Dari dua pemahaman orang Maanyan di atas, terlihat nilai kearifan dan
perhatian terhadap sesama manusia sekaligus juga perhatian terhadap kelangsungan dan
perkembangbiakkan ikan sungai. Dalam kesederhanaan hidup ternyata pemikiran orang
Maanyan sudah jauh berkembang. Mereka bukan hanya semata-mata memikirkan
urusan pemenuhan hidupnya namun juga mampu memikirkan kelangsungan serta
ketersediaan bahan makanan itu untuk masa-masa akan datang. Walaupun kita dapat
menduga bahwa orang Maanyan belum sampai pada pemikiran menempatkan ikanikan sungai sebagai bagian dari sesame manusia yang juga mempunyai hak untuk
menikmati hidup. Tapi setidak-tidaknya telah tersedia dan terbuka pintu masuk untuk
pemahaman yang lebih baik dalam rangka hubungan manusia dengan sesame ciptaan
lainnya.
Proses tuwe adat ini tidak dapat dilakukan dengan sembarangan melainkan
harus melalui tahapan-tahapan dan aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Adapun
beberapa aturan-aturan dan tahapan yang tidak boleh dilanggar adalah sebagai berikut:
Beberapa minggu sebelum prosesi tuwe adat tersebut dilaksanakan, terlebih dahulu
harus diberitahukan kepada penduduk kampung-kampung lain yang berada
disepanjang sungai yang akan dilalui oleh getah tuwe tersebut. Pemberitahuan ini
dengan tujuan agar penduduk yang berada di sepanjang aliran sungai dapat
mengetahui bahwa pada hari yang telah ditetapkan akan ada getah tuwe yang
mengalir sehingga pada hari tersebut tidak mengkonsumsi air sungai yang telah
halus dan mengeluarkan getah, prosesi ini dilaksanakan pada jam 05.00.
Ketika ikan-ikan muncul ke permukaan air semua orang bebas untuk mengambil
masing-masing.
Dengan adanya pelaksanaan tuwe adat ini diharapkan mampu meminimalisir
kerusakan habitat sungai yang disebabkan oleh penangkapan ikan menggunakan racun
kimia atau pestisida. Karena segala sesuatu yang dilakukan di luar kebiasaan atau adat
maka ia dianggap sebagai tindakan tidak beradat dan sepatutnya mendapatkan sangsi
adat.
Sebagai perbandingan, penulis juga melihat dalam budaya suka Dayak
Lawangan mengenai tuwe adat. Ritual nuwe adat biasanya dilakukan tiga minggu
setelah ngotew (panen padi) dimaksudkan memberi korban syukur kepada roh-roh yang
mendiami sungai karena sudah memberikan air bersih untuk kehidupan orang
Lawangan (minum, memasak, mandi dan lainnya). Seluruh penduduk kampung
bersama-sama mencari dan menangkap ikan sepanjang aliran sungai yang kemudian
ikan hasil tangkapan dibagi rata kepada seluruh penduduk kampung yang melaksanakan
nuwe adat tersebut. Makna nuwe adat tersebut adalah mengajak seluruh penduduk
kampung untuk membersihkan aliran sungai tersebut agar alirannya lancar dan bersih
dari sampah sehingga ikan-ikan dapat berkembang biak dengan baik2.
Dari budaya suku Maanyan dan Lawangan di atas terlihat bagaimana mereka
mengusahakan, mengelola alam untuk keperluan hidupnya, sekaligus dengan arif dan
bijaksana menjaga serta memeliharanya. Maka dalam mengelola sumber daya alam
suku Dayak sangat menjaga keseimbangan alam. Sistem pengelolaan juga terpadu:
kawasan hutan adat, tanah pertanian, kebun karet, kebun kopi, tanah pekuburan, tanah
perumahan, dan pekarangan, tempat memelihara ternak, dan sungai-sungai, serta danaudanau untuk kawasan perikanan.3
Suku Dayak sangat menghargai adat dan budayanya bahkan terkadang sangat
jelas terlihat ketaatan dan kepatuhan mereka pada hukum adat dibandingkan hukumhukum atau aturan formal lainnya. Karena itu penulis menawarkan solusi untuk
mengatasi kerusakan ekosistem sungai yang diakibatkan ekploitasi menggunakan racun
kimia dalam pencarian ikan sungai dengan menggunakan kekuatan hukum adat yang
ada. Hukum adat yang ada menjadi suatu alat atau perangkat yang kiranya mampu
meredam tindakan semena-mena terhadap kelestarian ekosistem sungai.
2Abdul Fattah Nahan, Andreas Saputra, Leo Ferry Juli, Getting to Know the Dayaks Lawangan,
Maanyan, Bakumpai and Biaju, (Jakarta: PT Equatorial Bumi Persada, 2014), 21-22.
3Stepanus Djuweng, REALITA SOSIAL BUDAYA BANGSA PRIBUMI DAN MASYARAKAT
ADAT Pengalaman dan Perspektif Suku Bangsa Dayak, Dalam: Kurban Yang Berbau Harum
(65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur), (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan PGI, 1995),
84-85
tradisi-tradisi adat atau amanat para leluhur ini mengandung kearifan lokal yang tidak
dapat kita jumpai pada era modern sekarang ini.
Begitu pula dalam kita menyikapi hubungan kita dengan lingkungan hidup.
Manusia hanya merupakan salah satu lapisan kehidupan yang berlangsung di bumi ini,
dan tidak lebih dari itu. Manusia dapat mempengaruhi lingkungannya, dan sebaliknya,
lingkungan juga pasti mempengaruhi manusia. Kalau lingkungan rusak maka kehidupan
manusia akan terancam, dan pada akhirnya bisa punah oleh karena itu dibuatlah
berbagai peraturan yanga mengontrol kita bersikap menghargai orang lain dan menjaga
lingkungan kita sekitar. Permasalahan yang dihadapi manusia sekarang yaitu krisis yang
mengancam lebih banyak orang adalah krisis lingkungan hidup. Secara umum, krisis
lingkungan hidup didorong oleh dua hal berikut ini, diantaranya Pertambahan penduduk
yang begitu pesat yang menuntut pemenuhan kebutuhan yang tak terbatas (bahan
makanan, bahan bakar, energi, dsb) dan Kemajuan di pelbagai bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) yang berdampak
buruk
menghargai dan mengerti juga akan adanya kearifan lokal yang kita dapat dari tradisi
dan budaya kita maka tidak menutup kemungkinan adanya penanggulangan akan krisis
lingkungan hidup pada masa sekarang. Amanat leluhur juga tertuang dalam kebudayaan
kita akan sangat lebih baik lagi jika kita bisa menjaga dan menjalankan amanat itu
dengan lebih baik dan mempunyai kesadaran tinggi untuk melestarikan lingkungan kita.
D. RUMUSAN TEOLOGI
Kejadian 1 11 menceritakan hubungan ilahi dengan dunia bermula dari maksud awal
Tuhan untuk menciptakan alam semesta, bukan hanya untuk bangsa Israel. 6 Demikian
pula hubungan antar sesama manusia juga dapat berlangsung dengan baik. Manusia
tidak hanya memikirkan dirinya dan kepentingan pemenuhan hidupnya saja tapi juga
sesamanya. Di tengah jaman di mana manusia semakin serakah dan egois, semangat
kasih, kebersamaan dan gotong royong mestinya semakin ditingkatkan lagi. Gereja
mesti sadar dalam keadaan seperti inilah gereja sekarang ada dan bertumbuh. Gereja
akan semakin ditinggalkan jika ia tidak dapat lagi berlari dan selalu tertinggal dalam
Kejadian 1 : 28 :
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranak
cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi
Teks tersebut di atas sering dianggap sebagai sebagai sumber yang mengilhami
dan mendorong sikap dan perlakuan eksploitatif dan destruktif terhadap alam. 7
Seharusnya perintah atau mandat tersebut dipahami dalam terang Roh Kudus, yaitu
manusia sebagai gambar Allah mesti mengusahakan kesejahteraan hidupnya melalui
mengelola alam dan isinya serta sekaligus menjaga keharmonisan dan keseimbangan
alam. Manusia dipanggil untuk berkuasa namun penguasaan itu mesti dalam kerangka
kepatuhan terhadap peraturan Allah, karena itu manusia mesti taat dan setia akan
perintah tersebut. Dengan demikian manusia harus menghormati dan mengasihi ciptaan
Allah yang dipercayakan kepadanya.
Manusia bukan penguasa tertinggi walaupun Allah mempercayakan kekuasaan padanya.
Manusia bukan Allah melainkan ciptaan Allah, manusia bukan pemilik alam melainkan
penggarap, yang menggarap atas nama pemilik yaitu Allah.8 Dalam menjalani hidupnya
di dunia ini, manusia mesti memiliki rasa tanggung jawab yang besar serta kesadaran
yang penuh akan kelangsungan dirinya dan seluruh ciptaan Allah. Banyak manusia yang
tidak beriman memandang bahwa manusia adalah satu-satunya sumber makna dan nilai
dalam alam semesta. Ciptaan non manusia dipandang sebagai mkhluk hidup yang tidak
berdaya pikir dan tidak bernilai dalam dirinya. Pandangan ini menyebabkan perlakuan
7Robert P. Borong, ARTI DAN TUJUAN MANDAT MEMENUHI DAN MENGUASAI ALAM
Dalam: Kurban Yang Berbau Harum (65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur), (Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan PGI, 1995), 485
8 Ibid, 497
terhadap alam tanpa belas kasihan, tanpa batas dan tanpa penghargaan kepada ciptaan
non manusiawi.9
Gereja (orang percaya) memang tidak serta merta dapat merubah dunia yang sudah
rusak menjadi atau memulihkan lingkungan yang tercemar. Akan tetapi setidak-tidaknya
gereja dapat menumbuhkan harapan, menjadi teladan, bahkan membuka kesempatan
bagi setiap orang untuk dapat melihat realitas kehadiran Allah dalam diri setiap orang
percaya yang mampu menjadi alat damai sejahtera di dunia ini.
E. PENUTUP
Dari pemahaman tentang lingkungan hidup yang ada, kita diingatkan bahwa
lingkungan hidup adalah bagian dari kita dan kita adalah bagian dari lingkungan hidup;
dan keduanya saling berinteraksi dalam sebuah ekosistem. Pada zaman Dahulu ini
sangat disadari oleh nenek moyang bahkan para leluhur kita dalam kebudayaan dan
tiap-tiap tradisi baik itu secara adat istiadat dan dikaitkan dalam aspek religius. Tapi
coba kita bayangkan, pada masa sekarang ini banyak sekali kerusakan lingkungan yang
terjadi dan semua tuduhan menuju pada keserakahan manusia dalam pemanfaatan bumi.
Dari dulu amanat leluhur selalu berpesan agar menjaga dengan baik-baik lingkungan
hidup kita tapi sekarang kesadaran akan lingkungan berkurang sehingga manusia pun
juga tidak menyadari akan interaksinya dengan lingkungan hidup padahal manusia itu
merupakan bagian dari hal itu. Kita semua sebagai orang Kristen yang hidup saat ini,
sebenarnya memiliki peran sebagai penatalayan bersama penatalayan yang lainnya di
dunia yang juga di mana Allah adalah Sang Kepala dan Pemilik. Oleh karena itu,
sebagai penatalayan, maka kita sebenarnya tidak berhak sepenuh-penuhnya atas ciptaan
Allah yang lain, dalam hal ini lingkungan hidup dan isinya. Dalam tugas tersebut, kita
harus sesuai dengan perencanaan Allah. Kita mempunyai tanggung jawab dan
kewajiban untuk berbagi tempat dan hasil bumi dengan sesama kita dan juga dengan
generasi yang akan datang di rumah kita.
DAFTAR PUSTAKA
DR.Tommatala, Teologi Kontekstualisasi, (Jawa Timur :Gandum Mas, 2001)
Djuweng
Stepanus,
REALITA SOSIAL
BUDAYA BANGSA
PRIBUMI
DAN
MASYARAKAT ADAT Pengalaman dan Perspektif Suku Bangsa Dayak, Dalam: Kurban
Yang Berbau Harum (65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur), (Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan PGI, 1995)
Emmanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks(Yogyakarta:Universitas Sanata
Dharma, 1997)
10