Anda di halaman 1dari 9

Nama

: Metusalakh Rizky Nayar

Mata Kuliah

: Etika Pengambilan Keputusan Etis

Dosen Pengampu

: Pdt. Kinurung Maleh Maden, D.Th

Laporan Buku: Glen H. Stassen & David P. Gushee, Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam
Konteks Masa Kini, Terjm. Peter Suwadi Wong, (Surabaya: Momentum, 2008); Bagian 7
(Bab 22) Kerinduan Pada Pemerintahan Allah, point Doa, hal. 589-613.
Doa: Kerinduan Pada Pemerintahan Allah
Etika bertujuan menciptakan hidup yang etis. Namun prakteknya belumlah etis
apabila dalam etika itu sendiri, khususnya etika Kristen kemudian menempatkan doa pada
porsi yang minim atau bahkan agak melupakannya karena kerapkali bergelut pada isu-isu
antar sesama saja. Doa Bapa kami juga cenderung ditempatkan sebagai model doa,
penyempurna doa-doa syafaat gerejawi, atau sebagai contoh tentang bagaimana Tuhan Yesus
ingin kita berdoa. Akibatnya kekayaan, maksud, sifat dan dampat doa tersebut dapat saja
luput dari penghayatan dan praktek hidup kita, tidak saja pada kehidupan nyata tetapi juga
pada kehidupan doa kita.
David P. Gushee dan Glen Harold Stassen, kedua penulis buku ini mendasarkan etika
pada pengajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit (Matius 6:1, 7-8), serta aspek kaitan antara
etika dan doa. Kurangnya tulisan etika yang menyoroti seputar kait-mengkait antara etika
dan doa menjadi keprihatinan sekaligus fokus kedua penulis buku ini. Hal tersebut
merefleksikan dan memperdalam realitas pemisahan antara hati-akal budi, roh yang
saleh-dunia nyata. Doa begitu penting, Perjanjian Baru juga menyaksikan begitu kuatnya
doa Yesus, doa adalah bagian itegral kehidupan Sang Anak. Dalam bagian ini doa
mendapatkan perhatian yang lebih luas dengan berbagai aspek yang melingkupinya, misalnya
tentang kewajiban agama (Matius 6:1-8). Kewajiban agama dianggap merupakan tiga pilar
utama kesalehan Yahudi, meliputi doa, puasa dan pemberian sedekah.
Dalam interaksi kritis dengan kesalehan pada zaman-Nya, Yesus memberi peringatan
tentang ketaklukan pada lingkaran setan praktik memberi sedekah, berdoa dan berpuasa
untuk pamer, namun pada saat yang sama mengharapkan pahala dari Allah. Praktik kesalehan
di depan umum yang dibuat-buat yang umumnya terjadi masa itu sangat mematikan
kerohanian. Yesus memperhatikan sebuah ajaran atau praktik tradisional Yahudi dan
berinteraksi dengannya tanpa meniadakannya. Kemudian Ia mendiagnosa pola-pola dosa atau

lingkaran setan yang menghalangi ketaatan pada kehendak Allah. Akhirnya Ia memberikan
sebuah inisiatif untuk mengubah dan mematahkan lingkaran setan itu dan memungkinkan
ketaatan yang membebaskan, sesuatu yang realistis, bukan idealistis dalam artian muluk tapi
tidak mampu dilakukan. Sebuah undangan berpartisipasi. Yesus mengajarkan kita semestinya
terus melakukan doa, puasa dan memberi sedekah di hadapan umum, tetapi harus
memfokuskan seluruh diri hanya pada Allah dan bukan pada orang lain. Satu sisi hal itu
adalah hal yang sukar, idealistik dan mendatangkan malu, tetapi di sisi lain bukanlah
pengajaran yang idealistik dan mustahil. Yesus memberikan solusi agar memfokuskan pada
Allah, bukan mencari upah dari Allah namun juga dari manusia dengan mengabdi kepada dua
tuan (Matius 6:24). Kita mesti memilih, dan semestinya memilih Allah.
Pada bagian selanjutnya pembahasan seputar doa terus berlanjut, yakni kaitan
kepercayaan, doa dan pemerintahan Allah. Kepercayaan kepada Allah merupakan refleksi
pengalaman anugerah dan keintiman yang luar biasa yang dialami Yesus, dan menarik Ia
mengundang murid-murid-Nya untuk ikut serta mengalaminya juga. Allah sebagai Bapamu
(Matius 6:1-18) adalah bahasa dan tanda keintiman itu. Pengalaman sukacita dalam hadirat
Allah ini dijanjikan oleh nabi Yesaya menjadi salah satu tanda kerajaan Allah. Masa
pemerintahan Allah sudah dekat. Terang hadirat Allah sedang menyingsing bagi umat-Nya
dari segala bangsa. Rayakanlah kedatangan Pemerintahan Allah, terimalah anugerah Allah
yang diperbaharui dengan ucapan syukur. Tinggallah dalam hadirat Allah dan
berpartisipasilah dalam pekerjaan Allah sambil menikmati hadirat-Nya (bdk. Yesaya 11:2,
32:15, 42:16, 60:1, 20). Kembali lagi, kita mau-tak mau mesti percaya kepada Allah dalam
penantian, persiapan dan partisipasi dalam pemerintahan Allah ini. Kepercayaan kepada
Allah meski dalam konteks dunia yang jahat dan perjuangan untuk bertahan hidup. Yesus
mengajarkan bahwa Allah adalah Bapa yang dapat dan harus dipercaya. Dalam terang bukti
pemerintahan Allah yang sedang masuk seharusnya saat ini juga dipercaya. Yesus percaya
dan mempercayakan hidupnya kepada Allah sampai wafat-Nya. Wafat bukan akhir,
kebangkitan-Nya menandai kepercayaan yang telak. Yesus juga memanggil para pengikutNya dengan kepercayaan yang sama sampai hari ini. Namun realitasnya kepercayaan kepada
Allah ini juga tidak serta-merta membebaskan orang Kristen dari pergumulan kepercayaan
kepada Allah, dari berbagai jenis rancangan jaminan diri yang Yesus tolak. Sebaliknya
Yesus mengajarkan (dan memotivasi) bahwa dengan percaya kepada Allah kita akan tetap
dan terus dimampukan hidup lebih baik, tanpa harus lari, menolak atau bahkan dilumpuhkan
(bdk. Matius 5:11-12, 5:21-26, 5: 33-37, 5:38-48, 6: 19-34, 6: 33, 7:1-5, 7:24-27). Akhirnya,

terkait doa, dengan mempercayai Allah kita dapat terus berdoa diam-diam namun sungguhsungguh, bahkan dalam sengsara sekalipun seperti Yesus (Matius 4:1-11; Lukas 6:12-16;
Matius 14:23, Markus 1:35, 6:26, 6:46; Lukas 5:16). Doa Yesus bukan hanya berbicara
dengan Allah namun juga mendengarkan kehendak Allah.
Penulis buku ini memberi saran agar pembaca dapat memulai kehidupan doa ketika
kehidupan pagi mulai. Bahkan juga berdamai dengan lawan, diri sendiri dan dengan Tuhan di
dalam doa syukur. Selain secara personal mereka juga menganjurkan berdoa secara komunal
dalam suatu komunitas. Berdoa berarti menyerahkan seluruh kehidupan jasmani dan rohani
kepada Allah, bahkan iman kepercayaan yang tekun ketika doa belum dijawab. Perumpamaan
tentang seorang yang dibangunkan malam hari untuk menolong sahabat yang terus meminta
tolong (Lukas 11:58) dan perumpamaan janda yang bermohon dan Hakim yang tidak benar
(Lukas 18:1-8). Atas dasar kepercayaan yang tetap kuat itulah menurut penulis buku pembaca
dapat memahami isu teka-teki perkataan Tuhan Yesus tentang larangan memberikan barang
kudus kepada anjing dan mutiara kepada babi (Matius 7:6). Menurut literatur Rabinik Yahudi,
anjing dan babi selain najis, liar (ganas bahkan kepada orang yang baik kepada mereka) juga
merujuk kepada simbol orang-orang non Yahudi (kafir). Dalam hal ini adalah penjajahan
Romawi, atau godaan Helenis (Yunani). Hubungannya dengan perihal doa kepada Bapa
adalah iman kepercayaan yang kuat tadi: Mempercayai kekuasaan Romawi/ non Yahudi
dapat saja malah membuat penerimaan yang sebaliknya. Diinjak dan dicabik oleh meraka
yang tidak setia. Kontras dengan kepercayaan kepada Allah, bahwa Allah setia dan layak
dipercayai.
Bagian selanjutnya adalah perihal doa Bapa Kami. Pengantar doa ini adalah struktur
rangkap tiga menurut penulis buku (Matius 6:7a; 7b, 9). Yesus meminta berdoa tanpa berteletele dengan banyak kata dan agar dilihat orang. Para murid diajarkan berbicara intim dengan
Allah dalam doa (layaknya hubungan Bapa dan anak) dengan perkataan sehari-hari namun
jelas, dengan keyakinan Bapa lebih dahulu mengetahui kebutuhan anak-anak-Nya. Menurut
penulis buku, isi Doa Bapa Kami memiliki struktur rangkap tujuh. Tiga petisi pertama berisi
permohonan pemerintahan Allah yang membebaskan di atas bumi (Matius 6:9a, 9b, 10). Doa
seharusnya dimulai dengan tidak memikirkan diri sendiri lebih dahulu, namun selayaknya
dimulai dengan memikirkan kerajaan Allah dan kebenarannya sebagai tujuan utama hidup.
Doa bukan untuk memperoleh kehendak semata-mata, melainkan menundukkan kehendak
pada kehendak Allah.

Permohonan nama Allah dikuduskan berarti permohonan agar dunia yang telah
memberontak tidak lagi memberontak kepada Penciptanya, yang telah menyatakan diri
dengan nama (Keluaran 3:13-14). Mengetahui nama kudus Allah menurut Perjanjian Lama
berarti mengenal Allah. Nama Allah sangat kudus, tidak boleh diucapkan sembarangan.
Ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya nama tersebut dihina oleh orang-orang yang
menyerukannya maupun mereka yang menolaknya. Berdoa agar kerajaan Allah datang dan
kehendak-Nya jadi di muka bumi merupakan pengakuan bahwa dunia yang memberontak
membutuhkan penebusan, pembebasan Allah serta ketaatan manusia. Kerinduan kerajaan
Allah adalah dilaksanakannya kehendak Allah di atas bumi sebagaimana yang sudah terjadi
di dalam sorga. Ketika berdoa mungkin orang akan sadar bahwa ternyata kehendak manusia
tidak selaras dengan kehendak-Nya, perilaku tidak sejalan dengan pemerintahan-Nya, maka
manusia digerakkan untuk bertobat dan berdoa. Ini juga adalah kesempatan dan undangan
berpartisipasi dalam perwujudan kerajaan itu. Itu yang diyakini oleh penulis buku, partisipasi
aktif sangat penting. mereka beranggapan hal tersebut jauh lebih baik dibandingkan sikap
pasif atau hanya berhenti pada pengucapan syukur saja dari manusia yang tidak layak namun
diselamatkan oleh anugerah Allah yang cuma-cuma.
Empat petisi terakhir Doa Bapa Kami memohon Allah melepaskan dari empat
ancaman konkret terhadap kehidupan dan partisipasi dalam pekerjaan kerajaan (Matius
6:11, 12, 13a, 13b). Pertama, untuk makanan sehari-hari merupakan suatu pengakuan tentang
kebutuhan jasmani manusia. Kedua, tentang pengampunan yang memiliki dimensi material
dan spiritual. Kata aram yang sama dipakai untuk utang materi maupun relasional. Secara
materi memberi pinjaman tanpa pamrih (Matius 5:42), juga berlaku untuk utang
pengampunan (Matius 18:21-35; Lukas 7:41-50). Lebih luas lagi pengampunan untuk
berbagai kesalahan yang dilakukan maupun yang dialami. Dua permohonan terakhir
meminta kelepasan dari masa-masa pencobaan atau godaan dan pada akhirnya dari si jahat,
yang merupakan perilaku aktif pada masa-masa seperti itu. Penulis buku menyarankan
penggunaan kata ujian, daripada cobaan. Dengan demikian berarti manusia mengakui bisa
jatuh kedalam hal-hal tersebut dan tidak dapat menyelesaikan sendiri, mengakui serta
mebutuhkan pertolongan Tuhan. Tuhan Yesus sendiri mengajar para murid untuk berdoa dan
tidak menyerah kepada si jahat (Matius 26:41). Ia sendiri juga bergumul dan menang dalam
berbagai pencobaan (Matius 4:8-10). Motivasi tersebut kemudian dianut juga oleh Yakobus
(Yakobus 1:12), dan Paulus (1 Tesalonika 3:5; 2 Tesalonika 3:2-3; Galatia 6:1; 1 Korintus
10:13).

Terkait dengan Doa Bapa Kami, kedua penulis buku menyarankan eksperimen doa
tujuh hari, doa yang mendengarkan rutin, teratur dan sungguh-sungguh selama tujuh hari
berturut-turut. Disarankan juga doa itu dituntun juga oleh tujuh petisi Doa Bapa Kami selama
beberapa minggu. Mereka beranggapan kegiatan doa ini akan membuat pembaca dan pendoa
lebih peka dan sadar, misalnya Tuhan tidak selalu menjawab sesuai jadwal pendoa, atau
dampak doa tersebut tidak selalu luar biasa, melainkan biasa-biasa. Namun mereka meyakini
dengan bersungguh-sungguh dan setia dalam doa tujuh hari yang mendengarkan lambat laun
pendoa akan bertelut dan bersyukur, bahkan dapat menjadi berkat bagi sesama dengan
membagikan pengalaman iman tersebut. Selain itu juga disarankan kegiatan meditasi di saat
yang tenang atau bahkan ketika harus bergumul dengan kelemahan daging dan emosi,
misalnya pikiran dan tubuh masih belum terjaga sepenuhnya pada waktu subuh sementara
mesti bermeditasi. Bermeditasi juga melibatkan Alkitab, berusaha berempati sungguhsungguh dalam setiap bacaan Firman Tuhan, dan berdoa.
Tanggapan
Tulisan Glen Harold Stassen dan David P. Gushee, Etika Kerajaan Mengikut Yesus
Dalam Konteks Masa Kini, merupakan Masterpiece. Mereka berusaha menguraikan setiap
esensinya dengan hal-hal yang akrab sehari-hari, namun tidak menghilangkan makna esensi
teologisnya. Dengan cerdas mereka menggunakan pendekatan etika yang berbeda, peka
terhadap isu-isu doa yang kebanyakan terlewatkan atau dilewati (?) dalam praktek nyata
kehidupan Kristen yang beretika. Dengan apik mereka menelusuri akar dan makna doa dan
hubungannya dengan etika (terutama etika Kristen) melalui riset hermeneutika eksegetis,
mulai dari literal sampai historikal, dan sensitif akan sejarah penghayatannya mulai dari PL,
PB (zaman Tuhan Yesus) sampai masa kini. Tidak lupa juga aplikasi relevan untuk situasi dan
situasi-kondisi problematik yang dihadapi umat Kristen dan Etika Kristen. Mereka juga
memperkenalkan dan mengembangkan konsep kekuatan ajaran Kristus sebagai alternatif dan
inisiatif untuk menghancurkan lingkaran setan dalam masalah-masalah etis yang selama ini
cenderung sulit diselesaikan, bahkan dengan etika Kristen itu sendiri.
Penulis buku yakin bahwa Kristus mengajarkan ajaran-Nya bukan melulusebagai
ideal Kerajaan Allah yang akan datang, melainkan untuk dipraktekkan dalam Kerajaan Allah
yang telah dimulai dan dikembangkan Kristus. Mereka tidak saja selalu menoleh ke belakang
atau berpetualang terlampau jauh melalui mesin waktu ke masa depan, akan tetapi juga masa
kini: mengikut Yesus dalam konteks masa kini. Kerajaan Allah adalah pemerintahan Allah

yang sudah ada di Sorga dan mulai dibentuk serta dikembangkan di bumi oleh Kristus.
Suatu peristiwa masa depan sekaligus suatu realitas masa kini. Tanda-tandanya ialah
keselamatan atau penebusan (salvation) yang dibawa-Nya, dimana Allah bertindak untuk
menyelamatkan umat-Nya. Dalam perwujudan kerajaan itu terdapat kesempatan dan
undangan berkomitmen dalam partisipasi aktif (sekaligus tanpa pamrih, tanpa mencari
penghargaan manusia), yang jauh lebih baik dibandingkan sikap pasif (atau hanya berhenti
pada pengucapan syukur) dari manusia yang sesungguhnya tidak layak namun dilayakkan
dan diselamatkan oleh anugerah Allah yang cuma-cuma. Penulis setuju dengan prinsip
penulis buku yang menanggapi Kerajaan Allah ini secara aktif dan partisipatif daripada pasif.
Hanya saja jangan sampai manusia terlampau aktif berpartisipasi sehingga melampaui
batasannya, kewajibannya dan hak Allah, dengan kata lain mengambil hak Allah. Tanpa
bermaksud menjadikan buku ini sebagai tafsiran bagi khotbah di bukit, para penulis buku
memberikan uraian yang sistematis atas bagian doa dan bagian-bagian terkait dari PL dan PB,
dan isu-isu etis teori dan praktek kerinduan kepada Pemerintahan Allah. Meskipun demikian
mengingat kompleksitas dari isu kewajiban agama (berdoa, berpuasa dan bersedekah) serta
hubungan doa dan etika dalam kehidupan riil, dengan rendah hati para penulis mengakui
mungkin teori etika kerajaan yang mereka sodorkan belum menyelesaikan problem yang ada
secara tuntas. Tetapi sisi lain juga merintis satu arah baru beretika dan berkehidupan Kristen.
Tanpa bermaksud mengurangi sumbangan teori dan pemikiran para penulis buku yang
cerdas dan cermat, apabila penulis mesti mengkritisi dan mengkritik buku mereka maka
penulis dengan hormat mengarahkan bagian ini pada kecenderungan bahasa/ kalimat yang
sulit dimengerti. Entah karena alasan buku ini adalah buku terjemahan dari bahasa Inggris,
atau karena kelemahan penulis semata. Selanjutnya kecenderungan minimnya relasi etika dan
doa dengan pemberdayaan Roh Kudus. Layaknya minimnya perhatian etika dan doa,
demikian menurut penulis minimnya kaitan antara doa (dan praktek hidup lainnya) dengan
pengikutsertaan permohonan pemberdayaan Roh Kudus. Memang penulis buku sudah
menyatakan dalam awal tulisan mereka terkait doa ini, bahwa mereka mendasarkan bagian
doa ini pada pengajaran Tuhan Yesus dalam Khotbah di Bukit. Keempat kitab Injil Sinoptik,
khususnya Matius juga tidak banyak mencatat kegiatan dan peran Roh Kudus, karena
tampaknya keempat Injil secara khusus memberitakan narasi kehidupan dan misi Tuhan
Yesus dari lahir hingga kematian, kebangkitan dan keselamatan yang diberikan-Nya.
Pentingnya peranan Roh Kudus sebenarnya telah disinggung penulis buku. Pada bagian
kaitan doa, kepercayaan dan pemerintahan Allah misalnya. Dalam pengalaman sukacita

akibat keintiman dan kepercayaan antara Allah sebagai Bapa dan pendoa (umat) sebagai
anak, mereka mendasarkan analisis pada nubuatan nabi Yesaya tentang tanda Kerajaan Allah,
ketika Mesias datang Roh Tuhan akan ada pada-Nya (Yesaya 11:2); dicurahkan kepada kita
Roh dari atas (Yesaya 32:15) (hal. 595). Pada bagain lainnya, terkait Doa Bapa Kami dalam
empat petisi terakhir juga menyinggung peran Roh Kudus. Dalam saran meditasi yang tenang
dan sungguh-sungguh yang juga menyinggung peristiwa Pentakosta misalnya (hal. 611).
Meskipun sempat disinggung, menurut penulis partisipasi Roh Kudus selanjutnya tidak
dikembangkan.
Peranan Roh Kudus juga semestinya dianggap penting dalam rangka memampukan
dan memberdayakan manusia yang berdoa, berpuasa, bersedekah, beriman dan mengasihi.
Mengutip tulisan Agus Dharma Doa Bapa Kami Sebagai Jalan Pemulihan, berteori bahwa
kegiatan iman yang melampaui kemampuan manusia hanya dapat dimampukan oleh Roh
Kudus Tuhan.1 Hanya saja menurut penulis jangan sampai hal tersebut kemudian mejadikan
manusia pesimis yang mengkambinghitamkan kelemahan diri; legitimasi ketidakberdayaan,
lalu menjadi pasif atau bahkan terlampau aktif. Selanjutnya Dharma (2015:300-301) juga
melibatkan surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma, dalam Roma 8:15 sebagai benang
merah antara Roh Kudus dan doa (khususnya Doa Bapa Kami) Sebab kamu tidak menerima
roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh
yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" Ia
berpendapat Roh Kudus yang akan melakukan transformasi pendoa menjadi anak dari Bapa.
Pertama, Menjadikan pendoa sebagai anak (huiothesa) dan Allah sebagai Bapa. Kedua,
melayakkan pendoa menerima warisan dari Bapa, jaitu janji Allah: kehidupan dan
kemuliaan bersama Kristus (Roma 8:16-17). Ketiga, Roh Kudus memberi hikmat kepada
pendoa: transformasi dari hidup menurut daging kepada hidup menurut Roh (Galatia 5:2223).2 Tentu saja Dharma dalam pandangannya terlepas Matius atau dari Khotbah di Bukit,
melainkan juga memperluas kepada arah pemikiran rasul Paulus. Bisa jadi merupakan mis
komunikasi (bagi penulis) ketika diperhadapkan pada pemikiran Glen Harold Stassen dan
David P. Gushee sebagai penulis buku Etika Kerajaan. Bagaimanapun, menurut penulis peran
Roh Kudus perlu dikembangkan dalam tulisan terkait doa dan etika. Bukankah orang Kristen
1 Bdk. Agus Dharma, Doa Bapa Kami Sebagai Jalan Pemulihan, (Jakarta: Waskita
Publishings, 2015), 221.
2 Ibid, 284, 300-301

mengimani Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus? Dalam liturgi peribadatan GKE sendiri
sebelum Pemberitaan Firman Tuhan umumnya juga didahului dengan doa mohon bimbingan
Roh Kudus. Namun sebagai catatan, hendaknya perhatian kepada Roh Kudus ini tidak
membuat umat serta-merta menjadi hyper, layaknya gerakan Kharismatik dan Pentakosta
mainstream.
Terakhir, ketiadaan informasi tentang doksologi Doa Bapa Kami. Doksologi (Yunani
doksa = kemuliaan) dan logia (bentuk jamak dari kata logion) = sabda-sabda. Baik Glen
Harold Stassen dan David P. Gushee, maupun Agus Dharma tidak mengikutsertakan
doksologi ini sebagai komponen pokok petisi Doa Bapa Kami, namun hanya sebagai penutup
doa. Dharma melihat doksologi ini merupakan aklamasi atau penegasan, penunjang. Dharma
juga menyatakan isi doksologi ini terdiri dari 3 hal, yakni kerajaan, kuasa dan kemuliaan.
Dharma memberikan penjelasan mengapa doksologi ini pada Alkitab TB LAI
mencantumkannya dalam tanda kurung, Alkitab modern umumnya, Kateksismus Gereja
Katolik dan NIV tidak mencantumkannya, adalah karena doksologi ini merupakan ayat yang
tidak konsisten berada pada manuskrip-manuskrip kuno yang merupakan dasar Alkitab. 3
Paling tidak Agus Dharma sudah memberikan informasi seputar doksologi ini. Menurut
hemat penulis, meskipun doksologi ini lebih kepada penegasan kembali yang sudah-sudah,
dalam buku Etika Kerajaan sebaiknya ia tetap perlu dipaparkan agar pembaca mengetahui
dan (mungkin) tidak bertanya-tanya mengapa Doa Bapa Kami-nya tidak sampai selesai?
Terkait konteks GKE mengenai doa dalam Konsep Draf Peraturan GKE
No..............Tahun 2016 Tentang Pedoman Peribadatan GKE, Pasal 8 tentang Doa, butir ke 2,
3 dan 6 berisi anjuran doa syafaat disampaikan secara singkat, padat dan jelas.
2. Doa syafaat di luar ibadah minggu, petugas menyampaikan doa syafaat fokus saja isi doa
syafaatnya untuk keperluan atau tujuan ibadah pada saat itu, misalnya: ibadah rumah
tangga fokus doanya untuk keluarga rumah tangga tersebut, ibadah pernikahan fokus
doanya untuk mempelai dan keluarganya, ibadah perkabungan/ penghiburan fokus
doanya untuk keluarga duka dan sidang perkabungan, dst.
3. Doa disampaikan dengan tidak bertele-tele, tetapi dengan singkat dan padat sesuai pokokpokok doa yang telah ditetapkan.

3 Ibid, 188

6. Berkaitan dengan butir 3 di atas, doa disampaikan fokus sesuai dengan pokok doa,
misalnya: doa pembukaan ibadah, doa sebelum pembacaan Alkitab, doa sebelum khotbah,
doa syafaat, doa persembahan, doa makan, doa pulang, dst.
Berdoa dengan kata-kata tidak bertele-tele ketika diterapkan dalam kebaktian/ ibadah rumah
tangga agaknya jarang diterapkan. Hal itu mengingat permintaan pihak keluarga ketika
menyampaikan sambutan (atau kesaksian) yang di dalamnya terdapat permintaan (request)
berdoa untuk keluarga besar mereka dalam doa syafaat. Secara etika dan psiko-sosial kurang
etis apabila tidak menyebutkan semua daftar permintaan doa syafaat tadi yang cenderung
agak banyak. Hal tersebut juga terkait dengan kerinduan keluarga terhadap anggota
keluarga besar yang lainnya. Di sisi lain penting juga untuk memberikan pandangan dan
arahan kepada warga jemaat mengingat doa yang tidak bertele-tele, tidak mesti dengan katakata yang panjang dan banyak.
Pada akhirnya kita yakin, doa (dan kewajiban agama) semestinya tidak hanya
diucapkan tetapi juga dipraktekan, tidak hanya meminta tetapi juga memberi, tidak hanya
dalam hubungan dengan Yang Maha Kuasa tetapi juga seluruh ciptaan, tidak hanya
kepentingan pribadi tetapi kebaikan sesama citpaan. Doa (dan kewajiban agama) semestinya
diucapkan (dan dipraktekan) serta dijadikan pedoman oleh orang-orang beriman dengan
segala kerendahan hati dialasi ketulusan dalam bimbingan Roh Kudus yang memampukan
dan menolong kita berdoa. Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke
dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah (Matius 26:4). Demikian
juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana
sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan
keluhan-keluhan yang tidak terucapkan (Roma 8:26).

Anda mungkin juga menyukai