Anda di halaman 1dari 10

arkanblog

telusuri

APR

26

PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN ANTARA BAD GOVERNANCE DAN GOOD
GOVERNANCE

Oleh : Prof. Dr. H. Arkanudin, M.Si

Dosen FISIP dan Program Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura

Persoalan kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup adalah dua hal yang saling terkait antara satu
dengan lainnya. Terjadinya kerusakan lingkungan dapat berdampak kepada kehidupan manusia secara
makro. Oleh karena itu perlu adanya upaya kedepan secara bijak guna tetap mempertahan kelestarian
dan kualitas lingkungan yaitu dengan mencegah adanya praktek bad governance dan menumbuhkan
sikap good governance.

Pendahuluan

Pembangunan adalah suatu rangkaian usaha terencana yang dilakukan secara sadar oleh masyarakat
dan pemerintah untuk mengubah keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik. Dalam mencapai tujuan
pembangunan tersebut, salah satu permasalahan yang pelik dan kompleks yang selalu dihadapi oleh
negara maju maupun berkembang adalah masalah lingkungan hidup dan kependudukan.

Permasalahan kependudukan yang selalu dihadapi oleh negara maju maupun berkembang adalah
masalah over populasi, angka kelahiran dan kematian bayi yang tinggi, urbanisasi, pengangguran,
ketidakmerataan penyebaran penduduk yang semakin kompleks akan mengimbas kepada segmen
terpenting dalam kehidupan manusia, yaitu kelestarian lingkungan hidup.

Dalam menghadapi semakin menurunnya kualitas lingkungan sebagai akibat pertumbuhan penduduk,
maka sikap “good governance” yaitu adanya sikap bersama antara pemerintah dan masyarakat yang
benar-benar peduli terhadap keseimbangan antara pertumbuhan penduduk berikut segala dimensinya
dengan kelestarian lingkungan. perlu digalakkan. Sebaliknya memberikan perlindungan terhadap
pemegang HPH yang melakukan penebangan hutan tanpa aturan, mem-backup para pengusaha dengan
kategori jelek dalam penanganan limbah industrinya adalah bentuk dari praktek “bad governance”,
patut dihindari.
Penduduk Dan Lingkungan

Masalah kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup merupakan dua permasalahan yang kini
sedang dihadapi bangsa Indonesia, khususnya maupun negara-negara lainnya di dunia umumnya. Brown
(1992:265-280), menyatakan bahwa masalah lingkungan hidup dan kependudukan yaitu masalah
pencemaran lingkungan fisik, desertifikasi, deforestasi, overs eksploitasi terhadap sumber-sumber alam,
serta berbagai fenomena degradasi ekologis semakin hari semakin menujukkan peningkatan yang
signifikan. Keprihatinan ini tidak saja memberikan agenda penanganan masalah lingkungan yang bijak.
Namun juga merupakan “warning” bagi kehidupan, bahwa kondisi lingkungan hidup sedang berada pada
tahap memprihatinkan. Seandainya tidak dilakukan upaya penanggulangan secara serius, maka dalam
jangka waktu tertentu kehidupan ini akan musnah. Hal ini terjadi menurut Soemarwoto (1991:1), karena
lingkungan (alam) tidak mampu lagi memberikan apa-apa kepada kita. Padahal seperti kita ketahui
bahwa manusia merupakan bagian integral dari lingkungan hidupnya, ia tidak dapat dipisahkan dari
padanya.

Padatnya penduduk suatu daerah akan menyebabkan ruang gerak suatu daerah semakin terciut, dan hal
ini disebabkan manusia merupakan bagian integral dari ekosistem, dimana manusia hidup dengan
mengekploitasi lingkungannya. Pertumbuhan penduduk yang cepat meningkatkan permintaan terhadap
sumber daya alam. Pada saat yang sama meningkatnya konsumsi yang disebabkan oleh
membengkaknya jumlah penduduk yang pada akhirnya akan berpengaruh pada semakin berkurangnya
produktifitas sumber daya alam. Menurut Wijono (1998:5) kondisi sebagaimana digambarkan tersebut
dapat diibaratkan seperti lilin, pertumbuhan penduduk yang cepat akan membakar lilin dari kedua
ujungnya. Sehingga batang lilin itu akan cepat meleleh dan habis. Konsekwensinya adalah berubahnya
salah satu atau beberapa komponen dalam ekosistem, mengakibatkan perubahan pada interaksi
komponen-komponen itu, sehingga struktur organisasi dan sifat-sifat fungsional ekosistem akan
berubah pula.

Dalam perspektif historis tentang kependudukan dan dampak lingkungan Derek Lewlyn dan Jones
(dalam Alfi, 1990:22) melakukan penelitian di kota Sidney di Australia, berdasarkan hasil penelitiannya
mereka menyimpulkan bahwa sebenarnya keseimbangan ekologi itu tidak kekal. Kota Sidney yang
dulunya sangat asri dengan tatanan lingkungan kota yang nyaman, tetapi mulai periode 80-an,
semuanya telah berubah menjadi tidak nyaman lagi.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut menandakan bahwa perkembangan penduduk sedikit banyak akan
mempengaruhi lingkungan hidup baik fisik maupun non fisik. Dari kenyataan sejarah menurut Derek
Lewlyn dan Jones, sebenarnya krisis lingkungan hidup yang terjadi pada masyarakat modern ini sebagai
dari peledakan penduduk dan kemajuan teknologi modern, sudah dimulai ratusan tahun lalu.
Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa perkembangan penduduk dunia dilihat dari perspektif
sejarah sebenarnya mempunyai tiga tahapan transisi yang biasa diistilahkan dengan konsep
“Demographis Transition”. Tiga transisi itu adalah: (1) pra-transition; (2) transition; (3) post transition.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Derek Lewlyn dan Jones, bahwa dalam masyarakat pra-transition, tingkat
kematian dan tingkat kelahiran sama tinggi. Masyarakat-masyarakat semacam ini masih ada dalam
kehidupan masyarakat modern, seperti di Afrika, Amerika Latin dan sebagian Asia. Masyarakat
transition, rata-rata tingkat kematian mulai menurun, terutama tingkat kematian bayi dan anak-anak.
Akibat dari keadaan ini maka tingkat kelahiran meningkat; lebih banyak anak-anak hidup mencapai usia
produktif. Pada tingkat akhir masa transition ini tingkat kelahiran juga menurun sebagai akibat dari
pelaksanaan “birth control”. Pada umumnya sebagian negara berkembang berada pada tingkat
transition. Sementara itu pada masyarakat post-transition rata-rata tingkat kelahiran dan kematian
rendah. Hal ini disebabkan jumlah bayi dan anak-anak sampai pada tingkat minimum sekali. Tahapan
transisi dalam pertumbuhan penduduk ini membawa dampak kepada keseimbangan lingkungan.Artinya
bahwa semakin cepat pertumbuhan penduduk, maka akan membawa akibat kepada tekanan yang kuat
terhadap sumber daya alam. Seperti meningkatnya kebutuhan pangan, air bersih, pemukiman dan
sebagainya. Sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara persediaan sumber daya alam dengan
kebutuhan manusia.

Pertambahan penduduk yang cepat, makin lama makin meningkat hingga akhirnya memadati muka
bumi. Hal ini membawa akibat serius terhadap rentetan masalah besar yang membentur keseimbangan
sumber daya alam. Karena bagaimanapun juga setiap menusia tidak lepas dari bermacam-macam
kebutuhan mulai dari yang pokok hingga sampai pada kebutuhan pelengkap. Sedangkan semua
kebutuhan yang diperlukan oleh manusia sangat banyak dan tidak terbatas, sementara itu kebutuhan
yang diperlukan baru akan terpenuhi manakala siklus dan cadangan-cadangan sumber daya alam masih
mampu dan mencukupi. Tetapi akan lain jadinya jika angka pertumbuhan penduduk kian melewati batas
siklus ataupun jumlah cadangan sumber-sumber kebutuhan. Andaikata kondisi perkembangan demikian
tidak diupayakan penanganan secara serius maka pada saatnya akan terjadi suatu masa krisis. Lebih
parah lagi sebagaimana dikemukakan diatas adalah terjadinya bencana yang dapat memusnahkan
kehidupan manusia.

Dilihat dari perspektif ekologis bahwa pertumbuhan penduduk yang cepat dapat berdampak kepada
meningkatnya kepadatan penduduk, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan mutu lingkungan
secara menyeluruh. Menurut Soemarwoto (1991:230-250) bahwa secara rinci dampak kepadatan
penduduk sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cepat terhadap kelestarian lingkungan
adalah sebagai berikut:

(1) Meningkatnya limbah rumah tangga sering disebut dengan limbah domestik. Dengan naiknya
kepadatan penduduk berarti jumlah orang persatuan luas bertambah. Karena itu jumlah produksi
limbah persatuan luas juga bertambah. Dapat juga dikatakan di daerah dengan kepadatan penduduk
yang tinggi, terjadi konsentrasi produksi limbah.

(2) Pertumbuhan penduduk yang terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi
yang melahirkan industri dan sistem transport modern. Industri dan transport menghasilkan berturut-
turut limbah industri dan limbah transport. Di daerah industri juga terdapat kepadatan penduduk yang
tinggi dan transport yang ramai. Di daerah ini terdapat produksi limbah domsetik, limbah industri dan
limbah transport.
(3) Akibat pertambahan penduduk juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan pangan. Kenaikan
kebutuhan pangan dapat dipenuhi dengan intensifikasi lahan pertanian, antara lain dengan
mengunakan pupuk pestisida, yang notebene merupakan sumber pencemaran. Untuk masyarakat
pedesaan yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, maka seiring dengan pertambahan
penduduk, kebutuhan akan lahan pertanian juga akan meningkat. Sehingga ekploitasi hutan untuk
membuka lahan pertanian baru banyak dilakukan. Akibatnya daya dukung lingkungan menjadi menurun.
Bagi mereka para peladang berpindah, dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang sedemikian
cepat, berarti menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan juga meningkat. Akibatnya proses
pemulihan lahan mengalami percepatan. Yang tadinya memakan waktu 25 tahun, tetapi dengan
semakin meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan maka bisa berkurang menjadi 5 tahun. Saat
dimana lahan yang baru ditinggalkan belum pulih kesuburannya.

(4) Makin besar jumlah penduduk, makin besar kebutuhan akan sumber daya. Untuk penduduk
agraris, meningkatnya kebutuhan sumber daya ini terutama lahan dan air. Dengan berkembangnya
teknologi dan ekonomi, kebutuhan akan sumber daya lain juga meningkat, yaitu bahan bakar dan bahan
mentah untuk industri. Dengan makin meningkatnya kebutuhan sumber daya itu, terjadilah penyusutan
sumber daya. Penyusutan sumber daya berkaitan erat dengan pencemaran. Makin besar pencemaran
sumber daya, laju penyusunan makin besar dan pada umumnya makin besar pula pencemaran.

Berdasarkan pendapat yang kemukakan oleh Soemarwoto, maka tidaklah berlebihan bahwa dampak
kepadatan penduduk terhadap kualitas lingkungan sangatlah besar. Indonesia sebagai sebuah negara
yang jumlah penduduknya sangat besar juga sedang menghadapi problematika besar tentang masalah
kualitas lingkungan. Masalah yang dihadapi ini akan semakin kompleks karena lajunya pertumbuhan
penduduk tidak bisa ditekan dalam pengertian bahwa secara alamiah jumlah penduduk dari waktu ke
waktu terus bertambah, disamping itu juga tingkat pencemaran (air dan udara), tekanan terhadap lahan
pertanian, rendahnya kesadaran lingkungan, banyaknya pemilik HPH yang tidak bertanggungjawab, dan
tidak konsistennya Pemerintah dalam menegakkan hukum akan semakin mempercepat penurunan
mutu lingkungan secara makro. Hal ini terjadi menurut Abdullah (2002:20) karena adanya perilaku
manusia yang tidak bertanggungjawab dan hanya mementingkan kepentingan diri sendiri.

Akibat yang lebih jauh atas permasalahan tersebut adalah problematika yang muncul tidak hanya
sebatas pada satu sisi kependudukan saja, tetapi juga daya dukung lingkungan terhadap kelangsungan
hidup secara seimbang. Akhirnya sampai pada satu titik terminologi akan terjadi “collapse”. Keadaan ini
sangat mungkin terjadi karena daya dukung lingkungan tidak lagi mampu menopang kebutuhan hidup
manusia. Semantara manusia dengan dengan jumlah yang terus meningkat dari waktu kewaktu
membutuhkan ketersediaannya bahan kebutuhan yang disediakan oleh alam. Disisi lain, karena
pemanfaatan sumber daya alam tidak mengindahkan eko-efisien, dan cenderung mengabaikan
kelestariannya maka berakibat buruk terhadap kualitas sumber daya alam. Perkembang selanjutnya
akan terjadi ketimpangan antara kebutuhan yang harus disediakan alam, dengan kemampuan alam
sendiri untuk menyediakan. Ketidakmampuan alam dalam menyediakan kebutuhan manusia maka pada
gilirannya akan berakibat pada malapetaka. Melihat kondisi yang demikian maka satu hal yang harus
mendapat perhatian adalah bagaimana mengupayakan jalinan hubungan harmonis antara pemenuhan
kebutuhan manusia dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan alam dan diharapkan daya dukung
lingkungan tetap tersedia terutama dalam menopang laju pertumbuhan penduduk yang makin hari
terus mengalami peningkatan.

Kerusakan Lingkungan Pada Aspek Pertanian Dan Kehutanan

Kerusakan lingkungan dari aspek pertanian dan kehutanan merupakan dua sektor yang menonjol.
Pertambahan penduduk, penggunaan teknologi modern dan tidak adanya kesadaran terhadap
lingkungan adalah faktor penyebab kerusakan lingkungan. Di bidang pertanian, dengan semakin besar
jumlah penduduk maka kebutuhan akan bahan makanan semakin meningkat. Untuk itu perlu usaha
meningkatkan produksi bahan-bahan makanan semakin meningkat. Untuk itu perlu usaha meningkatkan
produksi bahan makanan secara memadai. Diantaranya dengan melakukan ekstensifikasi dan
intensifikasi pertanian. Penggunaan teknologi modern seperti benih unggul, sistem irigasi, pupuk dan
berbagai bahan kimia lainnya untuk memberantas hama, secara nyata telah memberikan kontribusi
yang besar dalam meningkatkan produksi pertanian. Revolusi hijau yang pernah mengantarkan
Indonesia ke arah swasembada pangan pada tahun 1984 adalah bukti betapa ampuhnya teknologi
modern dalam meningkatkan produksi pertanian terutama bahan makanan secara nasional. Kewajiban
untuk menggunakan bahan kimia dalam rangka revolusi hijau menyebabkan sebagian besar petani
beralih dari cara-cara tradisional menjadi lebih modern dengan teknologinya.

Secara kuantitas, Wijono (1998), menyatakan bahwa revolusi hijau telah memberikan berkah yang
sangat besar terhadap kemampuan penyediaan bahan pangan secara nasional. Produktifitas pertanian
perhektar, terutama padi meningkat dengan drastis. Sebagai contoh, produksi padi pada tahun 1968
hanya 2,58 ton perhektar, namun sejak dilakukan revolusi hijau mulai tahun 80—an, pada tahun 1989
meningkat menjadi 4,98 ton per-hektar. Suatu peningkatan luar biasa untuk ukuran produksi padi tiap
hektarnya. Namun untuk mendapatkan hasil sebesar itu dibutuhkan pupuk dalam jumlah yang cukup
banyak pula. Diperkirakan rata-rata pemakaian pupuk mencapai 350 kg per-hektar. Apalagi sejak
dicanangkannya program Supra Insus, pemakaian pupuk (urea, amonium sulfat dan sejenisnya)
cenderung berlebihan dan melampaui batas yang dianjurkan.

Selanjutnya dalam rangkaian perkembangan hasil dari pemakaian pupuk dalam revolusi hijau, ternyata
menyimpan bom waktu yaitu akibat dari pemakaian pupuk yang terlalu berlebihan telah menyebabkan
tercemarnya lingkungan perairan dan sungai, hal ini karena berbagai jenis pupuk yang dipakai tersebut
ternyata dapat menyebabkan tumbuhnya gulma air. Di samping itu ada beberapa jenis insektisida
(golongan organokhlorin) merupakan ancaman terbesar terhadap kualitas air (Wijono, 1998). Ternyata
sejak diperlakukannya revolusi hijau pada tahun 1960-an, dengan penggunaan bahan kimia yang sangat
berlebihan telah menyebabkan kematian ribuan petani. Dengan demikian pemakaian atau penggunaan
bahan-bahan kimia yang sangat besar telah menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan yang
berakibat kepada menurunnya derajat kesehatan masyarakat.
Selanjutnya dijelaskan oleh Jones (1993) bahwa sektor kehutanan telah mengalami satu delematika
yang tajam. Satu sisi hutan merupakan sumber daya alam yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan
rakyat (walaupun dalam prakteknya, justru hanya untuk kepentingan kelompok orang), semantara disisi
lain, pemerintah mempunyai kewajiban untuk tetap menjaga dan memelihara kelestarian hutan dengan
segala isinya. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini ternyata terjadi tarik menarik, dimana akhirnya
kepentingan ekonomi dapat mengalahkan kepentingan ekologi.

Pertumbuhan penduduk yang cepat juga memberikan andil besar dalam kerusakan hutan. Terjadinya
konversi lahan hutan dijadikan sebagai lahan perumahan, pertanian dan proyek-proyek industri adalah
wujud dari pertambahan penduduk yang signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan penduduk
baik tekanan yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar ternayata telah menyebabkan
terjadinya konversi lahan. Tekanan dari luar dapat dilihat dari dampak kepadatan penduduk yang
mengakibatkan tekanan kuat terhadap lahan pertanian. Akibatnya upaya melakukan perambahan hutan
sebagai satu-satunya alternatif pemenuhan lahan pertanian mereka lakukan, tanpa memperdulikan
dampak dari kelestariannya.

Disamping itu, penebangan hutan yang dilakukan para pemilik HPH dan HPHTI juga memberikan andil
besar terhadap kerusakan tersebut. Walaupun sudah diatur dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1982
tentang Lingkungan Hidup, bahwa pemilik HPH dan HPHTI dalam melakukan penebangan hutan dengan
cara tebang pilih, tetapi prakteknya justru mereka melakukan sistem tebang habis tanpa mengindahkan
kelestarian hutan. Jangan kan untuk melakukan upaya reboisasi secara menyeluruh, melakukan
penebangan secara tebang pilih saja tidak dilakukan. Dan anehnya pemerintah tetap menutup mata
terhadap kondisi demikian. Sehingga mereka selalu berlindung di ketiak pemerintah untuk menghindari
sorotan publik. Kepentingan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang ini ternyata membawa bencana
bagi seluruh masyarakat. Musibah banjir, asap tebal dibeberapa wilayah Kalimantan dan Sumatera
merupakan salah satu bukti ketamakan para pemilik HPH dalam mengekploitasi hutan secara
berlebihan.

Menumbuhkan Sikap Good Governance Dan Mencegah Praktek Bad Governance Terhadap Lingkungan

Untuk menyelamatkan kehidupan manusia dari kepunahan karena tidak cukupnya daya dukung
lingkungan, maka perlu adanya suatu kebijakan untuk menyeimbangkan antara kuantitas penduduk
dengan kualitas lingkungan, yaitu Pemerintah harus benar-benar serius memberi perhatian terhadap
kelestarian lingkungan.

Berdasarkan pengamatan selama ini pemerintah cenderung menutup mata terhadap kerusakan
lingkungan yang semakin hari semakin menunjukkan frekwensi meningkat. Seolah menganggap bahwa
faktor lingkungan adalah merupakan beban pembangunan, sehingga tidak perlu mendapat perhatian.
Toh sumber daya alam diciptakan Tuhan untuk dimanfaatkan, tetapi lupa bahwa disamping
dimanfaatkan untuk seluas-luasnya bagi kesejahteraan manusia juga harus tetap menjaga
kelestariannya. Sehingga bukan hanya berorientasi mengejar keuntungan saat ini, tanpa memperhatikan
dan mempertimbangkan kelangsungan untuk anak cucu kelak. Memberikan perlindungan terhadap
pemegang HPH yang melakukan penebangan hutan tanpa aturan, mem-backup para pengusaha dengan
kategori jelek dalam penanganan limbah industrinya adalah bentuk dari praktek “bad governance”.

Praktek “bad governance” tersebut seyogyanya tidak harus terjadi, hal ini mengingat bagaimanapun
juga, lingkungan bagi kehidupan manusia adalah segala-galanya. Tanpa adanya dukungan dari
lingkungan yang cukup, maka jangan harap ada kehidupan dimuka bumi ini. Karena itu upaya
penyelarasan antara pertumbuhan penduduk yang diikuti oleh peningkatan pemenuhan kebutuhan dan
meningkatnya ketergantungannya kepada sumber daya alam, dengan tetap memelihara kelestariannya
adalah suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pemerintah harus mempelopori semangat cinta
lingkungan dalam bentuk penegakan hukum dan aturan sebaik-baiknya, perencanaan pembangunan
yang mempertimbangkan dampak lingkungan, maupun memberdayakan partisipasi masyarakat dalam
pelestarian lingkungan.

Demikian juga dengan usaha penekanan laju pertumbuhan penduduk juga harus tetap dipertahankan,
sehingga akan terjadi keseimbangan antara kuantitas kebutuhan dengan kualitas sumber daya alam.
Tanpa kepeloporan pemerintah dalam menegakkan aturan pelestarian sumber daya alam, maka
mustahil upaya menangani permasalahan kependudukan dan kerusakan lingkungan bisa terwujud.
Pengalaman selama ini pemerintahan Orde Baru yang begitu besar memberikan kebebasan dan
kelonggaran kepada para perusak lingkungan, untuk selanjutnya jangan sampai terulang kembali.
Namun demikian upaya meminimalkan munculnya ketidak seimbangan daya dukung lingkungan bukan
sepebuhnya ditangan pemerintah, masyarakat luas umumnya dan para pengusaha yang bersinggungan
dengan lingkungan khususnya harus ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan, sehingga kemungkinan timbulnya “collapse” dapat dihindari.

Masalah lingkungan hidup dan kependudukan yang sedang dialami Negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia menurut Arkanudin (2001:35), tidak hanya menyangkut masalah fisik semata-mata
seperti geografis, jumlah penduduk dan lain-lain, tetapi juga masalah kultural dan masalah filosofi yang
menentukan kelangsungan kehidupan manusia pada masa depan. Dengan demikian tahap
pemecahannya tidak saja menyangkut masalah teknik praktis, tetapi juga melalui pendekatan etik yang
bersumber kepada nilai-nilai kultural dan religius secara konseptual yang mampu memberikan
perspektif transendent.

Dalam upaya mencari solusi pemecahannya dalam penanganan masalah lingkungan hidup dan
kependudukan, harus dilakukan secara interdisiplinary atau multidisciplinary, yang akan melahirkan
imaginasi, inovasi dan kreatifitas tinggi dalam menciptakan model-model, cara-cara dan kebijakan baru
khususnya maupun didalam menentukan arah pembangunan secara makro pada umumnya. Selama ini
orientasi pembangunan yang dikejar adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehingga
kondisi demikian bukan saja mengacaukan efiesiensi dan produktifitas, tetapi juga mengacau
peningkatan kualitas hidup manusia dengan segala dimensinya. Demikian juga dengan kebijakan dalam
bidang alih teknologi, bukan saja mengarah kepada eksploitability, tetapi juga mengarah kepada apa
yang bersifat peningkatan teknologi dengan menekankan konservasi, recycling dan renewability.
Langkah efektif dalam memecahkan permasalahan lingkungan hidup dan kependudukan adalah
mengkaitkannya dengan perspektif kultural dan religius. Hal ini mengingat bahwa negara Indonesia
mayoritas penduduknya adalah beragama yang terbingkai oleh berbagai macam kultur. Langkah ini akan
dapat secara langsung membentuk arah filsafati, pandangan dan tingkah laku mereka, yaitu tidak hanya
sebatas meletakkan kerangka instrumental etik dalam upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga dapat
menumbuhkan kesadaran dalam diri kita masing-masing akan pentinnya nilai instrinsik bagi alam atau
lingkungan hidup sebagai hak asasi yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Artinya bahwa dalam dimensi
etik lingkungan yang bersifat instrinsik, sikap kesadaran ekologikal selalu mengembangkan “self
transendent perspektif” (Sudjana, 1998:87-110). Yang menuntu adanya pengujian efek dari kegiatan
manusia terhadap lainnya, seperti terhadap makhluk hidup, lingkungan alamiah, generasi mendatang
dan keseimbangan ekosistem lainnya.

Kesadaran etik dan self transcending memberikan suatu dasar moralitas dan perspektif bagi terciptanya
suatu masyarakat yang lebih adil, damai, lebih partisippatoris dan bersifat sustainable. Hingga akhirnya
menimbulkan kesadaran bahwa kehidupan manusia dan lingkungan harus dilestarikan dan ditingkatkan
kualitasnya karena nilai instrinsiknya.

Penutup

Persoalan kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup adalah dua hal yang saling terkait antara satu
dengan lainnya. Terjadinya kerusakan lingkungan sehingga yang dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan sumber daya alam, dapat berdampak kepada kehidupan manusia secara makro.
Sehingga dalam tataran selanjutnya, ketidakseimbangan antara laju pertumbuhan penduduk dan
kualitas sumber daya alam dapat menyebabkan kehancuran seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu
perlu adanya upaya kedepan secara bijak guna tetap mempertahan kelestarian dan kualitas lingkungan.
Konsep good governance adalah alternatif yang tepat, karena dengan konsep ini coba dilakukan
penyeimbangan antara kuantitas pertumbuhan penduduk dengan segala kebutuhannya, dengan tetap
mempertahankan kualitas lingkungan. Hingga akhirnya diperoleh suatu keseimbangan yang ideal antara
laju pertumbuhan penduduk dengan kelestarian lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Oekan. S. 2002. Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Ilmiah Dalam Menata Lingkungan Masa
Depan, Upaya Meniti Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran.
Alfi, Nurhadi. 1990. Islam dan Tradisi Jawa Tentang Lingkungan Hidup, Kependudukan, dan Kualitas
Manusia, Dalam: Jurnal LPPM-UNS, Septembar.

Arkanudin. 2001. Perubahan Sosial Peladang Berpindah Dayak Ribun Parindu Sanggau Kalimantan
Barat, Bandung: Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran

Brown, Lester R. 1992. Tantangan Masalah Lingkungan Hidup (Bagaimana Membangunan Masyarakat
Manusia Berdasarkan Kesinambungan Lingkungan Hidup yang Sehat), Diterjemahkan oleh S. Maimoen,
Jakarta: Yayasan Obor.

Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian (Proses Perubahan Ekologi di Indonesia), Jakarta: Bhrata Karya
Aksara.

Jones, Gavin W. 1993. Population, Environment and Sustainable Development in Indonesia, Dalam:
Warta Demografi, Tahun XX Nomor 40, Desember.

Soemarwoto, Otto. 1991. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cetakan ke 5, Bandung:
Penerbitan Djambatan

Soetaryono, Retno. 1998. Dalam Prakteknya Kebijakan Lingkungan Membebani Rakyat, Dalam: Warta
Demografi, Tahun XXVIII, Nomor 1.

Sudjana, Eggi. 1998. HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup (Perspektif Islam), Bogor: Yayasan As-
Syahidah.

Wijono, Nur Hadi. 1998. Interaksi Penduduk dan Lingkungan, Dalam Warta Demografi, Tahun XXVIII,
Nomor 1.

Anda mungkin juga menyukai