Anda di halaman 1dari 44

Deanisya.

MOTTO

Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan


matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-
tama menyerahkan diri (kepada Allah).”

(Qs. al-An’aam: 162-163).

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti


Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.”

(QS. Al Maidah: 72).

“Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali atas izin Allah, dan
barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. At-Taghabun: 11)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama terahir yang diwahyukan Allah
kepada Nabi Muhammad saw. Ajaran Isam sangat mulia dan mengatur
segala sendi kehidupan. Islam memerintahkan umat manusia untuk hanya
menyembah Allah; “Tiada Tuhan selain Allah”.

Banyak tradisi buruk bangsa arab yang diharamkan dan dihapus oleh
Islam, di antaranya adalah tradisi menyembah berhala dan
diperintahkan hanya untuk menyembah Allah semata. Tradisi
mensekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, satu
sisi ia percaya kepada Allah sebagai Tuhan, namun di sisi lain
membuat ritual keagamaan yang bertentangan dengan ketundukan dan
pengakuan mutlak kepada Allah

M. Alie Humaedi, Profesor Riset bidang Kebudayaan dari Badan


Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan pelaku ritual sulit
lepas dari apa yang ia sebut "kesemestaan".

"Sedekah Laut, Nadranan, itu ritual yang seperti syarat ke gunung.


Jadi, saya kira kejadian seperti ini akan terus ada, ketika memang
masyarakat memiliki keyakinan atas ritual-ritual seperti itu. Itu sudah
masuk ke dalam praktik kehidupan kepercayaan mereka," kata Prof
Alie.

Prof Alie juga mengungkapkan adanya keyakinan dari pelaku ritual


ketika menghadapi tantangan alam semakin besar, maka ia semakin
merasa "sakti".

"Ada ombak berarti harus masuk ke dalam ombak. Ada gunung saya
harus menjelajahi gunung. Ada di dalam hutan belantara dan
sebagainya. Itu secara manusia dan teori antropologi itu sudah sangat
kental masalah ini," tambah Prof Alie.

Saat ritual tersebut berlangsung, terdapat "nilai yang mereka yakini"


adanya "transmisi kekuatan semesta yang lain ke dalam diri mereka."

Namun, menurut Prof Alie, siapa pun, termasuk negara tak boleh
mencampuri kepercayaan ini, karena merupakan "ranah yang
istimewa".

Untuk itu, ritual seperti ini perlu dipertimbangkan dengan


keselamatan jiwa dengan diimbangi kemampuan pelakunya untuk
membaca cuaca, ungkap Prof Heru.

Oleh karena itu alasan peneliti memilih judul


“Komunikasi Aparat Desa Dalam Meberikan Pemahaman Bahaya
Ritual Laut Payangan” karena Laut Selatan sedang ramai
diperbincangkan yaitu karena adanya Ritual Laut yang diadakan
sekelompok orang di Pantai Payangan, Jember.
Diketahui, 23 orang terseret ombak saat menggelar ritual di Pantai
Payangan, Watu Ulo, Kabupaten Jember, Minggu (13/2/2022) dinihari.
Sedikitnya 11 orang tewas dalam ritual maut tersebut. Mereka tenggelam
setelah terseret ombak besar. Sedangkan 12 lainnya selamat.

Peristiwa ini bukanlah yang pertama, karena terdapat ritual-ritual


kepercayaan di pantai yang menyebabkan korban jiwa.
Para ilmuan mengatakan ritual kepercayaan di pantai akan tetap ada dan
harus dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal, tetapi perlu upaya
mitigasi agar ke depannya "tidak perlu sampai menghilangkan nyawa".

Peristiwa ritual di pantai yang menelan korban jiwa bukan sekali terjadi.
Berdasarkan pemberitaan sejumlah media terdapat peristiwa serupa di
daerah lain ,yaitu:
Terakhir adalah kasus ibu dan anak yang terseret ombak saat melakukan
Melukat di Pantai Biaung, Bali, pada Mei 2021. Melukat adalah upacara
pembersihan pikiran dan jiwa dalam diri manusia.

Sebelumnya pada 2018 di Bali, tepatnya di Pantai Klotok diberitakan dua


orang meninggal setelah melakukan menghanturkan sesaji wewantenan

Guru Piduka. Pada 2017, tiga warga pengunjung meninggal tersapu


ombak di Pantai Wotgalih, Jawa Timur saat merayakan kupatan.

Dan, tiga orang meninggal terseret ombak di Pantai Paseban, Jawa Timur
saat melakukan ritual penyembuhan penyakit 2018 silam.

Berdasarkan apa yang dipaparkan diatas, penulis tertarik untuk meneliti dengan
judul: “Komunikasi Aparat Desa Dalam Memberikan Pemahaman Bahaya
Ritual Laut Payangan , maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana komunikasi Aparat Desa dengan kepada masyarakat
dalam memberikan pemahaman bahaya ritual Laut Payangan
2. Bagaimana reaksi masyarakat setelah terjadinya ritual laut yang
menewaskan banyak orang ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana sikap Aparat Desa dalam menanggapi
Bahaya Ritual Laut Payangan
2. Mengetahui cara yang dilakukan masyarakat guna mematuhi
larangan ritual laut yang menewaskan banyak orang.
1.4 Manfaat Penelitian

Secara umum, penelitian ini mendeskripsikan peristiwa


komunikasi yang terdapat pada tradisi Ritual Laut. Deskripsi
tentang penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis ataupun praktis.
1. Manfaat teoritis
Adapun harapan manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Kajian ini merupakan kajian etnografi komunikasi yang bersifat
interdisipliner, sehingga penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan untuk mengembangkan kajian etnografi
komunikasi.
b. Kajian ini diharapkan dapat menjadi referensi peneliti
selanjutnya tentang budaya atau tradisi yang memiliki peristiwa
komunikasi dan pola komunikasi tertentu yang menjadi ciri khas
sebuah tradisi suatu masyarakat tertentu. Khususnya Desa
Ambulu,Kabupaten Jember, Jawa Timur.

2. Manfaat praktis
Manfaat praktis penelitian ini antara lain sebagai berikut:
a. Sebegai referensi masyarakat luas untuk lebih memahami
tentang
persitiwa komunikasi yang terjadi pada sebuah tradisi dan makna
komunikasi yang terdapat pada tradisi tertentu.
b. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi
pemerhati kebudayaan yang kemudian dapat dijadikan sebagai
cara.
untuk pemahaman kepada masyarakat dampak yang terjadi terkait
adanya tradisi ritual laut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Penelitian Terdahulu
Dalam melakukan penelitia penulis harus mencari reverensi untuk mencari
data ataupun teori sehingga bisa mempermudah penulis untuk melakukan
penelitian dalam ini penulis juga menerapkan penelitian terdahulu untuk
menjadi panutan atau untuk sebagai patokan dalam penelitian, dalam hal ini
penulis menerapkan penelitian terdahulu bukan dengan judul yang sama
tetapi dengan konsep yang saling berkaitan dengan judul yang dibuat oleh
penulis ada beberapa jurnal yang diambil oleh penulis diantara nya.

1) Implementasi Komunikasi Lingkungan Melalui Ritual Hajat Laut Di


Kabupaten Pangandaran
(Iriana Bakti, Susie Perbawasari, Kokom Komariah,2019)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan nelayan mengikuti hajat


laut, makna hajat laut menurut nelayan, dan perilaku komunikasi nelayan
ketika melaksanakan hajat laut. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif, teknik pengumpulan data dengan wawancara
dan studi literatur dari dokumen dan buku yang relevan dengan masalah
yang diteliti. Hasil penelitian, alasan informan mengikuti hajat laut adalah
karena tradisi turun-temurun, untuk melestarikan kebudayaan, dan untuk
mencari berkah. Makna hajat laut menurut informan sebagai rasa syukur
kepada Tuhan, permohonan keselamatan kepada Tuhan, dan silaturahmi.
Perilaku komunikasi yang dilakukan nelayan dalam hajat laut merupakan
komunikasi ritual, yang bersifat verbal dan nonverbal yang berlangsung
secara dialogis melalui rapat (urun rembug) dengan para tokoh masyarakat.
Perilaku komunikasi verbal berupa pembacaan ayat suci, pembacaan doa
dan mantra, perilaku komunikasi nonverbal berupa penggunaan pakaian
adat, larung sesaji, berpartisipasi dalam setiap tahapan kegiatan. Hajat laut
merupakan implementasi komunikasi lingkungan yang dilandasi oleh
penghormatan kepada tradisi nenek moyang untuk melestarikan budaya
lokal yang sarat dengan makna syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan keberkahkan rizki dan wujud silaturahim antar nelayan.

2) Nilai-Nilai Dan Makna Simbolik Tradisi Sedekah Laut Di Desa


Tratebang Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan
(Adisty Noor Isnaeni Fakultas Ilmu Budaya, 2020)

Desa Tratebang, Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan merupakan salah


satu wilayah pesisir di pulau Jawa yang masih kental dengan tradisi sedekah laut.
Tradisi yang diselenggarakan setiap bulan Suro (Penanggalan Jawa) ini merupakan
bentuk dari ungkapan rasa syukur serta permohonan agar senantiasa diberikan
keselamatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai, dan makna
simbolik yang terdapat pada serangkaian prosesi sedekah laut yang hidup dalam
lingkungan masyarakat desa Tratebang. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan jenis data deskriptif.

3) Kontestasi Pro Dan Kontra Ritual Petik Laut Pada Masyarakat


Nelayan Puger Jember

(Dewi Nurul Qomariyah, Ahmad Badrus Sholihin 2019)

Upacara petik laut merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
nelayan Puger, dengan latar belakang suku, agama dan budaya yang beragam,
membuat masyarakat memiliki pandangan tersendiri dalam melakukan kegiatan
tersebut yang masyarakatnya berasal dari suku Jawa, Madura, Mandarin, dan juga
Tionghoa. petik laut adalah upacara ritual yang dilakukan masyarakat nelayan
puger untuk mengungkapkan rasa syukur mereka atas kebaikan, hasil laut, berlayar
menuju keselamatan di sisi Tuhan dan dilakukan setiap bulan os Suroor muharram
setiap tahun.
Tujuan dari upacara petik laut di puger adalah mereka berharap akan mendapatkan
banyak ikan, keselamatan saat mereka memancing dan berlayar. Ada beberapa
kontradiksi antara mayoritas nelayan dan pemuka agama atau ulama yang
berhubungan dengan upacara petik laut. Sebagian besar pemuka agama tidak setuju
dengan upacara petik laut karena kepercayaan nelayan bahwa mereka akan
mendapatkan banyak ikan ketika upacara petik laut dilakukan. Ini tentang percaya
bahwa hanya Allah yang memberi kita keselamatan dan rezeki atau harta (ikan).

Sebagian besar masyarakat nelayan percaya bahwa upacara petik laut sebagai agen
untuk keselamatan dan tentang rezeki. Berbeda dengan kebanyakan pemuka agama
atau ulama yang menganggap upacara petik laut adalah syirik (syirik) dalam agama
Islam. Pemikiran yang kontras antara masyarakat nelayan dan pemuka agama
tentang upacara petik laut tidak akan menjadi konflik karena kesadaran mereka
untuk berinteraksi sosial yang baik. Gotong royong dan kebersamaan masih hidup
dalam komunitas mereka di Puger Jember.

2.2 Kajian Teori

Bagian ini berisi tentang pembahasan teori yang dijadikan sebagai perspektif
dalam melakukan penelitian. Pembahasan teori secara lebih luas dan mendalam
akan semakin memperdalam wawasan peneliti dalam mengkaji permasalahan yang
hendak dipecahkan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Berbeda
dengan penelitian kuantitatif, posisi teori dalam penelitian kualitatif diletakan
sebagai perspektif bukan untuk diuji.

1. Kajian Teori Pembentukan Karakter

a. Pengertian Karakter

Istilah karakter dalam bahasa Yunani dan Latin, character

berasal dari kata charassein yang artinya “mengukir corak yang tetap dan tidak
terhapuskan”.

Watak atau karakter merupakan perpaduan dari segala tabiat manusia yang bersifat
tetap sehingga menjadi tanda khusus untuk membedakan orang yang satu dengan
yang lain. Sedangkan karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, yang membedakan seseorang dari
yang lain

Menurut wyne yang dikutip oleh E. Mulyasa mengemukakan bahwa karakter


berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark”

Menandai dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan


dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan


Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Dari beberapa uraian tersebut dapatlah dinyatakan bahwasannya karakter ialah jati
diri yang melekat pada individu dengan menunjukkan nilai-nilai perilaku tertentu
yang membedakan antara individu yang satu dengan yang lainnya.

b. Dasar-dasar Pembentukan Karakter

Pada hakikatnya, sesuatu yang menjadi dasar penerapan

pendidikan karakter di Indonesia adalah pancasila dan pembukaan UUD 45.


Menurut Dedy Ritonga, untuk mendukung perwujudan cita- cita pembangunan
karakter sebagaimana diamatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta
mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan
pembangunan karakter sebagai salah satu program proritas pembangunan nasional.
Semangat itu telah ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di masa pendidikan karakter ditempatkan

sebagai landasan untuk mewujudkan visi pemnagunan nasional, yaitu


“mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila.

c. Nilai-nilai Karakter

Pendidikan dewasa ini dituntut untuk dapat merubah peserta

didik kearah yang lebih baik. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional
telah merumuskan 18 nilai karakter yang akan ditanamkan dalam diri peserta didik
sebagai upaya dalam membangun karakter bangsa. Berikut 18 nilai karakter versi
Kementerian Pendidikan Nasional diantaranya adalah: religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratif, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan atau nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, komikatif,
cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab.

Landasan Teori

BAB II LANDASAN TEORI

Sebelum melangkah lebih jauh membahas mengenai Ritual Laut yang dilakukan
Pantai Selatan yaitu , perlu dipahami beberapa pengertian yang berkaitan dengan
penelitian yang akan dilakukan, antara lain sebagai brikut:

1. Ritual

a. Pengertian Ritual

Ritual merupakan teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi
suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama,
karena ritual merupakan agama dalam tindakan.1 Ritual bisa pribadi atau
berkelompok, serta membentuk disposisi pribadi dari pelaku ritual sesuai dengan
adat dan budaya masing-masing. Sebagai kata sifat, ritual adalah dari segala yang
dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti upacara
kelahiran, kematian, pernikahan dan juga ritual sehari-hari untuk menunjukan diri
kepada kesakralan suatu menuntut diperlakukan secara khusus.

Menurut Susane Longer, yang dikutip oleh Mariasusai Dhavarnony

mengatakan bahwa ritual adalah sesuatu ungkapan yang lebih bersifat logis dari
pada yang bersifat psikologis, ritual memperlihatkan tatanan atas simbul-simbul
yang diobjekkan, simbul- simbul ini memperlihatkan perilaku dan peranan serta
bentuk pribadi para pemuja dan mengikuti mengikuti masing-masing.

Menurut Mercea Eliade, sebagaimana dikutip oleh Mariasusai Dhavamory,


menyatakan bahwa “ritual adalah sesuatu yang mengakibatkan suatu perubahan
ontologis pada manusia dan mentransformasikannya pada situasi keberadaan yang
baru, misalnya; penempatan-penempatan pada lingkup yang kudus”. Dalam makna
religiusnya, ritual merupakan gambaran yang suci dari pergulatan tingkat dan
tindakan, ritual mengingatkan peristiwa-peristiwa primordial dan juga memelihara
serta menyalur pada masyarakat, para pelaku menjadi setara dengan masa lampau
yang suci dan melanggengkan tradisi suci serta memperbaharui fungsi-fungsi
hidup anggota kelompok tersebut.

Ritual dibedakan menjadi empat macam, yaitu :5

a. Tindakan magis, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan

yang bekerja karena daya-daya mistis.

b. Tindaka religius, kultur para leluhur juga bekerja dengan cara ini.

c. Ritual konstitutif, yang mengugkapkan atau mengubah hubungan

sosial dengan merujuk pada pengertian mistis, dengan cara ini upacara-

upacara kehidupan menjadi khas.

d. Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuata pemurnian dan


perlindungan atau dengan cara meningkatkan kesejahteraan materi suatu
kelompok.

Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa terdapat karakter dari pengalaman para
peserta dalam upacara ritual yang meliputi takut dan tertarik, negatif dan positif,
sikap tabu dan sikap preservasi serta proteksi.
b. Macam-macam Ritual

Sesuai dengan kebutuhan individu dalam memperkokoh keimanan dan mempererat


hubungan dengan Yang Maha Kuasa dalam kehidupan manusia, terbentuk
beberapa macam ritual diantaranya:

1. Ritual Suku-Suku Primitif

Kepercayaan suku-suku primitif terhadap ritual adalah

berupa bentuk-bentuk dari sesajian sederhana buah-buahan pertama yang ditaruh di


hutan atau di ladang, sampai pada upacara-upacara yang rumit di tempat-tempat
yang dianggap suci. Suku-suku primitif ini melakukan ritual dengan cara tari-tarian
dan melakukan upacara yang rumit. Pada upacara tersebut, para peserta
menggunakan topeng- topeng dengan maksud untuk mengidentikkan diri mereka
dengan roh-roh. Tujuan dari ritual ini adalah untuk mewujudkan atau mengulangi
peristiwa primordial, sehingga dunia, kekuatan-kekuatan vital, hujan, dan
kesuburan diperbaharui serta roh-roh leluhur atau dewa-dewa dipuaskan dan
keamanan mereka dijamin.

2.Ritual Hindu

Ada 2 macam ritual orang Hindu, yakni ritual keagamaan vedis dan agamis ,adalah

Ritual vedis pada pokoknya meliputi korban- korban kepada para dewa. Suatu
korban berupa melakukan persembahan, seperti mentega cair, butir-butir padi, sari
buah soma, dan dalam kesempatan tertentu juga binatang, kepada suatu dewata.
Biasanya, sesajian ini ditempatkan pada baki suci kemudian dilemparkan ke dalam
api suci yang telah dinyatakan di atas altar pengorbanan. Imam-imam
mempersembahkan korban-korban melalui perantara dewi api (Agni) yang menjadi
perantara dewa dengan manusia. Ritual vedis tidak hanya bertujuan untuk
mengangkat dan memperkuat prosedur-prosedur sekuler yang berkaitan, namun
lebih dari itu ritual-ritual ini menetapkan suatu hubungan antara dunia Illahi
dengan dunia manusia, bahkan memberi wawasan tentang hakikat yang Illahi.
Sedangkan ritual agamis memusatkan perhatian pada penyembahan puja-pujaan,
pelaksanaan puasa serta pesta-pesta yang termasuk bagian agama Hindu. Orang
Hindu tidak memandang pujaan sebagai penyerapan seluruh keberadaan Tuhan.
Mereka memandang gambaran itu sebagai suatu lambang untuk Tuhan, dan bahkan
ketika menyembah alam, mereka melihat manifestasi dari kekuatan yang Illahi di
dalamnya.8

3. Ritual Jawa

Jawa memiliki tradisi dan bermacam ritual yang beragam,ritual Jawa ditujukan
untuk keselamatan, baik diri sendiri, keluarga dan orang lain. Dalam istilah Jawa
ritual disebut slametan. Slametan merupakan suatu kegiatan mistik yang bertujuan
untuk memohon keselamatan baik didunia dan diakhirat, ritual juga sebagai wadah
bersama masyarakat, yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan
perseorangan pada saat-saat tertentu.9 Contohnya: Ritual Kematian. Kematian
merupakan proses menuju kehidupan selanjutnya, pada masyarakat Jawa, kematian
adalah suatu hal yang sakral yang mana harus diadakan ritual supaya mayat bisa
sempurna dan arwahnya bisa diterima oleh yang maha kuasa, dalam kebiasaan
orang Jawa kerabat dan keluarga mengadakan beberapa acara ritual, diantaranya,
ritual surtanah, slametan telung dino, mitung Dino, metang puluh dino, nyatus
dino, nyewu dino dan terahir slametan mendak.

c. Tujuan Ritual

Dalam antropologi, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus. Ritus dilakukan
untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, agar mendapatkan berkah atau rizki
yang banyak dari suatu pekerjaan, seperti upacara sakral ketika akan turun
kesawah, ada yang untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan
datang, ritual untuk meminta perlindungan juga pengampunan dari dosa ada ritual
untuk mengobati penyakit (rites of healing), ritual karena perubahan atau siklus
dalam kehidupan manusia. Seperti pernikahan, mulai dari kehamilah, kelahiran
(rites of passage cyclic rites), kematian dan ada pula upacara berupa kebalikan dari
kebiasaan kehidupan harian (rites of reversal), seperti puasa pada bulan atau hari
tertentu, kebalikan dari hari lain yang mereka makan dan minum pada hari
tersebut. Memakai pakaian tidak berjahit ketika berihram haji atau umrah adalah
kebalikan dari ketika tidak berihram.11

Dalam setiap ritual penerimaan,ada tiga tahap, yaitu perpisahan, peralihan dan
penggabungan. Pada tahap persiapan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau
kelompok atau status. Dalam setiap peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek
bagi prosedur-prosedur perubahan. Sedangakan prosedur pada masa penggabungan
ia secara resmi ditempatkanpada suatu tempat, kelompok atau status yang baru.
Ritual penrimaan cenderung dikaitkan dengan krisis-krisis hidup individu-individu.

Mereka mengajukan pendapat untuk menambahkan suatu katagori baru, namun


mirip secara fundamental, yakni ritual intensifikasi. Ini merupakan lebih dari pada
individu yang terpusat meliputi upaca- upacara seperti tahun baru, yang
mengantisipasi akhir musim dingin dan permulaan musim semi, serta ritual-ritual
perburuan dan pertanian, serta ketersediaan buruan dan panenan.

Ritual sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku kesejahteraan


individu bayangan. Hal itu semua dimaksudkan untuk mengontrol, dengan cara
konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok demi
komunitas secara keseluruhan.

Dalam semua kelompok masyarakat, ada dua macam inisiasi. Untuk itu, diperlukan
ritual yang menjamin keberhasilan, yakni perubahan peran dan perpindahan
geografis. Dalam kedua inisiasi ini, orang-orang yang bersangkutan harus
melepaskan keterkaitan dan kebiasaan lamanya serta membentuk yang baru.
Dengan kata lain, mereka harus belajar.

Perubahan-perubaha peran terjadi secara kurang lebih teratur dan dapat diramalkan
pada lingkaran-lingkaran hidup individu-individu. Meskipun perubahan peran ini
dan waktunya berbeda dari satu budaya dengan budaya yag lain, pada umumnya
terkaitan dengan kematangan fisiologi. Kelahiran, puberitas, dan kematian
merupakan objek-objek ritual yang universal.

Melalui peristiwa-peristiwa itu, pribadi masuk ke dalam relasi baru dengan dunia
dan komunikasi.Memperoleh kesempatan-kesempatan baru bisa terkena bahaya-
bahaya baru, serta tanggung jawab yang baru pula. Tingkatan-tingkatan lain dalam
siklus kehidupan tampak jelas, perkawinan, belajar, perpindahan tingkat usia, dan
kelompok-kelompok sosial yang lain, mengemban tugas-tugas jabatan atau
melepaskan itu semua merupakan pokok-pokok dari ritual inisiasi. Tidak semua
perubahan peran dapat dicocokan dengan mudah ke dalam kerangka lingkungan
hidup.

2. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Ritual

Kepercayaan dan agama yang disamakan sering meimbulkan

perdebatan khususnya pada masyarakat Jawa. Agama itu jelas Tuhannya


sedangkan kepercayaan dianggap kabur. Timbul anggapan

bahwa agama lebih prestisius dibandingkan kepercayaan.

Kepercayaan pada masyarakat Jawa khususnya dianggap minor, sehingga


posisinya kurang menguntungkan. Posisi kepercayaan dianggap kurang beragama,
padahal pada sebenarnya beragama, banyak orang melakukan hal-hal yang bersifat
gaib seperti ritual di Gunung Lawu, Gunung Srandil, Gunung Kemukus, Gunung
Kawi merupakan wujud dari kepercayaan masyarakat Jawa penganut agama Jawa
(Endaswara Suwardi, 2012: 19-22).

Kepercayaan dan juga Agama sangatlah berbeda tidak seperti yang disebutkan
pada pada pernyataan di atas. Kedua hal tidak dapat disamakan dalam hal apapun.
Agama lebih jelas tujuannya dan terdapat aturan agama-agama didalamnya. Tujuan
dari agama tentunya tertuju pada sang pencipta yaitu Tuhan, sedangkan
kepercayaan memang belum jelas ditujukan pada Tuhan atau untuk tujuan tertentu
saja. Seperti tujuan untuk kepentingan duniawi mereka.

Kepercayaan terhadap suatu ritual di Jawa masih sangat dipegang teguh oleh
masyarakatnya, misalnya dalam memperingati kematian seseorang masyarakat
masih mempercayai adanya slametan, upacara slametan diadakan berurutan, dari
hari ke tiga setelah seseorang meninggal, hari ke tujuh, kemudian empat puluh
harian, slametan mendak pisan, mendak pindo, dan peringatan kematian seseorang
untuk terakhir kali. Tindakan seperti itu masih dilakukan oleh masyarakat Islam
Jawa pada, adanya penggabungan antara kebudayaan Jawa pada masa animisme
dengan ajaran agama Islam. Dalam pelaksanaannya slametan yang sekarang
dilakukan sudah tidak menggunakan sesaji-sesaji seperti pada zaman dahulu, pada
kenyataan yang terjadi dimasyarakat Jawa doa-doa yang digunakan seperti tahlil
dan juga sholawat yang ditujukan sebagai pelengkap doa slametan (Amin Darori:
2002: 134).

Dapat diketahui bahwa masyarakat mempercayai ritual selain karena sifatnya yang
masih berkaitan dengan agama namun juga adanya kebudayaan sebagai
karakteristik yang tidak dapat ditinggalkan. Perpaduan antara kebudayaan dan
agama salah satunya terlihat dalam kehidupan masyarakat Islam di Jawa. Mereka
memadukan kebudayaan yang ada dengan ajaran agama Islam. Perpaduan yang
dapat kita ketahui seperti adanya ritual dalam memperingati setiap kejadian yang
ada seperti kelahiran, kematian, dan juga acara-acara seperti memperingati hari
besar agama.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan terhadap ritual didasarkan


atas kebudayaan dan juga agama yang saling berhubungan sehingga keberadaan
ritual masih tetap dipegang teguh dan dipertahankan sampai sekarang.

3.Agama Dan Budaya


Menurut “Clifford Geertz”, Dalam pendekatan ini, Geertz terfokus pada

unsur-unsur yang terdapat dalam budaya. Aspek atau unsur terpenting dalam
budaya adalah agama.Menurut Geertz, agama merupakan pattern for behaviour
atau pola tindakan. Agama disini dianggap sebagai bagian dari sistem kebudayaan
yang membekali manusia atau sebagai dasar manusia dalam melahirkan tindakan
dan perilaku kesehariannya.Pola bagi tindakan terkait dengan sistem nilai atau
sistem evaluatif.Dan pola dari tindakan itu terletak pada sistem simbol yang

memungkinkan pemaknaan dilakukan.19

Aspek-aspek teoritis pendekatan interpretatif terhadap agama, dijelaskan

Geertz pada salah satu esai yang dimuatnya kembali dalam The Interpretation Of

Cultures ( 1973), yang bertajuk Religion as a Cultural System ( 1966 ). Geertz


memulai esai tersebut dengan menyatakan bahwa ia tertarik pada “ dimensi
kebudayaan “ dalam agama. Menurutnya dalam satu kebudayaan terdapat “sistem-
sistem budaya “ yang salah satunya adalah agama, yang akan terlihat ketika Geertz
mendefinisikan tentang agama.

Bagi Geertz, agama merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lbih
meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada
dalam suatu hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan
keteraturan kebudayaan; dan bersamaan dengan itu agama juga mencerminkan
keteraturan tersebut.20Agama dan budaya memiliki hubungan saling keterkaitan
yakni salah satunya terletak pada sifat-sifat dan asal-usul kepercayaaan
keagamaan, hubungan logis dan historis antara mitos, kosmos dan ritus.21 Hal
yang sama juga diungkapkan Frazer, baginya agama adalah sistem kepercayaan
yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan tingkat
kognisi seseorang.

Suparlan menyatakan bahwa pada hakikatnya agama adalah sama dengan


kebudayaan, yaitu suatu sistem simbol atau suatu simbol pengetahuan yang
menciptakan, menggolong-golongkan, meramu atau merangkaikan dan
menggunakan simbol untuk berkomunikasi dan untuk menghadapi
lingkungannya. Namun demikian, ada perbedaannya bahwa simbol agama
adalah simbol suci.
Koentjaraningrat berpendapat bahwa religie merupakan bagian dari
kebudayaan. Beliau menyimpulkan bahwa komponen sistem kepercayaan,
sistem upacara dan kelompok-kelompok religious yang menganut sistem
kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religious, jelas merupakan
ciptaan dan hasil akal manusia.Adapun komponen pertama yaitu emosi
keagamaan, digetarkan oleh cahaya Tuhan, religi sebagai suatu sistem
merupakan bagian dari kebudayaan tetapi cahaya tuhan yang mewarnainya
dan membuatnya keramat tentunya bukan bagian dari kebudayaan.23
Prosesi ritual petik laut selalu melibatkan penggunaan simbol-simbol
keagamaan, seperti pengajian al-Qur’an, zikir, dan do’a-do’a Islam, dan atau
simbol-simbol budaya seperti sesaji dan tari-tarian.Simbol ini memiliki
makna dan nilai-nilai dibaliknya.
Baik yang bersifat material maupun non material.Dalam kajian budaya,
simbol diyakini memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek kehidupan
manusia yang itu bersifat sangat kosmologis.
Keterkaitan kebudayaan dan masyarakat itu tampak lebih jelas dilakukan
oleh sekelompok masyarakat yang cenderung memiliki banyak kesamaan
dan interaksi sosial. Kebudayaan cenderung akan senantiasa diikuti oleh
masyarakat pendukungnya secara turun-temurun dari generasi ke generasi

Meskipun anggota masyarakat datang silih berganti akibat faktor kematian atau
kelahiran.

Manusia senantiasa hidup berinteraksi dengan alam dan lingkungan, hubungan


tersebut bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi, interaksi sosial ini
merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas

yang di sebut juga “sistem sosial”yang dalamnya mengikuti pola dan aturan
tertentu, misalnya dalam upacara, ritus dan sebagainya.
Setiap pemujaan memiliki dua sisi ganda: satu negatif, dan yang satu positif.

Kedua sisi tersebut sama seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan. Dalam
pemujaan juga seperti itu, sisi negatif dalam pemujaan dapat mempengaruhi sisi
positif dalam pemujaan itu sendiri. Contohnya saja dalam kegiatan ini, jika kita
benar-benar meyakininya, maka semua yang kita inginkan dapat terkabul.

Disini, apa yang diteorikan oleh Peter L. Berger bahwa agama dan budaya
saling menguatkan, tampaknya memang terlihat nyata.
Di satu sisi agama melegitimasi budaya yang ada pada masyarakat tersebut,
dan disisi lain budaya memberikan cover kepada agama sehingga agama
dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.

Di dalam tradisi Jawa, upacara yang terkait dengan kehidupan di


konsepsikan oleh para ahli antropologi sebagai upacara lingkaran hidup yang
di konsepsikan oleh orang Jawa sebagai slametan, yaitu suatu upacara
makan
Slametan tidak terpisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi dan erat
hubungannya dengan kepercayaan pada unsur-unsur kekuatan sakti maupun
makhluk-makhluk halus.Slametan ditujukan agar tidak ada gangguan apapun
di dalam kehidupan manusia.

4.Tradisi

Kata tradisi pasti identik dengan zaman kuno dan berhubungan dengan
orang-orang klasik. Keberadaan tradisi di tengah-tengah masyarakat
modern saat ini masih bertahan hingga sekarang. Sudah berganti nya
zaman ke globalisasi, bersamaan pula dengan teknologi yang semakin
canggih, namun tradisi juga masih menunjukkan pengaruhnya yang besar
dalam mempengaruhi pemikiran masyarakat sekarang. Indonesia salah
satu Negara yang banyak akan tradisi. Di setiap pulau, daerah-daerah
khususnya yang berada di wilayah semi perkotaan masih percaya dan
memegang erat tradisi. Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang
paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya
dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. (Juliana,
2017:10)

Pengertian tradisi adalah adat-istiadat dan kepercayaan yang semacam


turun-menurun dipelihara. Adapun pengertian lain dari tradisi secara
besarnya adalah kebudayaan yang sistematis dari suatu masyarakat, yang
menjadi pencerminan. Sedangkan pengertian tradisi menurut kelompok
adalah aspek subjektif kebudayaan suatu kelompok yang dipelihara
turun-menurun melalui bahasa, nilai-nilai, kepercayaan, perasaan, sikap-
sikap dan seterusnya.

Tradisi berarti adat kebiasaan turun menurun (dari nenek moyang) yang
masih dijalankan dalam masyarakat. Bisa juga diartikan penilaian atau
anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik
dan benar. Kata lain yang memiliki makna hampir sama adalah budaya.
Tradisi sering dibahaskan dengan adat istiadat. Ada hal yang berkaitan
erat dengan tradisi, pertama adalah karakter, kedua adalah kondisi
geografis. Semua tradisi adalah sesuatu yang diciptakan. Tradisi serta
adat istiadat tercipta karena berbagai macam alasan. Tradisi berkembang
seiring dengan mengalirnya waktu, namun juga bisa diubah atau
ditransformasikan sesuai kehendak pihak yang berkompeten didalam nya.
(ahmad Muhakamurrohman, 2014:114)

Budaya tradisional masa lalu dihormati dan dihargai karena masyarakat


merasa bertanggung jawab terhadap pengalaman generasi selanjutnya.
Tradisi adalah sarana untuk menangani ruang dan waktu, yang
memasukkan segala bentuk pengalaman tertentu sebagai kelanjutan masa
lalu, masa kini, dan masa depan. Pada gilirannya, tradisi distrukturkan
oleh praktik-praktik sosial yang tengah berlangsung. Dalam memahami
tradisi sesuatu daerah atau suatu kelompok hidup manusia, terlebih
dahulu diselidiki sejarah dari tradisi tersebut. Terutama yang menyangkut
dengan asal mula daerah setempat. Asal mula adat istiadat itulah yang
menjadi landasan kehidupan sesuatu kelompok masyarakat. Ditinjau dari
perspektif tradisi itu sendiri, dapat dikatakan bahwa tradisi diartikan
sebagai kebiasaan yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi
berikutnya secara turun-temurun. (Syahril Muhammad, 2011:18)

Adanya beberapa fungsi dari tradisi, yaitu:

1. Penyedian fragmen warisan historis, Fungsi dari tradisi adalah sebagai


penyedia fragmen warisan historis yang kita pandang bermanfaat. Tradisi
yang seperti suatu gagasan dan material yang bisa dipergunakan orang
dalam tindakan saat ini dan untuk membangun masa depan dengan dasar
pengalaman masa lalu. Misalnya adlah peran yang harus diteladani
seperti tradisi kepahlawanan, kepemimpinan karismatis dan lain
sebagainya.

2. Memberikan legitimasi pandangan hidup, Fungsi tradisi adalah untuk


sebagai pemberi legitimasi pada pandangan hidup, keyakinan, pranata
dan aturan yang telah ada. Semuanya ini membutuhkan pembenaran agar
bisa mengikat anggotanya. Seperti wewenang seorang raja yang disahkan
oleh tradisi deri seluruh dinasti terdahulu.

3. Menyediakan simbol kolektif, Fungsi tradisi adalah menyediakan


simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas
primodial kepada bangsa, komunitas dan kelompok. Seperti tradisi
nasional dengan lagu, bendera, emblem, mitologi dan ritual umu.

5. Sistem Religi

Asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya


pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib
atau supranatural yang dianggap lebih tinggi dari pada manusia mengapa
manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari
hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut.

Dalam usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi


penyebab lahirnya asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial
berasumsi bahwa religi suku-suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari
bentuk-bentuk religi kuno yang dianut oleh seluruh umat manusia pada
zaman dahulu ketika kebudayaan mereka masih primitif.
6..Kesenian

Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian


etnografi mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional.
Deskripsi yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai
benda-benda atau artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran,
dan hiasan. Penulisan etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan
manusia lebih mengarah pada teknikteknik dan proses pembuatan benda
seni tersebut. Selain itu, deskripsi etnografi awal tersebut juga meneliti

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah dengan menggunakan penelitian
kualitatif yang berdasarkan pada paradigma dalam melihat suatu
realitas/fenomena/gejala ketika terjadi perubahan dalam masyarakat dan sesuai
dengan data lapangan yang sesungguhnya, merupakan bagian dari cara pandang
paradigma post- positivisme. Metode penelitian kualitatif yang digunakan oleh
peneliti adalah metode Etnografi yang merupakan deskripsi tentang sutau
kebudayaan atau sistem kelompok sosial dalam masyarakat berupa pola perilaku,
kebiasaan, dan cara hidup.

Penelitian kualitatif ini yang dilakukan oleh peneliti karena di lihat dalam sebuah
fenomena di dalam masyarakat Jawa memunculkan identitas masyarakat tersebut
dan ekspresi keagaamaan yang dimunculkan dengan adanya tradisi ritual laut yang
berakulturasi antara budaya Jawa dan Islam yang ada di masyarakat Pantai
Payangan ,Jawa timur.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian utama dilakukan di daerah Pantai Payangan. Lokasi
penelitian ini dipilih karena ritual laut yang menewaskan 11
orang berada di Pantai Selatan.
Penelitian ini di lalukan pada Bulan Maret 2022 berdasarkan
kepentingan yang berhubungan dengan studi yang diteliti.
Karena di dalam penelitian ini pula terdapat nilai-nilai agama
dan budaya. Lebih khususnya lagi peneliti memiliki kepentingan
tersendiri pada lokasi tersebut untuk menyusun tugas Proposal
Penelitian Kualitatis Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.

3.3. Sumber Data


Sumber data yang di gunakan oleh peneliti yaitu ada dua
sumber, data primer dan data sekunder. Dari kedua sumber
tersebut akan ada perpecahan masalah.
a. Data Primer
Data primer merupakan sumber utama yang diperlukan oleh
peneliti melalui wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat,
tokoh agama atau ulama, nelayan dan masyarakat sekitar yang
berkaitan dengan permasalahan Ritual Laut Payangan
Adapun tokoh masyarakat yang sebagai ( Kosong )
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh peneliti
secara tidak langsung tetapi melalui sumber bacaan atau pustaka
berupa buku-buku, jurnal, artikel dan lain sebagaimya yang
berhubungan dengan obyek penelitian dan teori yang digunakan

3.4 Teknik Penarikan Sumber Data

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian
ini adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik
pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data
yang memenuhi standard yang ditetapkan.
Teknik pengumpulan data adalah strategi atau cara yang
dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data-data yang valid
dari responden serta bagaimana peneliti menentukan metode
yang tepat untuk memperoleh data, kemudian mengambil
kesimpulan. Teknik pengumpulan data memiliki peranan yang
sangat besar dalam suatu penelitian, teknik yang digunakan akan
menentukan hasil akhir yang di dapatkan dalam satu penelitian.
Semakin baik teknik yang digunakan, maka semakin baik pula
obyek yang digunakan untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan dalam penelitian.
Untuk memperoleh data yang valid dan akurat, peneliti
menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu:
1.Wawancara

Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk


mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara
peneliti dengan informan atau subjek penelitian. Dengan
kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, wawancara bisa
saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media
telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan
kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang
sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian. Atau,
merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau
keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain
sebelumnya.
Karena merupakan proses pembuktian, maka bisa saja hasil
wawancara sesuai atau berbeda dengan informasi yang telah
diperoleh sebelumnya.

Agar wawancara efektif, maka terdapat berapa tahapan yang


harus dilalui, yakni:
1). mengenalkan diri
2). menjelaskan maksud kedatangan
3). menjelaskan materi wawancara
4). mengajukan pertanyaan
Selain itu, agar informan dapat menyampaikan informasi yang
komprehensif sebagaimana diharapkan peneliti, maka
berdasarkan pengalaman wawancara yang penulis lakukan
terdapat beberapa kiat sebagai berikut:
1). ciptakan suasana wawancara yang kondusif dan tidak tegang
2). cari waktu dan tempat yang telah disepakati dengan informan
3). mulai pertanyaan dari hal-hal sederhana hingga ke yang
serius
4)bersikap hormat dan ramah terhadap informan
5). tidak menyangkal informasi yang diberikan informan, 6).
tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi yang tidak ada
hubungannya dengan masalah/tema penelitian, 7). tidak bersifat
menggurui terhadap informan
8). tidak menanyakan hal-hal yang membuat informan
tersinggung atau marah
9). sebaiknya dilakukan secara sendiri
10) ucapkan terima kasih setelah wawancara selesai dan minta
disediakan waktu lagi jika ada informasi yang belum lengkap.

Setidaknya, terdapat dua jenis wawancara, yakni:


1). wawancara mendalam (in-depth interview), di mana peneliti
menggali informasi secara mendalam dengan cara terlibat
langsung dengan kehidupan informan dan bertanya jawab secara
bebas tanpa pedoman pertanyaan yang disiapkan sebelumnya
sehingga suasananya hidup, dan dilakukan berkali-kali;
2). wawancara terarah (guided interview) di mana peneliti
menanyakan kepada informan hal-hal yang telah disiapkan
sebelumnya. Berbeda dengan wawancara mendalam, wawancara
terarah memiliki kelemahan, yakni suasana tidak hidup, karena
peneliti terikat dengan pertanyaan yang telah disiapkan
sebelumnya. Sering terjadi pewawancara atau peneliti lebih
memperhatikan daftar pertanyaan yang diajukan daripada
bertatap muka dengan informan, sehingga suasana terasa kaku.
Dalam praktik sering juga terjadi jawaban informan tidak jelas
atau kurang memuaskan. Jika ini terjadi, maka peneliti bisa
mengajukan pertanyaan lagi secara lebih spesifik. Selain kurang
jelas, ditemui pula informan menjawab “tidak tahu”. Menurut
Singarimbun dan Sofian Effendi (1989: 198-199), jika terjadi
jawaban “tidak tahu”, maka peneliti harus berhati-hati dan tidak
lekas-lekas pindah ke pertanyaan lain. Sebab, makna “tidak
tahu” mengandung beberapa arti, yaitu:

1) informan memang tidak mengerti pertanyaan peneliti,


sehingga untuk menghindari jawaban “tidak mengerti", dia
menjawab “tidak tahu”.

2) informan sebenarnya sedang berpikir memberikan jawaban,


tetapi karena suasana tidak nyaman dia menjawab “tidak tahu”.

3) pertanyaannya bersifat personal yang mengganggu privasi


informan, sehingga jawaban “tidak tahu’ dianggap lebih aman

4) informan memang betul-betul tidak tahu jawaban atas


pertanyaan yang diajukan. Karena itu, jawaban “tidak tahu"
merupakan jawaban sebagai data penelitian yang benar dan
sungguh yang perlu dipertimbangkan oleh peneliti.

2. Observasi

Selain wawancara, observasi juga merupakan salah satu teknik


pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode penelitian
kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan
menggunakan pancaindera, bisa penglihatan, penciuman,
pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan
untuk menjawab masalah penelitian. Hasil observasi berupa
aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana
tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan
untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian
untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Bungin (2007: 115-117) mengemukakan beberapa bentuk


observasi, yaitu:
1). Observasi partisipasi
2). observasi tidak terstruktur
3). observasi kelompok. Berikut penjelasannya:
1) Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah
metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun
data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana
peneliti terlibat dalam keseharian informan.

2) Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan


tanpa menggunakan pedoman observasi, sehingga peneliti
mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan
yang terjadi di lapangan.

3) Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh


sekelompok tim peneliti terhadap sebuah isu yang diangkat
menjadi objek penelitian.

3. Dokumentasi
Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa
diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat,
catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal
kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa
dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam.
Peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik untuk memaknai
semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang
tidak bermakna

3.6 Metode Analisis Data


Metode Analisis Data
Dalam sebuah penelitian kualitatif, data dapat diperoleh dari
berbagai sumber dengan menggunakan pengumpulan data yang
bermacam-macam sampai mencapai titik maksimal yang sering
dinamakan dengan titik jenuh.
Menurut sugiyono terdapat tiga model interaktif dalam analisis
data, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan
kesimpulan.
1. Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data merupakan suatu alat yang
digunakan
dalam penelitian untuk mengumpulkan data dan supaya
pengumpulan tersebut sistematis dan mudah. Instrumen
penelitian merupakan sesuatu yang sangat penting dan strategi
kedudukannya dalam keseluruhan kegiatan penelitian. Dengan
instrumen, akan diperoleh data yang merupakan bahan penting
untuk menjawab permasalahan, mencari sesuatu yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan dan membuktikan hipotesis.
Data yang dikumpulkan ditentukan oleh variabel-variabel yang
ada dalam hipotesis.
2. Reduksi Data
Reduksi data termasuk dalam kategori pekerjaan analisis data.
Data
yang berupa catatan lapangan (filed notes) jumlahnya cukup
banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci.
Mereduksi data xberarti merangkum, memilih hal-hal yang
penting, dicari tema polanya. Dengan demikian data yang telah
direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.11
Dalam mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan
yang akan dicapai. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah
pada temuan. Oleh karena itu, apabila peneliti dalam melakukan
penelitian menemukan segala sesuatu yang di pandang asing,
tidak dikenal, belum memiliki pola,
justru hal tersebut yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam
melakukan reduksi data. Reduksi data merupakan proses berfikir
sensitive yang memerlukan kecerdasan dan kedalaman wawasan
yang tinggi.
3. Display Data
Hasil reduksi tersebut akan di display dengan cara tertentu untuk
masing-masing pola, kategori, fokus, tema yang hendak
difahami dan dimengerti persoalannya. Penggunaan display data
dapat membantu peneliti untuk dapat melihat gambaran
keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari hasil penelitian.
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori,
flowchart dan sejenisnya, teks naratif merupakan jenis yang
sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian
kualitatif.
4. Penarikan Kesimpulan
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan
Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara,
dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Dengan
demikian, kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat
menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi
mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa
masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih
bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian
berada di lapangan.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Pedoman Wawancara
Lampiran 2 : Dokumentasi

I. LAMPIRAN I
Panduan Wawancara

DAFTAR PERTANYAAN
I. Identitas Informan
1. Nama: Gayuh Anggara
2. Jenis Kelamin:Laki-laki
3. Umur:45 tahun
4. Jabatan:Anggota Aparat (Polisi) Jember.
II. Tragedi Ritual Laut Payangan dan Komunikasi Aparat
Desa Memberi Pemahaman Bahaya Ritua Laut Payangan
1. Bagaimana latarbelakang kronologi tragedi Ritual Laut
Payangan Jember ?
2.Tujuan diadakannya ritual laut ?
3. Apa dampak yang terjadi dari ritual laut tersebut ?
4. Bagaimana reaksi aparat setelah terjadinya ritual laut di pantai
payangan ?
5. Bagaimana komunikasi aparat desa dalam memberikan
pemahaman bahanya Ritual Laut Payangan ?

111. Hambatan yang dialami Aparat Desa dalam memberi


pemahaman kepada masyarkat terkait bahaya melakukan
ritual laut khususnya laut selatan yaitu pantai payangan:
1. Apa saja hambatan bapak sebagai Aparat Desa dalam
meberikan pemahaman bahaya ritual laut kepada masyarakat?
2. Bagaimana cara mengatasinya?
Lampiran II
Dokumentasi

Bab IV
Hasil Dan Pembahasan
Peta Pantai Payangan (Lokasi Ritual Laut)

Dilansir dari berbagai sumber, Pantai Payangan terletak di di Dusun Payangan,


Desa Sumberrejo, Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur. Butuh waktu sekitar
satu jam dari Kota Jember.

Pantai berpasir hitam itu disebut memiliki keindahan yang memesona bagai
khayangan. Panoramanya diperindah dengan bukit yang menjadi latar belakang
pantai tersebut yang bernama Bukit Syarat.

Bukit Syarat diapit oleh dua bukit lainnya, yakni Samboja dan Suroyo. Salah satu
bukit di atasnya terdapat makam tua yang dikenal oleh warga sekitar dengan
sebutan Pati Ulung, diberitakan kanal Jatim Liputan6.com.

Warga yang tinggal di luar Jember, Jawa Timur, mempercayai bahwa di bukit
tersebut dapat membawa pada kekayaan. Karena itu, tak jarang banyak masyarakat
luar Jember yang datang untuk menggelar sejumlah ritual yang sering dikaitkan
dengan hal-hal berbau mistis.

Ini Kondisi Laut Saat Wisatawan Melakukan Ritual di Pantai Jember

Para korban tersebut diketahui tengah menjalani ritual. Menurut Kapolres Jember
AKBP Hery Purnomo kepada detikJatim, para peserta ritual berdiri di tepi pantai.
Ritual dimulai dengan berdoa terlebih dahulu.Saat ritual tersebut, ada sebagian
peserta yang duduk, namun beberapa lainnya berdiri. Ketika mendekat ke laut,
seluruh peserta posisi berdiri, membentuk dua saf seperti shalat, menghadap laut.

Kondisi Pasang Surut Di Pantai Jember


"Kondisi di Perairan Pantai Payangan pada 13 Februari 2022 dini hari pukul 00.00
WIB adalah hampir mendekati air surut, di mana posisi air surut diduga terjadi
pada pukul 02.00 WIB," ujar Widodo S Pranowo Peneliti Ahli Utama Bidang
Oseanografi Terapan, Badan Riset dan SDM, Pusat Riset Kelautan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan kepada detikTravel.

Secara teoritik, ketika air laut menuju surut maka arus akan bergerak menjauhi
pantai menuju ke lepas pantai. Ketika mendekati surut, terlihat elevasi muka laut
diduga menjadi lebih maju ke arah laut.

Akibatnya air turun atau surut antara 0,4 hingga 0,6 meter dari garis pantai pada
kondisi normal.
"Sehingga, pada saat para wisatawan melakukan prosesi ritual berdiri, tanpa
disadari mereka berdiri pada area surutan air yang kemungkinan besar ketika
kondisi normal adalah tempatnya gelombang pecah," ungkapnya.

Pada kondisi siang hari, area gelombang pecah akan dapat mudah dikenali. Ada
banyak buih-buih putih yang dihasilkan setelah pecahnya gelombang menghantam
lereng pantai.

"Ketika malam hari, dengan pencahayaan yang sangat terbatas, kemungkinan buih-
buih putih tidak bisa mudah dilihat," jelasnya.

Hasil Penelitian

1. Bagaimana latarbelakang kronologi tragedi Ritual Laut Payangan


Jember ?

Rombongan berjumalah 24 orang berangkat ke Pantai Payangan dari kota Jember


menggunakan 3 kendaraan.

Mereka tiba di Pantai Payangan menjelang Minggu dini hari, sekitar pukul 23.00
WIB. Rombongan yang dipimpin oleh seorang guru spiritual dari padepokan
Jamaah Tunggal Jati Nusantara ini bertujuan untuk melaksanakan ritual. Bentuk
meditasinya berupa merendam diri di laut.

Saat melakukan ritual di laut tiba-tiba ombak besar datang dan menyeret 13 orang.

"Namun karena ritual terlalu dekat dengan ombak, maka saat ombak besar
datakhirnya mereka tidak bisa menyelamatkan diri dan tergulung ombak.

(Alex ,Anggota aparat desa,40th)

2. Apa motiv tujuan ritual laut tersebut ?


Tujuan dari rombongan masyarakat melakukan ritual laut di pantai payangan
diantaranya ada yang ingin menghilangkan guna-guna, mencari berkah
samudera Hindia, meningkatkan kesaktian, serta membantu menenangkan
diri.
(Gayuh ,Anggota Aparat Desa,41th)

3. Apa Dampak yang terjadi dari ritual laut di Pantai Payangan ?


Dampak yang terjadi adalah ritual terlalu dekat dengan ombak, maka saat
ombak besar datang akhirnya mereka tidak bisa menyelamatkan diri dan
tergulung ombak.
"20 diantara yang melakukan ritual, 10 orang ditemukan meninggal dunia,
9 orang selamat dan 1 belum ditemukan.
Korban yang mengalami luka-luka ditemukan dalam keadaan kritis dan
tidak sadarkan diri, namun ketika dilakukan pertolongan pertama akhirnya
mereka dapat diselamatkan.
Mereka ditemukan 1 Km dari lokasi mereka melakukan meditasi.
Kemudian dilarikan ke rumah sakit atau puskesmas terdekat.
(Fandi, Anggota Aparat Desa,35th)

4. Bagaimana reaksi aparat setelah mengetahui kejadian ritual laut


tersebut ?

“Personil Polsek Ambulu dan rekan-rekan saya, Babinsa Sumberejo, perangkat


desa, dan tim SAR mengevakuasi korban yang selamat ke Puskesmas Ambulu.
Sementara itu, penyidik Kepolisian Resor Jember memeriksa 13 saksi yang
sudah dimintai keterangan namun kemungkinan jumlah saksi yang diperiksa
akan terus bertamba”.

Kepala Polres Jember, AKBP Hery Purnomo, mengatakan, belasan saksi


yang dimintai keterangan itu adalah korban selamat, saksi yang mengetahui
kejadian saat kegiatan ritual, petugas penyelamat korban, dan anggota Polri
di lapangan.
“Terkait apakah ada unsur pidana Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang
menyebabkan hilangnya nyawa orang, saya masih melakukan klarifikasi
terhadap saksi-saksi, nanti akan kami tentukan dalam proses gelar perkara
(Gayuh, Anggota Aparat Desa ,41th)
5.Bagaimana komunikasi aparat desa dalam memberikan pemahaman
bahanya Ritual Laut Payangan ?

Menghindari hal serupa terulang kembali, Aparat Desa khususnya di


daerah pantai payangan memasang Papan himbauan untuk tidak mandi di
pantai dan melakukan kegiatan ritual di kawasan Pantai Watu ulo dan
Pantai Payangan. Pemasangan papan himbuan tersebut dilaksanakan hari
Minggu, 27 Maret 2022, di kawasan Pantai Watu ulo dan Pantai Payangan.
Pemasangan papan himbauan itu sendiri, dilaksanakan oleh anggota Satpol
PP Kecamatan Ambulu bersama aparat TNI dan Polri di Kecamatan
Ambulu dan Perangkat Desa Sumberejo.
Pemasangan papan himbauan tersebut merupakan tindak lanjut dari Surat
Edaran Bupati Jember Nomor : 100/103/35.09.1.11/2022, tentang
Pengamanan Kawasan Pantai.
Dalam edaran tersebut Bupati Jember memerintahkan agar kepada Camat
dan Kepala Desa yang wilayahnya terdapat kawasan pantai untuk melakukan
pengecekan rutin dan memastikan seluruh rambu-rambu tanda bahaya atau
peringatan larangan berenang dapat terbaca dengan jelas. Selanjutnya Saya
berharap agar masyarakat mematuhi himbauan larangan untuk mandi di
Pantai dan menggelar kegiatan ritual di kawasan pantai Watu Ulo dan
Pantai Payangan agar insiden kecelakaan laut tidak terulang lagi
(Fandi ,Anggota Aparat Desa ,35th)

Hambatan yang dialami Aparat Desa dalam memberi


pemahaman kepada masyarkat terkait bahaya
melakukan ritual laut khususnya laut selatan yaitu
pantai payangan:

Sebagian masyarakat masih sangat mempercayai bahwa ritual laut adalah


tradisi yang tidak boleh dihapus atau masyakat yg mempercayai ilmu mistis
contohnya mereka melakukan ritual laut lalu mempercayai guru yang
memimpin untuk mencari ketenangan menyelesaikan masalah keluarga,
melancarkan usaha, dan mendapat pekerjaan. Masyarakat seperti itu adalah
kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan ,sehingga mereka melakukan apa
yg diyakini bisa membatu tetapi nyatanya malah membahayakan diri.
Seperti yang dilakukan pada ritual laut payangan ,tidak ada ijin mau
melakukan ritual ,sudah dibilangi tidak bolek melakukan ritual karena
keadaan pantai sedang tidak bagus tetapi dengan percaya diri,mereka
melakukan ritual laut yang berakhir fatal ,yaitu terseret ombak dan
mengakibatkan rombongan tersebut tewas dan sebagian luka-luka.

Cara mengatasi :
1. Meberikan pemahaman penuh bahaya ritual laut kepada masyarakat.
2. Petugas Pantai harus lebih tegas untuk melarang acara ritual
tersebut ,misal cuaca sedang buruk atau tidak ada yang memantau ritual
tersebut.
3. Perlu adanya keamanan yang ketat agar tidak terjadi kedua kali tragedi
ritual laut.

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Penelitian yang berjudul Komunikasi Aparat Desa Dalam Memberika Pemahaman


Bahaya Ritual Laut Payangan berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya maka
peneliti menyimpulkan sebagai berikut :

1. Sikap Pemerintah antara lain yaitu Anggota Polres ,Perangkat Desa ,Babinsa
Desa khususnya Aparat Desa yang bijak dalam memberikan pemahaman bahaya
ritual laut pantai payangan yang berdampat negatif.

memberika pemahaman kepada masyarakat untuk tidak melakukan ritual adapun


hambatan yang terjadi seperti kurangnya kesadaran masyarakat, terlalu
mengabaikan keselamatan dan mempercayai hal-hal mistis sehingga sebagian
masyarakat masih tetap melakukan ritual laut yang terjadi kedua kalinya di Pantau
Watu Ulo Jember.
2.Berbagai cara aparat desa untuk tidak melakukan acara ritual laut yang bertujuan
untun menyelamatkan masyarakat agar melakukan kehidupan yang baik dengan
tidak menpercayai hal yang mistis atau gaib guna tidak terulang kembali kelalaian
tragedi ritual laut.

Saran:

1) Masyarakat harus hidup di jaman moderen dengan tidak mempercayain hal


hal yang merugikan diri sendiri
2) Petugas Pantai harus lebih ketat lagi agar tidak terjadi kelalain seperti ritual
laut payangan.

Anda mungkin juga menyukai