Anda di halaman 1dari 15

KAWASAN LAUT BARAT INDONESIA: KEHIDUPAN DAN

PERMASALAHAN ORANG SUKU LAUT


Listia Anita Wati 1, Yeti Rochwulaningsih 2
Sosiologi Maritim, S2 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Diponegoro
listia.anitawati@gmail.com

Abstrak
Kawasan laut Barat Indonesia dalam sejarah kemaritiman, merupakan jalur
perdagangan penting dunia. Dari kerajaan Sriwijaya hingga masa Kesultanan
Islma Melayu, jalur ini menjadi lintasan penghubung dunia Barat dan Timur.
Dalam kawasan jalur lalulintas ini terdapat Suku Orang Laut yang berperan dalam
keamanan jalur perdagangan dari ancaman perompak laut. Orang Laut dipercaya
oleh raja dan sultan Melayu sebagai pengaman jalur lalu lintas laut. Sejak awal
abad ke-20 setelah runtuhnya kekuasaan kesultanan di Nusantara Orang Laut
kehilangan peran sebagai penjaga laut. Mereka dianggap sebagai orang terasing
dan primitif. Mereka lebih memilih hidup dengan cara dan sistem sendiri.
Penelitian ini bertujuan mengungkap kehidupan Orang Laut dengan menggunakan
Teori Fungsionalisme Struktural. Melihat bagaimana sistem sosial dan budaya
Orang Laut, serta mengungkap permasalahan yang terjadi pada kehidupan Orang
Laut. Penelitian ini menggunkan metode studi literatur dan analisis kualitatif. Dari
hasil temuan penelitian Orang Laut masih mempertahankan sistem sosial
kekerabatan dan tertutup serta pola homogen, sistem kebudayaan yang primitif.
Dengan sistem sosial dan sistem kebudyaan yang demikian menjadikan
mendorong mereka untuk berintegrasi sesama Orang Laut. Kuatnya resistensi
kebudayaan mereka menjadikan mereka sebagai suku yang unik. Beberapa
permasalahan yang muncul yaitu, sulitnya bagi pemerintah untuk memberikan
layanan sebagai hak bangsa dan meratakan kesejahteraan bangsa.
Kata kunci: Orang Laut, maritim, fungsionalisme struktural, Melayu.
PENDAHULUAN
Kawasan laut barat Indonesia, tepatnya di sepanjang perairan timur pulau
Sumatera memiliki peran penting dalam sejarah kemaritiman di Nusantara. Sejak
hadirnya Sriwijaya sebagai imperium terkuat di Asia Tenggara, hingga masa
kejayaan Kerajaan Islam dan berkuasanya bangsa Barat di abad ke-17 hingga abad
XX. Lalu lintas yang masih mengandalkan laut sebagai pengubung antar wilayah
di berbagai belahan dunia masa itu, menjadikan Perairan Timur Sumatera sebagai
jalur pelayaran yang sangat ramai1. Selain menjadi kawasan jalur perdagangan

1
Ichwan Azhari. Dekonstruksi Pembelajaran Sejarah Lokal di Kepulauan Riau. Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 28, Nomor 2, Desember 2019 e-ISSN 2540-7694 p-ISSN 0854-
5251,hlm. 253.

1
Internasional, Perairan Timur Sumatera juga menjadi lingkungan hidup orang
suku laut. Mereka hidup tersebar di beberapa kawasan seperti, kawasan perairan
Batam, Kepulauan Riau, Lingga, Perairan Jambi, Perairan Bangka Belitung.
Orang laut di kawasan perairan Batam disebut dengan “Orang
Pasukuan”2, di kawasan laut Riau orang laut diakui sebagai Orang Melayu3,
orang laut di kawasan laut Jambi dikenal sebagai “Suku Duano”4. Orang Laut
adalah salah satu suku bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) yang memiliki pola
hidup nomaden dengan ciri kebudayaan yang berbeda dengan orang-orang yang
tinggal di daratan. Orang Laut hidup berpindah dari satu wilayah laut ke wilayah
laut lainnya tergantung pada musim. Mereka hidup berpindah-pindah,
menggunakan sampan yang sekaligus merupakan tempat tinggal mereka ketika di
laut. Sampan merupakan simbol sebuah kesatuan keluarga, satu sampan berisi
satu keluarga. Sampan tersebut beratapkan kajang, yaitu atap sampan yang terbuat
dari daun rumbia. Kehidupan mereka sangatlah bergantung pada laut dan sangat
tradisional, laut dan wilayah pesisirnya yang berdekatan selalu menjadi rumah
bagi Orang Laut5.
Kajian terdahulu yang membahas Suku Orang Laut di kawasan laut timur
Sumatera adalah sebagai berikut. 1) Ichwan Azhari. Dekonstruksi Pembelajaran
Sejarah Lokal di Kepulauan Riau. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 28,
Nomor 2, Desember 2019 e-ISSN 2540-7694 p-ISSN 0854-5251. 2) Novita
Mandasari. Strategi Adaptasi Orang Laut di Batam, Jurnal Pendidikan Sejarah dan
Ilmu-ilmu Sosial, Vol. 2, No.1 Agustus 2018, p-ISSN: 2614-1159 | e-ISSN: 2622-
1373. 3) Cynthia Chou, Contesting the Tenure of Territoriality The Orang Suku
Laut, https://www.jstor.org/stable/27865391. 4) Indar Desi, Skripsi Perubahan
Sistem Mata Pencaharian Perempuan Suku Duano di Kelurahan Tanjung Solok

2
Novita Mandasari. Strategi Adaptasi Orang Laut di Batam, Jurnal Pendidikan Sejarah
dan Ilmu-ilmu Sosial, Vol. 2, No.1 Agustus 2018, p-ISSN: 2614-1159 | e-ISSN: 2622-1373, hlm. 12
3
Cynthia Chou, Contesting the Tenure of Territoriality The Orang Suku Laut,
https://www.jstor.org/stable/27865391, hlm. 606.
4
Indar Desi, Skripsi Perubahan Sistem Mata Pencaharian Perempuan Suku Duano di
Kelurahan Tanjung Solok Kecamatan Kuala Jambi, Ilmu Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, hlm. 7.
5
Agus Dermawan, dkk. Suku Laut Mengarungi Kehidupan Selingkar Sampan,
Kementrian Kelautan dan Perikanan. hlm. 5.

2
Kecamatan Kuala Jambi, Ilmu Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
Untuk mendeskripsikan kehidupan Orang Suku Laut, penulis
menggunakan teori fungsionalisme struktural dari Talcott Parsons. Teori ini
memandang bahwa masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi secara
fungsional ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Adanya suatu keterkaitan dan
ketergantungan antar aspek kehidupan manusia di lingkungan bermasyarakat
sehingga akan melahirkan sebuah kesatuan sistem yaitu, sistem sosial dan sistem
kebudayaan. Penulis akan menggunakan konsep-konsep imperatif fungsional
(AGIL) yang dikembangkan oleh Parsons, konsep tersebut bertujuan agar sebuah
sistem tetap bertahan6. Penelitian ini penting karena peranan Orang Laut di
perairan Indonesia sebagai orang penjaga laut yang melindungi kelestarian laut
serta sumber daya laut dari pencuri luar negeri yang sering mengeksploitasi
sumber daya laut Indonesia. Peran Orang Laut sebagai penjaga laut sudah sejak
zaman kerajaan Islam, mereka diberi tanggung jawab oleh Sultan Malaka untuk
menjaga perairan timur Sumatera dari perompak. Pada realitas kehidupan, Orang
Laut sering dipandang kotor dan primitif oleh masyarakat modern hal tersebut
seharusnya tidak terjadi mengingat peran Orang Laut dan mereka juga termasuk
bangsa setanah air.
Penelitian ini berfokus pada kehidupan orang laut yang memiliki sebuah
sistem sosial dan kebudayaan serta mengungkap permasalahan yang terjadi pada
kehidupan mereka. Penelitian ini bermanfaat sebagai penambah pengetahuan dan
pembuka cakrawala pembaca, terkait kehidupan Orang Suku Laut di perairan
timur Sumatera. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai referensi bagi calon
peneliti yang tertarik dengan tema Suku Orang Laut yang merupakan sub bahasan
dari kajian Sosiologi Maritim.

6
Akhmad Rizki. Formulasi Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons. Jurnal Of
Language, Literary and Cultural Studies. Vol. 2, No. 2. 2018, hlm. 60-66

3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi literatur, dengan mengumpulkan data
melalui studi pustaka, dan beberapa karya ilmiah dalam metode penelitian sejarah
dikenal dengan heuristik. Dilakukan telaah bahan-bahan bacaan berupa buku,
artikel dalam jurnal, hasil penelitian dan laporan pemerintah atau dikenal sebagai
kritik sumber. Analisis data dilakukan menggunakan metode analisis kualitatif
dalam metode penelitian sejarah yaitu, interpretasi dan tahap terakhir historiografi
yaitu, merekonstruksi hasil penelitian dengan menggunakan kalimat, bahasa yang
baik dan benar lalu disajikan dalam bentuk artikel ilmiah.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Kehidupan Orang Laut
Beberapa istilah yang sering digunakan orang untuk menyebut
masyarakat yang tinggal di kawasan laut dengan sampan sebagai tempat
tinggalnya. Orang Laut sering juga disebut sebagai, suku laut, orang
sampan, pengembara laut, dan lain sebagainnya. Walaupun istilah yang
digunakan berbeda-beda subyek yang dimaksud adalah sama. Mereka
adalah manusia yang sebagian besar waktu kehidupannya dihabiskan di
laut, sejak fajar menyingsing hingga matahari menghilang di ujung barat
cakrawala. Mulai dari makan hingga minum, mulai dari terbangun hingga
terlelap, bahkan untuk bercinta dan melahirkan sekalipun mereka lakukan
di atas perahu atau sampan yang terapung di permukaan laut. Beberapa
orang laut menyebut rumahnya dengan istilah kajang, begitulah gambaran
kehidupan Orang Laut. Kehidupan semacam itu telah menjadi takdir bagi
mereka, laut dengan mereka telah menjadi satu kesatuan yang tak
terpisah7.
Kajang adalah atap perahu yang terbuat dari daun rumbia8,
dipasang diatas perahu untuk melindungi diri dari panas dan hujan. Dalam
satu Kajang berisi satu keluarga yang anak-anaknya masih kecil dibawah
7
KEMENDIKBUD. 2017. Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat. Jakarta: Pusat
Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang. ISBN: 978-602-8613-75-0, hlm. 10
8
Agus Dermawan, dkk. Suku Laut Mengarungi Kehidupan Selingkar Sampan,
Kementrian Kelautan dan Perikanan. hlm. 5.

4
umur 10 tahun. Jika anak laki-laki telah beranjak remaja akan dibuatkan
kajang sendiri oleh sang ayah. Diatas kajang itulah kehidupan mandiri
seorang Suku Laut dimulai, si remaja akan belajar mencari ikan sendiri
guna memenuhi kebutuhan hidupnya hingga memasak sendiri. Pada masa
ini mereka juga akan mencari pasangan hidupnya yang akan hidup
bersama dalam kajang membentuk sebuah keluarga kecil. Orang Laut
hidup berkelompok, biasanya dalam satu kelompok terdiri daro 30-an
Kajang9.
Orang Laut adalah salah satu suku bangsa Melayu Tua (Proto
Melayu), yang memiliki pola hidup nomaden dengn ciri kebudayn yang
berbeda dengan orang Melayu yang berdomisili di daratan. Orang Laut
hidup berpindah dari satu wilayah laut ke wilayah laut lainnya tergantung
pada musim. Mereka hidup tersebar di seluruh kawasan laut Riau-Lingga
dan pantai selatan Semenanjung Malaysia (Johor), pantai timur Sumatera
dan Bangka-Belitung10.
Terkait perekonomian, Orang Laut menangkap ikan untuk
memenuhi kebutuhan, baik untuk dikonsumsi sehari-hari atau dijual
dengan masyarakat daratan. Bagi Orang Laut menangkap ikan bukan
sekedar mata pencaharian melainkan juga sebagai kebiasaan hidup. Pada
tsebelum tahun 1970-an Orang Laut menggunakan sistem barter dengan
masyarakat daratan. Hasil tangkapan laut ditukarkan dengan beras,
pakaian, kopi, gula, roti dan lain sebagainnya. Setelah diadakannya
relokasi pemukiman oleh pemerintahan Orde Baru tahun 1970 Orang Laut
mulai mengenal alat tukar uang. Aktivitas penangkapan ikan tidak hanya
dilakukan oleh orang dewasa, melainkan anak-anak mereka sudah
diajarkan sejak kecil untuk menangkap ikan. Sejak usia 8 tahun mereka
sudah diajak melaut oleh ayahnya11.
9
KEMENDIKBUD. 2017. Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat. Jakarta: Pusat
Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang. ISBN: 978-602-8613-75-0, hlm. 10
10
Agus Dermawan, dkk. Suku Laut Mengarungi Kehidupan Selingkar Sampan,
Kementrian Kelautan dan Perikanan. hlm. 5-6.
11
Novita Mandasari. Strategi Adaptasi Orang Laut di Batam, Jurnal Pendidikan Sejarah
dan Ilmu-ilmu Sosial, Vol. 2, No.1 Agustus 2018, p-ISSN: 2614-1159 | e-ISSN: 2622-1373, hlm.
15-16

5
Teknologi dan sistem penangkapan ikan yang masih tradisional
dan sederhana membuat laut tetap terjaga kelestariannya. Selain ikan
mereka juga mengumpulkan rumput laut, dijemur lalu dijual pada touke.
Orang Laut sekitar perairan Batam sangat handal dalam pembuatan perahu
yang sering mereka sebut dengan istilah pompong. Perahu pompong ini
merupakan kemajuan dari pemikiran mereka yang teah mengenal dan
menggunakan mesin sebagai alat penggerak. Mesin ini menggunakan
bahan bakar minyak, terkadang mereka menjual hasil laut kemudian uang
dari penjualan untuk membeli bahan bakar. Alat tangkapan mereka juga
beraneka ragam, seperti bubu yang terbuat dari bambu, jaring, tombak,
pancing dan lain sebaginya12.
A. Sistem Sosial
Adalah interaksi antara dua individu atau lebih dalam satu
lingkungan tertentu, tapi interaksi itu tidak terbatas antara individu-
individu saja melainkan juga mencakup interaksi antara kelompok
dengan kelompok, instansi dengan instansi, dan organisasi-organisasi.
Sistem sosial selalu terarah pada ekuilibrium atau keseimbangan dan
terbentuknya ekuilibrium itu bukanlah secara kebetulan melainkan atas
konsensus, penilaian umum masyarakat. Hal yang paling penting
dalam penilian itu adalah norma-norma sosial yang kemudian
membentuk struktur sosial13.
Secara histioris Orang Laut memiliki peran penting pada masa
kejayaan kerajaan maritim di Nusantara. Mereka ditugaskan dan
dipercaya oleh kerajaan Sriwijaya untuk menjaga perairan sekitar
lintasan perdagangan dari perompak. Hingga pada masa kejayaan
kesultanan Islam Melayu mereka tetap memiliki peran sebagai penjaga
laut. Sejak tahun 1911 saat jatuhnya kesultanan Riau-Lingga ke tangan
pemerintahan Hindia Belanda mereka tidak memiliki peran tersebut.
12
Novita Mandasari. Strategi Adaptasi Orang Laut di Batam, Jurnal Pendidikan Sejarah
dan Ilmu-ilmu Sosial, Vol. 2, No.1 Agustus 2018, p-ISSN: 2614-1159 | e-ISSN: 2622-1373, hlm.
16-17
13
Akhmad Rizki. Formulasi Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons. Jurnal Of
Language, Literary and Cultural Studies. Vol. 2, No. 2. 2018, hlm. 63

6
Setatus sosialnya dianggap rendah oleh orang Melayu daratan, karena
Orang Laut dianggap jorok dan tidak beragama14.
Mereka sama-sama orang Melayu tetapi siantara Orang Laut
dan orang Melayu daratan saling memiliki stigma negatif dalam
memandang. Orang Melayu daratan menganggap Orang Laut bukanlah
“umat” karena tidak menjalankan adat Melayu, berbudaya Melayu,
berpakaian layaknya orang Melayu dan tidak beragama Islam15. Dalam
interaksi antara orang Melayu dan Orang Laut, ada banyak ketakutan
dan kecurigaan dari antara mereka, orang Melayu takut diracuni dan
dilukai melalui praktik sihir Orang Laut. Ini bermula dari persepsi
orang Melayu tentang Orang Laut sebagai 'orang yang berbahaya,
kotor, dan tidak maju'. Orang Laut menganggap Muslim Melayu
dengan kecurigaan pula, karena mereka percaya bahwa Al-Qur'an
mengandung unsur ilmu hitam16.
Begitu pula sebaliknya, menurut pandangan Orang Laut
daratan sebagai tempat tinggal orang Melayu dianggap kotor. Karena
tanah adalah tempat untuk menguburkan jenazah atau kerabat yang
meninggal sehingga mereka beranggapan bahwa daratan tidak layak
untuk dijadikan tempat tinggal. Orang Laut akan menepi ke sebuah
pulau untuk menguburkan jenazah kerabat yang meninggal, lalu
mereka kembali ke laut17. Walaupun terdapat persepsi yang berbeda
antar kedua kelompok tersebut, bukan berarti mereka tidak melakukan
interaksi. Ada kalanya Orang Laut menjual hasil tangkapan laut
kepada orang Melayu daratan dan membeli beberapa peralatan untuk
keperluan hidup Orang Laut. Pada sisi lain orang Melayu daratan

14
Agus Dermawan, dkk. Suku Laut Mengarungi Kehidupan Selingkar Sampan,
Kementrian Kelautan dan Perikanan. hlm. 7.
15
KEMENDIKBUD. 2017. Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat. Jakarta: Pusat
Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang. ISBN: 978-602-8613-75-0, hlm. 11
16
Cynthia Chou, Contesting the Tenure of Territoriality The Orang Suku Laut,
https://www.jstor.org/stable/27865391, hlm. 606-608.
17
KEMENDIKBUD. 2017. Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat. Jakarta: Pusat
Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang. ISBN: 978-602-8613-75-0, hlm. 11

7
merasa terbantu dengan hasil tangkapan laut seperti ikan segar, lobster,
kepiting, teripang, rumput laut dan lain sebaginya.
Dalam kehidupan di laut, Orang Laut membentuk sebuah
kelompok yang terdiri atas 30-an kapal. Hidup dengan aturan, nilai dan
norma berdasarkan kesepakatan mereka bersama, memiliki pemimpin
kelompok. Aturan-aturan saat mencari ikan, menghormati roh, adab
saat berlayar dan melewati tempat-tempat keramat, memberikan
sesajen sebagai rasa terimakasih. Hal tersebut sudah menjadi
keharusan bagi mereka dan tidak boleh dilanggar. Penentuan batas
teritorial wilayah penangkapan ikan, jenis-jenis ikan yang boleh
ditangkap. Aturan-aturan tersebut mereka buat dan mereka
menghormatinya.
Secara struktur sosial, Orang Laut masih hidup dalam lingkup
kelompok yang tidak terlalu besar atau sekitar lima sampai delapan
keluarga inti. Kelompok yang masih dalam satu kerabat ini dipimpin
seorang laki-laki yang ditunjuk melalui sebuah musyawarah.
Pemimpin ini berfungsi sebagai perantara ketika menjalin komunikasi
dengan Orang Laut yang tersebar di Kepulauan Riau. Walau
pemimpinnya seorang laki-laki, relasi antargender (laki-laki dengan
perempuan) cukup egaliter dalam praktik kehidupan sosialnya. Hal ini
didasari kesepakatan bersama, biasanya dimulai dari himpunan
keluarga terkecil yang telah menetapkan pembagian peran secara
seksual serta posisi sosial masing-masing. Anak-anak Suku Laut pada
umur 6-12 tahun tahu tentang sopan santun terhadap orang yang lebih
tua dan sebaya dan tahu perbuatan yang baik dan mana yang tidak18.

B. Sistem Kebudayan
Yang ada di dalam sistem ini adalah unit analisis kepercayaan
agama, bahasa, dan lain-lain. Sistem kultural merupakan kekuatan
18
KEMENDIKBUD. 2017. Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat. Jakarta: Pusat
Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang. ISBN:978-602-8613-75-0, hlm. 19-
20

8
utama yang mengikat berbagai unsur dunia sosial19. Secara historis
Orang Laut memiliki hubungan simbiotik ekonomi dan budaya dengan
orang Melayu di pelabuhan perdagangan. Dalam perkembangannya
mereka memiliki jalan yang berbeda walaupun secara garis keturunan
mereka berasal dari nenek moyang yang sama. Sistem kebudayaan
Orang Laut masih tergolong primitif, karena masih menerapkan
praktik animisme. Mempercayai hal-hal mistis yang terkandung dalam
benda-benda, kepercayaan terhadap roh laut. Mereka masih melakukan
ritual sesajian kepada roh sebagai wujud terimakasih atau pertolongan
dan penghormatan. Mereka masih bersifat tertutup terhadap
kebudayaan luar, kekhawatiran terhadap orang luar yang ingin
mengajak mereka tinggal ke daratan.
Salah satu kebudayaan Orang Laut yang terkenal adalah Tari
Campak Laut. Tarian ini mirip tarian Melayu yang dipadukan dengan
berbalas pantun. Orang Laut selalu memegang komitmen kuat akan
kehormatan dan jati diri mereka. Mereka tidak mau beralih pada
profesi lain selain menjadi pemburu laut, mereka juga tidak tertarik
hal-hal yang berbau daratan. Mereka hidup dan berbudaya selama
berabad-abad di atas lautan. Melihat kebudayaan Orang Suku Laut dari
perspektif evolusionis, kebudayaan mereka secara umum berbeda
dengan budaya orang Melayu. Kendati, masih tampak elemen-elemen
‘Melayu’ dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini bisa dilihat salah
satunya dalam aktivitas Orang Laut yang mempraktikkan pantun di
waktu senggang. Sementara itu, perbedaan kultural yang paling kasat
mata, terletak pada stuktur sosial (sistem kekerabatan dan relasi
antargender) dan budaya materinya20.
C. Konsep Imperatif Fungsional AGIL
1) Adaptation
19
Akhmad Rizki. Formulasi Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons. Jurnal Of
Language, Literary and Cultural Studies. Vol. 2, No. 2. 2018, hlm. 65
20
KEMENDIKBUD. 2017. Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat. Jakarta: Pusat
Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang. ISBN:978-602-8613-75-0, hlm.17-
19

9
Merupakan kemampuan masyarakat untuk berinteraksi
dengan lingkungan yang ada dan alam sekitarnya. Hal ini
mencakup segala hal seperti mengumpulkan sumber-sumber
kehidupan dan komoditas serta redistribusi sosial21. Orang Laut
lebih dominan berinteraksi dengan alam sebagai tempat
pemenuhan kebutuhannya. Mereka memanfaatkan hutan untuk
memperoleh buah-buahan, kayu untuk pembuatan teknologi
mereka. Memanfaatkan sumber daya laut untuk memenuhi
kebutuhan pangan. Ada kalanya mereka melakukan interaksi
dengan orang luar kelompoknya (Melayu) untuk memperoleh
barang-barang sandang dan beberapa peralatan untuk pembuatan
alat tangkap ikan.
2) Goal Attainment
Kecakapan untuk mengatur dan menyusun tujuan-tujuan
masa depan dan membuat keputusan yang sesuai dengan tujuan
tersebut. pemecahan permasalahan politik dan sasaran sosial adalah
bagian dari kebutuhan ini22. Dari konsep ini orang laut tidak
memiliki kemampuan untuk merealisasikannya. Karena mereka
tidak memiliki tujuan masa depan yang bersifat jangka panjang.
Pemenuhan kehidupan lebih bersifat jangka panjang dan sesaat.
Pemecahan permasalahan politik dan sasaran sosial tidak akan
tercapai karena mereka hidup tanpa politik dan sasaran sosial
layaknya orang yang tinggal di daratan. Pengetahuan mereka
sebatas lingkup kehidupan sekitar dan sebatas pemenuhan
kebutuhan jangka pendek.
3) Integration
Adalah harmonisasi keseluruhan anggota sistem sosial
setelah sebuah general agreement mengenai nilai-nilai atau norma-

21
Akhmad Rizki. Formulasi Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons. Jurnal Of
Language, Literary and Cultural Studies. Vol. 2, No. 2. 2018, hlm. 66
22
Akhmad Rizki. Formulasi Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons. Jurnal Of
Language, Literary and Cultural Studies. Vol. 2, No. 2. 2018, hlm. 66

10
norma pada masyarakat telah ditetapkan disinilah peran nilai
tersebut sebagai pengintegrasi sebuah sistem sosial23. Integrasi
sesama kelompok Orang Laut tetap terjaga, sifat mereka yang
tertutup terhadap pengaruh dari luar menjadikan sebuah resistensi
bagi sistem kebudayaan dan sistem sosial mereka. Beberapa upaya
yang dilakukan pemerintah untuk mengajak Orang Laut tinggal ke
daratan mengalami kegagalan. Karena hal yang tidak mungkin bagi
mereka untuk tinggal di darat. Sikap yang tertutup ini menambah
kekuatan mereka untuk berintegrasi sesama Orang Laut.
Keharmonisan anggota sistem sosial makin terjalin karena mereka
saling menghargai nilai dan norma serta hukum yang mereka
sepakati bersama. Sehingga hampir tidak pernah terdengar sebuah
peperangan antar Suku Orang Laut.
4) Latency
Merupakan pemeliharaan pola, dalam hal ini nilai-nilai
kemesyarakatan tertentu seperti budaya, bahasa, norma, aturan, dan
sebagainnya24. Kuatnya resistensi sistem kebudayaan dan sistem
sosial Orang Laut menjadikan mereka sulit untuk meninggalkan
lingkungan laut. Pemertahanan nilai-nilai, pola-pola, budaya,
bahasa, norma, aturan menyebabkan mereka mendapat perlakuan
diskriminatif dari orang Melayu daratan. Orang Melayu daratan
tidak mengakui Orang Laut sebagai bagian dari mereka karena
tidak berpaiakaian layaknya orang Melayu, berbahasa Melayu,
beragama Islam seperti mayoritas orang Melayu, memakai
kebudayaan Melayu dan lain sebagainnya.
2. Permasalahan Sekitar Kehidupan Orang Laut
Permasalahan yang ditemukan bukan berkaitan dengan ketidak
serasian antar sistem dalam kehidupan Orang Laut. Permasalahan ini

23
Akhmad Rizki. Formulasi Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons. Jurnal Of
Language, Literary and Cultural Studies. Vol. 2, No. 2. 2018, hlm. 66
24
Akhmad Rizki. Formulasi Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons. Jurnal Of
Language, Literary and Cultural Studies. Vol. 2, No. 2. 2018, hlm. 66

11
berkaitan dengan kehidupan orang laut yang cenderung nomaden, primitif
dan tidak memiliki kesadaran akan pendidikan. Sikap mereka yang
mengasingkan diri dan tertutup menyebabkan ketidaksetaraan hak antar
rakyat Indonesia. Hak warga negara telah ditetapkan dalam dasar negara
dan dilindungi secara hukum. Kewajiban negara untuk memberikan
kesejahteraan bagi rakyatnya, namun dalam mewujudkan kewajiban ini
banyak mendapat hambatan.
Pada zaman Orde Baru Suku Laut digolongkan sebagai
“masyarakat terasing”, mereka dianggap tertinggal dari segi tingkat
pendidikan, kualitas kesehatan, kualitas tempat tinggal, jenis pekerjaan dan
lain sebagainnya25. Orang Laut didefenisikan sebagai suku terbelakang,
terisolir, yang membentuk komunitas sehingga dikategorikan sebagai
masyarakat 'pra-desa' atau desa 'tradisional‘. Kegiatan pencarian mereka
terfokus pada kebutuhan mendesak tanpa memperhatikan untuk
kesejahteraan jangka panjang. Akibatnya, Orang Laut digambarkan
sebagai masyarakat yang gaya hidupnya bertentangan dengan segala aspek
pembangunan, tanggung jawab terhadap lingkungan dan kemajuan bangsa
dan negara26. Kebiasaan mereka yang sering berpindah tempat,
menyulitkan pemerintah untuk memberikan pelayanan. Kebanyakan dari
Orang Laut tidak memiliki identitas diri dan tidak terdaftar secara
administrasi negara sehingga menyulitkan mereka untuk memperoleh
bantuan sosial, bantuan kesehatan, layanan pendidikan dan lain
sebagainnya.
Tak banyak yang mengetahui atau peduli dengan nasib pendidikan
anak-anak Orang Laut karena kompleksitas masalah yang dihadapi bagai
benang kusut. Potret buram mewarnai kehidupan anak-anak Orang Laut
yang bernasib malang karena tak dapat memperoleh pendidikan yang
layak sebagaiman yang diterima oleh masyarakat pada umumnya.

25
Agus Dermawan, dkk. Suku Laut Mengarungi Kehidupan Selingkar Sampan,
Kementrian Kelautan dan Perikanan. hlm. 7.
26
Cynthia Chou, Contesting the Tenure of Territoriality The Orang Suku Laut,
https://www.jstor.org/stable/27865391, hlm. 608-613.

12
Fenomena keterbelakangan pendidikan masyarakat Orang Laut di atas
adalah sebuah kenyataan yang membawa pada suatu konsekuensi logis
bahwa pemerintah dan masyarakat perlu memperhatikan kondisi
pendidikan mereka. Beberapa penghambat terealisasinya pelayanan
pendidikan adalah sebagai berikut: tertutup dan homogen, pranata sosial
bertumpu pada hubungan kekerabatan yang dapat menjadi penghambat
terlaksananya pelayanan. Terpencil secara geografis relatif sulit dijangkau,
berpindah-pindah sehingga sulit melacak keberadaannya. Ketergantungan
pada alam dan lingkungan hidup, tekanan kebutuhan hidup dan biaya
menjadi hambatan. Keterbatasan sumber daya seperti guru, relawan, dan
fasilitas menymbang hambatan dalam pelayanan pendidikan27.

SIMPULAN
Suku Orang Laut adalah masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan
laut barat Indonesia atau tepatnya di sepanjang pesisir timur Sumatera. Dalam
perkembangan sejarah kawasan ini menjadi lintasan perdagangan dunia. Orang
laut yang tinggal di sekitar perairan ini diberi kepercayaan sejak zaman kerajaan
Sriwijaya hingga kesultanan Melayu untuk menjada kawasan laut dari ancaman
perompak laut. Hingga awal abad ke-20 sejak kekuasaan diambil alih Kolonial
Belanda peran Orang Laut sebagai penjaga laut sudah hilang. Orang laut
mendapat perlakuan diskriminasi dari orang satu rumpunnya. Mereka hidup
memisahkan diri dari masyarakat daratan, membentuk komunitas dengan sistem
sosial dan sistem kebudayaan tersendiri.
Dengan sistem sosial dan sistem kebudayaannya mereka hidup dan
bertahan dengan keunikannya hingga saat ini. Keunikan tersebut memperkaya
warna dari ragam budaya Indonesia. Dalam pola interaksi dengan orang Melayu,
Orang Laut hanya melakukan interaksi secukupnya atau sesuai kebutuhan saja.
Terdapat perbedaan sudut pandang antara mereka sehingga menimbulkan
kecurigaan anatra kedua kelompok masyarakat yang berbeda. Orang Laut dengan

27
KEMENDIKBUD. 2017. Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat. Jakarta: Pusat
Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang. ISBN:978-602-8613-75-0, hlm.20-
25.

13
pola-pola, nilai dan norma hidup berdampingan dan menjaga laut. Mereka percaya
bahwa laut memiliki roh penjaga oleh sebab itu mereka tidak boleh merusak alam
laut. Mereka hidup kedalah sebuah sistem yang saling mengikat dan bergantung
serta mempengaruhi santara satu dengan yang lainnya.
Analisis melalui 4 konsep AGIL yang dikembangkan oleh Talcott Parsons
menghasilkan sebuah temuan yang menggambarkan bahwa Orang Laut mampu
menjalin hubungan dengan lingkungan alam dan lingkungan hidup sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan. Sikap yang tertutup memperkuat resistensi sistem
kebudayaan dan sistem sosial yang mereka miliki. Pola, nilai dan norma serta
aturan mereka pertahankan dan mereka jaga. Kebudayaan, bahasa, pola sosial
serta cara hidup yang mereka teruskan dari nenek moyang secara turun temurun
menjadikan mereka bertahan dengan keunikannya dan berintegrasi antar sesama
Orang Laut.
Terjadi beberapa permasalahan terkait pemenuhan hak sebagai bangsa dari
pemerintah. Dengan pola kehidupan yang nomaden menyulitkan pemerintah
untuk memberikan pelayanan dan memberikan kesejahteraan secara merata.
Hambatan data administrasi menyulitkan Orang Laut memperoleh layanan
kesehatan, pendidikan, bantuan sosial dan lain sebagainnya. Pemerintah juga
kesulitan jika akan membangun pusat pelayanan disuatu tempat, mengingat
mereka yang cenderung mengembara. Hal tersebut memaksa pemerintah untuk
mengikuti keberadaan mereka dalam memberikan pelayanan namun hambatan
yang terjadi kesulitan melacak keberadaan mereka. Akses untuk menjangkau
mereka juga sulit dan terbatas. Tekanan ekonomi dan rendahnya pendapatan
menjadi hambatan untuk memberikan kesadaran pentingnya pendidikan pada
Orang Laut.

DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Ichwan. Dekonstruksi Pembelajaran Sejarah Lokal di Kepulauan Riau.


Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 28, Nomor 2, Desember 2019 e-
ISSN 2540-7694 p-ISSN 0854-5251.

Cynthia Chou, Contesting the Tenure of Territoriality The Orang Suku Laut,
https://www.jstor.org/stable/27865391.

14
Dermawan, Agus dkk. Suku Laut Mengarungi Kehidupan Selingkar Sampan,
Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Desi, Indar. Skripsi Perubahan Sistem Mata Pencaharian Perempuan Suku Duano
di Kelurahan Tanjung Solok Kecamatan Kuala Jambi, Ilmu Sejarah
Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sultan Thaha
Saifuddin Jambi.

Endah & Wasino. (2018). Metode Penelitian Sejarah (dari Riset hingga
Penulisan). Yogyakarta: Magum Pustaka Utama.
KEMENDIKBUD. 2017. Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat. Jakarta:
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang.
ISBN: 978-602-8613-75-0.

Mandasari, Novita. Strategi Adaptasi Orang Laut di Batam, Jurnal Pendidikan


Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial, Vol. 2, No.1 Agustus 2018, p-ISSN: 2614-
1159 | e-ISSN: 2622-1373.

Rizki, Akhmad. Formulasi Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons.


Jurnal Of Language, Literary and Cultural Studies. Vol. 2, No. 2. 2018.

15

Anda mungkin juga menyukai