Anda di halaman 1dari 5

Suku Yang Belum Mengenal Agama

Suku Togutil

Malukuutaranews – Togutil adalah sebutan sekelompok manusia yang mendiami hutan di


kawasan Pulau Halmahera. Mereka hidup di hutan belantara masih tergolong primitif. Setengah
dari tubuh mereka baik kaum lelaki maupun perempuan hanya ditutupi daun. Mereka belum
mengenal budaya maupun agama.

Untuk bertahan hidup saja, kebutuhan makanan mereka masih berharap banyak dari alam.
Meski demikian, ada di antara mereka sesekali keluar hutan menuju permukiman penduduk
dan kamp-kamp perusahaan untuk mencari makanan. Tampang yang brewok ditambah rambut
gimbal nan panjang membuat warga berpandangan bahwa mereka orang jahat.

“Padahal mereka sebenarnya baik. Sifat mereka itu, kalau melihat warga, lari. Begitu pun
sebaliknya, kalau warga melihat suku Togutil, lari juga,” kata Rahman Saha, salah satu
pembina Togutil, Kamis (8/2).

“Kalau melihat warga di hutan, mereka akan ikuti dari belakang dengan harapan ada jejak sisa
makanan. Ada juga yang mendatangi kamp-kamp perusahaan. Mereka di sana akan
berkomunikasi baik-baik dengan menggunakan bahasa Tobelo untuk minta makanan maupun
pakaian,” kata Rahman.

Begitulah cara hidup mereka selama berpuluh-puluh tahun di dalam hutan. Kehidupan di antara
mereka mulai berubah total ketika para pencari kayu gaharu di kawasan hutan Halmahera
Timur, sekitar Oktober 2016 mendapati satu di antara mereka (Togutil) dalam kondisi
memprihatinkan.

Wanita itu dalam kondisi kelaparan, sangat lemah. Tidak berpakaian, setengah badannya hanya
ditutupi daun. “Melihat kondisinya demikian, akhirnya ditawarkan untuk dibawa ke
perkampungan dan ia pun menyetujuinya. Dia berkata, kalau dia merasa lebih baik akan
kembali lagi ke hutan yang ditempuh dengan jarak tiga hari, untuk memanggil keluarganya
lagi,” ujar Rahman.
Dari situ, kata Rahman, semua keluarganya yang terdiri dari dua kepala keluarga dengan
jumlah 10 orang akhinya ikut bersama pencari kayu gaharu tadi masuk ke permukiman warga
hingga dibawa ke Kota Ternate. Di dalam kota, mereka sempat berpindah-pindah. Mereka
menjadi tontotan warga.

Puluhan warga setiap harinya mendatangi mereka, melihat langsung tampang Togutil yang
selama ini hanya didengar melalui cerita orang-orang. “Dari sini kita mulai ajarkan mulai dari
kebersihan diri, menyapu, cuci piring, pakaian, mengenal huruf dan membaca,” kata Rahman.

“Butuh kesabaran ekstra untuk membina mereka, meski sempat suatu ketika semuanya
melarikan diri dan kembali ke hutan karena merasa diperlakukan tidak baik, tapi akhirnya
kembali lagi ke perkampungan,” kata Rahman.

Setelah mengenal dan dapat berbahasa Indonesia, mereka akhirnya tertarik untuk masuk agama
Islam dan memakai hijab. Dari sini diajarkan tata cara berwudhu, baca tulis Al Quran hingga
shalat.

“Sekarang mereka sudah hidup bermasyarakat di Galela (Kabupaten Halmahera Utara), bahkan
ada yang mengikuti lomba azan. Dan, setiap dua bulan sekali dikunjungi oleh Ustaz Nurhadi
dari yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Ternate,” kata Rahman lagi.

Nurhadi mengaku, sudah ada sekitar 80 orang Togutil yang masuk Islam. Sebagian besar dari
mereka saat ini kembali ke hutan, dan ada yang tinggal di pinggir hutan Kabupaten Halmahera
Timur. Di sana mereka terbagi dalam beberapa titik lokasi dan hidup berkelompok.

“Meski kembali ke hutan tapi kami masih melakukan pengawasan dengan mengunjungi
mereka setiap bulan dalam rangka pembinaan secara berkelanjutan. Mereka yang kembali ke
hutan, paling tidak sudah mengetahui gerakan shalat dan setiap hari Jumat turun ke kampung
untuk melaksanakan shalat Jumat di masjid,” kata Nurhadi.

Nurhadi mengakui di awal-awal memperkenalkan mereka budaya hidup bersih, baca tulis Al
Quran, tata cara berwudhu dan sebagainya, mengalami banyak kendala, terutama
bahasa. “Awalnya itu mereka marah dengan pulpen karena tulisannya tidak seperti yang di
papan, tapi lama-lama akhirnya mereka berdaptasi dan mau belajar hingga bisa,” kata Nurhadi
lagi
Suku Tolare

Suku Tolare adalah kelompok suku terasing yang mendiami wilayah territorial Desa Mantikole,
Kecamatan Dolo, Kabupaten Tingkat II, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Seluruh
kelompk Suku Tolare yang mendiami wilayah ini umumnya memiliki garis keturunan sekaligus sejarah
sosial dan kultural yang sama. Awalnya, wilayah tempat tinggal Suku Tolare tersebut terbagi menjadi
dua bagian, yaitu dusun Balamoa dan dusun Bambarimbi. Pada tahun 1972, Desa Balamoa kemudian
dimekarkan menjadi dua, yaitu Desa Balamoa dan Desa Mantikole. Mantikole diambil dari nama
sebuah pohon yang sangat besar yang sangat ditakuti oleh masyarakat di sekitar daerah tersebut.
Adat Istiadat

Masyarakat terasing Tolare, sama halnya dengan masyarakat terasing lainnya di Indonesia sangat
memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Berpegang teguh pada adat istiadat tersebut menjadikan mereka sangat mono-orientasi dan
menghadirkan etnosentrisme yang tinggi. Beberapa bentuk ekspresi kultural Suku Tolare dalam adat
istiadat tercermin dalam beberapa upacara-upacara riual, diantaranya:[1]

- No’susa: upacara penghormatan kepada leluhur. Upacara tersebut dimaksudkan oleh Suku Tolare
sebagai persembahan hewan-hewan seperti sapi, babi, dan kambing. Penentuan hewan itu sendiri amat
bergantung pada kesepaktan kelompok mereka. Dalam upacara tersebut, Suku Tolare akan memasukan
ke dalam satu wajan darah dari hewan yang disembelih tersebut kemudian dipersembahkan kepada
dewa dengan meletakkannya di bawah pohon besar. Hal itu mereka percaya karena pohon tersebut
didiami oleh roh-roh para leluhur mereka. Salah satu pohon keramat yang selalu dijadikan tempat
pesembahan adalah pohon Mantikole. Upacara adat tersebut menjadi prasyarat utama sebelum
melakukan kegiatan-kegiatan hajatan seperti mendirikan rumah baru, pindah rumah, serta upacara
kelahiran anak pertama.

- Nobalia: upacara ritual yang dilaksanakan apabila ada anggota masyarakat yang kerasukan roh-roh
jahat. Upacara tersebut dilakukan dengan mengundang para pemuka adat setempat lalu membacakan
mantra secara bersama-sama dengan diiringi oleh permainan suling yang terbuat dari bambu kuning.

- Sambulu’ ganna: upacara ritual dalam membuka lahan pertanian. Dalam pelaksananaanya, Suku
Tolare yang hendak membuka lahan harus terlebih dahulu menyiapkan seperangkat keperluan adat
seperti daun sirih, tembakau, beras ketan hitam, ketan putih, dan ketan kuning serta pisang sebanyak
satu tandan. Seluruh sesajen tersebut mereka persembahkan kepada roh-roh yang menghuni lahan
tersebut. Upacara itu mereka lakukan agar dalam proses pembukaan maupun pengelolaan lahan, mereka
tidak diganggu oleh roh-roh yang menghuni lokasi tersebut.
Agama dan Kepercayaan

Agama dan kepercayaan yang dianut oleh Suku Tolare dimulai dengan kepercayaan pada kekuatan-
kekuatan alam atau animisme. Penjelasan lebih jauh tentang kepercayaan mereka adalah sebagai
berikut:

- Fase animisme. Menurut berbagai cerita rakyat yang berkembang, dewa-dewa dan roh-roh nenek
moyang mereka menempati seluruh ruang yang ada di muka bumi, seperti rumpun-rumpun bambu,
pohon-pohon besar, gunung-gunung, dan di seluruh alam raya. Semua tempat tersebut mereka jadikan
sebagai tempat pemujaan untuk meminta berkah, keselamatan, dan rezeki.

- Fase masuknya agama. Proses masuknya agama di kehidupan Suku Tolare berbeda-beda. Suku Tolare
yang bermukim di wilayah dataran rendah umumnya menganut agama Islam. Hal itu dilatarbelakangi
oleh letak geografis tempat tinggal mereka yang terletak di jalur transportasi strategis, yaitu menuju
pada konsentrasi penyebaran Islam di lembah Kota Palu. Penerimaan mereka terhadap ajaran Islam
didukung oleh hubungan dekat mereka dengan dunia luar yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Sementara untuk Suku Tolare yang tinggal di dataran tinggi sebagian besar menganut ajaran Kristen.
Hal itu dilatarbelakangi oleh program-program para misionaris Kristen yang memang lebih memilih
untuk berfokus ke wilayah dataran tinggi. Sedangkan di wilayah pegunungan, tidak memungkinkan
masuknya ajaran Kristen maupun Islam. Dengan demikian, umumnya Suku Tolare menganut agama
Islam dan Kristen.

Suku Kombai dan , Papua

Mungkin banyak dari anda yang belum pernah mendengar suku ini di Indonesia, karena suku ini baru
ditemukan keberadaannya 30 tahun yang lalu. su

ku ini merupakan suku etnis yang tinggal dipedalaman hutan Papua, dan membangun rumah-rumah
mereka di atas pohon. Kedua suku ini memiliki ritual budaya yang hampir sama salah satunya adalah
masih menggunakan koteka sebagai pakaian mereka hingga kini, meskipun pada awal ditemukannya
telah dikenalkan dengan pakaian. Selain sebagai suku pedalaman terasing di Indonesia kedua suku ini
juga merupakan suku kanibal. Mereka akan memakan sesamanya sebagai bentuk hukuman atau
digunakan sebagai sistem peradilan yang dianut oleh mereka

Suku Samin, Jawa Tengah

Suku Samin merupakan suku pedalaman di Indonesia yang terasing dan terancam
kepunahannya. Suku Samin tersebar didaerah Blora, Pati dan sebagian wilayah Bojonegoro.
Suku samin atau yang juga disebut wong rikep ini memilih tinggal di tengah hutan di kawasan
pegunungan kendeng, dan menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Mereka lebih memilih
hidup mandiri bersahabat dengan alam tanpa mengeksploitasi secara berlebihan dan menolak
penuh aturan pemerintah. Penolakan terhadap pemerintah pada suku ini bermula dari sikap
pendahulunya Samin Surosinteko yang menentang keras sikap kapitalisme dan materialisme
pemerintah Belanda.

Anda mungkin juga menyukai