Anda di halaman 1dari 17

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Maritim yang memiliki beribu-ribu pulau

dengan area teritorial laut yang sangat luas. Daratan Indonesia seluas 1.904.569

km2 dan lautannya seluas 3.288.683 km2 yang membentang sepanjang

khatulistiwa dan terletak antara benua Asia dan Australia (Iwan Gayo, 2000:7).

Hal tersebut menunjukkan bahwa wilayah laut lebih luas dari wilayah daratan,

terdapat 5 pulau besar dan ratusan pulau kecil lainnya, baik yang berpenghuni

maupun yang tidak berpenghuni. Termasuk juga dipesisir pantai Indonesia yang

berjiwa maritim diperlukan kepandaian dalam menaklukkan lautan luas serta

pandai mengarungi lautan dengan melakukan pelayaran ke berbagai daerah

lainnya baik untuk berdagang maupun untuk mencari ikan.

Pada mulanya pengenalan dan penerapan sistem pelayaran dan perdagangan

merupakan salah satu mata pencaharian yang utama dan hingga saat ini terus

mengalami perkembangan. Masyarakat pesisir pada saat itu tidak hanya mampu

mengarungi perairan Nusantara, akan tetapi lebih dari itu seperti yang diketahui

oleh keadaan geografis suatu daerah sangat berpengaruh terhadap kebudayaan

suatu masyarakat didaerah tersebut. Masyarakat yang bermukim di daerah

pedalaman, akan mengembangkan budaya agraris. Demikian pula dengan

1
masyarakat yang bermukim di daerah pesisir pantai dan daerah kepulauan yang

tentu saja akan berbudaya maritim atau kelautan.

Dunia maritim adalah sebuah dunia yang luas, dalam, sukar ditebak sebab ia

bisa tenang memberikan kedamaian dan rezeki bagi anak manusia, namun dengan

tiba-tiba bisa berubah menjadi ganas dan menakutkan bahkan mematikan.

Berbagai ungkapan, penilaian, dan keterangan juga diberikan oleh umat manusia

terhadap dunia laut. Masyarakat bersahaja hingga masyarakat modern memiliki

pandangan tersendiri mengenai laut. Masyarakat bersahaja misalnya memandang

laut sebagai buah dunia yang penuh misteri, “lauik sati, rantau batuah”, kata

orang Minang.

Orang Minang mendiami dua daerah utama pantai barat, yaitu daerah pesisir

dan pedalaman. Tambo juga mengatakan bahwa orang Minang mendiami dua

daerah utamanya yakni luhak nan tigo atau darek dan rantau. Darek identik

dengan daerah pedalaman dan rantau identik dengan daerah pesisir dari pantai

barat. Beberapa daerah yang dikatakan sebagai bagian dari daerah Rantau Pesisir

ini adalah Singkek-Tapak Tuan, Rantau Pasaman, Rantau Tiku-Paiaman, Bandar

Sapuluah, dan Bayang nan Tujuah dan kawasan sepanjang pantai barat, mulai dari

Singkel di utara hingga Indrapura di Selatan, merupakan bagian dari daerah

budaya Minangkabau.

Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia yang

memiliki mitos dan kepercayaan rakyat. Mitos erat kaitanya dengan legenda dan

2
ceritarakyat.Mitos, legenda, dan cerita rakyat adalah cerita tradisional dalam jenis

yang berbeda.Tidak seperti mitos, cerita rakyat dapat belatar kapanpun dan

dimanapun, dan tidak harus dianggap nyata atau suci oleh masyarakat yang

melestarikannya. Sama hanya seperti mitos, legenda ada kisah yang secara

traisional dianggap benar-benar terjadi namun berlatar pada masa-masa yang

terkini, saat dunia sudah terbentuk seperti sekarang ini. Legenda biasanya

menceritakan manusia biasa sebagai pelaku utamanya, sementara mitos biasanya

fokus toko manusia super (Bascom, William 1984).

Sedangkan kepercayaan rakyatatau sering kali disebut “tahayul”, adalah

kepercayaan oleh orang yang berpendidikan Barat dianggap sederhana bahkan

pandir, tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat

dipertanggung jawabkan. Takhayul mencakup bukan saja kepercayaan (belief),

melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman-pengalaman (experiences), ada

kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak. Bruvanddalam

(Danandjaya 1991: 53).

Penelitian mengenai kepercayaan dan mitos pada masyarakat maritim ini

sangat menarik untuk diteliti, karena sampai saat ini belum banyak penelitian-

penelitian folklor mengenai kepercayaan dan mitos masyarakat maritim yang

terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan. Kepercayaan dan mitos masyarakat

maritim di Kabupaten Pesisir selatan telah hidup sejak dahulunya dan sampai

sekarang masih dipercayai keberadaanya oleh masyarakat maritim yang ada di

Kabupaten Pesisir Selatan. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari dari

3
masyarakat tersebut yang masih memakai adat istiadat turun-temurun dari nenek

moyang mereka. Masyarakat yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan sangat

mematuhi adat istiadat yang mereka tetapkan, masyarakat di Kabupaten Pesisir

Selatan masih menyakini adanya tradisi-tradisi upacara perkawinan, upacara

kematian, tradisi nelayan ketika mendapatkan ikan banyak seperti membuat acara

syukuran.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan dalam penelitian ini adalah :

1. Apa saja mitos dan kepercayaan rakyat masyarakat maritim di Kabupaten

Pesisir Selatan?

2. Bagaimana fungsi mitos dan kepercayaan rakyat masyarakat maritim di

Kabupaten Pesisir Selatan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendokumentasikanmitos dan kepercayaan rakyat masyarakat maritim di

Kabupaten Pesisir Selatan.

2. Menjelaskan fungsi mitos dan kepercayaan rakyat masyarakat maritim di

Kabupaten Pesisir Selatan.

1.4 Tinjauan Pustaka

Iswidayati Sri, 2007.dalam artikelnya yang berjudul “Fungsi Mitos Dalam

Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Pendukungnya”.Yang terbit dalam

Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni.Berdasarkan hasil penelitian

4
Iswidayati Sri peneliti dapat menyimpulkan bahwa Fungsi Mitos dalam kehidupan

sosial budaya masyarakat pendukungnya adalah (1). Untuk mengembangkan

simbol-simbol yang penuh makna serta menjelaskan fenomena lingkungan yang

mereka hadapi (2). Sebagai pegangan bagi masyarakat pendukungnya untuk

membina kesetiakawanan sosial diantara para anggota agar ia dapat saling saling

membedakan antara komunitas terutama untuk mengukuhkan dan menanamkan

nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan keyakinan tertentu.

Susanti Nuria (2018) dalam skripsinya berjudul “Mitos Matu dalam

Kepercayaan Masyarakat Pesisir (studi di pekon way sindi kecamatan karya

penggawa-pesisir barat”.Susanti nuria menyimpulkan bahwa untuk mengetahui

bagaimana persepsi pemerintahan, dan masyarakat setempat tentang adanya ritual

Ngundang matu serta untuk mengetahui makna dan bentuk dari ritual

tersebut.Dalam pelaksaan ritual ngundang matu ini biasanya dilakukan pada saat

keluarga dari keturunan kerajaan baik itu suntan,dalomraja,sai batin, dan minak

melakukan suatu acara seperti nganjong/butayuh,busunatngeni belagh adok dan

lain-lain.

Uniawati, 2011.Dalam artikelnya yang berjudul “Mitos Melaut

Masyarakat Bajo Di Buton”.Yang terbit di Jurnal Metasastra, Vol.4, No.1. Juni

2011:90-100. Berdasarkan hasil penelitian Uniawati peneliti dapat menyimpulkan

sebagai masyarakat pelaut, masyarakat Bajo memandang mitos-mitos tersebut

sebagai alat untuk mempertahankan rasa superioritas yang dimilikinya terhadap

masyarakat luar.Mitos merupakan pemicu semangat untuk membuktikan pada

5
dunia luar mengenai ekistensi mereka pada dunia kelautan.Melaut adalah suatu

kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Bajo sebagai usaha di luar mereka.

Yusanti, Elva. 2019. Dalam artikelnya yang berjudul “Fungsi Mitos

Dalam Kehidupan Masyarakat PulauTemiang, Jambi”.Yang terbit di Jurnal

Totobuang, Vol.7, No. 1, Juni 2019:171-181. Berdasarkan hasil penelitian Yusanti

peneliti dapat menyimpulkan keyakinan masyarakat pulautemiang akan kebenaran

mitos menunjukkan bahwa mitos memiliki peran dan fungsi yang penting dalam

kehidupan kelompok masyarakat itu, mitos dijadikan acuan dalam beraktifitas dan

bersosialisasi karena ada nilai pembenaran yang terkandung di dalam mitos, mitos

bahkan dijadikan sebagai tameng atau perisai untuk melindungi seseorang dari

sesuatu yang membahayakan jiwa. Meskipun dianggap bertentangan dengan

ajaran agama, mitos tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat

pulautemiang sampai saat ini.

Sukatman, dkk. 2017. dalam artikelnya yang berjudul “Mitos dalam Ritual

Ruwatan Masyarakat Madura di Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo”.

Yang terbit di jurnal Edukasi 2017, IV (I): 13-19. Berdasarkan hasil penelitian

Sukatman peneliti dapat menyimpulkan bahwa pewarisan mitos dalam ritual

ruwatan dilakukan agar keberadaan mitos tetap terjaga dan tidak punah karena

perkembangan zaman, cara pewarisan ritual ruwatan dilakukan secara turun

temurun yang diwariskan kepada ahli waris yang memenuhi syarat.

6
Ruslan Idrus, 2014. Dalam artikelnya yang berjudul “Religiolitas

Masyarakat Pesisir”.yang terbit di jurnal Al-AdYaN/Vol. IX, No.2/ juli-Desember

2014. Berdasarkan hasil penelitian Ruslan Idrus peneliti dapat menyimpulkan

bahwa tradisi sedekah laut masyarakat kelurahan kangkung merupakan ekspresi

terhadap keterbatasan manusia dimana para nelayan mengharapkan keselamatan

sewaktu melaut dan hasil panen meningkat.

Stanislaus Sugiyarta, dkk. 2019. Dalam artikelnya yang berjudul “Sistem

Kepercayaan (BELIEF) Masyarakat Pesisir Jepara Pada Tradisi Sedekah

Laut”.Yang terbit di Intuisi Jurnal Psikologi Ilmiah. Berdasarkan penelitian

Stanislaus dkk peneliti dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Pesisir Jepara

Percaya jika tidak nelakukan tradisi sedekah laut tetapi ada sesaji yang tidak

komplit maka akan terjadi musibah dan hasil laut tangkapan laut tidak melimpah.

Keyakinan masyarakat pesisir jepara tersebut menjadi factor terpenting bagi

bertahannya tradisi sedekah laut.

Indrayatti Wahyu,dkk. 2018. Dalam artikelnya yang berjudul “Foklor

Kepercayaan Masyarakat Melayu Di Kabupaten Bintan”. Yang terbit di jurnal

Kiprah, desember 2018: V1 (2): 8-16. Berdasarkan penelitian Indrayatti, dkk

peneliti dapat menyimpulkan bahwa mendeskripsikan foklor kepercayaan rakyat

pada masyarakat Melayu di Kabupaten Bintan, ada empat kepercayaan rakyat (1)

kepercayaan rakyat masyarkat berhubungan dengan lingkaran hidup manusia, (2)

kepercayaan rakyat masyarakat mengenai alam gaib, (3) kepercayaan rakyat

7
masyarakat mengenai terciptanya alam semesta dan dunia, (4) fungsi kepercayaan

rakyat dalam kehidupan masyarakat.

Asrif, 2015.Dalam artikelnya yang berjudul “Pengaruh Mitos Imbu

Terhadap Perlindungan Alam Laut Kepulauan Wakatobi”.Yang terbit di jurnal

Kandai, Vol.11. No. 1, mei 2015: 84-98. Berdasarkan penelitian Asrif, peneliti

dapat menyimpulkan bahwa Mitos imbu dan ritual kemaritiman lainnya berperan

penting dalam melindungi alam laut, mitos imbu berfungsi menjaga relasi kedua

belah pihak antara manusia dan alam laut.

Penelitian di atas tentunya tidak terkait dengan penelitian ini.Namun,

kehadirannya dinilai penting dan relevan dengan penelitian ini, untuk memahami

objek, teori, dan metodologi yang digunakan.

1.5 Landasan Teori

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan ilmu folklor dan menggunakan

teori fungsional. Ilmu folklor berhubungan dengan tradisi-tradisi yang

berkembang dalam kelompok masyarakat yang diciptakan dari zaman ke zaman

setra akan memperkuat teori fungsional tersebut, dan saling membantu dalam

menganalisis fungsi yang terdapat dalam mitos dan kepercayaan rakyat yang

berkembang di Masyarakat Maritim Pesisir Selatan.

Kata folklor adalah pengindonesiaan dari inggris yaitu folklore. Kata ini

berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes ( Danandjaja,

2002: 1-2) folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik,

8
sosial, dan kebudayaan lainnya. Sedangkan Loreadalah tradisi folk, yaitu sebagian

kebudayaannya yang diwariskan turun temurun secara lisan atau melalui sebuah

contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu mengingat.

Bahan-bahan folklor dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan yaitu: 1)

folklor lisan, 2) folklor setengah lisan, 3) folklor bukan lisan. Folklor lisan

meliputi: (a) bahasa rakyat, seperti julukan tradisional, (b) ungkapan tradisional,

seperti pribahasa, (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, (d) puisi rakyat,

seperti gurindam, dan pantun, (e) cerita rakyat seperti, mite, legenda, dan dongeng,

(f) nyanyian rakyat. Folklor setengah lisan, seperti kepercayaan rakyat, teater

rakyat, dan tarian rakyat. Folklor bukan lisan, seperti arsitektur, dan obat-obatan

rakyat (Brunvand dalam Danandjaja, 1984: 20). Mitos dan kepercayaan rakyat

salah satu bentuk folklor lisan dan setengah lisan karena merupakan salah satu

bentuk mitos dan kepercayaan rakyat, untuk menganalisis bentuk fungsi yang

terdapat pada mitos dan kepercayaan rakyat, peneliti berpedoman pada kerangka

teori R.William Bascom.

Teori Fungsionalisme Malinowski (dalam Endraswara, 2009: 124-125)

menganggap bahwa budaya itu berfungsi apabila terkait dengan kebutuhan dasar

manusia, hal ini yang menjadi dasar teori fungsi.Malinowski juga beranggapan

bahwa fungsi dari unsur-unsur kebudayaan dipergunakan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan naluri manusia dan kebutuhan kebudayaan itu sendiri.

Kebutuhan naluri manusia seperti kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari,

kebutuhan untuk makan dan minum, kebutuhan akan hiburan dan lain sebagainya.

9
Menurut Bascom(dalam Endraswara, 2009: 128-129) ada empat fungsi

folklor dalam hidup manusia, yaitu:

1. Sebagai sistem proyeksi (projective system). Sebagai contoh, kalau di

Jawa Barat ada Cerita Sangkuriang merupakan proyeksi keinginan

manusia untuk bersenggama dengan ibu kandungnya. Jika ditinjau dari

Psikoanalisis Freud, keinginan manusia yang meledak-ledak itu sering

terpendam. Keinginan yang dinamakan oidipus complextersebut

diwujudkan ke dalam mimpi, karena masyarakat akan melarangnya. Hal

yang sama juga terjadi pada cerita-cerita di Jawa, tentang larangan

perkawinan dengan saudara misan. Larangan semacam ini sering

diwujudkan ke dalam bentuk larangan (ora ilok) dan juga cerita fiktif.

( Endraswara 2009:128)

2. Sebagai alat pengesahan kebudayaan (validating culture). Di Jawa Timur

ada legenda binatang cecak yang menghianati Nabi Muhammmad SAW,

yakni kisah nabi yang dihianati cecak yang bewarna kelabu, sewaktu

beliau bersembunyi di dalam goa untuk menghindari kejaran musuh-

musuhnya. Legenda ini digunakan untuk menghindari masyarakat Jawa

Timur tidak membunuh cecak bewarna kelabu pada hari jumat Legi. Hal

ini jika dilanggar akan mengakibatkan sial. Termasuk di dalamnya lagi

tentang gogon tuhon dalam masyarakat Jawa tentang Ki Ageng Sela.

Tokoh ini dianggap memiliki keistimewaan yaitu dapat menangkap petir.

10
Maka kalau ada petir harus mengucapkan “Gandrik putune Ki Ageng

Sela”, agar tidak disambarnya ( Endraswara 2009 : 129)

3. Sebagai alat pendidikan (pedogogikal device). Tidak sedikit dongeng-

dongeng Jawa yang merupakan bentuk ajaran pada anak-anak. Lagu Ilir-

ilir, Cublak-cublak Suweng, dan Wajibe Dadi Murid. Dalam lagu rakyat

Bang-bang tut, menurut Samino ( 1992:4) juga merupakan pendidikan

pendidikan agar siapa yang berbuat salah sebaiknya mengaku salah

( Endraswara 2019 : 129)

4. Sebagai pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta sebagai alat

pengendalian sosial (as a mean of applying social pressure and

axcerciising social control). Berbagai gugon tuhon, seperti aja lungguh

bantal mundhak wudunen, aja mangan neng ngarep lawing, dan

sebagainya adalah contohnya (Endraswara 2009: 129).

Keempat fungsi yang dikemukakan Bascom tersebut, pada dasarnya foklor

akan berfungsi memantapkan identitas serta memantapkan integrasi sosial dan

secara simbolis mampu mempengaruhi masyarakatnya. Bahkan, kadang-kadang

foklor justru lebih lebih kuat pengaruhnya jika dibandingkan dengan sastra

modern.Teori fungsi awalnya dikemukakan oleh Malinowski, seorang antropologi

sosial. Menurut Malinowski, dongeng dapat dijadikan sebagai alat pendidikan

anak dan control sosial. Dongeng suci dianggap sebagai hal sacral dan benar-

benar terjadi (Endraswara, 2009: 127-128).

11
1.6 Metode dan Teknik Penelitian

Metode merupakan cara kerja yang dipakai untuk memahami suatu objek

yang menjadi ilmu yang diterapkan dalam penelitian ini.Peneliti ini menggunakan

metode kualitatif dengan pendekatan folklor. Diungkapkan Danandjaja (dalam

Endraswara, 2003: 62) penggunaan metode kualitatif dalam penelitian folklor

disebabkan oleh kenyataan bahwa folklor mengandung unsur-unsur budaya yang

diamanatkan pendukung budaya tersebut. Ada tiga tahap yang harus dilalui

seorang peneliti di tempat jika berhasil dalam usahanya, yaitu: (1) teknik

pengumpulan data, (2) teknik analisis data, (3) teknik penyajian data.

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Menurut (Danandjaja: 193) penelitian folklor terdiri antara lain dari tiga

macam atau tahap,yakni: pengumpulan,penggolongan (pengklasifikasian) dan

penganalisaan. Penelitian macam pengumpulandengan tujuan pengarsipan atau

pendokumentasian ini bersifat penelitian di tempat (field work). Ada tiga tahap

yaitu: (1) tahap prapenelitian di tempat, (2) tahap penelitian di tempat yang

sesungguhnya, dan (3) cara pembuatan naskah foklor bagi pengarsipan.

1. Prapenelitian di tempat

Sebelum memulai suatu penelitian, yaitu terjun ke tempat atau daerah kita

hendak melakukan penelitian suatu bentuk folklor, kita harus mengadakan

persiapan yang matang.Oleh karena itu, sebelum memulai penelitian yang

sesungguhnya kita harus terlebih dahulu membuat suatu rancangan

12
penelitian.Rancangan penelitian itu mengandung beberapa keterangan pokok,

seperti bentuk folklore apa yang hendak kita kumpulkan.

2. Penelitian di tempat

a. Studi Pustaka

Studi pustaka bertujuan untuk memperoleh informasi, data-data dan pendapat

para sarjana terlebih dahulu yang telah di jadikan dalam tulisan-tulisan terkait

masalah penelitian Mitos dan Kepercayaan Rakyat yang ada di Kabupaten Pesisir

Selatan .dengan studi kepustakaan ini penulis dapat mencari bahan tertulis yang

berkaitan dengan penelitian Mitos dan Kepercayaan Rakyat di Kabupaten Pesisir

Selatan.

b. wawancara

wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara mewawancarai informan

yang terdapat di daerah Kabupaten Pesisir Selatan, terkait dengan cerita rakyat

dan kepercayaan rakyat yang ingin diteliti, dalam penelitian ini wawancara

dilakukan secara lisan dengan informan, informan yang di wawancarai seperti

bapak camat, bapak lurah, ketua KAN, ketua RT, ketua RW, dan masyarakat yang

tinggal di pesisir pantai Kabupaten Pesisir Selatan.

13
c. Rekaman

pada saat peneliti ingin mewawancarai narasumber di lapangan, peneliti

harus menyiapkan handphone,tape recorder karena itu sangat penting untuk

mewawancarai narasumber untuk pergi kelapangan agar peneliti tidak keliru

untuk mendapatkan informasi yang diberikan narasumber dan juga agar hasil

wawancara bisa terdokumentasi dengan baik.

3. Cara Pembuatan Naskah Folklor Bagi Pengarsipan

Menurut (Danandjaja:201) ketentuan-ketentuan ini perlu bagi pengarsian

folklore nantinya. Folklore itu akan dipisah-pisahkan untuk disusun berdasarkan

perbedaan genre atau bentuk, suku bangsa, dan sebagainya.

a. Pada setiap lembar kertas tik di sebelah kiri harus diberikan jarak kosong

selebar 3,5 cm dan di sebelah kanan 2,5cm. pada bagian atas dan bawah diberi

jarak kosong masing-masing selebar 3,5cm. Setiap alinea baru harus dimulai

dengan lima ketukan kosong.

b. Pada setiap lembaran kertas pertama harus dibubuhi beberapa keterangan:

1. pada sudut kiri bagian atas kertas harus dibubuhi paling sedikit tiga keterangan

yaitu: (a) genre (misalnya kepercayaan), (b) daerah asal genre itu (misalnya

Sumatera Barat), (c) suku bangsa yang memilikinya (misalnya Minangkabau).

Keterangan yang lebih mendetail sudah tentu sangat diharamupkan, seperti

misalnya: Minangkabau, Bukik Tinggi, dan lain sebagainya. Jika mungkin

keterangan itu ditik dalam satu deret.

14
2. pada sudut kanan bagian atas harus dibubuhi keterangan mengenai informan

yang ditik dari atas ke bawah, dengan urutan sebagai berikut:

a.) Nama, umur, dan jenis kelamin yang ditik pada baris teratas (misalnya: Kliwon,

22 th, laki-laki).

b.) pekerjaan, kebangsaan, suku bangsa, dan tempat lahir, (misalnya: pedagang,

Indonesia, di Klaten Jawa Tengah).

c.) Bahasa yang dikuasai oleh informan dicantumkan dengan urutan, yang paling

disukai diletakkan paling depan (misalnya: jawa, inggris dan arab).

d.) tempat bahan ini diperoleh dari informan oleh pengumpulan folklor

(misalnya:warung kopi di Blora, Jawa Tengah).

3. pada sudut sebelah kanan bawah dibubuhi keterangan mengenai pengumpul

folklor yang dititk dari atas ke bawah dengan urut-urutan sebagai berikut:

a) Nama, suku bangsa, umur, dan jenis kelamin

b) Alamat sementara dan alamat tetap.

C. Pada setiap naskah koleksi foklor harus mengandung tiga macam bahan, yaitu:

(1) teks bentuk foklor yang dikumpulkan , (2) konteks teks yang bersangkutan

(contextual information), dan (3) pendapat dan penilaian informan maupun

mengumpul foklor (oral literary criticism and interpretation).

15
D. Kesalahan-kesalahan yang harus dihindari:

1. Sekali-kali tidak dibenarkan meredaksi item foklor untuk pengarsipan.

2. Jangan mengumpulkan suatu item foklor dari orang yang bukan anggota

kolektif yang hendak kita kumpulkan foklornya.

3. Jangan memuat lebih dari satu item atau bahan dalam satu naskah arsip biarpun

dari versi yang sama.

4. Jangan hanya memberi referensi lintas (crossreference) sebagai isi lembaran

naskah arsip.

E. Selain bahan-bahan foklor untuk pengarsipan itu, ada baiknya dibuat satu arsip

lagi yang memuat naskah-naskah riwayat hidup informan-informan yang penting,

yaitu yang banyak sekali menyumbangkan pengetahuannya ke dalam koleksi kita.

F. Penggolongan item-item foklor, yang telah kita kumpulkan untuk pengarsipan,

dapat kita lakukan berdasarkan klasifikasi genre-genre foklor, seperti yang telah

kami uraikan di muka berdasarkan klasifikasi Jan Harold Brunvand. Ke dalam

tiga kelompok besar : foklor lisan, foklor sebagian lisan, dan foklor bukan lisan.

1.6.2Teknik Analisis Data

Setelah penelitian di lapangan selesai dilakukan dan data telah

dikumpulkan, maka langkah selanjutnya adalah analisis data. Dalam menganalisis

data maka diperlukan untuk memilah dan menyalin data yang telah ditulis

kedalam bentuk tulisan. Dan pada akhirnya tulisan tersebut mudah untuk

16
dipahami dan juga harus memastikan bahwa data yang telah didapatkan lengkap

atau tidak. Setelah semua data diperbaiki maka dapat dilakukan analisis dengan

menggunakan pendekatan folklor.

1.6.3Teknik Penyajian Analisis Data

Melakukan analisis data maka maka data yang diperoleh berbentuk

deskripsi analisis.Deskripsi data yang dilakukan ini adalah berbentuk kata-kata

biasa tidak menggunakan lambang ataupun angka karena penelitian ini

menggunakan penelitian kualitatif.

17

Anda mungkin juga menyukai