Anda di halaman 1dari 36

Pengaruh Meningkatnya Populasi Penduduk terhadap Lingkungan.

Pengaruh meningkatnya populasi penduduk terhadap


kerusakan lingkungan.

Meningkatnya populasi penduduk mengakibatkan meningkatnya


kebutuhan perumahan, sehingga menyebabkan bertambahnya
kebutuhan kayu dan banyak terjadi penebangan hutan secara
liar. Adanya penebangan hutan secara liar dapat mengakibatkan
erosi dan banjir. Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan
pula bertambahnya penggunaan bahan bakar, hal tersebut
dikhawatirkan menyebabkan persediaan sumber daya alam semakin
menipis dan mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan merupakan dampak negative yang
ditimbulkan oleh kepadatan populasi manusia serta perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya dalam bidang
pertanian, penggunaan buatan dan obat-obat anti hama, ternyata
dapat menimbulkan pencemaran air dan tanah.

Peningkatan populasi penduduk yang tidak terkendali juga dapat


merusak lingkungan:
1. Terjadinya penebangan hutan untuk arel permukiman maupun
areal pertanian. Penebangan hutan yang tidak terkendali dapat
menyebabkan bencana seperti banjir dan tanah longsor.
Disamping itu kekayaan atau sumber daya hayati di hutan itu
akan hilang akibat habitatnya terganggu.
2. Meningkatnya jumlah populasi menyebabkan peningkatan jumlah
kebutuhan pangan sehingga dibukalah arel pertanian untuk
mencukupi kebutuhan pangan. Di samping itu tanah atau lahan
pertanian dipaksa untuk menghasilkan jumlah pangan yang dapat
mencukupi kebutuhan penduduk. Akibatnya tanah sering dipupuk
untuk memperoleh hasil yang cukup. Pemupukan yang tidak
terkendali dapat menyebabkan tanah menjadi rusak karena
terpolusi oleh pupuk buatan, sehingga lama-kelamaan tanah
tidak dapat ditanami kembali karena bersifat asam.
3. Penggunaan pestisida secara berlebihan. Pestisida yang
seharusnya menghilangkan atau mematikan hama tanaman, teryata
juga memusnahkan organisme-organisme lain yang merupakan mata
rantai dari jarring-jaring makanan.
4. Sampah rumah tangga meningkat, sedangkan tempat pembuangan
terbatas sehingga sampah menjadi bertumpuk. Sampah yang
bertumpuk merupakan pusat penyebaran penyakit tertentu,
misalnya tifus, kolera, dan disentri. Selain itu, sisa
deterjen yang tidak dapat dihancurkan atau diuraikan oleh
mikroorganisme dapat mencemari air sungai.
5. Jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat akan
menyebabkan pencemaran udara yang dapat mengganggu pernapasan.
6. Perkembangan industri yang semakin pesat guna mengimbangi
kebutuhan penduduk dapat menimbulkan masalah pencemaran udara
dan air. Pencemaran udara disebabkan pembuangan zat-zat sisa
dari hasil pembakaran yang tidak sempurna, seperti SO2 dan
NOx. Pencemaran air terjadi karena limbah padat sering dibuang
ke sungai sehingga mengancam kesehatan penduduk sekitar.

Untuk memperbaiki keadaan lingkungan, penduduk dihimbau untuk


melakukan usaha-usaha berikut:
1. Menanam tanaman di sekitar rumah agar oksigen yang dihasilkan
tumbuhan melalui proses fotosintesis bertambah dan udara
menjadi segar.
2. Meningkatkan kesadaran pada diri masyarakat agar mencintai
lingkungannya.
3. Membuat penampung kotoran yang tertutup agar tidak mencemari
lingkungan.
4. Tidak membuat rumah disekitar daerah industri.
5. Memanfaatkan sampah untuk pupuk kompos atau didaur ulang
untuk dijadikan benda lain yang bermanfaat.

Pencemaran Lingkungan

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan laju pertumbuhan


penduduk yang tinggi. Hal itu menyebabkan kebutuhan akan
barang,jasa, dan tempat tinggal meningkat tajam dan menuntut
tambahan sarana dan prasarana untuk melayani keperluan
masyarakat. Akan tetapi, alam memiliki daya dukung lingkungan
yang terbatas. Kebutuhan yang terus-menerus meningkat tersebut
pada gilirannya akan menyebabkan penggunaan sumber daya alam
sulit dikontrol. Pengurasan sumber daya alam yang tidak
terkendali tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sering


menimbulkan dampak buruk pada lingkungan. Misalnya untuk
memenuhi kebutuhan bahan bangunan dan kertas, maka kayu di
hutan ditebang. Untuk memenuhi kebutuhan lahan pertanian, maka
hutan dibuka dan rawa/lahan gambut dikeringkan. Untuk memenuhi
kebutuhan sandang, didirikan pabrik tekstil. Untuk mempercepat
transportasi, diciptakan berbagai jenis kendaraan bermotor.
Apabila tidak dilakukan dengan benar, aktivitas seperti contoh
tersebut lambat laun dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
dan kerusakan ekosistem. Misalnya penebangan hutan yang tidak
terkendali dapat mengakibatkan berbagai bencana seperti banjir
dan tanah longsor, serta dapat melenyapkan kekayaan
keanekaragaman hayati di hutan tersebut. Apabila daya dukung
lingkungan terbatas, maka pemenuhan kebutuhan penduduk
selanjutnya menjadi tidak terjamin.
Di daerah yang padat, karena terbatasnya tempat penampungan
sampah, seringkali sampah dibuang di tempat yang tidak
semestinya, misalnya di sungai. Akibatnya timbul pencemaran
air dan tanah. kebutuhan transportasi juga bertambah sehingga
jumlah kendaraan bermotor meningkat. Hal ini akan menimbulkan
pencemaran udara dan suara. Jadi kepadatan penduduk yang
tinggi dapat mengakibatkan timbulnya berbagai pencemaran
lingkungan dan kerusakan ekosistem.

Terbatasnya Ruang Gerak

Suatu daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi kalau tidak


memperhatikan kesehatan lingkungan (sanitasi) dengan baik maka
keadaan lingkungan menjadi tidak nyaman bagi penduduknya. Di
daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, umumnya rumah-
rumah penduduk saling berdekatan atau berhimpitan. Keadaan
yang demikian menyebabkan terbatasnya ruang gerak. Akibatnya,
dapat memberikan dampak negatif pada kesehatan penduduk.
Misalnya penduduk mudah terjangkit penyakit menular, kebutuhan
udara bersih tidak terpenuhi, atau banyaknya sampah rumah
tangga yang tidak dibuang pada tempatnya.

PERKEMBANGAN POPULASI MANUSIA DAN DAMPAKNYA


TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT INDONESIA
Latar Belakang

Meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk dunia telah menyebabkan tekanan


terhadap sumber daya alam termasuk udara, air, tanah, dan keanekaragaman hayati.
Kehidupan modern dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) hingga saat
ini pada umumnya masih mengeksploitasi sumber daya alam secara maksimal terutama untuk
keperluan bahan baku industri, termasuk industri kimia, yang juga menghasilkan limbah yang
mengotori bumi. Apabila proses eksploitasi ini tidak dikendalikan dan limbah yang dihasilkan
belum ditangani secara serius, maka akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan.

Pembangunan saat ini pun belum memuat pertimbangan lingkungan yang memadai.
Namun, upaya pencegahan sudah mulai dilakukan melalui berbagai aturan perundangan
mengenai lingkungan. Di samping itu, kemiskinan di selatan dan kemapanan di utara
cenderung merusak lingkungan hidup dan memboroskan sumber daya alam. Dengan
demikian, memahami bumi dan proses yang terjadi di dalamnya adalah mutlak agar manusia
dapat bertindak bijaksana. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga kapasitas
lingkungan agar dapat melakukan fungsi-fungsinya dengan baik.

Manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan di


bumi sudah sepatutnya melakukan hal-hal yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan bumi.
Populasi manusia di bumi telah melampaui 6 miliar jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan
akan mencapai 8 miliar jiwa pada tahun 2020. Untuk mendukung jumlah manusia sebanyak
itu, beban bumi akan semakin berat, terutama dalam penyediaan sumber daya alam dan untuk
memberikan lingkungan yang berkualitas layak.

Mengapa Populasi Manusia Meledak?

Sebagian besar pertumbuhan penduduk dunia 97%-nya berasal dari Negara-negara dunia
ketiga. Sejak abad kedua puluh, sebagian besar permasalahan yang menimbulkan gejolak
resiko kehilangan nyawa serta lonjakan kematian manusia besar-besaran telah dapat diatasi
oleh kemajuan teknologi dan perkembangan ekonomi. Konsekuensinya, tingkat kematian
menurun begitu cepat hingga mencapai titik yang terendah sepanjang sejarah manusia.
Penurunan angka mortalitas disebabkan oleh kemajuan teknologi di bidang kedokteran.
Pertumbuhan penduduk yang begitu pesat dewasa ini disebabkan oleh cepatnya transisi yang
melanda kecenderungan penduduk dunia. Yakni, yang semula memiliki angka kematian dan
angka kelahiran yang tinggi menjadi angka kematian yang rendah namun angka kelahiran
tetap tinggi.

Penyebab utama perbedaan laju pertumbuhan penduduk antara negara maju dan negara
berkembang bertumpu pada perbedaan tingkat kelahiran. Kesenjangan tingkat kematian
antara negara maju dan berkembang semakin lama semakin kecil. Penyebab utamanya adalah
membaiknya kondisi kesehatan di seluruh Negara-negara dunia ketiga. Bagi kebanyakan
Negara berkembang, tingkat kematian bayi telah mengalami penurunan besar selama
beberapa dekade terakhir sehingga harapan hidup menjadi lebih lama.

Tidak hanya dalam tingkat kelahiran, kematian, kesehatan manusia, dan ekonomi saja yang
mempengaruhi meledaknya populasi manusia. Tingkat pendidikan manusia juga berperan
langsung dalam bertambahnya populasi manusia di Bumi ini. Pemahaman terhadap pola pikir
masyarakat yang modern menjadikan seseorang lebih berpikir untuk menata kehidupan
berkeluarga. Selain itu usia produktif tidak langsung menikah tetapi mereka akan lebih
produktif untuk bekerja dibandingkan untuk berkeluarga apabila tingkat pendidikan yang
mereka enyam tinggi.

Pertambahan jumlah penduduk ini tidak diiringi bersamaan dengan peningkatan jumlah
kualitas dan kuantitas alam, sehingga secara langsung alam sebagai tempat tinggal manusia
terancam akibat tingginya kapasitas manusia di Bumi ini yang tidak seimbang dengan sumber
daya alam yang ada di dalamnya.

Dampak Meledaknya Populasi Manusia

Sepanjang menyangkut lingkungan hidup dan/atau sumber daya alam (SDA), manusia
sebenarnya dihadapkan pada suatu tantangan berat. Tantangan adalah suatu keadaan atau
kondisi yang menghadapkan manusia pada suatu masalah, tetapi pemecahannya memerlukan
suatu kemampuan baru (yang masih harus dicari dan dikembangkan). Tiga tantangan yang
paling menonjol yang digarisbawahi dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi 1992 di
Rio de Janeiro adalah :
Pesatnya laju pertumbuhan populasi manusia di bumi.

Pertumbuhan penduduk dunia meningkat pesat seperti yang disajikan dalam Gambar
1.

Gambar 1. Pertumbuhan dan proyeksi penduduk dunia, 1950 2050

Sumber : Population Division of the Department of Economic and Social Affairs

of the United Nations Secretariat (2004), http://esa.un.org/unpp

Bumi telah terbelah menjadi dua dunia yaitu :

o Dunia Utara sebagai negara industri maju yang jumlah


penduduknya relatif sedikit, kurang dari 20% penduduk bumi
seluruhnya. Namun, konsumsi sumber daya alam secara umum
dapat mencapai 40 kali dari dunia selatan.

o Dunia Selatan yang terdiri atas negara sedang berkembang. Mereka


masih dicengkeram oleh kemiskinan dan keterbelakangan
sedemikian rupa sehingga kehidupan bagi mereka adalah suatu
perjuangan untuk mempertahankan keberadaan atau eksistensi
belaka. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila mereka
tidak memperdulikan persoalan lingkungan.
Perkembangan Iptek yang secara umum masih berciri eksploitatif,
menghasilkan limbah dalam jumlah yang tinggi, dan tidak hemat energi.
Hal tersebut memberikan tekanan yang tinggi terhadap ekosistem di
bumi.

Apabila ketiga tantangan tersebut tidak mampu kita jawab, maka berbagai masalah akan
merongrong tidak hanya bagi manusia tetapi juga seluruh makhluk hidup yang berada di
bumi. Beberapa dampak, yang telah diidentifikasi sejak KTT di Rio de Janerio 1990, apabila
tantangan-tantangan tersebut tidak terjawab adalah :

Bumi akan mengalami krisis untuk memperoleh air bersih, dalam arti tidak
hanya kuantitas namun juga kualitas.

Berkurangnya lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sandang,


pangan, dan keperluan hidup lainnya. Hal ini disebabkan oleh pengalihan
pemanfaatan lahan pertanian menjadi lahan untuk non-pertanian dan
meluasnya pembentukan lahan kritis sebagai akibat pemanfaatan lahan
pertanian yang tidak memerhatikan upaya pemeliharaan kesuburan
tanah. Hal-hal tersebut berakibat pada penggurunan, pengikisan, dan
pelongsoran.

Menipisnya luas kawasan hutan secara global karena tuntutan akan


kebutuhan lahan non hutan. Yang dikhawatirkan adalah menurunnya
keanekaragaman hayati secara besar-besaran, baik dalam bentuk jenis
tumbuhan dan satwa liar maupun juga ekosistem dan plasma nutfah.

Terjadinya pencemaran dan perusakan ekosistem pantai dan laut sebagai


akibat penangkapan ikan yang berlebihan (over-fishing), perusakan
habitat satwa laut dan terumbu karang, dan pencemaran oleh limbah dan
sampah yang terbawa aliran muara sungai dari kegiatan manusia di darat.

Peningkatan beban pencemaran ke udara atau atmosfer juga memberikan


ancaman terhadap penurunan kualitas udara sedemikian rupa sehingga
terjadi perubahan iklim secara global (akibat menipisnya ozon dan
meningkatnya gas rumah kaca), dan hujan asam. Di samping itu, jumlah
dan jenis limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya) meningkat yang
keseluruhannya dapat membahayakan kesehatan manusia dan
lingkungan.

Seperti yang disebutkan beberapa hal yang akan terjadi pada pertemuan di Rio de Janeiro
tahun 1992 silam. Beberapa hal tersebut telah terjadi di Bumi ini akibat meledaknya populasi
manusia yang tidak bisa dikontrol. Hal ini tidak diimbangi oleh pengendalian eksploitasi
alam sebagai pemenuh kebutuhan manusia. Perkembangan teknologi yang sangat pesat juga
menjadikan salah satu dari beberapa permasalahan yang timbul akibat peningkatan populasi
manusia. Alam sebagai penyedia kebutuhan manusia di Bumi ini tanpa terkendali
dieksploitasi untuk penemuan penemuan dalam upaya pengembangan teknologi. Hal ini
dapat diambil contoh kasus yaitu di kabupaten Ketapang misalnya, sasaran penebangan liar
adalah Taman Nasional Gunung Palung ( TNGP ). Sudah sekitar 5 tahun penjarahan itu
berlangsung. Sekitar 80 % dari 90.000 ha luas TNGP sudah dirambah para penebang dan
mengalami rusak berat. Para penebang yang dibayar untuk memotong pohon itu diperkirakan
jumlahnya sebanyak 2000 orang dengan menggunakan motor pemotong chainsaw. Selain itu
di hutan Kapuas Hulu, penebangan hutan liar juga tak kalah mengerikan. Sasaran penebangan
adalah pohon-pohon dengan jenis Kayu Ramin, Meranti, Klansau, Mabang, Bedaru, dan jenis
Kayu Tengkawang yang termasuk jenis kayu dilindungi. Kayu-kayu gelondongan yang telah
ditebang langsung diolah menjadi balok dalam berbagai ukuran antara lain: 24 cm x 24 cm,
12 cm x 12 cm dengan panjang rata-rata 6 meter. Setiap hari jumlah truk yang mengangkut
kayu ini ke wilayah Malaysia sekitar 50 60 truk. Penajarahan liar atau ilegal logging ini
terjadi akibat kebutuhan manusia akan kayu untuk industri yang maju sangat kurang,
sehingga timbul ilegal logging yang langsung merusak alam dan lingkungannya.

Dari perusakkan alam yang berlebihan inilah timbul berbagai masalah yang berkaitan
antara satu dengan yang lainnya. Permasalahan tersebut semakin hari semakin parah karena
manusia sebagai pengelolanya tidak dapat mengelola dan mengontrol dengan baik
pemanfaatan alam tersebut. Kerusakkan alam yang terjadi di beberapa kawasan lingkungan di
Indonesia:

KAWASAN PERTANIAN

Berbagai kerusakan lingkungan di ekosistem pertanian telah banyak terjadi baik pada
ekosistem pertanian sawah maupun ekosistem pertanian lahan kering nonpadi.
Kerusakan lingkungan di ekosistem sawah utamanya diakibatkan oleh program
Revolusi Hijau (green revolution), khususnya dengan adanya introduksi varietas padi
unggul dari Filipina, dan penggunaan pupuk kimia, serta penggunaan pestisida yang
tak terkendali. Revolusi Hijau memang telah berjasa meningkatkan produksi padi
secara nasional (makro), namun program tersebut juga telah menyebabkan kerusakan
lingkungan yang tidak sedikit, seperti kepunahan ratusan varietas padi lokal, ledakan
hama baru, serta pencemaran tanah dan air.

Pengaruh Revolusi Hijau pada sistem sawah, secara tidak langsung juga telah
menyebabkan komersialisasi pertanian lahan kering. Misalnya, akibat desakan
ekonomi pasar di berbagai tempat, sistem pertanian agroperhutanan (agroforestry)
tradisional yang ramah lingkungan, seperti kebun campuran (talun, Sunda) ditebangi,
dibuka lalu digarap menjadi kebun sayuran komersil. Akibatnya, sistem
pertanianagroperhutanan tradisional yang tadinya biasa ditanami aneka jenis tanaman
kayu bahan bangunan, kayu bakar dan buah-buahan, serta ditanami juga dengan jenis
tanaman semusim, seperti tanaman pangan, sayur, bumbu masak, dan obat-obatan
tradisional, kini telah berubah menjadi sistem pertanian sayur monokultur komersil.

Kendati memberi peluang keluaran (output) ekonomi lebih tinggi, pengelolaan sistem
pertanian komersil sayuran pada dasarnya membutuhkan asupan (input) yang tinggi
yang bersumber dari luar (pasar). Keperluannya terurai seperti, benih sayur, pupuk
kimia dan obat-obatan, sehingga petani menjadi sangat tergantung pada ekonomi
pasar. Akibat perubahan ini, berbagai kerusakan lingkungan terjadi di sentra-sentra
pertanian sayur lahan kering, seperti pegunungan Dieng di Jawa Tengah, serta Garut,
Lembang, Majalaya, Ciwidey, dan Pangalengan, di Jawa Barat. Kerusakan itu antara
lain timbulnya erosi tanah dan degradasi lahan, karena lahan menjadi terbuka. Erosi
tanah dan pencucian pupuk kimia, serta pestisida juga masuk ke badan perairan,
seperti sungai, kolam dan danau. Hal ini telah mengganggu lingkungan perairan,
seperti pendangkalan sungai, danau, dan pencemaran perairan yang mengganggu
kehidupan ikan, udang, dan lain-lain. Secara umum lahan yang terbuka, telah
menyebabkan punahnya fungsi-fungsi penting dari agro-perhutanan tradisional.
Misalnya, fungsi pengatur tata air (hidroorologi), pengatur iklim mikro, penghasil
seresah dan humus, sebagai habitat satwa liar, dan perlindungan varietas dan jenis-
jenis tanaman lokal. Maka tidaklah heran bila berbagai varietas atau jenis jenis
tanaman lokal, seperti bambu, buah-buahan, kayu bakar, bahan bangunan, dan obat-
obatan tradisional, makin langka, karena kurang dibudidayakan oleh para petani di
lahan-lahan kering pedesaan mereka.

KAWASAN PESISIR DAN LAUTAN

Menurut taksiran, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km atau sekitar 14%
garis pantai dunia, dengan luas perairannya mencapai 5,8 juta km2 (termasuk ZEEI).
Kekayaan yang dimiliki di kawasan pesisir dan lautan adalah meliputi hutan mangrove,
terumbu karang dan ikan hias, rumput laut, dan perikanan. Pada akhir tahun 1980-an, luas
hutan mangrove masih tercatat mencapai 4,25 juta ha, dengan sebaran yang terluas ditemukan
di kawasan Irian Jaya/Papua (69 %), Sumatera (16 %), dan Kalimantan (9 %). Namun di P.
Jawa, kawasan hutan mangrove (bakau) sudah sangat terbatas, hanya tinggal tersisa di
bebarapa kawasan saja. Indonesia juga memiliki wilayah terumbu karang terluas dengan
bentangan dari barat ke timur sepanjang kurang lebih 17.500 km.

Rumput laut juga ditemukan di banyak tempat. Rumput laut biasanya berguna bagi
berbagai kepentingan, seperti makanan ternak serta bahan baku industri. Sedangkan
perikanan laut Indonesia, kaya akan jenis-jenis ikan ekonomi penting, seperti tuna,
cakalang, ikan karang, pelagik kecil, dan udang. Namun sayangnya berbagai potensi
kawasan pesisir dan lautan ini telah mendapat berbagai tekanan berat dari tindakan
manusia yang tidak bijaksana, sehingga telah menimbulkan berbagai kerusakan
lingkungan.

Bukan merupakan rahasia lagi bahwa hutan mangrove di berbagai kawasan banyak
terganggu. Misalnya, penduduk lokal telah lama menggunakan berbagai pohon bakau
untuk kayu bakar, bahan bangunan, tonggak-tonggak bagan, tempat memasang jaring
ikan, bahan arang dan lain sebagainya. Hutan mangrove juga telah dibuka secara
besar-besaran untuk dijadikan daerah pemukiman, perkebunan, bercocok tanam dan
pertambakan udang. Selain itu, pengambilan kayu-kayu mangrove berfungsi sebagai
bahan bakar pabrik minyak kelapa, pabrik arang, dan bahan bubur kayu (pulp).
Penebangan hutan mangrove dapat membawa dampak negatif, misalnya
keanekaragaman jenis fauna di hutan tersebut berkurang secara drastis, sementara
habitat satwa liar, seperti jenis-jenis burung dan mamalia terganggu berat. Dampak
lain adalah hilangnya tempat bertelur dan berlindung jenis-jenis kepiting, ikan dan
udang sehingga banyak nelayan mengeluh karena makin sedikitnya hasil tangkapan
mereka. Pengikisan pantai pun makin menjadi, akibatnya air asin dari laut merembes
ke daratan. Maka daerah pertanian dan pemukiman jadi terganggu. Belum lagi akibat
jangka panjang dan dari segi ilmu pengetahuan, sangatlah sukar untuk dapat dinilai
kerugian yang terjadi akibat kerusakan atau punahnya hutan mangrove tersebut.

Gangguan lainnya pada ekosistem pesisir dan laut adalah penggunaan bahan peledak
dan racun sianida untuk menangkap ikan serta pengambilan terumbu karang. Hal
tersebut menyebabkan berbagai gangguan dan kerusakan terhadap jenis-jenis terumbu
karang dan ikan hias. Gangguan terhadap perikanan laut, antara lain terjadi karena
adanya eksplotasi jenis-jenis ikan dan udang yang melampui nilai keberlanjutannya
dan diperberat dengan makin maraknya pencurian yang dilakukan oleh para nelayan
asing, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Filipina. Hal ini semua telah menyebabkan
penangkan ikan secara berlebihan (overfishing) yang mengganggu ekosistem
lautan.Untuk jangka panjang, hal ini sangat membahayakan, karena keberlanjutan
usaha perikanan nelayan dan industri perikanan di Indonesia tidak dapat dijamin.

KAWASAN HUTAN

Berbagai kawasan hutan di Indonesia, seperti hutan gambut yang tumbuh di lahan-lahan
basah gambut, yang sangat masam (pH 4.0) dan berkandungan hara rendah, serta lahan hutan
hujan pamah Dipterocarparceae ataupun non-Dipteroracpaceae telah banyak yang
mengalami kerusakan. Salah satu kasus yang paling menonjol adalah pembukaan lahan
gambut secara besarbesaran dalam rangka Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG)
sejuta hektar di Kalimantan Tengah pada tahun 1995 tanpa mempedulikan dampaknya
terhadap lingkungan hidup. Program di lahan seluas 1.687.112 hektar tersebut diperuntukan
bagi pengembangan pertanian tanaman pangan, lahan sawah, dan sebagai kawasan
transmigrasi. Namun gagasan tersebut pudar seiring dengan munculnya sistem pemerintahan
yang baru. Akibatnya lahan lahan itu dibiarkan membentuk semak-semak belukar sehingga
para transmigran yang sudah lama bermukim di sekitar tempat itu pun tidak dapat lagi
menggarap lahan tersebut, karena selain lahannya sudah tidak subur, banyak hama tikus dan
babi hutan.

Di samping itu, air di parit-parit pun berwarna gelap kemerah-merahan serta asam,
sehingga bila dikonsumsi dapat merusak gigi (Kompas, 8 Mei 2000). Masalah
lainnya, peladangan liar oleh penduduk pendatang, kebakaran hutan dan lahan,
pemberian konsesi hutan (HPH), pembukaan hutan untuk transmigrasi dan
perkebunan besar, serta pencurian hasil hutan, juga telah menyebabkan kerusakan
ekosistem hutan secara besar-besaran. Akibatnya, keanekaragam flora dan fauna hutan
menurun drastis, serta manfaat hutan bagi manusia dapat terganggu atau hilang sama
sekali. Contohnya,hilangnya manfaat yang langsung bagi manusia, antara lain hasil
kayu, getah, sumber obat-obatan, bahan industri, bahan kosmetik, bahan buah-buahan
dan lain-lain.
Di samping itu, manfaat hutan secara tidak langsung juga ikut hilang. Misalnya,
sebagai pengatur tata air di alam (hidroorologi), memberi keindahan di alam, menjaga
kelembaban udara, memelihara iklim lokal, habitat satwa liar, sumber plasma nutfah,
kepentingan rekreasi, kepentingan ilmiah, dan lain-lain.

Secara umum, adanya gangguan hutan di mana-mana, yang paling merasakan


akibatnya secara langsung adalah penduduk yang bermukim di kawasan atau sekitar
kawasan hutan. Rusak atau hilangnya hutan, bukan saja dapat mengakibatkan
gangguan lingkungan hayati, tapi juga secara langsung dapat mengganggu kehidupan
sosial ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan hutan. Mereka yang tadinya
mendapatkan bahan makanan dari jenis-jenis tumbuhan atau satwa liar dengan secara
bebas di hutan, akan kehilangan sumber kehidupannya.

Setelah lima belas tahun berlalu sejak pertemuan di Rio de Janeiro dan serangkaian
negosiasi internasional yang melibatkan banyak negara dan para ahli, termasuk di antaranya
yang paling terkenal adalah Protokol Kyoto. Apakah lingkungan bumi kita makin membaik?
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa keadaannya justru makin memburuk. Konsentrasi
gas-gas rumah kaca (antara lain gas CO2, CH4, N2O, dan HFC) di atmosfer terus meningkat,
yang mengakibatkan perubahan iklim global.

Perubahan iklim tersebut dipicu oleh meningkatnya temperatur rata-rata secara global yang
sejak tahun 1880 hingga tahun 2002 hampir sekitar 0,6 OC (1 OF), seperti terlihat pada
Gambar 2. Bagaimana prediksi temperatur bumi di masa yang akan datang? Apakah akan
mengikuti garis merah, ataukah mengikuti garis biru? Dan bagaimana dengan masa depan
kehidupan manusia di bumi ini?

Gambar 2. Perubahan temperatur rata-rata tahunan secara global


Sumber : Mader (2007)

Bagaimana Cara Pengendalian dan Penanggulangan?

Pemerintah Indonesia sejak lama telah melakukan beberapa upaya pengendalian dan
penanggulangan kerusakan lingkungan yang dapat menyebabkan penyusutan
keanekaragaman hayati. Beberapa kebijakan telah dicanangkan terutama terkait dengan
upaya pelestarian/konservasi. Selain itu diupayakan pula suatu kebijakan pemanfaatan yang
mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan serta pembagian keuntungan yang
adil dari pemanfaatan keanekaragaman hayati. Sejak tahun 1990 telah diterbitkan UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur
konservasi keanekaragaman ekosistem dan spesies terutama di kawasan lindung. Indonesia
memiliki 387 unit kawasan lindung/konservasi, meliputi 357 unit daratan (sekitar 17,8 juta
hektar) dan 30 unit kawasan laut (sekitar 44,6 juta hektar). Namun pengelolaan kawasan
lindung, khususnya dalam menjamin partisipasi masyarakat, penegakan hukum, dan lokasi
anggaran kurang memadai, sehingga beberapa kawasan lindung terancam oleh kegiatan
perburuan, penangkapan ikan, penebangan dan pemungutan sumberdaya hutan ilegal, serta
konflik dengan masyarakat lokal.

Pada awal tahun 1990 KLH telah menyusun suatu Strategi Nasional Pengelolaan
Keanekaragaman Hayati yang diikuti dengan kompilasi Rencana Aksi Keanekaragaman
Hayati (Biodiversity Action Plan of Indonesia BAPI) yang diterbitkan oleh BAPPENAS
pada tahun 1993. Saat ini BAPPENAS dengan bantuan Global Enviroronment Facilities
(GEF) sedang merevisi BAPI melalui penyusunan Rencana Aksi dan Strategi
Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan
IBSAP). Kegiatan yang melibatkan berbagai instansi terkait dan LSM ini, diharapkan akan
selesai pada tahun 2003 ini. Sementara itu, pemerintah telah juga mengembangkan UU No. 5
1994 mengenai Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations
Convention on Biological Diversity CBD). KLH bertindak sebagai National Focal Point
yang bertugas mengkoordinasikan implementasi CBD di tingkat nasional. Indonesia juga
telah meratifikasi beberapa konvensi PBB yang terkait, seperti CITES, RAMSAR, World
Heritage Convention (WHC)) serta telah menandatangai Protokol Cartagena tentang
Keamanan Hayati. Pemerintah juga berpartisipasi pada kegiatan MAB (Man and Biosphere)
yang dikoordinasikan oleh UNESCO dan dalam kerangka ASEAN, Indonesia berpartisipasi
aktif pada kegiatan program ARCBC (ASEAN Regional Center on Biodiversity
Conservation) yang merupakan proyek kerjasama ASEAN-EU dan berkedudukan di Manila.

Pemanfaatan Teknologi Pembangunan Berkelanjutan


Pola pertumbuhan perkembangan ekonomi atau parameter lainnya, seperti populasi,
dapat dilukiskan seperti pada Gambar 3. Memperhatikan pola pertumbuhan pada gambar
tersebut, keadaan dunia saat ini berada pada garis hitam-penuh yang sedang menanjak,
terutama dari segi pertumbuhan populasi dan ekonomi. Sampai kapankah pertumbuhan ini
akan terus berlanjut?

Dengan memerhatikan tanda-tanda yang terjadi di bumi ini dan tantangan yang telah
dikemukakan pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, tampaknya tidak mudah diatasi
oleh umat manusia, yang terjadi adalah masa depan yang buruk bagi kehidupan manusia.
Prediksi yang terjadi adalah seperti yang digambarkan oleh garis merah-penuh pada Gambar
3. Yaitu, terjadinya bencana yang menimpa umat manusia. Keadaan seperti ini haruslah
dihindari dengan berbagai cara dan usaha.

Usaha yang harus dilakukan adalah bagaimana mengatur berbagai upaya untuk
mencapai kesetimbangan di bumi ini. Pencapaian kesetimbangan yang dapat menunjang
kebutuhan manusia saat ini dengan tidak mengorbankan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan yang mereka perlukan, dikenal sebagai Keberlanjutan, dan
masyarakat yang berusaha menciptakan kondisi seperti itu disebut sebagai Masyarakat yang
Berkelanjutan (Sustainable Society).

Gambar 3. Pola pertumbuhan pembangunan secara umum

Sumber: Suzuki (2006)

Bagaimana mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan adalah tantangan besar bagi


umat manusia saat ini, yang harus segera dijawab dan diwujudkan. Namun, kriteria apakah
yang dapat diterapkan bagi suatu usaha, tindakan, atau kegiatan dalam mewujudkan
keberlanjutan tersebut? Kriteria yang digunakan oleh UNFCC (United Nation Framework on
Climate Change) dalam mempertimbangkan keberlanjutan suatu proyek atau kegiatan adalah
memenuhi 3-P. Arti dari 3-P adalah Planet, Profits, and
Persons. Atau dengan kata lain, keberlanjutan tersebut harus mempertimbangkan
keberlanjutan dari sisi Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial. Secara diagram ketiga kriteria
tersebut dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Kriteria dalam pembangunan yang berkelanjutan

Sumber : DSM (2005)

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan, peranan teknologi tidaklah


dapat diabaikan dan dikesampingkan, akan tetapi dengan tantangan yang besar. Mulder
(2006) mengungkapkan bahwa dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan,
efisiensi lingkungan produksi dan konsumsi suatu teknologi atau produk rata rata harus
mencapai faktor 32,4. Dalam perhitungan tersebut diasumsikan dampak lingkungan dari
produksi dan konsumsi pada tahun 2050 adalah separuh dari tahun 2000, jumlah penduduk
dunia sebesar 1,5 kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan 2000 dan negara miskin mengejar
kemakmuran seperti di negara negara maju, yang berakibat pada pemanfaatan sumber daya
alam sebesar 10,8 kali lipat pada tahun 2050.

Dengan melihat angka yang diprediksi tersebut, maka para industrialis, ilmuwan dan
insinyur harus memikirkan perubahan teknologi dengan cara lompatan, tidak cukup hanya
perubahan yang marjinal. Sejarah mencatat perubahan perubahan teknologi marjinal yang
telah dilakukan manusia:

Pada saat awal manusia menghadapi persoalan lingkungan adalah dengan


cara yang paling mudah, yaitu membuangnya di lahan kosong dan
berjauhan dengan kegiatan manusia; atau mengencerkannya ke sungai
atau udara.

Setelah pencemaran makin meningkat, kemudian diperkenalkan teknologi


pengolahan limbah untuk mengurangi dampak dari limbah yang
dihasilkan, dengan tidak mengubah proses produksi. Sebagian besar
indusri di Indonesia masih pada tahap ini.
Metode penanganan limbah ternyata tidak cukup berarti (significant)
untuk mengatasi pencemaran lingkungan, sehingga pengurangan beban
pencemaran menjadi pilihan yang diutamakan oleh banyak negara maju.
Pengurangan beban pencemaran ini bukan hanya mengurangi jumlah
limbah, tetapi mencakup pula perancangan-ulang proses produksi,
sehingga beban pencemaran dan pengurangan biaya menjadi berarti.
Terminologi yang dipakai untuk teknik ini sangat beragam, ada yang
menyebutnya pencegahan pencemaran, minimisasi limbah, produksi
bersih, teknologi hijau dan sebagainya.

Namun, teknologi untuk pembangunan yang berkelanjutanselanjutnya disebut sebagai


teknologi berkelanjutan tidaklah cukup dengan perubahan teknologi yang bertujuan
memproduksi barang dan jasa dengan meminimalkan limbah saja, teknologi yang diperlukan
adalah teknologi dengan tujuan yang jauh lebih luas. Hal ini untuk memungkinkan kita untuk
memenuhi kebutuhan umat manusia dengan tanpa melebihi kapasitas daya dukung dan daya
tampung ekologi planet bumi ini dan mempromosikan kesetaraan kebutuhan manusia.

Teknologi Berkelanjutan mempunyai paling tidak tiga karakterisitik, yaitu: memenuhi


kebutuhan umat manusia, mempertimbangkan pengaruh global dan memberikan penyelesaian
jangka panjang (Mulder, 2006). Beberapa contoh yang memperlihatkan teknologi yang tidak
berkelanjutan, antara lain:

Penggunaan pupuk kimia, yang pada awalnya dapat meningkatkan


kebutuhan pangan, akan tetapi pada jangka panjang menimbulkan
kerusakan tanah pertanian lokal.

Obat antibiotika telah dirasakan penting bagi peningkatan kesehatan


manusia, tetapi penggunaannya yang sangat luas menyebabkan
munculnya bakteri yang tahan terhadap obat antibiotika. Pada jangka
panjang, hal ini dapat menimbulkan resiko kesehatan yang luas.

Kata kunci dari teknologi berkelanjutan adalah adanya inovasi sistem yang mengubah
struktur sistem teknologi. Pengertian sistem di sini bukan saja pada skala mikro akan tetapi
mencakup inovasi sistem dalam skala besar yang melibatkan unsur unsur yang berkontribusi
dalam menghasilkan produk dan jasa bagi konsumen. Inovasi sistem ada kalanya
membutuhkan biaya investasi yang besar dan sering pula diiringi dengan kehancuran
keseluruhan sistem yang digantikannya. Sebagai contoh, sistem telegraf yang dihancurkan
oleh teleks, yang kemudian kedua teknologi tersebut disapu oleh mesin faks. Saat ini, kita
sedang mengamati menghilangnya mesin faks yang digantikan oleh pengiriman dokumen
melalui surat elektronik (e-mail).

Kesimpulan

Uraian di atas menunjukkan betapa besar dan luasnya kerusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh meningkatnya populasi manusi di Bumi ini secara berkelanjutan. Ada
beberapa faktor penyebab kerusakan lingkungan, antara lain:
1. pertambahan penduduk yang pesat, sehingga telah menyebabkan
tekanan yang sangat berat terhadap pemanfaatan keanekaragaman
hayati. Misalnya, timbulnya eksploitasi terhadap sumber daya alam yang
berlebihan.

2. perkembangan teknologi yang pesat, sehingga kemampuan orang untuk


mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan semakin mudah
dilakukan.

3. makin meningkatnya penduduk lokal terlibat dalam ekonomi pasar


kapitalis, sehingga menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara
berlebihan.

4. kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam yang sangat sentralistik dan
bersifat kapitalis dan tidak tepat guna.

5. berubahnya sistem nilai budaya masyarakat dalam memperlakukan


sumber daya alam sekitarnya. Misalnya, punahnya sifat-sifat kearifan
penduduk lokal terhadap lingkungan hidup sekitarnya.

Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam yang holistik, berkelanjutan dan
berkeadilan sosial bagi segenap warga masyarakat, sungguh diperlukan untuk
mempertahankan kelestarian alam dan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.

Jelaskan pengaruh peningkatan populasi terhadap kerusakan lingkungan !

Apabila hal ini terjadi atau nantinya dibiarkan , maka akan terjadi penurunan
kualitas lingkungan.

peningkatan populasi akan menyebabkan kerusakan lingkungan karena semakin


banyak populasi maka kebutuhan terhadap dan sumber daya alam hayati dan
non hayati akan semakin meningkat pula.
contoh:
meningkatnya populasi eceng gondok di sungai dapat menyebabkan kematian
hewan air karena CO2 dalam air meningkat, sungai menjadi dangkal akibat
penimbunan eceng yang mati.

meningkatnya populasi manusia menyebabkan berkurangnya lahan hutan untuk


area pemukiman, pertanian, perkebunan, dll. belum lagi pola hidup yang tidak
ramah lingkungan menyebabkan sungai tercemar, polusi udara juga meningkat.
peningkatan populasi manusia adalah penyebab kerusakan lingkungan yang
paling parah
DAMPAK PENCEMARAN MINYAK TERHADAP EKOSISTEM LAUT.
30 April 2011 pukul 20:27

Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi
fokus perhatian masyarakat luas, karena akibatnya sangat cepat dirasakan oleh masyarakat
sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut.
Pencemaran minyak semakin banyak terjadi sejalan dengan semakin meningkatnya
permintaan minyak untuk dunia industri yang harus diangkut dari sumbernya yang cukup
jauh, meningkatnya jumlah anjungan anjungan pengeboran minyak lepas pantai. dan juga
karena semakin meningkatnya transportasi laut.

Berdasarkan PP No.19/1999, pencemaran laut diartikan sebagai masuknya/ dimasukkannya


makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan
manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto, 1999).
Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United Nations Convention on the Law of the Sea =
UNCLOS III) mengartikan bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut
termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat
merusak sumber daya hayati laut (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan
manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara
wajar, menurunkan kualitas air laut dan mutu kegunaan serta manfaatnya (Siahaan, 1989
dalam Misran, 2002

A. Sumber Pencemaran Minyak di Laut

Menurut Pertamina ( 2002), Pencemaran minyak di laut berasal dari :


1. Ladang Minyak Bawah Laut;

2. Operasi Kapal Tanker;

3. Docking (Perbaikan/Perawatan Kapal);

4. Terminal Bongkar Muat Tengah Laut;

5. Tanki Ballast dan Tanki Bahan Bakar;

6. Scrapping Kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua);

7. Kecelakaan Tanker (kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan);

8. Sumber di Darat (minyak pelumas bekas, atau cairan yang mengandung hydrocarbon
( perkantoran & industri );

9. Tempat Pembersihan (dari limbah pembuangan Refinery )

B. Dampak dari Pencemaran Minyak di Laut

Komponen minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang menyebabkan
air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam
sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Komponen
hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan,
dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan
sendirinya dapat menurunkan produksi ikan. Proses emulsifikasi merupakan sumber
mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada
tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar (Fakhrudin, 2004). Sumadhiharga (1995)
dalam Misran (2002) memaparkan bahwa dampak-dampak yang disebabkan oleh
pencemaran minyak di laut adalah akibat jangka pendek dan akibat jangka panjang.

1. Akibat jangka pendek.

Molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkan
keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang
dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung
minyak menyebabkan kematian pada ikan karena kekurangan oksigen, keracunan karbon
dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya.
2. Akibat jangka panjang.

Lebih banyak mengancam biota muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota laut.
Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi
dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan
dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di
dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan
tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia.

Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang
kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar
laut. Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang
bermigrasi ke daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi
sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Menurut Fakhrudin (2004),
lapisan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi
kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk
kehidupan laut yang aerob.

Lapisan minyak yang tergenang tersebut juga akan mempengarungi pertumbuhan rumput laut
, lamun dan tumbuhan laut lainnya jika menempel pada permukaan daunnya, karena dapat
mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan tersebut seperti respirasi, selain itu juga
akan menghambat terjadinya proses fotosintesis karena lapisan minyak di permukaan laut
akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam zona euphotik, sehingga rantai
makanan yang berawal pada phytoplankton akan terputus Jika lapisan minyak tersebut
tenggelam dan menutupi substrat, selain akan mematikan organisme benthos juga akan terjadi
perbusukan akar pada tumbuhan laut yang ada.

Pencemaran minyak di laut juga merusak ekosistem mangrove. Minyak tersebut berpengaruh
terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, dimana
akar tersebut akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang. Jika
minyak mengendap dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan pembusukan pada
akar mangrove yang mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove tersebut. Tumpahan
minyak juga akan menyebabkan kematian fauna-fauna yang hidup berasosiasi dengan hutam
mangrove seperti moluska, kepiting, ikan, udang, dan biota lainnya.

Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa minyak yang terperangkap di dalam habitat


berlumpur tetap mempunyai pengaruh racun selama 20 tahun setelah pencemaran terjadi.
Komunitas dominan species Rhizophora mungkin bisa membutuhkan waktu sekitar 8
(delapan ) tahun untuk mengembalikan kondisinya seperti semula (O'Sullivan & Jacques,
2001 ).

Ekosistim terumbu karang juga tidak luput dari pengaruh pencemaran minyak . Menurut
O'Sullivan & Jacques (2001), jika terjadi kontak secara langsung antara terumbu karang
dengan minyak maka akan terjadi kematian terumbu karang yang meluas. Akibat jangka
panjang yang paling potensial dan paling berbahaya adalah jika minyak masuk ke dalam
sedimen. Burung laut merupakan komponen kehidupan pantai yang langsung dapat dilihat
dan sangat terpengaruh akibat tumpahan minyak . Akibat yang paling nyata pada burung laut
adalah terjadinya penyakit fisik (Pertamina, 2002). Minyak yang mengapung terutama sekali
amat berbahaya bagi kehidupan burung laut yang suka berenang di atas permukaan air,
seperti auk (sejenis burung laut yang hidup di daerah subtropik), burung camar dan guillemot
( jenis burung laut kutub).

Tubuh burung ini akan tertutup oleh minyak, kemudian dalam usahanya membersihkan tubuh
mereka dari minyak, mereka biasanya akan menjilat bulu-bulunya, akibatnya mereka banyak
minum minyak dan akhirnya meracuni diri sendiri. Disamping itu dengan minyak yang
menempel pada bulu burung, maka burung akan kehilangan kemampuan untuk mengisolasi
temperatur sekitar ( kehilangan daya sekat), sehingga menyebabkan hilangnya panas tubuh
burung, yang jika terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan burung tersebut kehilangan
nafsu makan dan penggunaan cadangan makanan dalam tubuhnya.

Peristiwa yang sangat besar akibatnya terhadap kehidupan burung laut adalah peristiwa
pecahnya kapal tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya burung-burung laut
sekitar 10.000 ekor di sepanjang pantai dan sekitar 30.000 ekor lagi didapati tertutupi oleh
genangan minyak ( Farb, 1980 ). Pembuangan air ballast di Alaska sekitar Pebruari-Maret
1970 telah pula mencemari seribu mil jalur pantai dan diperkirakan paling sedikit 100 ribu
ekor burung musnah (Siahaan, 1989 dalam Misran 2002). .

Menyadari akan besarnya bahaya pencemaran minyak di laut, maka timbullah upaya-upaya
untuk pencegahan dan penanggulangan bahaya tersebut oleh negara-negara di dunia. Diakui
bahwa prosedur penanggulangan seperti: pemberitahuan bencana, evaluasi strategi
penanggulangan, partisipasi unsur terkait termasuk masyarakat, teknis penanggulangan,
komunikasi, koordinasi dan kesungguhan untuk melindungi laut dan keberpihakan kepada
kepentingan masyarakat menjadi poin utama dalam pencegahan dan penanggulangan
pencemaran minyak. Untuk melakukan hal tersebut, tiga hal yang dapat dijadikan landasan
yaitu aspek legalitas, aspek perlengkapan dan aspek koordinasi.

Sejak September 2003 Departemen Kelautan dan Perikanan memulai Gerakan Bersih pantai
dan Laut (GBPL). Gerakan ini bertujuan untuk mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk
mewujudkan laut yang biru dan pantai yang bersih pada lokasi yang telah mengalami
pencemaran. Dengan gerakan ini diharapkan bukan hanya didukung oleh pemerintah dan
masyarakat, namun juga didukung oleh para pengusaha minyak dan gas bumi yang
beroperasi di Indonesia.

INTRUSI AIR LAUT

1. PENGERTIAN INTRUSI
Istilah intrusi air laut (sea water intrusion/encroachment) sebetulnya
mencakup hal yang lebih sempit dibandingkan pengertian dari istilah
intrusi air asin (saline/salt water). Karena air asin tidak hanya melulu
berupa/berasal dari air laut. Air asin adalah semua air yang mempunyai
kadar kegaraman yang tinggi. Tingkat kegaraman biasanya dicerminkan
dari total kandungan zat terlarut (total dissolved solids -TDS). Airtanah
tawar mempunyai TDS kurang dari 1000 mg/l. Sementara air tanah
payau/asin TDSnya lebih dari 1000 mg/l. Kandungan unsur Cl- yang tinggi
umumnya didapati pada air asin. Air asin adalah pencemaran yang paling
umum ke dalam air tanah.

Air asin di dalam akuifer dapat berasal dari:(Journal Hydraulics, ASCE,


1969)
Air laut di daerah pantai,
Air laut yang terperangkap dalam lapisan batuan yang diendapkan
selama proses geologi,
Garam di dalam kubah garam, lapisan tipis atau tersebar di dalam
formasi geologi (batuan),
Air yang terkumpul oleh penguapan di laguna, empang atau tempat-
tempat lain yang terisolasi,
Aliran balik ke sungai dari lahan irigasi,
Limbah asin dari manusia.
Intrusi air asin adalah suatu peristiwa penyusupan air asin ke dalam
akuifer di mana air asin menggantikan atau tercampur dengan air tanah
tawar yang ada di dalam akuifer. Penyusupan ini akan menyebakan air
tanah tidak dapat dimanfaatkan, dan sumur yang memanfaatkannya
terpaksa ditutup atau ditinggalkan.
Berdasarkan pengertian tersebut serta asal air asin, maka intrusi
air laut adalah intrusi air asin yang berasal dari air laut, sehingga hanya
terjadi di daerah pantai. Sementara intrusi air asin dapat terjadi di mana
saja, bahkan di daerah pedalaman (inland).
Intrusi air laut adalah masuk atau menyusupnya air laut kedalam pori-pori
batuan dan mencemari air tanah yang terkandung didalamnya, Proses
masuknya air laut mengganti air tawar disebut sebagai intrusi air laut.
Masuknya air laut ke sistem akuifer melalui dua proses, yaitu intrusi air
laut dan upconning. Intrusi air laut telah terjadi di beberapa tempat,
terutama daerah pantai.
Air laut memiliki berat jenis yang lebih besar dari pada air tawar akibatnya
air laut akan mudah mendesak airtanah semakin masuk. Secara alamiah
air laut tidak dapat masuk jauh ke daratan sebab airtanah memiliki
piezometric yang menekan lebih kuat dari pada air laut, sehingga
terbentuklah interface sebagai batas antara airtanah dengan air laut.
Keadaan tersebut merupakan keadaan kesetimbangan antara air laut dan
airtanah.
Intrusi air laut terjadi bila keseimbangan terganggu. Aktivitas yang
menyebabkan intrusi air laut diantaranya pemompaan yang berlebihan,
karakteristik pantai dan batuan penyusun, kekuatan airtanah ke laut,
serta fluktuasi airtanah di daerah pantai. Proses intrusi makin panjang
bisa dilakukan pengambilan airtanah dalam jumlah berlebihan. Bila intrusi
sudah masuk pada sumur, maka sumur akan menjadi asing sehingga
tidak dapat lagi dipakai untuk keperluan sehari-hari.
2. Faktor Penyebab Intrusi Air Laut
Intrusi air laut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Aktivitas manusia
Aktivitas manusia terhadap lahan maupun sumber daya air tanpa
mempertimbangkan kelestarian alam tentunya dapat menimbulkan
banyak dampak lingkungan. Bentuk aktivitas manusia yang berdampak
pada sumberdaya air terutama intrusi air laut adalah pemompaan air
tanah (pumping well) yang berlebihan dan keberadaannya dekat dengan
pantai.
2. Faktor batuan
Batuan penyusun akuifer pada suatu tempat berbeda dengan tempat
yang lain, apabila batuan penyusun berupa pasir akan menyebabkan air
laut lebih mudah masuk ke dalam airtanah. Kondisi ini diimbangai dengan
kemudahan pengendalian intrusi air laut dengan banyak metode. Sifat
yang sulit untuk melepas air adalah lempung sehingga intrusi air laut
yang telah terjadi akan sulit untuk dikendalikan atau diatasi
3. Karakteristik pantai
Pantai berbatu memiliki pori-pori antar batuan yang lebih besar dan
bervariatif sehingga mempermudah air laut masuk ke dalam airtanah.
Pengendalian air laut membutuhkan biaya yang besar sebab beberapa
metode sulit dilakukan pada pantai berbatu. Metode yang mungkin
dilakukan hanya Injection Well pada pesisir yang letaknya agak jauh dari
pantai, dan tentunya materialnya berupa pasiran.
Pantai bergisik/berpasir memiliki tekstur pasir yang sifatnya lebih porus.
Pengendalian intrusi air laut lebih mudah dilakukan sebab segala metode
pengendalian memungkinkan untuk dilakukan.
Pantai berterumbu karang/mangrove akan sulit mengalami intrusi air laut
sebab mangrove dapat mengurangi intrusi air laut. Kawasan pantai
memiliki fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Kawasan pantai
sebagai daerah pengontrol siklus air dan proses intrusi air laut, memiliki
vegetasi yang keberadaannya akan menjaga ketersediaan cadangan air
permukaan yang mampu menghambat terjadinya intrusi air laut ke arah
daratan. Kerapatan jenis vegetasi di sempadan pantai dapat mengontrol
pergerakan material pasir akibat pergerakan arus setiap musimnya.
Kerapatan jenis vegetasi dapat menghambat kecepatan dan memecah
tekanan Terpaan angin yang menuju ke permukiman penduduk.
4.Fluktuasi airtanah di daerah pantai
Apabila fluktuasi air tanah tinggi maka kemungkinan intrusi air laut lebih
mudah terjadi pada kondisi air tanah berkurang. Rongga yang terbentuk
akibat air tanah rendah maka air laut akan mudah untuk menekan
airtanah dan mengisi cekungan/rongga air tanah. Apabila fluktuasinya
tetap maka secara alami akan membentuk interface yang keberadaannya
tetap.
Intrusi air laut merupakan bentuk degradasi sumberdaya air terutama
oleh aktivitas manusia pada kawasan pantai. Hal ini perlu diperhatikan
sehingga segala bentuk aktivitas manusia pada daerah tersebut perlu
dibatasi dan dikendalikan sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan.
3. Penentuan Intrusi Air laut
Menurut konsep Ghyben Herzberg, air asin dijumpai pada kedalaman 40
kali tinggi muka airtanah di atas muka air laut. Fenomena ini disebabkan
akibat perbedaan berat jenis antara air laut (1,025 g/cm3) dan berat jenis
air tawar (1,000 g/cm3).

keterangan:
hf = elevasi muka airtanah di atas muka air laut (m)
z = kedalaman interface di bawah muka air laut (m)
s = berat jenis air laut (g/cm3)
f = berat jenis air tawar (g/cm3)
Intrusi air laut dapat dikenali dengan melihat komposisi kimia airtanah.
Perubahan ini terjadi dengan cara
Reaksi kimia antara air laut dengan mineral-mineral akuifer.
Reduksi sulfat dan bertambah besarnya konsentrasi karbon atau asam
lemah lain.
Terjadi pelarutan dan pengendapan.
Revelle menggunakan nilai rasio antara klorida dan bikarbonat untuk
mengevaluasi adanya intrusi air laut. Penggunaan klorida dikarenakan
klorida merupakan ion dominan pada air laut dan bikarbonat merupakan
ion dominan pada air tawar. Semakin tinggi nilai rasio, berarti pengaruh
intrusi air laut makin besar, sedangkan bila nilai rasio rendah maka
pengaruh intrusi air laut kecil.
4. Dampak Intrusi Air Laut
Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh intrusi air laut, terutama dampak
negatif atau yang merugikan seperti; terjadinya penurunan kualitas air
tanah untuk kebutuhan manusia, amblesnya tanah karena
pengekploitasian air tanah secara berlebihan, sedang bagi tanaman ada
yang toleran terhadap kandungan garam atau air asin yang tinggi seperti,
tanaman daerah rawa pantai, yaitu pohon bakau. Bagi tanaman yang
tumbuh di tanah dengan kandungan garam yang rendah atau tumbuh
pada tanah biasa, umumnya respon terhadap peningkatan kadar garam
antara lain:
1. Penurunan jumlah air yang diantarkan ke daun yang diperkirakan akibat
perubahan tekanan osmosis. Akibat menurunnya perbedaaan konsentrasi
antara air sel dengan air ftanah yang bergaram, diperkirakan akan
menurun perbedaan tekanan osmosis relatif antara lain berfungsi
menghisap air ke daun.
2.Menyebabkan daun menjadi layu dan perubahan metabolisme akar.
Berkurangnya kualitas air tanah karena sudah bercampur dengan air asin/
garam dan susah untuk mendapatkan air bersih. Bila hal ini dibiarkan,
maka akan berdampak lebih besar terutama menganggu keseimbangan
air tanah dengan air asin. Selain itu juga daerah yag terkena intrusi ini
akan semakin luas terutama bagian hilirnya.

5. Upaya pengendalian Intrusi Air Laut


Terdapat beberapa cara untuk mengendalikan atau menanggulangi
intrusi laut, diantaranya:
1. Mengubah Pola Pemompaan
Memindah lokasi pemompaan dari pantai ke arah hulu akan menambah
kemiringan landaian hidrolika ke arah laut, sehingga tekanan airtanah
akan bertambah besar.
Gambar: mengubah pola pemompaan

2. Pengisian Airtanah Buatan


Muka airtanah dinaikkan dengan melakukan pengisian airtanah buatan.
Untuk akuifer bebas dapat dilakukan dengan menyebarkan air
dipermukaan tanah, sedangkan pada akuifer tertekan dapat dilakukan
pada sumur pengisian yang menembus akuifer tersebut.
Gambar: pengisian air tanah buatan

3. Extraction Barrier
Ekstraction barrier dapat dibuat dengan melakukan pemompaan air asin
secara terus menerus pada sumur yang terletak di dekat garis pantai.
Pemompaan ini akan menyebabkan terjadinya cekungan air asin serta air
tawar akan mengalir ke cekungan tersebut. Akibatnya terjadi baji air laut
ke daratan.
Gambar: extraction barrier
4. Injection Barrier
Injection barrier dapat dibuat dengan melakukan pengisian air tawar pada
sumur yang terletak di dekat garis pantai. Pengisian air akan menaikkan
muka air tanah di sumur tersebut, akan berfungsi sebagai penghalang
masuknya air laut ke daratan.
Gambar: injection barrier

5. Subsurface Barrier
Penghalang di bawah tanah sebagai pembatas antara air asin dan air
tawar dapat dibuat semacam dam dari lempung, beton, bentonit maupun
aspal.
Gambar: subsurface barrier

Intrusi air laut adalah sesuatu yang dapat merusak lingkungan apabila
dibiarkan dan tidak ada upaya yang dilakukan terutama bagi
kelangsungan hidup manusia. berbagai upaya harus perlu dilakukan agar
intrusi air laut tidak terjadi diantaranya: Mangrovisasi merupakan aktivitas
penanaman mangrove (bakau) di pinggir pantai dan menjaga
kelestariannya. Mengingat bahwa mangrove sebagai green belt (sabuk
pengaman yang ramah lingkungan). Hutan mangrove merupakan salah
satu ekosistem di wilayah pesisir yamg memilki kekhasan, baik dari
bentuk batang, tajuk maupun sistem perakarannya.
Mangrove Sebagai upaya Pencegahan Intrusi Air Laut
Intrusi air laut adalah sesuatu yang dapat merusak lingkungan apabila
dibiarkan dan tidak ada upaya yang dilakukan terutama bagi
kelangsungan hidup manusia. berbagai upaya harus perlu dilakukan agar
intrusi air laut tidak terjadi diantaranya: Mangrovisasi merupakan aktivitas
penanaman mangrove (bakau) di pinggir pantai dan menjaga
kelestariannya. Mengingat bahwa mangrove sebagai green belt (sabuk
pengaman yang ramah lingkungan). Hutan mangrove merupakan salah
satu ekosistem di wilayah pesisir yamg memilki kekhasan, baik dari
bentuk batang, tajuk maupun sistem perakarannya.
Perannya adalah pemanfaatan mangrove untuk menahan intrusi air laut,
fungsi ini sama dengan fungsi hutan yaitu menyimpan air tanah.
Kemampuan ini telah terbukti dari lahan yang mangrovenya terjaga
dengan baik, kondisi air tanah tidak terintrusi air laut. Sebaliknya, pada
lahan mangrove yang telah dikonversi untuk keperluan lain, kondisi air
tanah telah mengalami intrusi oleh air laut.
Kehadiran mangrove di pantai menjadi wilayah penyaga terhadap
rembesan air laut (intrusi) ke daratan jika tidak ada mengrove maka air
laut akan meresap kedalam aliran air tanah sehingga menyebabkan air
tanah menjadi asin seseuai dengan pernyataan Salin (1986). Adapun
intrusi diartikan sebagai perembesan air laut ke daratan, bahkan sungai.
Suatu kawasan yang awalnya air tanahnya tawar kemudian berubah
menjadi lagang dan asin seperti air laut. Intrusi dapat berakibat rusaknya
air tanah yang tawar dan berganti menjadi asin. Penyebabnya, antara lain
penebangan pohon bakau, penggalian karang laut untuk dijadikan bahan
bangunan dan kerikil jalan. Pembuatan tambak udang dan ikan yang
memberikan peluang besar masuknya air laut jauh ke daratan (Admin,
2008).
Mangrove melindungi garis pantai dari erosi yang disebabkan oleh
gelombang dan air kencang dan merupakan sumber kayu bakar terbaru.
Mangrove memiliki kemampuan mencegah intrusi garam kekawasan
darat, dan membersihkan perairan pantai dan pencemaran, khususnya
bahan pencemar dan unsur hara (Monk.et al, 2000).
Contoh Studi Kasus Mangrove Sebagai upaya Pencegahan Intrusi Air Laut

MAGROVISASI UPAYA MENCEGAH INTRUSI AIR LAUT

(Bertolak pada Peristiwa Ambles-nya Jembatan RE Maratadinata,


Jakarta)

Peristiwa Ambles-nya Jembatan Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara,


sepanjang 103 meter, Kamis (16/9/2010), dini hari telah membuat banyak
pihak terpukul, karena jembatan jalan RE Martadina sebagai salah satu
jantung perekonomian Indonesia. Jalan RE Martadinata merupakan jalan
pengubung menuju Tanjung Priok, dimana akan berdampak pada
lumpuhnya aktivitas perdagangan ekspor-impor.
Perlu ditelaah dan dikaji lebih dalam apa yang sebenarnya menjadi
penyebab ambruknya jembatan jalan RE Martadinata tersebut. Menurut
pakar meteorologi dan geofisika ITB Armi Susandi menyatakan bahwa
penyebab utama rapuhnya tanah di Jakarta adalah tingginya kadar garam
pada air tanah akibat intrusi (perembesan air laut ke daratan). Intrusi ini
terjadi akibat adanya penyedotan air tanah yang berlebihan. Ubaidillah
dari Wahana Lingkunga Hidup (Walhi) melaorkan bahwa setiap tahunnya
Jakarta devisit air tanah sebanyak 66,6 juta meter kubik.
Perembesan air laut ke daraan (intrusi) akan menyebabkan tanah dan
bebatuan yang menyusun lapisan tanah menjadi keropos. Secara kimiawi,
air berkadar garam tinggi mempunyai sifat yang merusak tanah dan
bebatuan, sehingga tanah dan bebatuan tidak sanggup lagi menahan
beban berat di atasnya. Menurut Armi, wilayah-wilayah yang keropos itu
meliputi pelabuhan, bandar udara, permukiman padat, dan gedung-
gedung bertingkat.
Penyedotan air tanah yang berlebihan itu, akan berdampak masuknya air
laut yang bersalinitas tinggi masuk menggantikan fungi air tanah yang
bersalinitas rendah di dalam tanah. Tersedotnya air tanah dengan
intensitas yang tinggi akan berbanding lurus dengan masuknya air laut ke
dalam tanah. Akibat penyedotan air tanah yang berlebihan ini, permukaan
tanah turun dan intrusi makin besar. Menurut Direktur Keadilan Perkotaan
Institut Hijau Indonesia, Selamet Daroyni, laju penurunan tanah Jakarta
meningkat drastis dari 0,8 cm per tahun pada kurun 1982 1992 menjadi
18-26 cm per tahun pada 2008, terutama di daerah Jakarta Utara. Dengan
melihat tingkat penurunan tanah tersebut, ada pakar yang memprediksi,
Jakarta akan tertelan bumi pada tahun 2050.
Amblenya jembatan jalan RE Martadinata yang menjadi salah satu bagian
vital perekonomian Indonesia merupakan salah satu contoh dari
kerakusan akibat ulah manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam
yang berlebihan (eksploitasi). Untuk itu, belum terlambat kiranya
dicarikan solusi, mengatasi rawan amblesnya tanah dan terjadinya intrusi
di daerah ibu kota. Penanganan yang harus segera dikerjakan bukan
hanya membuat pondasi yang kuat, membutat dinding di pingir pantai,
reklamasi pantai, dan pemecah ombak . Melainkan, dengan penanganan
yang mengedepankan asas keberlanjutan dan ramah lingkungan, yaitu
mangrovisasi.
Mangrovisasi merupakan aktivitas penanaman mangrove (bakau) di
pinggir pantai dan menjaga kelestariannya. Mengingat bahwa mengrove
sebagai green belt (sabuk pengaman yang ramah lingkungan). Menurut
Alikodra (2010), mangrove adalah tumbuhan yang tercipta di alam
untuk mengatasi problem intrusi dan gelombang air laut. Hutan mangrove
merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki
kekhasan, baik dari bentuk batang, tajuk maupun sistem perakarannya.
Hutan mangrove ini tumbuh dengan baik pada pantai berlumpur yang
terpengaruh pasang surut air laut dan kadar garam.
Hutan mangrove bukan saja sebagi green belt dan mencegah terjadinya
intrusi air laut ke daratan, akan tetapi hutan mangrove juga befungsi
sebagai habitat satwa langka, pelindung bencana alam, pengendapan
lumpur, penambat racun, sumber alam dalam kawasan (in-situ) dan luar
kawasan (ex-situ), plasma nutfah, sumber makanan bagi ikan, tempat
melakukan pemijahan ikan, penyerapan karbon, memelihara iklim mikro,
pariwisata, penelitian dan pendidikan (Davis et al, 1995).
Mangrovisasi yang nantinya diaplikasikan di Jakarta ini maka kerusakan
tanah akibat intrusi air laut dapat teratasi. Tentunya langkah mangrovisasi
ini harus dibarengi dengan pencegahan dan pengontrolan penyedotan air
tanah yang berlebihan sesuai dengan batas ambang yang ditentukan,
serta memperluas penanaman tumbuhan maupun pepohohan guna
membantu dalam penyerapan air hujan. Jika itu dilakukan dengan rapi,
maka Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia akan bangkit dari
ancaman degradasi alam. Mari bersama-sama membenahi Jakarta menuju
Jakarta Hijau

Anda mungkin juga menyukai