Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP

1.1. PENDAHULUAN
Manusia dan lingkungan merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Lebih khusus
manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa lingkungan. Lingkungan bisa hidup tanpa manusia.
Lingkungan mempengaruhi sikap dan pola tingkah laku manusia dan sebaliknya pola tingkah
laku manusia mempengaruhi lingkungan. Faktor lingkungan seperti tanah, keadaan iklim,
keadaan geografis, topografi lingkungan, kondisi alama (darat, laut, kepulauan, padang pasir,
kutup utara dan selatan, dan sebagainya) dapat menjad prakondisi bagi sifat dan pola tingkah
laku manusia. Namun di sisi lain, manusia dapat mempengaruhi dan mengubah
lingkungannya. Manusia adalah subyek kreatif yang dengan kecerdasannya mampu
mengubah lingkungan menjadi sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Lingkungan yang ditempati beragam-ragam mahluk, baik yang terlihat maupun tak
terlihat, baik mahluk raksasa seperti Gajah dan Jerapah, maupun mikroorganisme seperti
bakteri dan virus, semuanya hidup dalam lingkungan. Semuanya saling mempengaruhi dan
dipengaruhi secara timbal balik membentuk keseimbangan alam. Terdapat rantai
ketergantungan antara mahluk yang satu dengan mahluk yang lain, ketergantungan antara
tanaman dan hewan, ketergantungan manusia pada tanaman, hewan, dan mikroorganisme
yang bergerak aktif dalam tubuh manusia. Terdapat rantai makanan dan rantai energi yang
rumit dan kompleks terjadi dalam lingkungan hidup. Bumi tergantung sangat erat juga
dengan matahari dan sistem tata surya dan alam semesta pada umumnya.

Lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang hidup maupun yang mati, yang
bergerak maupun tak bergerak, yang berperan dalam mendukung keberadaan mahluk hidup,
seperti tanah, air, udara, makanan, termasuk panas matahari dan gaya gravitasi bumi. Dalam
UU No 32 tahun 1997, terdapat definisi lingkungan hidup yaitu: kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Berdasarkan undang-undang tersebut,
unsur lingkungan ada lima, yaitu kesatuan ruang, semua benda, daya, keadaan, dan semua
mahluk hidup. Ruang adalah tempat fisik di mana terdapt berbagai komponen lingkungan
mengambil tempat di dalamnya. Benda atau materi terdiri dari api, air, udara, dan tanah.
Energi adalah daya yang memberikan kemampuan untuk melakukan pekerjaan fisik. Keadaan
memiliki banyak ragam: keadaan kondusif yang menjaga keberlangsungan kehidupan,
keadaan yang merangsang terjadinya gerak kehidupan, dan juga keadaan yang mendestruksi
kehidupan. Mahluk hidup merupakan komponen yang dominan dalam menentukan siklus
kehidupan.

Pandemi Covid 19, berbagai penyakit menular maupun tidak menular, berbagai
bencara seperti banjir, kebakaran hutan, letusan gunung, gempa, tsunami semuanya
mempengaruhi kehidupan manuisa. Dampak kerusakan yang diakibatkan oleh penyakit dan
bencana alam tidaklah sedikit. Keadaan ekonomi, politik, kebudayaan, dan kesehatan
masyarakat mengalami penurunan dan degradasi. Tidak sedikit bencana dan penyakit
disebabkan oleh tindakan-tindakan manusia yang tidak bijak. Penebangan hutan, pembakaran
hutan, pertambangan yang massif, penangkapan hewan-hewan liar yang berlebihan, gaya
hidup konsumtif yang berlebihan, semuanya itu mengakibatkan banyak kerusakan dan
bencana.

Asap industri dan asap kendaraan bermotor serta asap kebakaran di seluruh bumi juga
mempengaruhi lingkungan, terutama efek rumah kaca. Banyak hutan menjadi gersang.
Banyak lingkungan yang sebelumnya terdapat kehidupan, berubah menjadi padang pasir,
banyak danau dan sungai menjadi kering, banyak mata air tidak lagi mengeluarkan airnya.
Suhu bumi makin panas. Banyak virus-virus dengan varian-varian baru menyebar di dunia,
antara lain yang paling baru adalah SARS Cov 2, yang menyebabkan penyakit Covid 19.
Sejauh ini lebih dari 2 juta penduduk dunia telah meninggal dunia karena Covid 19
(https://www.worldometer.info/coronavirus ) dan telah menjangkiti lebih dari 100 juta
penduduk dunia.

Persoalan krisis lingkungan dan krisis hidup manusia menjadi perbincangan luas di
tingkat global. Manusia dihadapkan pada permasalahan global yang membahayakan
kehidupan manusia dan membahayakan keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini. Kasus
hilangnya pulau-pulau tertentu karena tenggelam oleh permukaan air laut yang makin tinggi,
punahnya binatang dan tumbuhan-tumbuhan langka yang dilindungi, hilangnya kicauan
burung di sekitaran wilayah pedesaan merupakan tanda-tanda menurunnya kualitas
keanekaragaman hidup di bumi.

1.2. PENGERTIAN EKOLOGI


Secara etimologis, istilah Ekologi diperkenalkan oleh Ernest Haeckel (1869), berasal
dari bahasa Yunani, yaitu: Oikos = Tempat Tinggal (rumah) Logos = Ilmu. Ekologi: Ilmu
tentang tempat tinggal. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ekologi adalah
ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungan
tempat tinggalnya. Ekologi menjadi ilmu yang menarik ketika lingkungan hidup manusia di
bumi ini mulai mengalami penurunan kualitas.

Howard T. Odum (1993) menyatakan bahwa ekologi adalah suatu studi tentang
struktur dan fungsi ekosistem dan manusia sebagai bagian dari ekosistem. Struktur ekosistem
menunjukkan keadaan dari sistem ekologi pada waktu dan tempat tertentu, antara lain
kepadatan organisme, biomassa, penyebaran material fisik, energi, serta faktor fisika dan
kimia yang menciptakan keadaan sistem tersebut. Fungsi ekosistem menunjukkan hubungan
sebab akibat yang terjadi secara keseluruhan antar komponen yang terlibat dalam sistem.

Ekologi mempelajari seluruh pola hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang
satu dengan makhluk hidup lainnya, serta dengan semua komponen yang ada di sekitarnya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen
penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain adalah: suhu, air,
kelembaban, cahaya, dan topografi; sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang
terdiri dari: manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan
tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang
saling mempengaruhi dan merupakan suatu kesatuan sistem.

Ekologi mencoba memahami hubungan timbal balik atau interaksi antara tumbuhan,
binatang, manusia dengan alam lingkungannya, sehingga dapat menjawab pertanyaan: di
mana mereka hidup; bagaimana mereka hidup; dan mengapa mereka hidup dalam suatu
kesatuan waktu dan tempat tertentu. Hubungan-hubungan tersebut demikian kompleks dan
erat sehingga Howard T. Odum (1971) menyatakan bahwa ekologi adalah “Environmental
Biology“ atau ”Biologi Lingkungan”. Ekologi merupakan salah satu cabang biologi yang
mempelajari apa yang ada dan terjadi di alam dengan tidak melakukan percobaan melaikan
lebih sering melakukan pengamatan dan pencatatan data. Para ahli ekologi mempelajari hal
berikut:

1. Perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang
lain ke dalam lingkungannya dan faktor-faktor yang menyebabkannya.
2. Perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda dan faktor-faktor yang
menyebabkannya.
3. Hubungan antarspesies makhluk hidup dan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya.
4. Eko-wilayah bumi dan riset perubahan iklim.
Ekologi mempelajari makhluk hidup dalam rumah tangganya atau ilmu yang
mempelajari seluruh pola hubungan timbal balik antara makhluk hidup sesamanya dan
dengan komponen di sekitarnya.

Ahli ekologi juga menaruh minat kepada manusia, sebab manusia merupakan spesies
makhluk hidup dalam kehidupan di biosfer (tempat hidup) secara keseluruhan. Manusia
menjadi subyek yang layak bagi ekologi karena ekologi mempengaruhi manusia dari sejak di
dalam kandungan ibunya. Ekologi berhubungan dengan persediaan pangan bagi manusia,
berhubungan juga dengan situasi gizi manusia, kesuburan tanah yang menyediakan makanan
bagi manusia, berhubungan dengan isu kerusakan alam, dan sebagainya. Karena itu ekologi
juga relevan dengan ilmu kebidanan dan patut dipelajari oleh para mahasiswa kebidanan.

Dari situ muncul istilah ekologi manusia (human ecology). Ekologi manusia
mempelajari hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Ekologi
manusia membahas tentang manusia, kebutuhan dan keinginannya, serta hubungannya
dengan mahluk hidup yang lainnya. Dalam pembahasan tentang ekologi manusia, manusia
ditempatkan dalam konteks prinsip-prinsip ekologi sehingga lebih diutamakan garis-garis
besar evolusi manusia secara umum dengan menentukan keadaan ekologis masa kini dan
menduga keadaan ekologis pada masa yang akan datang. Dalam mempelajari ekologi
manusia, tidak dapat dipisahkan dengan evolusi manusia. Evolusi manusia mempengaruhi
intraksi manusia dengan lingkungannya. Semakin tinggi tingkat evolusi manusia, semakin
tinggi dan semakin baik pula interaksi dengan lingkungannya, baik biotik maupun abiotik dan
demikian pula sebaliknya.

Gerakan kesadaran mengenai kesehatan dan kelestarian lingkungan muncul di negara-


negara maju sejak tahun 1968, sedangkan di Indonesia gerakan pemeliharaan lingkungan
merebak sejak tahun 1972. Sejak itu di mana-mana setiap orang mulai peduli mengenai
masalah pencemaran lingkungan, masalah sampah, daerah-daerah alami, hutan,
perkembangan penduduk, makanan, penggunaan energi, kenaikan suhu bumi karena efek
rumah kaca atau pemanasan global, ozon berlubang dan isu-isu relevan lainnya. Persoalan-
persoalan tersebut telah memberikan efek yang mendalam atas teori ekologi. Ekologi
merupakan disiplin baru dari berawal dari biologi yang merupakan mata rantai fisik dari
proses biologi serta bentuk-bentuk yang menjembatani antara ilmu alam dan ilmu sosial.

Pada saat ini dengan berbagai keperluan dan kepentingan, ekologi berkembang
sebagai ilmu yang tidak hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam.
Ekologi sekarang telah berkembang menjadi ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi
ekosistem (alam), sehingga dapat menganalisis dan memberi jawaban terhadap berbagai
kejadian alam. Ekologi dapat memberi jawaban terhadap masalah terjadinya tsunami, banjir,
tanah longsor, DBD, pencemaran lingkungan, pengelolaan sampah, efek rumah kaca,
kerusakan hutan, dan lain-lain.

Seseorang yang belajar ekologi sebenarnya mempertanyakan berbagai hal antara lain
adalah:

1. Bagaimana alam bekerja


2. Bagaimana species beradaptasi dalam habitatnya
3. Apa yang diperlukan organisme dari habitatnya untuk melangsungkan kehidupan
4. Bagaimana organisme mencukupi kebutuhan materi dan energi
5. Bagaimana interaksi antar species dalam lingkungan
6. Bagaimana individu-individu dalam species diatur dan berfungsi sebagai populasi
7. Bagaimana keindahan ekosistem tercipta
Banyak media massa saat ini yang memberikan informasi mengenai masalah-masalah
yang timbul dalam ekologi saat ini misalkan kekurangan sumber-sumber mendasar yang
dibutuhkan oleh sebagai bahan baku industri, kekurangan pangan dan keperluan-keperluan
mendasar di negara-negara yang belum berkembang, serta distribusi sumber daya yang tidak
merata ke berbagai negara di dunia. Ada negara yang mengalami kelimpahan sumber daya,
ada pula negara yang tidak memiliki sumber daya sehingga penduduknya jatuh miskin dan
sakit.

Sumber daya yang ada di alam dibagi atas 2 yaitu sumber daya yang habis dipakai
(tidak dapat diperbaharui - irreversibel) dan sumber daya yang tidak habis dipakai (dapat
diperbaharui - reversibel). Sumber daya yang habis dipakai antara lain adalah cadangan
energi minyak bumi (bensin, solar, minyak tanah, gas bumi) harus dapat dipertanggung
jawabkan kepada generasi di masa mendatang. Sumber-sumber yang tidak habis dipakai
seperti misalnya kemampuan biosfer untuk menerima limbah, konsumsi energi matahari,
konsumsi air, udara, dan lain-lain.
Ekologi juga berhubungan dengan penyebaran penduduk manusia atau demografi.
Jumlah penyebaran penduduk manusia di suatu tempat sangat dipengauhi oleh suplai
makanan yang terdapat di daerah tersebut dan luas daerah yang digunakan untuk pertanian di
daerah tersebut, dan tentu saja juga dipengaruhi oleh kemampuan penduduk di daerah
tersebut untuk mengolah daerah tersebut sehingga memberikan hasil yang bermanfaat demi
kestabilan populasi itu sendiri.

Selain dipengaruhi oleh luas lahan pertanian, penyebaran penduduk juga dipengauhi
oleh keberadaan mineral-mineral di daerah tersebut, seperti emas, tembaga, timah, batu bara,
dan lain-lain. Manusia menghendaki mineral untuk dijual dan menghasilkan uang untuk
memenuhi kebutuhan akan makanan, pakaian, dan perumahan. Namun, beberapa wilayah
industri telah mendukung peningkatan eksploitasi mineral di mana sumber daya tersebut
dipakai sampai habis sehingga wilayah penghasil mineral-mineral seperti misalnya Suriname
yang terus menerus mengekspor bouksit akan mengalami kehabisan suplai mineral. Demikian
juga masyarakat di Freeport yang terus menerus mengekploitasi emas di sana akan
mengalami penurunan bahkan kehabisan persediaan emas pada suatu waktu nanti.

1.3. K OMPONEN PENYUSUN EKOLOGI


Sebagaimana sudah dijelaskan dalam bagian terdahulu, ilmu ekologi tidak lepas dari
pembahasan mengenai ekosistem dengan berbagai komponen penyusun ekosistem, yaitu
faktor abiotik dan biotik.

1. Faktor Biotik.
Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik
tumbuhan maupun hewan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen,
hewan berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan sebagai
dekomposer. Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang meliputi
individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer. Tingkatan-tingkatan
organisme makhluk hidup tersebut dalam ekosistem akan saling berinteraksi, saling
mempengaruhi membentuk suatu sistemyang menunjukkan kesatuan.

2. Faktor Abiotik.
Faktor abiotik adalah faktor tak hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia. Faktor
abiotik adalah sebagai berikut:

a. Suhu.
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang
diperlukan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat
hidup pada kisaran suhu tertentu.

b. Sinar matahari.
Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari
menentukan suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan
oleh tumbuhan sebagai produsen untuk berfotosintesis.

c. Air.
Air berpengaruh terhadap ekosistem karena air dibutuhkan untuk kelangsungan
hidup organisme. Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan,
perkecambahan, dan penyebaran biji; bagi hewan dan manusia, air diperlukan
sebagai air minum dan sarana hidup lain, misalnya transportasi bagi manusia, dan
tempat hidup bagi ikan. Bagi unsur abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air
diperlukan sebagai pelarut dan pelapuk

d. Tanah.
Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda
menyebabkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga
menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama
tumbuhan.

e. Ketinggian Tempat.
Ketinggian tempat menentukan jenis organisme yang hidup di tempat tersebut,
karena ketinggian yang berbeda akan menghasilkan kondisi fisik dan kimia yang
berbeda.

f. Angin.
Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam
penyebaran biji tumbuhan tertentu

g. Garis lintang.
Garis lintang yang berbeda menunjukkan kondisi lingkungan yang berbeda pula.
Garis lintang secara tak langsung menyebabkan perbedaan distribusi organisme di
permukaan bumi

1.4. PEMBAGIAN EKOLOGI


Berdasarkan atas komposisi jenis organisme yang dikaji. maka ekologi dibagi
menjadi:

a. Autoekologi.
Autoekologi membahas tentang individu organisme atau individu spesies yang
penekanannya pada sejarah hidup dan kelakuan individu organisme atau spesies
tersebut dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya. Misalnya,
mempelajari sejarah hidup spesies varanus comodoensis, perilaku hidupnya, maupun
adaptasinya terhadap lingkungan di sekitar wilayah kepulauan Komodo.

b. Sinekologi.
Sinekologi membahas golongan atau kumpulan organisme sebagai satu kesatuan yang
saling berinteraksi dalam suatu wilayah tempat tinggal. Misalnya, mempelajari
struktur dan komposisi beberapa spesies tumbuhan yang tumbuh dan berkembang di
wilayah hutan yang rawa-rawa, atau mempelajari pola penyebaran berbagai macam
binatang liar yang hidup di hutan alamiah, atau hutan wisata, atau taman nasional.

Berdasarkan habitat tempat terdapatnya mahluk hidup, ekologi dapat digolongkan


sebagai berikut:

a. Ekologi daratan (terestrial)


Yaitu ekologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan
organisme lainnya serta dengan semua wilayah daratan tegalan, kebun, ladang, hutan
lahan kering, padang rumput, atau gurun.

b. Ekologi air tawar (freshwater)


Yaitu ekologi mempelajari hubungan timbal balik antara organisme lainnya serta
dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah perairan tawar. Contoh
wilayah perairan tawar adalah danau, sungai, kolam, sumur, rawa atau sawah.

c. Ekologi bahari
Yaitu ekologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan
organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah
perairan asin atau lautan.

d. Ekologi estuaria
Yaitu ekologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan
organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di wilayah
perairan payau. Contoh wilayah perairan payau adalah muara sungai, teluk dan
laguna.

e. Ekologi hutan
Yaitu ekologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan
organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di ekosistem
hutan.

f. Ekologi padang rumput


Yaitu ekologi mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan
organisme lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada di ekosistem
padang rumput.

1.5. TINGKATAN ORGANISME DALAM EKOLOGI


Makhluk hidup atau organisme memiliki tingkat organisasi yang berkisar dari tingkat
paling sederhana ke tingkat organisasi yang paling kompleks. Tingkatan berarti suatu
penataan menurut skala dari yang terkecil ke yang terbesar atau sebaliknya. Interaksi dengan
lingkungan fisik pada setiap tingkat menghasilkan sistem-sistem dengan fungsi yang khas.
Suatu system terdiri dari komponen-komponen yang secara teratur berinteraksi dan
berketergantungan, yang keseluruhannya membentuk suatu kesatuan.

Adapun tingkatan organisme dalam ekologi adalah sebagai berikut:

a. Protoplasma: zat hidup dalam sel yang terdiri dari senyawa organik komplek.
b. Sel: satuan dasar organisme yang terdiri atas protoplasma dan inti.
c. Jaringan: kumpulan sel yang memiliki fungsi dan bentuk yang sama.
d. Organ: bagian organisme yang mempunyai fungsi tertentu.
e. Sistem organ: kumpulan organ yang bekerjasama secara harmonis.
f. Organisme: makhluk hidup.
g. Populasi: Kumpulan individu sejenis yang hidup padasuatu daerah dan waktu
h. Komunitas: kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah
tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain
i. Ekosistem: Segala bentuk materi yang melakukan siklus dalam suatu sistem, dan
energi yang menjadi kekuatan bagi ekosistem tersebut. Komponen penyusun
ekosistem adalah produsen (tumbuhan hijau), konsumen (herbivora, karnivora, dan
omnivora), dan dekomposer/pengurai (mikroorganisme).
j. Biosfer: tingkatan organisasi biologi terbesar yang mencakup semua kehidupan di
bumi dan adanya interaksi antara lingkungan fisik secara keseluruhan.
1.6. PIRAMIDA EKOLOGI
Piramida ekologi adalah gambaran susunan antar trofik dapat disusun berdasarkan
kepadatan populasi, berat kering, maupun kemampuan menyimpan energi pada tiap trofik.
Struktur trofik dapat disusun secara urut sesuai hubungan makan dan dimakan antar trofik
yang secara umum memperlihatkan bentuk kerucut atau piramid. Piramida ekologi ini
berfungsi untuk menunjukkan gambaran perbandingan antar trofik pada suatu ekosistem.
Pada tingkat pertama ditempati produsen sebagai dasar dari piramida ekologi, selanjutnya
konsumen primer, sekunder, tersier sampai konsumen puncak.

Ketika organisme autotrof (produsen) dimakan oleh herbivora (konsumen I), maka
energi yang tersimpan dalam produsen (tumbuhan) berpindah ke tubuh konsumen I
(pemakannya) dan konsumen II akan mendapatkan energi dari memakan konsumen I, dan
seterusnya. Setiap tingkatan pada rantai makanan itu disebut taraf trofi. Tingkat taraf trofi
dapat juga diartikan sebagai tingkat dalam suatu rantai makanan yang menunjukkan
pengelompokan organisme yang memiliki pola dan cara memperoleh makanan yang sama.

Ada beberapa tingkatan taraf trofi pada rantai makan sebagai berikut:

a. Tingkat taraf trofi 1 : organisme dari golongan produsen (produsen primer)


b. Tingkat taraf trofi 2 : organisme dari golongan herbivora (konsumen primer)
c. Tingkat taraf trofi 3 : organisme dari golongan karnivora (konsumen sekunder)
d. Tingkat taraf trofi 4 : organisme dari golongan karnivora (konsumen predator)
Di dalam rantai makanan tersebut, tidak seluruh energi dapat dimanfaatkan, tetapi
hanya sebagian yang mengalami perpindahan dari satu organisme ke organisme lainnya,
karena dalam proses transformasi dari organisme satu ke organisme yang lain ada sebagian
energi yang terlepas dan tidak dapat dimanfaatkan. Misalnya, tumbuhan hijau sebagai
produsen menempati taraf trofi pertama yang hanya memanfaatkan sekitar 1% dari seluruh
energi sinar matahari yang jatuh di permukaan bumi melalui fotosintesis yang diubah menjadi
zat organik.

Jika tumbuhan hijau dimakan organisme lain (konsumen primer), maka hanya 10%
energi yang berasal dari tumbuhan hijau dimanfaatkan oleh organisme itu untuk
pertumbuhannya dan sisanya terdegradasi dalam bentuk panas terbuang ke atmosfer. Selama
keadaan produsen dan konsumen-konsumen tetap membentuk piramida, maka keseimbangan
alam dalam ekosistem akan terpelihara.

***
BAB 2

EKOLOGI DAN EKOSISTEM

Ekosistem adalah hubungan timbal balik antara unsur-unsur hayati dengan nonhayati
yang membentuk sistem ekologi atau tingkatan organisasi kehidupan yang mencakup
organisme dan lingkungan tak hidup, di mana kedua komponen tersebut saling
mempengaruhi dan berinteraksi. Pada ekosistem, setiap organisme mempunyai suatu peranan,
ada yang berperan sebagai produsen, konsumen ataupun dekomposer. Ekosistem merupakan
suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam.

Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup (biotik) dan komponen tidak hidup
(abiotik) di suatu tempat dan penyebaran suatu spesies dalam ekosistem ditentukan oleh
tingkat ketersediaan sumber daya serta kondisi faktor kimiawi dan fisika yang harus berada
dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh spesies tersebut. Inilah yang disebut dengan hukum
toleransi. Misalnya: Panda memiliki toleransi yang luas terhadap suhu, namun memiliki
toleransi yang sempit terhadap makanannya, yaitu bambu. Dengan demikian, panda dapat
hidup di ekosistem dengan kondisi apapun asalkan dalam ekosistem tersebut terdapat bambu
sebagai sumber makanannya. Berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia dapat
memperlebar kisaran toleransinya karena kemampuannya untuk berpikir, mengembangkan
teknologi dan memanipulasi alam.

2.1. Macam-macam Ekosistem


Secara garis besar ekosistem dibedakan menjadi ekosistem darat dan ekosistem
perairan.

2.1.1. Ekosistem darat.


Ekosistem darat ialah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa daratan.
Berdasarkan letak geografisnya ekosistem darat dibedakan menjadi beberapa bioma
(ekosistem dalam ukuran besar), yaitu sebagai berikut:

a. Bioma gurun.
Beberapa Bioma gurun terdapat di daerah tropika (sepanjang garis balik) yang
berbatasan dengan padang rumput. Ciri-ciri bioma gurun adalah gersang dan curah
hujan rendah (25 cm/tahun). Suhu siang hari tinggi (bisa mencapai 45°C) sehingga
penguapan juga tinggi, sedangkan malam hari suhu sangat rendah (bisa mencapai
0°C). Perbedaan suhu antara siang dan malam sangat besar. Tumbuhan semusim yang
terdapat di gurun berukuran kecil. Selain itu, di gurun dijumpai pula tumbuhan
menahun berdaun seperti duri contohnya kaktus, atau tak berdaun dan memiliki akar
panjang serta mempunyai jaringan untuk menyimpan air. Hewan yang hidup di gurun
antara lain rodentia, ular, kadal, katak, dan kalajengking.

b. Bioma padang rumput.


Bioma ini terdapat di daerah yang terbentang dari daerah tropik ke subtropik. Ciri-
cirinya adalah curah hujan kurang lebih 25-30 cm per tahun dan hujan turun tidak
teratur. Porositas (peresapan air) tinggi dan drainase (aliran air) cepat. Tumbuhan
yang ada terdiri atas tumbuhan terna (herbs) dan rumput yang keduanya tergantung
pada kelembapan. Hewannya antara lain: bison, zebra, singa, anjing liar, serigala,
gajah, jerapah, kangguru, serangga, tikus dan ular.

c. Bioma hutan basah.


Bioma hutan basah terdapat di daerah tropika dan subtropik. Ciri-cirinya adalah,
curah hujan 200-225 cm per tahun. Species pepohonan relatif banyak, jenisnya
berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya. Tinggi pohon
utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinngi dan berdaun lebat hingga
membentuk tudung (kanopi). Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro (iklim
yang langsung terdapat di sekitar organisme). Daerah tudung cukup mendapat sinar
matahari. Variasi suhu dan kelembapan tinggi/besar; suhu sepanjang hari sekitar
25°C. Dalam hutan basah tropika sering terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan),
kaktus, dan anggrek sebagai epifit. Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi
hutan, harimau, dan burung hantu.

d. Bioma hutan gugur


Bioma hutan gugur terdapat di daerah beriklim sedang, Ciri-cirinya adalah curah
hujan merata sepanjang tahun. Terdapat di daerah yang mengalami empat musim
(dingin, semi, panas, dan gugur). Jenis pohon sedikit (10 s/d 20) dan tidak terlalu
rapat. Hewannya antara lain rusa, beruang, rubah, bajing, burung pelatuk, dan rakoon
(sebangsa luwak).

e. Bioma taiga.
Bioma taiga terdapat di belahan bumi sebelah utara dan di pegunungan daerah tropik.
Ciri-cirinya adalah suhu di musim dingin rendah. Biasanya taiga merupakan hutan
yang tersusun atas satu spesies seperti konifer, pinus, dan sejenisnya. Semak dan
tumbuhan basah sedikit sekali. Hewannya antara lain moose, beruang hitam, ajag, dan
burung-burung yang bermigrasi ke selatan pada musim gugur.

f. Bioma tundra
Bioma tundra terdapat di belahan bumi sebelah utara di dalam lingkaran kutub utara
dan terdapat di puncak-puncak gunung tinggi. Pertumbuhan tanaman di daerah ini
hanya 60 hari. Contoh tumbuhan yang dominan adalah Sphagnum, liken, tumbuhan
biji semusim, tumbuhan kayu yang pendek, dan rumput. Pada umumnya,
tumbuhannya mampu beradaptasi dengan keadaan yang dingin. Hewan yang hidup di
daerah ini ada yang menetap dan ada yang datang pada musim panas, semuanya
berdarah panas. Hewan yang menetap memiliki rambut atau bulu yang tebal,
contohnya muscox, rusa kutub, beruang kutub, dan insekta terutama nyamuk dan lalat
hitam.

2.1.2. Ekosistem perairan


Ekosistem perairan ialah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa air.

a. Ekosistem air tawar.


Ciri-ciri ekosistem air tawar antara lain variasi suhu tidak menyolok, penetrasi cahaya
kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca. Macam tumbuhan yang terbanyak
adalah jenis ganggang, sedangkan lainnya tumbuhan biji. Hampir semua filum hewan
terdapat dalam air tawar. Organisme yang hidup di air tawar pada umumnya telah
beradaptasi. Adaptasi organisme air tawar adalah sebagai berikut:

1) Adaptasi tumbuhan.
Tumbuhan yang hidup di air tawar biasanya bersel satu dan dinding selnya
kuat seperti beberapa alga biru dan alga hijau. Air masuk ke dalam sel hingga
maksimum dan akan berhenti sendiri. Tumbuhan tingkat tinggi, seperti teratai
(Nymphaea gigantea), mempunyai akar jangkar (akar sulur). Hewan dan
tumbuhan rendah yang hidup di habitat air, tekanan osmosisnya sama dengan
tekanan osmosis lingkungan atau isotonis.

2) Adaptasi hewan.
Ekosistem air tawar dihuni oleh nekton. Nekton merupakan hewan yang
bergerak aktif dengan menggunakan otot yang kuat. Hewan tingkat tinggi
yang hidup di ekosistem air tawar, misalnya ikan, dalam mengatasi perbedaan
tekanan osmosis melakukan osmoregulasi untuk memelihara keseimbangan air
dalam tubuhnya melalui sistem ekskresi, insang, dan pencernaan.

Habitat air tawar merupakan perantara habitat laut dan habitat darat. Penggolongan
organisme dalam air dapat berdasarkan aliran energi dan kebiasaan hidup:

1) Berdasarkan aliran energi, organisme dibagi menjadi autotrof: menghasilkan


energi sendiri (tumbuhan), dan fagotrof: mendapatkan energi dari memakan
mahluk yang lain (makrokonsumen), yaitu karnivora predator, parasit, serta
saprotrof: organisme yang hidup pada substrat sisa-sisa organisme.
2) Berdasarkan kebiasaan hidup, organisme dibedakan sebagai berikut:
(a) Plankton; terdiri atas fitoplankton dan zooplankton; biasanya melayang-
layang (bergerak pasif) mengikuti gerak aliran air.
(b) Nekton; hewan yang aktif berenang dalam air, misalnya ikan.
(c) Neuston; organisme yang mengapung atau berenang di permukaan air
atau bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air.
(d) Perifiton; merupakan tumbuhan atau hewan yang melekat/bergantung
pada tumbuhan atau benda lain, misalnya keong.
(e) Bentos; hewan dan tumbuhan yang hidup di dasar atau hidup pada
endapan. Bentos dapat sessil (melekat) atau bergerak bebas, misalnya
cacing dan remis.
Ekosistem air tawar digolongkan menjadi air tenang dan air mengalir. Termasuk
ekosistem air tenang adalah danau dan rawa, termasuk ekosistem air mengalir adalah
sungai.

1) Danau.
Danau merupakan suatu badan air yang menggenang dan luasnya mulai dari
beberapa meter persegi hingga ratusan meter persegi. Di danau terdapat
pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat
ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik.
Daerah yang tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik. Di danau
juga terdapat daerah perubahan temperatur yang drastis atau termoklin.
Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman
dan jaraknya dari tepi.

2) Sungai.
Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air sungai dingin
dan jernih serta mengandung sedikit sedimen dan makanan. Aliran air dan
gelombang secara konstan memberikan oksigen pada air. Suhu air bervariasi
sesuai dengan ketinggian dan garis lintang. Komunitas yang berada di sungai
berbeda dengan danau. Air sungai yang mengalir deras tidak mendukung
keberadaan komunitas plankton untuk berdiam diri, karena akan terbawa arus.
Sebagai gantinya terjadi fotosintesis dari ganggang yang melekat dan tanaman
berakar, sehingga dapat mendukung rantai makanan. Komposisi komunitas
hewan juga berbeda antara sungai, anak sungai, dan hilir. Di hilir sering
dijumpai ikan kucing dan gurame. Beberapa sungai besar dihuni oleh berbagai
kura-kura dan ular.

b. Ekosistem air laut.


Ekosistem air laut dibedakan atas lautan, pantai, estuari, dan terumbu karang.

(1) Ekosistem Lautan.


Habitat laut (oceanik) ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi dengan ion
CI- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan
penguapan besar. Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25°C. Perbedaan suhu bagian
atas dan bawah tinggi. Batas antara lapisan air yang panas di bagian atas dengan
air yang dingin di bagian bawah disebut daerah termoklin. Di daerah dingin,
suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, maka daerah permukaan laut
tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari pantai ke tengah
menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga
memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung baik. Habitat laut
dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya dan wilayah permukaannya secara
horizontal.

(2) Ekosistem Pantai.


Ekosistem pantai letaknya berbatasan dengan ekosistem darat, laut, dan daerah
pasang surut. Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut.
Organisme yang hidup di pantai memiliki adaptasi struktural sehingga dapat
melekat erat di substrat keras. Daerah paling atas pantai hanya terendam saat
pasang naik tinggi. Daerah ini dihuni oleh beberapa jenis ganggang, moluska, dan
remis yang menjadi konsumsi bagi kepiting dan burung pantai. Daerah tengah
pantai terendam saat pasang tinggi dan pasang rendah. Daerah ini dihuni oleh
ganggang, porifera, anemon laut, remis dan kerang, siput herbivora dan karnivora,
kepiting, landak laut, bintang laut, dan ikan-ikan kecil. Daerah pantai terdalam
terendam saat air pasang maupun surut. Daerah ini dihuni oleh beragam
invertebrata dan ikan serta rumput laut.

2.2. STUDI KASUS


2.2.1. Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Bintan
Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem khas pesisir tropis yang
memiliki berbagai fungsi penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Fungsi
ekologis tersebut adalah penyedia nutrisi bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat
pemilahan biota perairan, tempat bermain, dan asuhan bagi berbagai biota laut. Di
samping fungsi ekologis, terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang
mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang,
alga, teripang, dan kerang mutiara.

Pada tahun 1996 diperkirakan luas terumbu karang di perairan Bintan adalah 16.860,5
hektar. Pengamatan di lapangan atas terumbu karang yang dilakukan di sekitar
perairan Pantai Trikora, di pesisir timur Pulau Bintan, memperlihatkan bahwa kondisi
terumbu karang pada lokasi tersebut telah mengalami kerusakan. Hal ini dilihat dari
tutupan karang hidup yang rendah serta banyaknya ditemukan karang mati. Hal itu
terjadi diduga disebabkan oleh berbagai kegiatan pembangunan yang berlangsung di
wilayah pesisir timur Pulau Bintan.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pengaruh kegiatan pembangunan pada


ekosistem terumbu karang cukup besar, meliputi perusakan karang secara langsung
melalui ledakan bom maupun penambangan karang, pencemaran dari berbagai
kegiatan di sepanjang pesisir, dan sedimentasi yang dapat meningkatkan kekeruhan
perairan dan menghambat pertumbuhan karang, bahkan mematikan terumbu karang.
Berdasarkan pengamatan dalam kurun waktu tahun 2000-2006, kegiatan
pembangunan yang pengaruhnya paling besar pada ekosistem terumbu karang adalah
kegiatan pembukaan lahan.

2.2.2. Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove.


Dasawarsa ini terjadi penurunan luas dan kualitas hutan mangrove secara drastis.
Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luas hutan
mangrove, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah berubah bentang lahannya,
karena umumnya hutan mangrove tidak memiliki boundary yang jelas. Gambaran
kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan sumberdaya alam yang
signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan,
fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada mangrove.

Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, ada tiga faktor
utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan
mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang
berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat. menurunnya
tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir.

***
BAB 3

EKOLOGI DAN KESEHATAN MANUSIA

3.1. Perubahan ekosistem dan kesehatan manusia


Komisi Lancet, sebuah komisi paling bergengsi dan paling tua di dunia yang membahas
tentang hal ihwal pengobatan di dunia dan memusatkan perhatian juga pada kesehatan
lingkungan global, baru-baru ini membahas bagaimana kerusakan lingkungan merugikan
kesehatan manusia, terutama untuk sub-populasi yang rentan seperti orang miskin, orang-
orang yang dilecehkan secara sosial, anak-anak dan orang tua. Misalnya, menurunya jumlah
penyerbuk hewan seperti kumbang, lebah, atau kupu-kupu dapat memperburuk berkurangnya
mikronutrien dan timbulnya penyakit tidak menular. Demikian pula, deforestasi dan
degradasi hutan di daerah tropis dapat meningkatkan penyakit menular seperti diare, malaria
dan pneumonia, atau setidaknya membuat mereka lebih sulit dikendalikan.

Untuk memanfaatkan sinergi yang dirasakan antara upaya pelestarian lingkungan dan
kesehatan masyarakat, Komisi Lancet mengusulkan paradigma baru Kesehatan Planet:
'pencapaian standar kesehatan, kesejahteraan, dan kesetaraan tertinggi yang dapat dicapai di
seluruh dunia melalui perhatian yang bijaksana terhadap sistem manusia — politik, ekonomi ,
dan sosial — yang membentuk masa depan umat manusia dan sistem alami Bumi yang
menentukan batas-batas lingkungan yang aman di mana umat manusia dapat berkembang '.
Paradigma ini menggemakan tema dari dua gerakan lain di persimpangan konservasi
lingkungan dan kesehatan masyarakat. EcoHealth, sebuah jurnal internasional yang fokus
membicarakan tentang hubungan antara ekologi dan kesehatan manusia, berupaya memahami
bagaimana faktor sosial, ekonomi, dan ekologis serta interaksinya memengaruhi 'kesehatan'
ekosistem — kondisi dan keberlanjutan ekosistem — termasuk kemampuan untuk
menyediakan layanan ekosistem, dan dampak layanan ini terhadap kesehatan manusia.
Sedangkan OneHealth, sebuah organisasi mutlitdisiplin yang melibatkan para ilmuwan,
dokter, perawat dan berbagai ahli di berbagai bidang, mengembangkan strategi di seluruh
dunia untuk memperluas kolaborasi antar disiplin ilmu dan komunikasi untuk mengatasi efek
kesehatan dari interaksi antara manusia, hewan (baik liar maupun peliharaan) dan
lingkungan. Masing-masing dari ketiga inisiatif tersebut (Lancet, EcoHealth, dan OneHealth)
mencerminkan kekhawatiran yang berkembang bahwa laju degradasi lingkungan yang cepat
dan tidak dapat diubah akan membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia dengan
cara yang tidak dapat dibatalkan dan 'disembuhkan' oleh perawatan medis.

3.2. Implementasi Ekonomi dan Kebijakan Ekosistem


Sejauh ini, Planetary Health, EcoHealth, dan One Health telah mengungkapkan
tantangan operasional dan implementasi dari tindakan konservasi yang berorientasi
kesehatan. Penelitian mereka berfokus pada menjelaskan mekanisme ekologis -
epidemiologis yang menghubungkan perubahan ekosistem dengan risiko penyakit. Tantangan
implementasi ini harus memberikan motivasi untuk menjelaskan sesuatu yang agak berbeda,
sebagaimana yang diilustrasikan oleh gambar 1. Artinya, penelitian eko-epidemiologis harus
dilengkapi dengan bentuk ilmu implementasi yang meneliti: (i) hubungan antara tindakan
konservasi spesifik dan perubahan ekologi yang dihasilkan (panah kedua), dan (ii) bagaimana
perubahan ekologis ini berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan manusia, ketika perilaku
manusia dipertimbangkan (panah ketiga).

Gambar 1. Kerangka analisis kebijakan untuk mengevaluasi bagaimana konservasi ekosistem


meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia. Seperti yang disarankan panah putus-
putus, analisis dapat memandu desain insentif yang sesuai untuk konservasi dengan
menggunakan hasil jangka panjang bersama — yaitu. biaya dan manfaat.

Secara kritis, penelitian semacam itu menjelaskan pertukaran yang tersirat dalam
mencapai hasil konservasi, pembangunan dan kesehatan; proyek dan kebijakan yang
mengabaikan pertukaran ini dihitung sebagai kegagalan hari ini. Ahli biologi akan terbiasa
dengan klaim bahwa meskipun rekayasa genetika dapat menghilangkan nyamuk yang
menularkan penyakit seperti malaria, demam berdarah atau zika, namun hilangnya nyamuk
dapat berdampak negatif pada rantai makanan, membiarkan predator tanpa mangsa dan
tanaman tanpa penyerbuk. Demikian pula, DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane)
diperkenalkan untuk mengendalikan hama tanaman, meningkatkan hasil pertanian dan
mengurangi kemiskinan, tetapi setelah digunakan selama bertahun-tahun, manusia
memahami bahwa hal ini juga telah membahayakan burung dan spesies lainnya yang
memakan hasil buah pertanian manusia.

DDT dikenal sebagai pestisida sintetis. Dalam paruh kedua Perang Dunia II, DDT
telah digunakan dengan dampak yang luar biasa baik bagi penduduk sipil maupun militer
untuk mengendalikan penyebaran nyamuk malaria dan kutu transmisi tipus, mengakibatkan
penurunan dramatis dalam insiden kedua penyakit. Setelah perang, DDT telah tersedia untuk
digunakan sebagai insektisida pertanian. Pada tahun 1962, telah diterbitkan analisis
lingkungan dampak dari penyemprotan DDT di Amerika Serikat ke dalam lingkungan tanpa
pemahaman sepenuhnya terhadap ekologi dan kesehatan manusia. Ternyata DDT dan
pestisida dapat menyebabkan kanker dan pertanian menggunakan DDT merupakan ancaman
bagi satwa liar, terutama burung. Akhirnya DDT yang dilarang di AS pada 1972. DDT
kemudian dilarang digunakan untuk pertanian di seluruh dunia di bawah Konvensi
Stockholm.

DDT adalah insektisida “tempo dulu” yang pernah disanjung “setinggi langit” karena
jasa-jasanya dalam penanggulangan berbagai penyakit yang ditularkan vektor serangga.
Tetapi kini penggunaan DDT di banyak negara di dunia terutama di Amerika Utara, Eropa
Barat dan juga di Indonesia telah dilarang. Namun karena persistensi DDT dalam lingkungan
sangat lama, permasalahan DDT masih akan berlangsung sampai sekarang ini. Adanya sisa
(residu) insektisida ini di tanah dan perairan dari penggunaan masa lalu dan adanya bahan
DDT sisa yang belum digunakan dan masih tersimpan di gudang tempat penyimpanan di
selurun dunia (termasuk di Indonesia) kini menghantui mahluk hidup di bumi. Bahan racun
DDT sangat persisten (tahan lama, berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin sampai 100 tahun
atau lebih), bertahan dalam lingkungan hidup sambil meracuni ekosistem tanpa dapat
didegradasi secara fisik maupun biologis, sehingga kini dan di masa mendatang kita masih
terus mewaspadai akibat-akibat buruk yang diduga dapat ditimbulkan oleh keracunan DDT.

Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan
hidup adalah: sifat apolar DDT, ia tak larut dalam air tapi sangat larut dalam lemak. Makin
larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini
merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit. Sifat DDT yang
sangat stabil dan persisten. Ia sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan
hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup.
Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah; bahkan
DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah. Gejala keracunan akut pada
manusia adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan dan muntah. Efek keracunan
kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf, system imunitas dan sistem
reproduksi. Efek keracunan kronis pada unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan
cangkang telur dan demaskulinisasi. Walaupun secara undang-undang telah dilarang,
disinyalir DDT masih juga secara gelap digunakan karena keefektifannya dalam membunuh
hama serangga. Demikian pula, banyaknya DDT yang masih tersimpan yang perlu
dibinasakan tanpa membahayakan ekosistem manusia maupun kehidupan pada umumnya
merupakan permasalahan bagi kita. Pengamatan terhadap burung pemangsa menunjukkan,
DDT menyebabkan banyak burung yang memproduksi telur dengan kulit amat tipis, sehingga
mudah pecah. Selain itu, terlepas dari tebal tipisnya kulit telur, semakin banyak anak burung
pemangsa yang lahir cacat. Penyebaran residu DDT bahkan diamati sampai ke kawasan
kutub utara dan selatan. Anjing laut di kutub utara, banyak yang melahirkan anak yang cacat,
atau mati pada saat dilahirkan. Penyebabnya pencemaran racun serangga jenis DDT. Diduga,
residu DDT pada manusia juga berfungsi serupa, yakni menurunkan kemampuan reproduksi.
Atau menyebabkan cacat pada janin.

Oleh karena itu, diperluakan perjuangan kebijakan dalam ekonomi publik untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi intervensi spesifik yang memberikan hasil ekosistem
berorientasi kesehatan, ketika mempertimbangkan secara lengkap manfaat dan biaya.
Evaluasi kebijakan tersebut dapat menghidupkan desain dan perencanaan kelembagaan,
termasuk insentif untuk mempromosikan ekosistem yang berkembang di mana manfaatnya
melebihi biaya yang dikeluarkan.
3.3. Kasus-Kasus Ilustratif
Sebagian besar perdebatan tentang konservasi dan kesehatan berpusat pada satu
pertanyaan: apakah peningkatan keanekaragaman hayati mengurangi atau meningkatkan
risiko penyakit menular? Kawasan hutan lindung (Protected Area [PA]) adalah intervensi
kebijakan tertua dan paling terkenal untuk konservasi keanekaragaman hayati tropis, dan
termasuk intervensi yang paling banyak dipelajari, termasuk oleh para ekonom.

Kasus pertama adalah PA di Amazon Brasil. Meskipun PA ini didirikan terutama


untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan memperlambat deforestasi dan degradasi
hutan, bukti terbaru menunjukkan bahwa mereka mungkin telah meningkatkan kesehatan
populasi manusia lokal. Bauch dkk (para peneliti hutan amazon) meneliti kasus-kasus
malaria, diare dan pneumonia anak di semua 750 perkampungan di Amazon Brasil dari tahun
2003 hingga 2006. Mereka menemukan bahwa pola penyakit berkorelasi dengan tingkat dan
jenis konservasi hutan, khususnya PA yang ketat, berkelanjutan- menggunakan area dan
wilayah adat. PA yang ketat mengurangi tingkat ketiga penyakit malaria, diare, dan
pneumonia. Namun, tidak semua PA bermanfaat bagi kesehatan. Penggunaan PA
berkelanjutan berkorelasi positif dengan penurunan malaria, tetapi tidak pada dua penyakit
lainnya, yaitu diare dan pneumonia. Perbedaan efek pada malaria mungkin disebabkan oleh
PA yang ketat yang secara efektif melindungi populasi manusia dari jalur paparan, sementara
daerah yang menggunakan PA berkelanjutan tidak. Kasus ini menggambarkan bahwa
pernyataan menyeluruh tentang dampak kesehatan dari konservasi hutan tropis terlalu
sederhana. Jenis intervensi konservasi penting, tidak hanya karena ia mempengaruhi jumlah
dan jenis keanekaragaman hayati, tetapi juga karena hal itu mempengaruhi interaksi manusia
dengan hutan dan keanekaragaman hayati yang dikandungnya.

Sejak 1990-an, persepsi ketidakefektifan banyak PA di negara berpenghasilan rendah


dan menengah telah mendorong desakan untuk menyerahkan tanggung jawab yang lebih
besar kepada masyarakat lokal untuk konservasi hutan. Nepal sangat terkenal untuk
merangkul desentralisasi dan menyerahkan pengelolaan dan pemeliharaan hutannya kepada
kelompok pengguna hutan masyarakat setempat. Terhadap latar belakang kekhawatiran
tentang perubahan iklim, dan dengan dukungan dari berbagai pihak, pemerintah Nepal
mengujicoba skema kompensasi untuk memberi insentif kepada penduduk lokal untuk
meningkatkan cadangan karbon hutan di zona ekologi Terai, Bukit dan Gunung di Nepal.
Skema ini adalah contoh program pembayaran jasa ekosistem dan terkait dengan program
PBB yang bertujuan mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. Namun
demikian, dapatkah program tersebut memengaruhi pola penyakit menular? Sebuah studi
terhadap 42 lokasi hutan lindung, berdasarkan data dari ratusan rumah tangga di masing-
masing dari tiga zona ekologis dan menggunakan penduga perbedaan-dalam-perbedaan
berbasis panel, menunjukkan bahwa program tersebut mendorong rumah tangga untuk
mengurangi penggunaan bahan bakar biomassa dan meningkatkan adopsi biogas., teknologi
memasak bersih yang menghasilkan gas memasak dari kotoran ternak. Perilaku rumah tangga
ini dikenal untuk mengurangi polusi udara rumah tangga, kontributor peringkat kedua dunia
yang menyebabkan dampak pada infeksi pernapasan dan penyakit kardiovaskular. Kasus ini
menggambarkan dua poin. Pertama, program konservasi hutan dimotivasi oleh banyak
masalah, tidak hanya konservasi keanekaragaman hayati karena hal itu akan berisiko
mengabaikan dampak kesehatan yang penting. Kedua, program konservasi hutan dapat
memiliki dampak kesehatan yang penting yang dihasilkan bukan dari perubahan jalur
paparan untuk penyakit zoonosis endemik ke hutan, melainkan dari perubahan dalam
penggunaan sumber daya hutan (dalam hal ini, menggantikan penggunaan kayu bakar).

Skema pembayaran karbon seperti program PBB di Nepal tersebut suatu hari nanti
mungkin menjadi bentuk yang dominan secara global. Program tersebut biasanya
memberikan kompensasi kepada pemilik tanah di daerah dataran tinggi untuk memelihara
atau meningkatkan tutupan hutan. Alasan umum yang sudah lama dipegang adalah bahwa
limpasan dari lahan hutan lebih bersih daripada limpasan dari lahan lain dan cara yang efektif
untuk meningkatkan kesehatan manusia bahkan mungkin menghilangkan kebutuhan biaya
tinggi untuk pengolahan air. Biaya pengolahan air secara signifikan lebih rendah untuk pabrik
pengolahan air dari hutan dibandingkan dengan air dari kebun kelapa sawit dan karet. Hutan
perawan yang tidak terganggu oleh tangan manusia mengurangi biaya pengolahan air secara
substansial daripada pengelolaan air hutan yang sudah ditebang dan dijadikan perkebunan.
Hal ini juga menyoroti trade-off yang tersirat dalam mempromosikan kelapa sawit yang
sudah menghasilkan ribuan pekerjaan dan memacu pembangunan ekonomi di Asia Tenggara,
sementara merusak kesehatan karena polusi udara dan air yang tidak terduga.

3.4. Beberapa Tantangan Konservasi


Aspek kesehatan dari konservasi kurang dipahami. Putusnya hubungan antara
penelitian ilmu pengetahuan alam yang sedang berkembang tentang topik ini dan penelitian
ilmu sosial yang terkait menambah kesenjangan pengetahuan. Karena konservasi
dioperasionalkan dan diimplementasikan dalam sistem sosio-ekologis, mekanisme sosio-
politik-ekonomi menjadi bagian penting dari ilmu pengetahuan. Insentif, institusi, dan
perilaku manusia harus dipertimbangkan secara serius sehingga penting untuk memahami
mengapa rumah tangga, petani, masyarakat, perusahaan, LSM, donor dan pemerintah
melakukan apa yang mereka perjuangkan. Mencermati perilaku memungkinkan ilmuwan dan
ilmuwan implementasi untuk: (i) mengukur dampak secara lebih akurat; (ii) mengembangkan
pemahaman yang lebih baik tentang pilihan keputusan dan kendala, yang diperlukan untuk
mengkarakterisasi nilai pasar dan non-pasar (baik biaya maupun manfaat); dan (iii)
mengidentifikasi kebijakan yang dapat memicu daya ungkit perubahan untuk mencapai
tujuan sosial. Berikut ini beberapa tantangan yang harus dihadapi.

Pertama, di satu pihak penelitian yang cermat tentang kaitan antara penyakit dan
perusakan ekosistem diperlukan, namun itu saja tidak cukup. Pekerjaan tersebut harus
dilengkapi dengan analisis dampak penyakit dari intervensi konservasi khusus (dua panah
pertama pada gambar 1). Jelas bahwa intervensi ini bersifat strategis, sistematis dan karena
itu menjadi sumber bias seleksi substansial dalam setiap upaya statistik untuk mengukur
dampak kausal dari konservasi. Dengan memperhitungkan perilaku strategis berbagai pelaku,
kita akan lebih baik memaparkan data kesehatan yang dikaitkan dengan tindakan konservasi
kawasan lindung, proyek konservasi dan pengembangan terpadu, pembayaran untuk jasa
ekosistem, serta mendukung pengembangan alat-alat pendukung kebijakan publik. Sementara
data untuk evaluasi semacam itu semakin tersedia dari sumber-sumber publik. Tetapi
biasanya data kesehatan, lingkungan dan kebijakan dikumpulkan dan dikendalikan oleh
lembaga yang jarang bekerja sama dengan orang lain yang memperhatikan berbagai aspek
masalah, sehingga integrasi data menjadi terhalang.

Kedua, karena upaya konservasi lingkungan akan membebankan biaya pada


masyarakat (termasuk biaya peluang, karena tanah yang dikategorikan untuk konservasi
dapat digunakan untuk keperluan produktif lainnya), sangat penting untuk membandingkan
manfaat kesehatan dengan biaya intervensi ini dan untuk menghitung tingkat pengembalian
biaya konservasi tersebut. Perilaku masyarakat sering kali menandakan bagaimana
masyarakat menilai dampak yang berbeda-beda, termasuk dampak kesehatan. Paradigma
penilaian non-pasar yang sudah mapan seperti model perilaku menghindar, model biaya
perjalanan, model penetapan harga upah, dan eksperimen pilihan semuanya telah berevolusi
sejak 1960-an untuk memperoleh penilaian sosial terhadap kesehatan dan kebijakan lainnya.
Lebih lanjut, karena tindakan konservasi akan menghasilkan produk bersama, manfaat
masyarakat biasanya multi-dimensi. Dengan demikian, konservasi dapat mengurangi
kelompok penyakit tertentu misalnya penyakit yang ditularkan melalui air, tetapi juga
memicu peningkatan kesejahteraan manusia di luar bidang kesehatan. Karena itu konservasi
bersifat multi dampak Tindakan konservasi biasanya akan melibatkan serangkaian biaya
langsung dan biaya tidak langsung. Secara umum, dengan mempelajari pola perilaku
manusia, kita dapat memperoleh nilai keuangan untuk hasil yang dapat digunakan untuk
membangun indeks kesejahteraan manusia dan sekaligus menilai dampak yang berbeda
terhadap misalnya lebah, diare, malaria, jeruk, orangutan, biaya proses, dan belanja program.

Ketiga, karena tidak ada keseragaman dalam lanskap atau konteks untuk proses
ekologi atau sosial-ekonomi yang mendasari konservasi, keanekaragaman itu sendiri akan
mendasari semua evaluasi tergadap dampak atau penilaian non-pasar. Artinya, melihat nilai
rata-rata tidak akan cukup. Anggaran tertentu mungkin sangat baik untuk tindakan konservasi
terkait kesehatan, sementara anggaran yang lain lebih baik untuk layanan ekosistem non-
kesehatan, sedangkan lokasi yang lain akan menghadapi situasi di mana biaya peluang dan
biaya program lebih besar daripada manfaat kesehatan atau manfaat lain yang dihasilkannya.
Mungkin cara yang paling mudah untuk mengatasinya adalah melakukan analisis untuk sub-
kelompok utama masyarakat (miskin, kaya), tempat (terpencil, perkotaan) dan kebijakan
(peraturan, berbasis pasar), dan mempertimbangkan interaksi realistis antara pemerhati
ekologi dan pelaku ekonomi dan bisnis. Para analis dapat membandingkan besarnya biaya
promosi kesehatan yang dimediasi keseimbangan ekosistem tersebut dengan biaya
konvensional untuk mengobati atau mencegah penyakit menular, seperti imunisasi, program
rehydration oral, suplementasi zink atau kelambu berinsektisida (seperti digambarkan pada
gambar 1). Secara alami, ini membutuhkan strategi pluralistik multi-metode dan multidisiplin
untuk memahami tidak hanya bagaimana modifikasi ekosistem memengaruhi penyakit, tetapi
juga apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi masalah tersebut.

***

Anda mungkin juga menyukai