(Resume Tulisan Crispin H.T. Fletcher-Louis Alexander Agung Memuja Imam Besar)
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:
Teologi Biblika 2
Dosen Pengampu:
Pdt. Dr. Maylinda Sari
Oleh:
Metusalakh Rizky Nayar
NIM: 15.06.027
priest=imam, dan Yehezkiel) pemujaan terhadap manusia disebabkan juga karena manusia
juga merupakan gambar dan rupa Allah. Faktor lainnya juga adalah tanggapan Yahudi
terhadap kultus penguasa Yunani. Relasi Israel dengan suku-suku pagan menyebabkan
pengaruh dewa-dewa pagan dan orang-orang yang disukai dewa-dewa masuk dalam
peribadatan Israel. MenurutLouis, jika benar bahwa kemanusiaan manusia yang baik tadi
adalah kesukaan Allah maka hal itu menjadi alasan mengapa kemanusiaan ditemukan dan
memberi kebaikan yang sama dengan kultus pemujaan pagan terhadap orang yang menjadi
kesukaan mereka.
Josephus, dalam tulisannya seperti yang disitir Louis, memberikan laporan bahwa
Aleksander dari Makedonia memuja Imam Besar Jaddua dari Yerusalem, ketika mereka
bertemu di Yerusalem. Ketika Imam Besar Jaddua mendengar tentang Alexander Agung, dia
merasa takut bertemu raja Makedonia itu. Kemudian ia
dan
para
rakyat
bersama-sama
bermohon
dan
Menurut Louis, pada awalnya mungkin tampak bahwa Alexander secara langsung dan
berterus terang memuja Imam Besar. Mengingat kebiasaan kultus penguasa dan konteks
setempat disimpulkan dalam tindakan proskunesis terhadap tinggi Imam dan fakta yang
sesuai dengan laporan penyembahan dengan bersujud (proskunesis) di dalam tradisi Rabbinik
versi Josippon dan Samaria.
Rekan Makedonia Alexander, Parmenion, yang juga komandan kedua pasukannya
berpikir bahwa pemujaan Alexander terhadap Imam adalah juga sesuai dengan apa yang
orang lain umumnya lakukan. Tetapi di sisi lain Josephus mengatakan bahwa tindakan
Alexander proskunesis diarahkan untuk Nama Itu, mungkin yang dimaksudkan adalah
TUHAN. Dalam menanggapi keberatan Parmenion terhadap tindakan Alexander mengingat
posisi jabatan politik dan agamanya, Alexander memberi dua alasan untuk tindakannya.
Pertama, tindakan bersujud kepada Imam Besar itu bukan sebelum
bertemu dengannya, tetapi ditujukan kepada Allah yang telah memberikan
kehormatan untuk menjadikannya Imam Besar. Kedua, Alexander
mengatakan bahwa Imam Besar adalah gambaran dari dewa yang telah
menampakkan diri kepadanya dalam mimpi mengumumkan kekuasaan dunia masa depannya
ketika ia pertama kali menyeberangi Hellespont.
Louis berargumen, Jika Imam Besar adalah manifestasi yang kelihatan dari dewa
yang memimpin dia di semua pertempurannya, bagaimana mungkin
Imam Besar itu sendiri tidak mengambil bagian dari kegiatan proskunesis
ditawarkan Alexander? Ketika Alexander memasuki kuil Yerusalem ia
menunjukkan penghormatannya untuk para imam dan kepada Imam
Besar itu sendiri. Menunjukkan kehormatan menurut Louis berarti juga
bersifat ambigu, tapi konteks kultis dan paralel Yahudi kontemporer serta bahasa masa itu
mendorong kemungkinan bahwa Alexander sebenarnya bagaimanapun memuliakan imam
Yahudi itu.
Josephus, di bagian awal dari bukunya Antiquities, memakai bahasa yang persis sama
untuk menggambarkan bagaimana Nebukatnezar meninggikan Daniel (dan teman-temannya).
Daniel layak mendapatkan kehormatan tertinggi setelah Nebukatnezar tersungkur dihadapan
Daniel, memuji dia dalam sikap manusia menyembah Allah, dan memerintahkan bahwa
orang-orang harus memberikan korban kepada Daniel sebagai dewa (Dan. 2.46). Dalam
bagian awal laporan Josephus tersebut, menurut Lois tidak memenuhi syarat laporan kultus
pemujaan Nebukadnezar terhadap Daniel.
Menurut Loius, arti bahwa Alexander memuja Nama itu sambil menyapa Jaddua
dan keterkaitan laporan Josephus dengan tradisi Samaria dan rabbik yang juga memiliki
pemahaman proskunesis terhadap Imam Besar dapat dijawab ketika mempertimbangkan
perbedaan antara Kultus Penguasa Hellenistik dan keimamatan ilahi Israel. Tapi, untuk
sebagian besar, dijelaskan oleh pertimbangan peran Nama itu dalam teologi imamat Israel.
Nama yang menjadi tujuan Alexander dalam memberikan persembahan proskunesis adalah
Nama Allah, Tetragramaton terpampang di dahi Imam Besar. Jaddua dalam pakaian pakaian
Imam Besar yang mengenakan serban kepalanya dengan plat emas yang di atasnya tertulis
Nama TUHAN (11,331). Nama ini adalah bagian yang menonjol dari pakaian Imam Besar.
Louis beranggapan Imam Besar dan Nama TUHAN tidak sepenuhnya terpisah, dan
pernyataan bahwa Alexander menyembah Nama Allah (yang dipakai oleh Imam Besar) tidak
berarti bersifat kategoris, bahwa Imam sendiri dilarang menerima penghargaan ilahi.
Pertimbangan yang lebih luas dari fungsi pakaian Imam Besar terdapat
dalam Keluaran 28-29, yang mengindikasikan bahwa Imam memakai
Nama ilahi justru karena dia adalah sosok yang kelihatan dan
merupakan perwujudan ritual dewa-dewa Israel. Emas dan permata pada
pakaiannya adalah ritual dan mendramatiskan Allah. Pakaiannya
dirancang dengan rancangan Nama (Pencipta) terpampang di tutup kepala
nya karena di tugasnya memainkan peran pencipta dan juru selamat. Louis memang agaknya
ragu-ragu apakah Josephus memberikan kontribusi memadai terkait referensi proskunesis
untuk Nama itu bagi tradisi terdahulu. Namun ia yakin dari bagian lain yang Josephus
berikan mendukung anggapan bahwa Imam Besar menerima pemujaan Alexander sebagai
pemimpin bangsa besar yang memuja Nama ilahi.
C. Penutup
Crispin H.T. Fletcher-Louis agaknya ingin mendeskripsikan sikapnya terhadap Imam
Besar sebagai kunci untuk monoteisme Yahudi. Berfokus pada deskripsi Josefus tentang
pemujaan Alexander Agung terhadap Imam Besar, juga termasuk laporan lainnya yang
paralel, Fletcher-Louis melihat Imam Besar sebagai salah satu oknum manusia yang diterima
Allah. Klaimnya adalah bahwa Imam Besar menempati posisi sentral dalam ritual dan selaku
penghubung TUHAN, karenanya layak dipuja. Klaim Fletcher-Louis "Imam Besar sebagai
kesukaan TUHAN dan karena itu layak dipuja" berdasarkan pada argumen seputar definisi
yang agak rancu tentang ibadah (tampaknya ia memperlakukan setiap tindakan
sebagai ibadah yang tepat) dan pembaca bisa saja diragukan dengan membaca teks-teks yang
dipilihnya, yang secara eksplisit mengidentifikasi Allah sebagai penerima ibadah, bukan
Imam Besar yang konon menyandang citra Allah.
Crispin H.T. Fletcher-Louis sendiri dalam tulisannya agaknya diperhadapkan pada
berbagai keraguan dan spekulasi atas tindakan Alexander Agung yang memuja Imam Besar
Yahudi. Meskipun demikian beliau tetap berupaya memaparkan sumber dan teori yang
mendukung tulisannya. Ia mengambil kesimpulan Imam Besar sebagai kesukaan TUHAN
dan karena itu layak dipuja. Imam Besar dianggap sebagai orang yang disukai (dan
dihormati) Allah. Fletcher-Louis menyarankan contoh atau teladan ibadah Kristen mula-mula,
yakni menyembah Yesus sebagai kesukaan Allah. Tetapi terkait penafsiran Fletcher-Louis,
pembaca bisa saja kesulitan menemukan teladan dan saran menyembah Yesus terkait kisah
pemujaan Alexander kepada Imam Besar.
Di sisi lain, kisah pemujaan Imam Besar yang diklaim Louis dari tulisan Josephsus
bersifat ambigu. Alexander memuja Nama, bukan sfesifik memuja Imam Besar (Ant. 11.
331). Ketika menjawab keheranan dan pertanyaan Parmenion, komandan kedua prasukannya
mengenai tindakannya itu Alexander menjawab ia tidak memuja Imam Besar, tapi yang
TUHAN yang telah menghormati dia dengan keimamannya yang besar (Ant. 11. 333).
sesudah itu Alexander memberikan korban kepada TUHAN (Ant. 11. 336). Dengan demikian
agaknya Imam Besar bukan serta-merta sebagai objek pemujaan, tapi memang dihormati
sehubungan dengan posisinya. Sangat mengherankan memang bahwa ada oknum manusiamanusia yang dianggap pantas menerima penyembahan, mengingat sikap orang Yahudi
terhadap penyembahan benda atau manusia, kecuali Allah sendiri. Ambigu lainnya ialah
beberapa asumsi dan langkah Louis dalam membedakan tindakan antara memuja manusia
dan memuja Allah yang dilayani oleh manusia. Saran Fletcher-Louis bahwa Imam Besar
adalah obyek yang tepat dalam pemujaan Yudaisme tampaknya bisa juga dilebih-lebihkan.
Penulis sadar betul bahwa karena tulisan Louis adalah dalam bahasa Inggris,
kemungkinan bisa saja terjadi kekeliruan menterjemahkan dan menafsirkan maksud, makna
dan nilai seiring proses penterjemahan akibat kekurangan penulis. Berdasarkan asumsi dan
hipotesa, persepsi serta persfektif penulis, bisa juga kemudian tulisan ini merupakan penilaian
sepihak yang sangat subjektif, dimana dapat terjadi legitimasi/ pembenaran atas sudut
pandang penulis. Ditambah lagi jika lebih kepada mengejar target karena tuntutan yang harus
dipenuhi, kemungkinan akan terjadi terjemahan dan tafsir bebas yang membuat kurang
maksimalnya hasil tulisan ini, lebih kepada kuantitas daripada kualitas. Bagaimanapun diatas
semua itu penulis tetap berupaya memberikan tulisan yang terbaik dan maksimal.
Sumbangsih tulisan dan teori Louis patut juga mendapatkan perhatian. Bisa jadi apa
yang telah dipaparkannya merupakan kenyataan tradisi bentuk keagamaan dan penyembahan
Yahudi awal mula yang kemudian berubah seiring perjalanan hidup dan iman mereka.
Sumbangan tersebut memberikan (dan diberikan oleh) bentuk penafsiran yang berbeda yakni
studi exegetis. Barangkali dengan pendekatan studi ini sebagaiman yang diusahakan Louis
sedikit-banyak akan memberikan evaluasi bagi orang Kristen masa kini. Sebab isu yang
dilontarkan oleh Louis seringkali secara sadar atau tidak masih relevan dalam konteks masa
kini, khususnya dalam kekristenan di Kalimantan. Apalagi ketika konteks setempat (budaya
dan kepercayaan lokal dan pengaruh lainnya) jugu turut mempengaruhi dan membentuk
orang Kristen dan penyembahannya. Misalnya dalam kehidupan orang Kristen yang pada
satu sisi menyembah TUHAN namun pada sisi lainnya juga cenderung menyembah
(memuja?) objek atau hal-hal laing yang dianggap layak dipuja.