingga mencapai
di atas 0,41.Fenomena tersebut menunjukkan bahwa ada yang keliru dalam strategi
pembangunan nasional yang berbasis pada empat pilar (pro-growth, pro-poor, pro-job, pro-
green) tersebut. Bisa jadi, strategi dan kebijakan pembangunan selama ini tanpa disadari
justru telah mendorong munculnya perilaku keserakahan para pelaku ekonomi dan bisnis
yang mengorbankan masyarakat dan lingkungan demi kepentingan pertumbuhan ekonomi
dan bisnis.

Pertanyaannya, bagaimamakah strategi untuk menghijaukan pembangunan ekonomi


untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi hijau tersebut?

Jawabannya adalah dengan menghijaukan ekonomi dan bisnis. Perumusan Cetak


Biru Pembangunan Ekonomi Hijau Indonesia (CBPEHI) oleh pemerintahan baru di bawah
pimpinan Jokowi-JK dalam rangka memberikan arahan strategis, taktikal dan operasional
dalam pembangunan berkelanjutan nasional menjadi sangat penting. Seperti disajikan
dalam Gambar 1, saya mengusulkan agar penghijauan ekonomi dan bisnis dilakukan secara
terstruktur, sistematis dan masif pada seluruh struktur dan aspek pembangunan,

Secara umum, seperti disajikan dalam Gambar 1, langkah pertama yang perlu
dilakukan pemerintah pusat adalah melakukan penghijauan (greening) terhadap struktur dan
proses pembangunan ekonomi nasional. Langkah berikutnya adalah menghijaukan
kebijakan dan mekanisme fiskal dan moneter. Selanjutnya, dilakukan penghijauan terhadap
instrumen-instrumen keuangan dan pasar modal.

Gambar 1
Strategi menghijaukan perekonomian nasional

Greening Struktur
dan Proses
Pembangunan
Ekonomi

Greening
Kebijakan dan
Greening mekanisme
pendidikan, media- Strategi fiskal dan
massa dan publik Penghijauan moneter
Ekonomi

Greening
Greening instrumen
industri, bisnis, keuangan dan
dan korporasi pasar modal

Agenda aksi yang juga tak kalah penting dan strategis untuk dilakukan pemerintah
adalah menghijaukan industri, bisnis dan korporasi melalui regulasi-regulasi dan kebijakan-
kebijakan yang atraktif untuk mendorong dan bahkan memaksa industri serta para pelaku

4
usaha untuk berkomitmen dan berperilaku ramah lingkungan untuk mendukung agenda
pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau.

Langkah terakhir adalah menghijaukan pendidikan, media massa dan masyarakat


(publik). Strategi pendidikan nasional mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi juga
perlu dihijaukan dalam upaya mendidik dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya perilaku dan pola hidup ramah lingkungan dalam upaya mendukung
keberlanjutan bumi dan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat itu
sendiri. Media massa juga perlu dihijaukan baik dalam perilaku usahanya maupun dalam
upaya turut serta mengedukasi dan mengontrol perilaku ramah lingkungan daripemerintah,
pelaku ekonomi dan bisnis, serta masyarakat luas. Menghijaukan masyarakat agar berpola
pikir dan berpola hidup ramah lingkungan juga menjadi sangat penting.

Dalam upaya memberikan kontribusi pemikiran dan solusi untuk menghijaukan


Indonesia melalui strategi ekonomi dan bisnis hijau tersebut, buku “GREEN ECONOMY:
Menghijaukan Ekonomi, Bisnis dan Akuntansi” (Penerbit Erlangga) ini diterbitkan.

Secara khusus, sejumlah gagasan yang penulis sajikan dalam buku ini berfokus
pada penghijauan ekonomi dan bisnis. Dalam pandangan penulis, apabila ekonomi dan
bisnis dapat dikelola secara baik dan berkelanjutan maka sejumlah permasalahan krusial
dan strategis yang melilit ekonomi, sosial dan lingkungan selama ini pasti juga akan dapat
teratasi dengan baik. Kinerja perekonomian, kinerja dunia usaha, kesejahteraan rakyat dan
kelestarian lingkungan serta alam semesta pasti juga akan semakin baik dan
berkelanjutan.Indonesia pun akan berkontribusi signifikan dalam upaya global untuk
mencegah eskalasi pemanasan global dan perubahan iklim.

Namun demikian, permasalahan mendasarnya adalah pemahaman dan paradigma


pemerintah, pelaku ekonomi dan pelaku bisnis serta para pihak yang terlibat dalam mata
rantai pembangunan ekonomi dan bisnis tentang hakikat, peran strategis dan strategi untuk
menghijaukan ekonomi dan bisnis masih sangat terbatas atau lemah.

Karena itu, dalam upaya mengedukasi dan memberikan pencerahan semua pihak
tentang esensi, peran strategis dan bagaimana strategi yang dapat ditempuh untuk
menghijaukan ekonomi dan bisnis, selama 2012-2014 penulis telah menulis sejumlah artikel
di beberapa media massa nasional tentang isu ekonomi hijau dan bisnis hijau serta strategi
menghijaukannya. Penulis juga menulis isu-isu Akuntansi Hijau dengan tujuan untuk
menghijaukan akuntansi dan profesi akuntan agar kelak mereka bisa berperan sebagai
penyedia informasi hijau kepada para pihak dalam pengambilan keputusan ekonomi dan
nonekonomi.

Karena disajikan di media massa maka tentu saja pencerahan atau gagasan yang
penulis sajikan dalam sejumlah tulisan tersebut hanya dibaca sesaat dan mungkin saja juga
hanya oleh kalangan terbatas. Padahal, green economy dan green business serta strategi
menghijaukannya dalam beberapa tahun terakhir dan beberapa dekade ke depan menjadi
isu penting dan mendesak bagi semua pihak.

Karena itu, timbul pemikiran dari penulis untuk mengumpulkan kembali dan
memadukan artikel-artikel yang sudah tersebar di sejumlah media massa tersebut ke dalam
suatu buku. Harapannya, tulisan-tulisan tersebut akan dibaca oleh lebih banyak orang dan
memberikan banyak manfaat kepada berbagai kalangan masyarakat.

Berdasarkan pemikiran itu, penulis lalu mengumpulkan kembali, memilah dan


mengelompokkan artikel-artikel tersebut secara tematik, mengedit dan mengembangkannya.
Setelah itu, artikel-artikel yang telah dilakukan penyempurnaan kemudian diterbitkan
kembali dalam buku ini.

5
Buku ini terdiri dari dari delapan bagian dan berisi 25 artikel yang sebagian besar
pernah dimuat oleh sejumlah media massa nasional selama 2012 hingga Mei 2014. Adapun
struktur dari buku ini disajikan dalam Gambar 2.
Setelah Bagian I yaitu “Menghijaukan Ekonomi dan Bisnis: Pengantar”, pada
Bagian II “Menghijaukan Ekonomi” disajikan lima artikel. Artikel 1 menyajikan problema
pembangunan nasional selama ini dan pentingnya pemerintah melakukan rekonstruksi fokus
pembangunan yang lebih ramah lingkungan dan pro-rakyat. Artikel 2-4 menyajikan konsep
dan gagasan tentang desain tata ekonomi hijau. Sementara Artikel 5 menyajikan
kesimpulan bahwa penerapan ekonomi hijau merupakan solusi yang tepat untuk
menyelamatkan bumi dari bahaya pemanasan global, perubahan iklim dan kerusakan
lingkungan yang kian parah.
Pada Bagian III “Menghijaukan Bisnis” disajikan lima artikel. Artike 6 menyajikan
pembahasan tentang hakikat, esensi dan strategi menghijaukan bisnis. Artikel 7-9
menyajikan urgensi dan alasan-alasan mengapa pelaku usaha perlu melakukan
penghijauan bisnis, serta manfaat ekonomi dan nonekonomi yang dapat diperoleh apabila
korporasi melakukan penghijauan bisnis. Sementara Artikel 10 menyajikan usulan tentang
desain tatakelola bisnis hijau.

Gambar 2.

Bagian IV “Menghijaukan Perusahaan” menyajikan 3 artikel. Artikel 11


menyajikan hakikat menghijaukan perusahaan dan strategi untuk menghijaukan perusahaan
agar menjadi korporasi hijau. Artikel 12 memaparkan manfaat ekonomi apabila perusahaan
menjadi korporasi hijau. Artikel 13 menyajikan pembahasan tentang green building.

6
Pada Bagian V “Menghijaukan Keuangan” disajikan 4 artikel. Artikel 14, yaitu
Menghijaukan Keuangan, menyajikan esensi, strategi dan manfaat dari menghijaukan
keuangan korporasi. Artikel 15, yaitu Menghijaukan Pasar Modal, membahas urgensi,
esensi dan strategi menghijaukan pasar modal. Artikel 16, yaitu Menghijaukan Perbankan,
membahas urgensi dan konsep green banking, serta strategi menghijaukan korporasi
perbankan. Sementara Artikel 17, yaitu Menghijaukan Investasi, menyajikan pembahasan
tentang hakikat dan urgensi menghijaukan investasi, serta langkah-langkah untuk
menghijaukan investasi.
Pada Bagian VI “Menghijaukan Akuntansi” disajikan tiga artikel. Artikel 18, yaitu
“Menghijaukan Akuntansi” memaparkan esensi dan urgensi dilakukannya penghijauan
akuntansi, serta agenda atau langkah-langkah untuk menghijaukan akuntansi. Artikel 19
membahas tentang konsep Akuntansi Hijau dan langkah-langkah mereformasi akuntansi
konvensional menuju Akuntansi Hijau. Artikel 20 yaitu “Menuju Akuntansi Berkelanjutan”
membahas keterbatasan akuntansi yang dipraktikkan selama ini dan reformasi menuju
Akuntansi Berkelanjutan.
Bagian VII “Menghijaukan Pelaporan Informasi” menyajikan tiga artikel. Artikel 21
membahas esensi dan urgensi serta langkah-langkah untuk menghijaukan pelaporan
informasi perusahaan. Artikel 22 membahas esensi dan berkah ekonomi dari sustainability
reporting yang dalam beberapa tahun terakhir mulai banyak diadopsi dan diterapkan oleh
banyak korporasi di Indonesia. Sementara pada Artikel 23 membahas konsep dam model
pelaporan informasi korporasi yang terbaru, yaitu Integrated Reporting. Model pelaporan
yang mulai dikembangkan oleh IIRC (The International Integrated Reporting Council) pada
tahun 2011 ini mensyaratkan semua informasi korporasi, baik yang sudah terjadi maupun
yang akan terjadi, harus diungkapkan kepada publik. Sebelum diungkapkan ke publik
melalui media Integrated Reporting, semua informasi tersebut harus juga sudah
mendapatkan otorisasi dari para stakeholder yang terkait.
Pada bagian penutup (Bagian VIII) “Berkah Menghijaukan Ekonomi dan Bisnis”
disajikan dua artikel. Artikel 24 menyajikan hasil kajian penulis tentang urgensi korporasi
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) dan manfaat ekonomi yang
diperoleh korporasi dari pelaksanaan TJSL. Sementara artikel terakhir, yaitu Artikel 25
“From Green to Great” memaparkan hasil kajian penulis tentang manfaat menghijaukan
ekonomi dan bisnis.

III. Kesimpulan
Hasil kajian menunjukkan bahwa korporasi-korporasi yang memiliki kepedulian dan
komitmen berkelanjutan terhadap green economy dan green business serta
mentransformasikan organisasi bisnisnya menjadi green corporation justru semakin
bertumbuh dan berkembang bisnisnya dari waktu ke waktu. Perusahaan-perusahaan
tersebut kian bertumbuh labanya dan berkembang menjadi perusahaan-perusahaan besar
dalam industrinya masing-masing. Perusahaan-perusahaan tersebut tumbuh menjadi
semakin besar dan mencapai kejayaan karena perbuatan amal baiknya kepada masyarakat
dan lingkungan. Mereka dicintai dan dikasihi oleh para stakeholder. Mereka menjadi besar
dan jaya karena pilar dasar penopang bisnis mereka (planet, people, profit) menjadi semakin
kokoh pula.
Jadi, menghijaukan ekonomi dan bisnis merupakan solusi jitu untuk membantu
negara dalam mengatasi krisis sosial dan lingkungan yang kian serius dan kompleks.
Penghijauan tersebut juga akan menjadikan pertumbuhan ekonomi dan laba korporasi
semakin berkualitas dan tumbuh berkelanjutan. Indonesia pun akan bertumbuh menjadi
negara yang maju, sejahtera, bermartabat dan lestari karena ditopang oleh tiga pilar dasar

7
yang kuat dan saling bersinergi satu sama lain secara erat, yaitu lingkungan, masyarakat
dan ekonomi (korporasi).
Semoga buku ini bisa membantu bagi pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat
luas dalam upaya menghijaukan ekonomi dan bisnis untuk mendukung terwujudnya
pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup
manusia, serta mendukung terwujudnya Indonesia sebagai bangsa yang maju, sejahtera,
bermartabat dan lestari.

Anda mungkin juga menyukai