Anda di halaman 1dari 10

Tugas Final Test Biblika Teologi

Program Studi PASCA SARJANA S2


Dibuat oleh : SAMUEL ANUGRAHHU
N I M : 15.06.028

MEMPERTEMUKAN KEMBALI NASI DAN IKAN


(Suatu Upaya Mengatasi Kerusakan Lingkungan Melewati Tuwe Adat)
A. PENDAHULUAN
Penulis berusaha menguraikan bentuk-bentuk tradisi dalam kebudayaan suku
Dayak Maanyan di mana tradisi itu dilakukan dalam rangka melihat bentuk hubungan
manusia dan lingkungan hidup. Banyak sekali tradisi yang dilakukan oleh suku Dayak
dan penulis mencoba menguraikan salah satunya dan mencoba untuk menggali adakah
nilai-nilai luhur yang dapat diidentifikasikan menurut pemahaman alkitabiah, tradisi
gereja dan perubahan-perubahan sosial yang ada.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kebiasaan dan tradisi Suku
Dayak di Kalimantan Tengah khususnya Dayak Maanyan dalam rangka menjaga
lingkungan alam di tempat mereka berada. Dalam setiap tradisi dan kebudayaan yang
diturunkan nenek moyang memang selalu menyimpan amanat agar kita bisa
melestarikan dan menjaga lingkungan alam kita. Pada dasarnya manusia mempunyai
sikap jadi, sikap dan perilaku seseorang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh
bagaimana pandangan

seseorang terhadap sesuatu itu. Hal tersebut berlaku untuk

banyak hal, termasuk mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungannya.


Manusia memiliki pandangan tertentu terhadap alam, di mana pandangan itu telah
menjadi landasan bagi tindakan dan perilaku manusia terhadap alam dan karena itu juga
bentuk hubungan manusia dengan alam dapat dituangkannya dalam bentuk kebudayaan
dan tradisi turun temurun yang telah nenek moyang jalankan kemudian ajarkan kepada
kita.

B. TRADISI DAN KEBIASAAN SUKU DAYAK DENGAN LINGKUNGAN


HIDUPNYA
Tradisi Tuwe Adat
Dalam tulisan ini penulis berupaya menggali dan mengangkat nilai-nilai budaya
khususnya budaya Dayak Maanyan yang kiranya dapat memperkaya dalam kehidupan
gereja. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah perhatian terhadap lingkungan hidup
khususnya sungai dan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Dalam makalah diuraikan
bentuk-bentuk tradisi dalam kebudayaan suku Dayak Maanyan. Tradisi itu dilakukan
dalam rangka melihat bentuk hubungan manusia dan sesamanya serta dalam
hubungannya dengan makhluk hidup lainnya. Diyakini bahwa di dalam kebudayaan
dijumpai benih-benih sabda yang melaluinya manusia mengenal Allah dan berupaya
melakukan kehendak Allah.
Orang Maanyan mengenal berbagai cara dalam menangkap ikan misalnya
mintan (memancing), malunta (menjala), dan berbagai cara lainnya. Salah satu cara
menangkap ikan secara tradisional yang juga biasa dilakukan adalah dengan cara nuwe
(menggunakan tuba). Tuba adalah tananaman yang akarnya mengandung getah yang
mampu membuat ikan-ikan muncul kepermukaan sungai sehingga menjadi mudah
untuk ditangkap. Penggunaan tuwe ini pada mulanya tidaklah dilakukan secara
sembarangan, melainkan ada aturan-aturan tertentu yang telah disepakati bersama.
Nuwe ini juga tidak dapat dilakukan setiap saat melainkan ada momen atau saat-saat
tertentu saja. Prosesi nuwe tersebut dikenal dengan istilah tuwe adat.
Dalam waktu satu sampai tiga tahun tuwe adat mesti dilakukan. Hal ini didasari
oleh dua pemahaman1: Pertama, bahwa di dalam air sungai berkembang kuman atau
hama penyakit yang mesti dibasmi atau dimatikan. Agar manusia yang mengkonsumsi
dan menggunakan air sungai tersebut tidak mudah terserang wabah penyakit. Kuman
atau hama penyakit yang berada di air sungai tersebut dapat dimatikan dengan
menggunakan getah dari akar pohon tuwe (tuba). Kedua, jika lama tidak di tuwe maka
ikan-ikan yang besar menjadi semakin banyak, maka ikan-ikan besar ini dapat menjadi
pemangsa / predator bagi ikan-ikan kecil. Akibatnya populasi ikan tidak dapat
berkembang dengan baik.
1 Wawancara dengan Tirai Ariansyah (Pangulu Dayak Maanyan), 27 Oktober 2015

Dari dua pemahaman orang Maanyan di atas, terlihat nilai kearifan dan
perhatian terhadap sesama manusia sekaligus juga perhatian terhadap kelangsungan dan
perkembangbiakkan ikan sungai. Dalam kesederhanaan hidup ternyata pemikiran orang
Maanyan sudah jauh berkembang. Mereka bukan hanya semata-mata memikirkan
urusan pemenuhan hidupnya namun juga mampu memikirkan kelangsungan serta
ketersediaan bahan makanan itu untuk masa-masa akan datang. Walaupun kita dapat
menduga bahwa orang Maanyan belum sampai pada pemikiran menempatkan ikanikan sungai sebagai bagian dari sesame manusia yang juga mempunyai hak untuk
menikmati hidup. Tapi setidak-tidaknya telah tersedia dan terbuka pintu masuk untuk
pemahaman yang lebih baik dalam rangka hubungan manusia dengan sesame ciptaan
lainnya.
Proses tuwe adat ini tidak dapat dilakukan dengan sembarangan melainkan
harus melalui tahapan-tahapan dan aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Adapun
beberapa aturan-aturan dan tahapan yang tidak boleh dilanggar adalah sebagai berikut:

Beberapa minggu sebelum prosesi tuwe adat tersebut dilaksanakan, terlebih dahulu
harus diberitahukan kepada penduduk kampung-kampung lain yang berada
disepanjang sungai yang akan dilalui oleh getah tuwe tersebut. Pemberitahuan ini
dengan tujuan agar penduduk yang berada di sepanjang aliran sungai dapat
mengetahui bahwa pada hari yang telah ditetapkan akan ada getah tuwe yang
mengalir sehingga pada hari tersebut tidak mengkonsumsi air sungai yang telah

bercampur getah tuwe.


Bahan yang digunakan harus benar-benar akar dari pohon tuwe (tuba) dan tidak

boleh diganti dengan menggunakan zat-zat kimia lainnya.


Seluruh penduduk bergotong-royong mencari dan mengumpulkan akar tuwe, setelah
terkumpul maka bersama-sama pula mangkung (memukul) akar tuwe sampai menjadi

halus dan mengeluarkan getah.


Prosesi puncak adalah ngamulei melarutkan akar tuwe yang telah dipukul sampai

halus dan mengeluarkan getah, prosesi ini dilaksanakan pada jam 05.00.
Ketika ikan-ikan muncul ke permukaan air semua orang bebas untuk mengambil
masing-masing.
Dengan adanya pelaksanaan tuwe adat ini diharapkan mampu meminimalisir

kerusakan habitat sungai yang disebabkan oleh penangkapan ikan menggunakan racun
kimia atau pestisida. Karena segala sesuatu yang dilakukan di luar kebiasaan atau adat

maka ia dianggap sebagai tindakan tidak beradat dan sepatutnya mendapatkan sangsi
adat.
Sebagai perbandingan, penulis juga melihat dalam budaya suka Dayak
Lawangan mengenai tuwe adat. Ritual nuwe adat biasanya dilakukan tiga minggu
setelah ngotew (panen padi) dimaksudkan memberi korban syukur kepada roh-roh yang
mendiami sungai karena sudah memberikan air bersih untuk kehidupan orang
Lawangan (minum, memasak, mandi dan lainnya). Seluruh penduduk kampung
bersama-sama mencari dan menangkap ikan sepanjang aliran sungai yang kemudian
ikan hasil tangkapan dibagi rata kepada seluruh penduduk kampung yang melaksanakan
nuwe adat tersebut. Makna nuwe adat tersebut adalah mengajak seluruh penduduk
kampung untuk membersihkan aliran sungai tersebut agar alirannya lancar dan bersih
dari sampah sehingga ikan-ikan dapat berkembang biak dengan baik2.
Dari budaya suku Maanyan dan Lawangan di atas terlihat bagaimana mereka
mengusahakan, mengelola alam untuk keperluan hidupnya, sekaligus dengan arif dan
bijaksana menjaga serta memeliharanya. Maka dalam mengelola sumber daya alam
suku Dayak sangat menjaga keseimbangan alam. Sistem pengelolaan juga terpadu:
kawasan hutan adat, tanah pertanian, kebun karet, kebun kopi, tanah pekuburan, tanah
perumahan, dan pekarangan, tempat memelihara ternak, dan sungai-sungai, serta danaudanau untuk kawasan perikanan.3
Suku Dayak sangat menghargai adat dan budayanya bahkan terkadang sangat
jelas terlihat ketaatan dan kepatuhan mereka pada hukum adat dibandingkan hukumhukum atau aturan formal lainnya. Karena itu penulis menawarkan solusi untuk
mengatasi kerusakan ekosistem sungai yang diakibatkan ekploitasi menggunakan racun
kimia dalam pencarian ikan sungai dengan menggunakan kekuatan hukum adat yang
ada. Hukum adat yang ada menjadi suatu alat atau perangkat yang kiranya mampu
meredam tindakan semena-mena terhadap kelestarian ekosistem sungai.
2Abdul Fattah Nahan, Andreas Saputra, Leo Ferry Juli, Getting to Know the Dayaks Lawangan,
Maanyan, Bakumpai and Biaju, (Jakarta: PT Equatorial Bumi Persada, 2014), 21-22.
3Stepanus Djuweng, REALITA SOSIAL BUDAYA BANGSA PRIBUMI DAN MASYARAKAT
ADAT Pengalaman dan Perspektif Suku Bangsa Dayak, Dalam: Kurban Yang Berbau Harum
(65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur), (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan PGI, 1995),
84-85

C. NILAI-NILAI LUHUR DALAM TRADISI DAN KEBUDAYAAN DAYAK


Pada awalnya, ketika agama-agama primitif masih berkembang, manusia
memandang segala sesuatu yang ada di sekitarnya secara religius. Ada proses
pensakralan terhadap lingkungan hidup, sehingga pola yang dikembangkan adalah
subjek-subjek. Dari apa yang telah dipaparkan, kita dapat memahami suatu nilai-nilai
yang dijunjung tinggi masyarakat Dayak yaitu pada umumnya untuk menghargai
lingkungan hidup yang juga berdampak pada lingkungan sosial kita. contohnya pada
acara tuwe adat. Penghargaan akan lingkungan hidup ini pada umumnya dituangkan
dalam bentuk tradisi, adat istiadat kebudayaan masyarakat Dayak. Kebudayaan adalah
cara hidup manusia yang berakar dalam struktur dan pola tertentu yang diturunkan dari
generasi ke generasi.4 Kebudayaan memang datang dari pemikiran dan gagasan dari
dalam diri manusia dituangkan kemudian diwujud nyatakan dalam bentuk yang
dinamakan budaya tersebut.
Manusia adalah pencahari, manusia selalu bertanya-tanya dan mencari tahu akan
ketidak puasannya dan berusaha untuk lebih terus, tapi dalam hal ini tentu manusia
sering mendapati beberapa kegelisahan yang dalam tindak tanduknya didorong oleh
kebutuhan akan kekuasaan dan jika ada suatu ketidak puasan maka ada rasa cenderung
rendah diri.5 Oleh karena ingin lebih dan ingin selalu puas membuat manusia menjadi
mahluk yang maju dan akal budi juga berkehendak bebas. Tapi salah satu sisi manusia
yaitu kehendak bebas ini dapat dipertanyakan kembali apakah kehendak-kehendak
tersebut akan menguntungkan atau justru malah memperburuk dan merugikan manusia
maupun sekitarnya misalnya dalam upacara tuwe adat ini ada suatu peraturan yang
dibuat agar manusia dapat mengontrol kehendaknya yang ingin sesukanya terhadap
orang lain bahkan lingkungan hidup. Maka oleh karena itu, dalam pemikiran sekarang
akan sangat lebih baik jika kita mengingat amanat-amanat para leluhur dan mematuhi
peraturan adat dan tradisi yang telah dijalani secara turun temurun ini. Sebenarnya dari
4 H. Venema,Hidup Baru,(Jakarta:OMF, 2006) 36.
5 Bdk Wilfried Stinissen Karmeijet, Manusia Siapakah Engkau ? (Yogyakarta:Kanisius, 1983)
33.

tradisi-tradisi adat atau amanat para leluhur ini mengandung kearifan lokal yang tidak
dapat kita jumpai pada era modern sekarang ini.
Begitu pula dalam kita menyikapi hubungan kita dengan lingkungan hidup.
Manusia hanya merupakan salah satu lapisan kehidupan yang berlangsung di bumi ini,
dan tidak lebih dari itu. Manusia dapat mempengaruhi lingkungannya, dan sebaliknya,
lingkungan juga pasti mempengaruhi manusia. Kalau lingkungan rusak maka kehidupan
manusia akan terancam, dan pada akhirnya bisa punah oleh karena itu dibuatlah
berbagai peraturan yanga mengontrol kita bersikap menghargai orang lain dan menjaga
lingkungan kita sekitar. Permasalahan yang dihadapi manusia sekarang yaitu krisis yang
mengancam lebih banyak orang adalah krisis lingkungan hidup. Secara umum, krisis
lingkungan hidup didorong oleh dua hal berikut ini, diantaranya Pertambahan penduduk
yang begitu pesat yang menuntut pemenuhan kebutuhan yang tak terbatas (bahan
makanan, bahan bakar, energi, dsb) dan Kemajuan di pelbagai bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) yang berdampak

buruk

bagi lingkungan. Jika kita bisa

menghargai dan mengerti juga akan adanya kearifan lokal yang kita dapat dari tradisi
dan budaya kita maka tidak menutup kemungkinan adanya penanggulangan akan krisis
lingkungan hidup pada masa sekarang. Amanat leluhur juga tertuang dalam kebudayaan
kita akan sangat lebih baik lagi jika kita bisa menjaga dan menjalankan amanat itu
dengan lebih baik dan mempunyai kesadaran tinggi untuk melestarikan lingkungan kita.
D. RUMUSAN TEOLOGI
Kejadian 1 11 menceritakan hubungan ilahi dengan dunia bermula dari maksud awal
Tuhan untuk menciptakan alam semesta, bukan hanya untuk bangsa Israel. 6 Demikian
pula hubungan antar sesama manusia juga dapat berlangsung dengan baik. Manusia
tidak hanya memikirkan dirinya dan kepentingan pemenuhan hidupnya saja tapi juga
sesamanya. Di tengah jaman di mana manusia semakin serakah dan egois, semangat
kasih, kebersamaan dan gotong royong mestinya semakin ditingkatkan lagi. Gereja
mesti sadar dalam keadaan seperti inilah gereja sekarang ada dan bertumbuh. Gereja
akan semakin ditinggalkan jika ia tidak dapat lagi berlari dan selalu tertinggal dalam

6William Chang, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 48.

menghadapi serta menyikapi pergumulan manusia dan isu-isu kontemporer yang


berkembang.

Kejadian 1 : 28 :
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranak
cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi

Teks tersebut di atas sering dianggap sebagai sebagai sumber yang mengilhami
dan mendorong sikap dan perlakuan eksploitatif dan destruktif terhadap alam. 7
Seharusnya perintah atau mandat tersebut dipahami dalam terang Roh Kudus, yaitu
manusia sebagai gambar Allah mesti mengusahakan kesejahteraan hidupnya melalui
mengelola alam dan isinya serta sekaligus menjaga keharmonisan dan keseimbangan
alam. Manusia dipanggil untuk berkuasa namun penguasaan itu mesti dalam kerangka
kepatuhan terhadap peraturan Allah, karena itu manusia mesti taat dan setia akan
perintah tersebut. Dengan demikian manusia harus menghormati dan mengasihi ciptaan
Allah yang dipercayakan kepadanya.
Manusia bukan penguasa tertinggi walaupun Allah mempercayakan kekuasaan padanya.
Manusia bukan Allah melainkan ciptaan Allah, manusia bukan pemilik alam melainkan
penggarap, yang menggarap atas nama pemilik yaitu Allah.8 Dalam menjalani hidupnya
di dunia ini, manusia mesti memiliki rasa tanggung jawab yang besar serta kesadaran
yang penuh akan kelangsungan dirinya dan seluruh ciptaan Allah. Banyak manusia yang
tidak beriman memandang bahwa manusia adalah satu-satunya sumber makna dan nilai
dalam alam semesta. Ciptaan non manusia dipandang sebagai mkhluk hidup yang tidak
berdaya pikir dan tidak bernilai dalam dirinya. Pandangan ini menyebabkan perlakuan

7Robert P. Borong, ARTI DAN TUJUAN MANDAT MEMENUHI DAN MENGUASAI ALAM
Dalam: Kurban Yang Berbau Harum (65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur), (Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan PGI, 1995), 485
8 Ibid, 497

terhadap alam tanpa belas kasihan, tanpa batas dan tanpa penghargaan kepada ciptaan
non manusiawi.9
Gereja (orang percaya) memang tidak serta merta dapat merubah dunia yang sudah
rusak menjadi atau memulihkan lingkungan yang tercemar. Akan tetapi setidak-tidaknya
gereja dapat menumbuhkan harapan, menjadi teladan, bahkan membuka kesempatan
bagi setiap orang untuk dapat melihat realitas kehadiran Allah dalam diri setiap orang
percaya yang mampu menjadi alat damai sejahtera di dunia ini.
E. PENUTUP
Dari pemahaman tentang lingkungan hidup yang ada, kita diingatkan bahwa
lingkungan hidup adalah bagian dari kita dan kita adalah bagian dari lingkungan hidup;
dan keduanya saling berinteraksi dalam sebuah ekosistem. Pada zaman Dahulu ini
sangat disadari oleh nenek moyang bahkan para leluhur kita dalam kebudayaan dan
tiap-tiap tradisi baik itu secara adat istiadat dan dikaitkan dalam aspek religius. Tapi
coba kita bayangkan, pada masa sekarang ini banyak sekali kerusakan lingkungan yang
terjadi dan semua tuduhan menuju pada keserakahan manusia dalam pemanfaatan bumi.
Dari dulu amanat leluhur selalu berpesan agar menjaga dengan baik-baik lingkungan
hidup kita tapi sekarang kesadaran akan lingkungan berkurang sehingga manusia pun
juga tidak menyadari akan interaksinya dengan lingkungan hidup padahal manusia itu
merupakan bagian dari hal itu. Kita semua sebagai orang Kristen yang hidup saat ini,
sebenarnya memiliki peran sebagai penatalayan bersama penatalayan yang lainnya di
dunia yang juga di mana Allah adalah Sang Kepala dan Pemilik. Oleh karena itu,
sebagai penatalayan, maka kita sebenarnya tidak berhak sepenuh-penuhnya atas ciptaan
Allah yang lain, dalam hal ini lingkungan hidup dan isinya. Dalam tugas tersebut, kita
harus sesuai dengan perencanaan Allah. Kita mempunyai tanggung jawab dan
kewajiban untuk berbagi tempat dan hasil bumi dengan sesama kita dan juga dengan
generasi yang akan datang di rumah kita.

9 Prapatriotis H. Oedoy, KEPEDULIAN GEREJA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN


HIDUP Dalam: Mengasihi Tuhan & Sesama Ciptaan (Tulisan-Tulisan Dalam Rangka 75 Tahun
STT-GKE Banjarmasin), (Banjarmasin: Unit Publikasi STT-GKE Banjarmasin, 2008), 8.

DAFTAR PUSTAKA
DR.Tommatala, Teologi Kontekstualisasi, (Jawa Timur :Gandum Mas, 2001)

Djuweng

Stepanus,

REALITA SOSIAL

BUDAYA BANGSA

PRIBUMI

DAN

MASYARAKAT ADAT Pengalaman dan Perspektif Suku Bangsa Dayak, Dalam: Kurban
Yang Berbau Harum (65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur), (Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan PGI, 1995)
Emmanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks(Yogyakarta:Universitas Sanata
Dharma, 1997)

Venema,H., Hidup Baru,(Jakarta:OMF, 2006)


Juli Ferry Leo, Saputra Andreas, Nahan Fattah Abdul, Getting to Know the Dayaks
Lawangan, Maanyan, Bakumpai and Biaju, (Jakarta: PT Equatorial Bumi Persada,
2014)
9

Karmeijet,Wilfried,Stinissen,Manusia Siapakah Engkau ? (Yogyakarta:Kanisius, 1983)


Oedoy Prapatriotis H., KEPEDULIAN GEREJA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP Dalam: Mengasihi Tuhan & Sesama Ciptaan (Tulisan-Tulisan Dalam Rangka 75 Tahun
STT-GKE Banjarmasin), (Banjarmasin: Unit Publikasi STT-GKE Banjarmasin, 2008)

10

Anda mungkin juga menyukai