Anda di halaman 1dari 12

KRISIS EKOLOGI

Ekologi merupakan salah satu cabang sains yang mempelajari tentang


lingkungan. Ekologi sangat penting untuk mempelajari interaksi mahluk hidup
dengan lingkungan atau habitatnya. Ekologi berasal dari bahasa Yunani. Secara
harfiah ekologi terdiri atas dua kata, yaitu eikos yang berarti lingkungan dan
logos yang berarti ilmu.

Ekologi sebenarnya merupakan cabang ilmu yang masih relatif baru, yang
baru muncul pada tahun 70-an. Akan tetapi, ekologi mempunyai pengaruh yang
besar terhadap cabang biologinya. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk
hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan
atarmakhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau
lingkungannya. Para ahli ekologi mempelajari hal berikut;
1. Perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk
hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktor-faktor yang
menyebabkannya.
2. Perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda dan faktor-faktor
yang menyebabkannya.
3. Terjadi hubungan antarspesies (interaksi antarspesies) makhluk hidup dan
hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Ada beberapa istilah yang berkaitan ekoogi yang tidak bisa lepas dari
wacana lingkungan, yaitu:
- Species : kelompok organisme yang sejenis.
- Populasi : kumpulan mahluk hidup yang terdiri dari satu species yang
menempati sebuah ekosistem yang sama pada waktu tertentu.
- Komunitas : beberapa populasi semua macam species yang menduduki suatu
habitat
- Ekosistem : komunitas beserta lingkungan biotik dan abiotik / tempat di mana
mahluk hidup berinteraksi dengan lingkungannya.
- Habitat : tempat hidup suatu organisme di alam.
Elemen-elemen ekologi tersebut, dalam dasawarsa terakhir ini,
membutuhkan perhatian agar tidak mengalami krisis ekologi. Salah satu isu
global yang berkembang dalam tiga dasawarsa terttakhir adalah masalah krisis
ekologi (lingkungan). Ketertarikan dunia internasional terhadap masalah ini
muncul akibat kenyamanan manusia di muka bumi mulai terganggu akibat
adanya kerusakan lingkungan, yang ditandai dengan adanya perubahan iklim
dan penurunan kulalitas lingkungan. Kerusakan lingkungan ini, menurut
pengamatan sejumlah pakar lingkungan sudah berada pada ambang yang
sangat mencemaskan.

Kita tidak bisa lagi memisahkan kepedulian nasib akhir kita sendiri dari nasib
akhir seluruh alam semesta. Lihatlah akhir-akhir ini akibat kita tidak
memperdulikan ekologi, maka yang terjadi adalah kemarahan kosmos dalam
bentuk semakin besarnya lubang ozone, semakin meluasnya pemanasan
global, meningkatnya laju deforestasi dan isu hayati. Di negara kita banjir,
gunung meletus, tsunami dan sebagainya menghantam kehidupan kita, seolah-
olah kita hidup dengan bencana. Dalam realitas krisis ekologis ini maka
pertanyaan yang perlu dikedepankan adalah peranan-peranan apakah yang
dimainkan dan agama (Tuhan) dalam bentguk sikap-sikap (moreealitas) terhadap
lingkungan?

PERMASALAHAN
Kesadaran dan keprihatinan akan adanya krisis lingkungan hidup yang
diakibatkan oleh ulah manusia, sebenarnya sudah kita rasakan pada kurun waktu
tiga puluh tahun terakhir. Banyak kajian yang mencoba menimbang ulang
konsep-konsep pembangunan yang telah dilaksanakan seperti beberapa ahli
ekonomi mengkaji dampak pertumbuhan ekonomi atas lingkungan. Kajian lain
adalah Lynn (1967) yang menerbitkan artikel dalam majalah science yang
berjudul Akar Historis dari Krisis Ekologi yang Menimpa Kita, yang menjelaskan
sumber masalah lingkungan adalah kekristenan barat, sains dan teknologi. The
Limit To Growth yang disusun oleh Massachusetts Institute of Technology
merupakan kajian yang menjelaskan bahwa ada faktor-faktor seperti jumlah
penduduk, pola konsumsi manusia, polusi merupakan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya krisis ekologi.
CARA MENGATASI
teknologi dapat berperan mengatasi permasalahan ekologi salah satunya adalah
bidang ilmu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, dimana bidang ilmu
ini harus dapat menjembati antara lingkungan sebagai sumber daya alam untuk
keberlangsungan kehidupan manusia dengan konservasi lingkungan. Oleh
karena itu bidang ilmu pengelolaan lingkungan sangat berperan untuk mengelola
lingkungan salah satunya dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Dengan
konsep ini diharapkan proses pembangunan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan manusia tetap berlangsung tanpa mengurangi kualitas lingkungan
hidup.
Solusi Penyelesaian Krisis Ekologi
Krisis ekologi secara global pada umumnya diakibatkan oleh aktivitas
industri dari negara-negara yang sedang berkembang, termasuk indonesia.
Kondisi ini dapat dipahami, karena semenjak berakhirnya perang dunia ke II
negara-negara tersebut baru bebas dari kolonialisme sehingga dengan kondisi
sumber daya manusia yang terbatas, eksploitasi lingkungan secara besar-
besaran merupakan salah satu alternatif pilihan.
Dengan adanya beberapa bencana di permukaan bumi, manusia mulai
merasa perlu untuk besikap ramah terhadap lingkungan. Sikap tersebut
diantaranya ditunjukkan dengan adanya usaha terencana dalam mengelola
lingkungann mengingat lingkungan memiliki keterbatasan dalam
pengelolaannya. Sumber daya hutan, sumber daya lahan, sumber daya manusia
dan sumber daya air, masing-masing merupakan satu kesatuan ekosistem yang
memiliki sumber daya alam yang semestinya dapat dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Atau juga dapat ditunjukan dengan memperlakukan lingkungan
dengan penuh tanggung jawab.

Krisis ekologi bermula dari jumlah manusia yang semakin meningkat, sehingga
terjadi over population, sementara kita memiliki keterbatasan daya dukung
alam. Ditambah lagi, sifat manusia yang antroposentris, terlalu egois menguras
kekayaan alam.
Bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang dilengkapi dengan akal,
itu benar. Tapi apakah kemudian kita bisa seenaknya mengeksploitasi sumber
daya alam dengan mengabaikan kehadiran makhluk yang lain? Juga, patutkah
kita mengabaikan kelestariannya? Manusia kadang memilki pikiran instan. Short-
term action. Melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. Padahal, apa yang
dilakukannya ternyata membawa bencana di masa datang. Lihat saja, beberapa
krisis ekologi di negeri ini.
Kerusakan hutan, menurut pemberitaan media, Indonesia adalah perusak hutan
tercepat di dunia, sebesar 2 persen/tahun (1,87 juta hektar), atau 51 km/hari. Itu
berarti, seluas 300 lapangan sepak bola/jam (Kompas, 21 Maret 2007).
Pencemaran akibat pertambangan. Banyak sungai di Pongkor, Jawa Barat dan
Timika, Papua yang tercemari akibat proses penambangan emas dan tembaga.
Di Kabupaten Mungkur Raya, Kalimantan Tengah, lahan-lahan banyak yang rusak
akibat pertambangan batu bara. Belum lagi bencana yang ditimbulkan akibat
pertambangan, yang paling terkenal adalah ledakan sumur migas Sukowati 5,
desa Campurejo, Kecamatan Bojonegoro; Desa Ngampel dan Sambiroto di
Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro. Kecelakaan migas di tempat ini terjadi
hampir setiap tahun dalam lima tahun terakhir di Jawa Timur.
Lebih dari 13 juta penduduk yang sumber hidupnya berada dalam wilayah 16
blok migas (1.796.072,03 Ha) kita menghadapi resiko besar. Sampai saat ini
sudah lebih dari 148 orang warga dirawat di RS Sosodoro Djatikoesoemo, sedang
lebih dari 2000 warga lainnya mengungsi ke daerah aman. Bencana akibat
lumpur Lapindo di Sidoarjo sampai sekarang juga belum terlihat tanda-tanda
penyelesaiannya. Ribuan warga harus kehilangan tempat tinggal dan mata
pencaharian akibat keteledoran dalam eksplorasi gas alam.
Pencemaran udara yang menimbulkan penipisan lapisan ozon dan pemanasan
global. Selain itu, pencemaran udara juga membuat lebih dari 3 juta jiwa
meninggal. Penyakit yang disebabkan polusi udara menajdi penyumbang 5% dari
angka mortalitas dunia, yaitu 55 juta orang per tahun. Ada lebih banyak lagi
penderita masalah kesehatan yang parah dari efek samping polusi udara, yakni
kanker paru-paru, asma, penyakit cardio vaskuler, penyakit chronic obstructive
pulmonary. Kehidupan yang produktif pun diperpendek oleh masalah kesehatan
yang disebabkan oleh menghirup udara yang kotor (WHO, 2003).
Dampak Krisis Ekologi bagi Keseimbangan Ekologi
Krisis ekologi akan mengganggu keseimbangan ekologi, yang akhirnya akan
kembali mengancam eksistensi manusia sebagai pelaku utama dalam ekologi.
Dengan terganggunya keseimbangan ekologi, maka kemampuan alam untuk
produksi akan semakin menurun, sedangkan kebutuhan manusia akan semakin
meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi. Akibatnya, alam menjadi
rusak, sebab manusia terus memanfaatkannya tanpa adanya usaha pemulihan
kembali. Efek samping dari kerusakan tersebut adalah timbulnya bencana alam
yang menelan banyak korban, baik fisik ataupun material, bahkan sampai ke
mental. Banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan cukuplah menjadi bukti dan
saksi akan kelalaian manusia mengelola alam.Penyebab Krisis Ekologi
Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa krisis ekologi yang selama ini terjadi
adalah akibat ulah manusia sendiri sebagai subyeknya. Ulah manusia yang tidak
tahu diri, yang selalu `think to taking not think to giving`, yang inginnya
menerima tapi tak mau memberi, yang menyebabkan tidak adanya hubungan
timbal-balik sebagai syarat ideal bagi keseimbangan alam. Kita menebang pohon
di hutan secara sembarangan, tapi tak mau menanam pohon yang baru.
Akibatnya, laju pertumbuhan pohon jauh sekali perbedaannya dari laju
penebangannya, yang selanjutnya akan menyebabkan hutan menjadi gundul,
sehingga banjir tak bisa dihindari. Kita memanfaatkan alam, tapi tak mau
melestarikannya. Kita mengeksploitasi, tapi tak mau merehabilitasi. Kita menjadi
korban atas ulah kita sendiri. Kita bunuh diri secara perlahan.
Selain hal di atas, permasalahannya adalah kita belum siap untuk menghadapi
perubahan. Harus ada konsekuensi untuk setiap tindakan kita. Harus ada
pertanggungjawaban atas kondisi yang kita buat sendiri. Over population
sebagai basis permasalahan krisis ekologi belum bisa kita tanggulangi.
Seharusnya, ketika terjadi peningkatan populasi, kita menetralkannya dengan
meningkatkan teknologi, organisasi sosial, dan kondisi lingkungan sehingga tidak
terjadi ketimpangan. Sehingga keseimbangan akan tetap terbentuk.

JALAN MENGATASI KRISIS LINGKUNGAN HIDUP


"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatannya, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS:30:41).
Tidak dapat dipungkiri, sebagian besar kerusakan lingkungan hidup yang terjadi
dewasa ini disebabkan oleh perilaku manusia. Hutan yang gundul, sungai yang
menghitam dan berbau busuk, serta laut yang tercemar merupakan bukti nyata
rusaknya lingkungan hidup. Padahal, hutan yang gundul dipastikan dapat
memicu terjadinya banjir dan longsor di musim penghujan dan kekurangan air di
musim kemarau. Sungai yang menghitam dan berbau busuk kerapkali
mengganggu saluran pernapasan dan menjadi sarang berbagai penyakit yang
siap menyerang manusia. Perairan laut yang tercemar dapat menyebabkan
musnahnya berbagai biota laut, termasuk ikan, pada akhirnya merugikan para
nelayan karena tangkapan ikannya menjadi berkurang.
Di Indonesia, kerusakan lingkungan hidup tampaknya akan bertambah parah.
Ancaman kerusakan ini terkait dengan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak
terhadap kelestarian lingkungan hidup. Pada tahun 2004, pemerintah
menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2004 tentang
Perizinan Pertambangan di Kawasan Lindung. Sebagai tindak lanjut dari Perpu
tersebut, tiga tahun kemudian, pemerintah juga menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk
Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada
Departemen Kehutanan.
Padahal, hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mutlak harus
dipertahankan keberadaannya. Hutan lindung merupakan kawasan yang
berfungsi menjaga sistem penyangga kehidupan, yakni mempertahankan
kualitas dan kuantitas air serta mencegah areal sekitarnya dari erosi, longsor,
dan banjir. Di wilayah pesisir pantai, hutan lindung sangat berguna mencegah
abrasi dan intrusi serta menahan tiupan angin laut. Jadi, bila hutan lindung
rusak, maka rusak pula kawasan sekitarnya sehingga banjir, longsor dan dan
kekurangan air bersih sulit dihindari.
Perusakan lingkungan hidup oleh para pelaku/pihak dilakukan dengan berbagai
dalih. Pemerintah melakukan kerusakan dengan dalih pembangunan. Masyarakat
melakukan kerusakan dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari. Pengusaha melakukan pembukaan hutan lindung dengan dalih sudah
memegang ijin dari pemerintah, ujung-ujungnya demi pembangunan. Sementara
kelompok yang menyerukan pelestarian lingkungan hidup sering dianggap anti
pembangunan.
Meski demikian, mungkinkah kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini
dapat diatasi? Menurut Sonny Keraf (2002) dalam bukunya yang berjudul Etika
Lingkungan, masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan
perilaku manusia. Persoalan lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan
teknis. Demikian pula, krisis ekologi global yang dialami dewasa ini adalah
persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu, perlu etika dan
moralitas untuk mengatasinya.
Senada dengan pendapat Sonny Keraf, Arne Naess (1993) mengatakan, krisis
lingkungan hanya bisa diatasi melakukan perubahan cara pandang dan perilaku
manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Adanya perubahan pola
hidup atau gaya hidup ini tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga
menyangkut budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika
lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi dalam alam
semesta.
Beberapa etika yang sudah dikenal dan diharapkan mampu menjadi pegangan
dalam mengatasi krisis lingkungan hidup adalah etika biosentris, ekosentris, hak
asasi alam, dan ekofeminisme. Etika biosentris menjelaskan, tidak hanya
manusia, alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan
manusia. Setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga
pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian
moral. Ringkasnya, etika biosentris mendasarkan moralitas pada keluhuran
kehidupam, baik pada manusia maupun pada makhluk hidup lainnya. Sementara
itu, etika ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik
yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda
abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, kewajiban dan
tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan
tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Pada perkembangan berikutnya, etika biosentris dan ekosentris telah mendorong
munculnya etika hak asasi alam. Dasar etika hak asasi alam bisa dilihat dari
keterkaitan antara pelaku moral dan subyek moral. Di alam semesta, manusia
bertindak sebagai pelaku moral, sedangkan mahluk hidup selain manusia
bertindak sebagai subyek moral. Sebagai subyek moral, makhluk hidup
menuntut kewajiban dan tanggung jawab tertentu dari pelaku moral. Atas dasar
ini, semua makhluk hidup tanpa kecuali mempunyai hak asasi untuk dihargai dan
dijamin oleh pelaku moral. Tidak hanya mahluk hidup di luar manusia, benda
abiotis juga memiliki hak asasi karena kehidupan organisme hidup sangat
tergantung dari keutuhan benda-benda biotis.
Etika selanjutnya adalah ekofeminisme. Ekofeminisme bertujuan menggugah
kesadaran manusia akan potensi perempuan dalam menyelamatkan lingkungan
hidup. Ekofeminisme menganggap krisis ekologi tidak hanya disebabkan oleh
cara pandang dan perilaku yang antroposentris, tetapi juga disebabkan adanya
cara pandang dan perilaku yang androsentris: etika lingkungan yang berpusat
pada laki-laki. Menurut ekofeminisme manusia tidak lebih unggul dari alam dan
spesies lain, dan laki-laki tidak lebih unggul dari perempuan. Menurut
ekofeminisme manusia merupakan bagian integral dari komunitas biotis,
komunitas ekologis. Oleh karena itu, ekofeminisme menolak setiap cara berpikir
yang mengunggulkan yang satu dan merendahkan yang lain--semata-mata
karena hakikatnya sebagai manusia, alam, laki-laki, perempuan, ras, dan
seterusnya.
Menurut Sonny Keraf (2002), keempat etika di atas melahirkan beberapa prinsip
moral yang dapat dijadikan sebagai pegangan ketika berperilaku terhadap
lingkungan hidup. Pertama, hormat terhadap alam (respect for nature). Manusia
harus menghormati alam karena manusia merupakan bagian dari alam dan alam
mempunyai nilai bagi dirinya sendiri. Terhadap benda mati, manusia pun harus
menghormatinya karena semua benda yang berada di alam semesta ini
mempunyai hak yang sama untuk berada, hidup dan berkembang. Kedua,
tanggung jawab terhadap alam (moral responsibility for nature). Tuhan
menciptakan semua benda yang berada dialam semesta ini dengan tujuannya
masing-masing, terlepas dari apakah tujuan itu untuk kepentingan manusia atau
tidak. Sebagai khalifah dan bagian dari alam semesta, manusia
bertanggungjawab untuk menjaganya. Ketiga, solidaritas kosmis (cosmic
solidarity). Dengan adanya pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari
alam dan kedudukannya sederajat dengan semua mahluk yang ada di alam ini,
manusia hendaknya memiliki perasaan solider dan sepenanggungan dengan
sesama mahluk lainnya. Manusia harus merasa sedih dan sakit ketika
menyaksikan kondisi alam yang rusak dan mendapatkan mahluk hidup yang
(terancam) punah.
Keempat, kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature). Prinsip
kasih sayang dan kepedulian merupakan prinsip moral satu arah, tanpa
mengharapkan balasan. Sebagai sesama anggota komunitas ekologis yang
setara, manusia dituntut untuk mencintai, menyayangi dan peduli kepada alam
beserta seluruh isinya tanpa diskriminasi dan dominasi. Sebagai sesama anggota
komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi,
dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat. Kelima, tidak menyakiti/membahayakan
alam (no harm). Dengan munculnya sikap solider dan peduli terhadap alam,
manusia dituntut untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan atau
mengancam keberadaan makhluk hidup lain di alam semesta ini sebagaimana
manusia tidak dibenarkan secara moral untuk melakukan tindakan yang
merugikan sesama manusia. Keenam, hidup sederhana dan selaras dengan
alam. Krisis lingkungan hidup yang terjadi saat ini karena adanya pola dan gaya
hidup manusia yang konsumtif, tamak, rakus, dan memandang alam sebagai
obyek eksploitasi dan pemuas kepentingan hidup manusia. Sebagai bagian dari
alam, manusia hendaknya memanfaatkan alam secara secukupnya. Oleh karena
itu, prinsip hidup sederhana menjadi prinsip fundamental untuk menjaga
keseimbangan ekologis.
Ketujuh, keadilan. Semua kelompok dan anggota masyarakat memiliki akses
yang sama dalam merencanakan, mengelola, dan memanfaatkan sumberdaya
alam. Pada akhirnya, semua kelompok dan anggota masyarakat juga harus
secara proporsional menanggung beban rusaknya alam semesta akibat adanya
pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia. Kedelapan, demokrasi. Demokrasi
menjamin hak setiap orang dan kelompok masyarakat untuk memperjuangkan
kepentingan, berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan mempunyai hak
untuk mendapatkan informasi yang akurat di bidang lingkungan. Kesembilan,
integritas moral. Prinsip ini terutama dimaksudkan untuk pejabat publik. Prinsip
ini menuntut pejabat publik untuk tidak menyalahgunakan kekuasaanya demi
kepentingan pribadi dan kelompok agar tidak merugikan masyarakat dan
lingkungan hidup.
Dalam menangani pencemaran yang dilakukan oleh para pabrik-pabrik besar,
maka dapat dilakukan dengan metode Menara Semprot (Spray Tower) yang
diletakkan pada cerobong asap pabrik. Semprot menara atau ruang semprot adalah
bentuk teknologi pengendalian polusi. Spray tower terdiri dari pembuluh silinder
kosong terbuat dari baja atau plastik dan nozel yang menyemprotkan cairan ke
dalam cerobong asap. Aliran gas inlet biasanya memasuki bagian bawah menara
dan bergerak ke atas, sementara cairan disemprotkan ke bawah dari satu atau lebih
tingkat. Aliran gas masuk dan cairan dalam arah yang berlawanan disebut aliran
arus berlawanan.
Gambar 1. Menunjukkan sebuah menara lawan arus-arus semprot khas..
Jenis teknologi adalah bagian dari kelompok dari polusi udara kontrol kolektif
disebut sebagai scrubber basah. Aliran arus balik mengekspos gas outlet dengan
konsentrasi polutan terendah pada cairan scrubbing segar. Nozel Banyak
ditempatkan di menara pada ketinggian yang berbeda untuk menyemprot semua
gas ketika bergerak ke atas melalui menara. Alasan menggunakan nozel banyak
adalah untuk memaksimalkan jumlah tetesan halus berdampak pada partikel polutan
dan untuk menyediakan luas permukaan yang besar untuk menyerap gas.
Secara teoritis, semakin kecil tetesan terbentuk, efisiensi pengumpulan yang
lebih tinggi dicapai untuk kedua polutan gas dan partikulat. Namun, tetesan cairan
harus cukup besar untuk tidak dilakukan dari scrubber dengan aliran gas keluar
digosok. Oleh karena itu, menara semprot menggunakan nozel untuk menghasilkan
tetesan yang biasanya 500-1000 m dengan diameter. Meskipun ukurannya kecil,
tetesan ini adalah besar dibandingkan dengan yang dibuat di scrubber venturi yang
10-50 pM dalam ukuran. Kecepatan gas tetap rendah, 0,3-1,2 m / s (1-4 ft / s) untuk
mencegah tetesan kelebihan dari yang dilakukan menara.
Untuk mempertahankan kecepatan gas rendah, menara semprot harus lebih
besar dari scrubber lain yang menangani tingkat aliran gas aliran serupa. Masalah
lain yang terjadi di semprot menara adalah bahwa setelah tetesan jatuh jarak
pendek, mereka cenderung menggumpal atau memukul dinding menara. Akibatnya,
luas permukaan cairan total untuk kontak berkurang, mengurangi efisiensi koleksi
scrubber. Selain konfigurasi lawan arus aliran, aliran dalam menara semprot dapat
berupa cocurrent atau crosscurrent di konfigurasi.
Gambar 2. Aliran semprot menara crosscurrent.
Dalam cocurrent menara dengan aliran semprot, gas inlet dan aliran cairan ke
arah yang sama. Karena aliran gas tidak "mendorong" terhadap semprotan cair,
kecepatan gas melalui pembuluh lebih tinggi dari arus balik di menara dengan aliran
semprot. Akibatnya, cocurrent menara dengan aliran semprot lebih kecil dari arus
balik aliran semprot menara mengobati jumlah yang sama aliran gas buang. Dalam
crosscurrent menara dengan aliran semprot, juga disebut horisontal-semprot
scrubber, gas dan aliran cairan dalam arah tegak lurus satu sama lain. Pada gambar
2, gas mengalir horizontal melalui sejumlah bagian semprot. Jumlah dan kualitas
cairan disemprotkan di setiap bagian bisa bervariasi, biasanya dengan cairan bersih
(jika cairan daur ulang yang digunakan) disemprotkan pada set terakhir dari
semprotan.
Pada menara semprot (spray tower), gas kotor masuk dari bagian dasar
akibat adanya tekanan. Gas membumbung ke atas, sementara dari atas
disemprotkan air melalui pipa air yang dilengkapi dengan sprayer sehingga air yang
keluar merupakan butiran-butiran halus yang memenuhi menara. Karena adanya
gaya berat, butiran-butiran air akan turun sementara gas naik bersama udara. Gas
yang terkandung dalam udara bereaksi dengan air dan turun ke bawah kemudian
ditampung dan dialirkan ke tempat tertentu yang nantinya akan diolah kembali.
Udara dan gas yang bersih keluar melalui cerobong atas.
Menara tower ini mampu digunakan hingga 3 sampai 4 tahun. Perawatannya
pun tidak rumit. Cukup dengan pengecekan minimal 6 bulan sekali, kemudian
dilakukan platting jika ada tanda-tanda akan terjadi korosi.
Jika mengaitkan antara keberhasilan metode ini dengan persentase
keberhasilannya, maka perlu adanya keterkaitannya dengan pihak lain, yaitu
pemerintah. Dalam hal ini pemerintah telah mengadakan suatu program yang
disebut Clean Air Act. Clean Air Act dibuat oleh pemerintah dan menambah pajak
bagi industri yang melakukan pencemaran udara.
Gambar 3. Tata penempatan spray tower di dalam cerobong asap.
Menara semprot adalah perangkat kontrol murah terutama digunakan untuk
pengkondisian gas (pendingin atau pelembab) atau untuk tahap pertama atau
penghapusan partikel gas. Mereka juga digunakan di banyak gas cerobong sistem
desulfurisasi untuk mengurangi penumpukan plugging dan skala oleh polutan.
Banyak sistem scrubbing menggunakan semprotan sebelum atau di dasar scrubber
utama untuk menghilangkan partikel besar yang bisa pasang.
Menara semprot telah digunakan secara efektif untuk menghilangkan partikel
besar dan gas yang sangat larut. Penurunan tekanan yang melintasi menara yang
sangat rendah - biasanya kurang dari 2,5 cm (1,0 dalam) air, dengan demikian,
biaya operasi scrubber relatif rendah. Namun, biaya pemompaan cairan bisa sangat
tinggi.
Menara Semprot dibangun dalam berbagai ukuran - yang kecil untuk
menangani gas kecil mengalir dari 0,05 m / s (106 ft / min) atau kurang, dan yang
besar untuk menangani arus knalpot besar 50 m / s (106.000 m / menit) atau lebih
besar . Karena kecepatan gas yang rendah diperlukan, unit menangani tingkat aliran
gas besar cenderung besar ukurannya. Karakteristik operasi dari menara semprot
disajikan
Menara semprot dapat digunakan untuk penyerapan gas, tetapi mereka tidak
seefektif dikemas atau menara piring. Menara semprot dapat sangat efektif dalam
menghilangkan polutan jika polutan yang sangat larut atau jika reagen kimia
ditambahkan ke cairan.
Misalnya, menara semprot digunakan untuk menghilangkan gas HCl dari
knalpot ekor gas dalam pembuatan asam klorida. Dalam produksi superfosfat
digunakan dalam pupuk manufaktur, SiF4 dan gas HF yang dilepaskan dari berbagai
titik dalam proses. Menara semprot telah digunakan untuk menghilangkan senyawa
ini sangat larut. Menara semprot juga digunakan untuk menghilangkan bau di makan
tulang dan lemak industri manufaktur dengan menggosok gas buang dengan larutan
KMnO4.
Karena kemampuan mereka untuk menangani volume gas besar di atmosfer
korosif, menara semprot juga digunakan dalam sejumlah gas cerobong sistem
desulfurisasi sebagai tahap pertama atau kedua dalam proses penghapusan
polutan. Dalam sebuah menara semprot, penyerapan dapat ditingkatkan dengan
mengurangi ukuran tetesan cair dan / atau meningkatkan rasio cair ke gas (L / G).
Namun, untuk mencapai salah satu dari ini, kenaikan kedua daya yang dikonsumsi
dan biaya operasi diperlukan. Selain itu, ukuran fisik dari menara semprot akan
membatasi jumlah cairan dan ukuran tetesan yang dapat digunakan.

Anda mungkin juga menyukai