Anda di halaman 1dari 8

Gambaran umum Sulawesi Selatan

KELOMPOK 2
SITI FATIMAH
NUR FADILLAH
SELFIANA DAMAYANTI
ANDI AHMAD AGUNG
MUHAMMAD FUAD
SAINAL

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2021

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa atas berkat rahmat,
taufik dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah ini tentang."Gambaran
umum Sulawesi Selatan. Makalah ini di harapkan dapat menjadi media informasi
dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan bagi mahasiswa.
Kami dari kelompok dua telah berusaha menyajikan materi pada makalah ini
sebaik-baiknya, tapi kekurangan dan kesalahan pasti ada dan atas dasar
kenyataan tersebut kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
agar makalah ini menjadi lebih baik dan di terima oleh kelompok kami sebagai
penyusun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keragaman etnis dan budaya memiliki potensi besar dalam membangun bangsa ini, termasuk
dalam pembangunan dan pengembangan pendidikan. Keragaman budaya yang tumbuh dan
berkembang pada setiap etnis seharusnya diakui eksistensinya dan sekaligus dapat dijadikan
landasan dalam pembangunan pendidikan. Tilaar mengemukakan bahwa pendidikan nasional
di dalam era reformasi perlu dirumuskan suatu visi pendidikan yang baru yaitu membangun
manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas berdasarkan kebudayaan
nasional. Sedang kebudayaan nasional sendiri dibangun dari kebudayaan daerah yang tumbuh
dan berkembang di setiap etnis. Dalam kaitannya dengan upaya pembaharuan pendidikan dan
keragaman budaya, maka faktor sosial budaya tidak dapat diabaikan. Sistem pendidikan yang
digunakan di negara maju, seyogyanya tidak diciplak secara menyeluruh tanpa memperhatikan
budaya yang berkembang dalam masyarakat. Sistem pendidikan suatu negara harus sesuai
dengan falsafah dan budaya bangsa sendiri. Indonesia dengankeanekaragaman budayanya,
perlu melakukan kajian tersendiri terhadap sistem pendidikan yang akandigunakan, termasuk
sistem pendidikan yang akan digunakan di setiap daerah dan setiap etnis, sehinggasistem yang
dipakai sesuai dengan kondisi budaya masyarakat setempat.

Oleh karena itu, perlu ada upaya bagaimana memperhatikan dan mengungkapkan keterlibatan
faktor budaya dalam interaksi tersebut agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prestasi
belajar siswa.Siri’ sebagai inti budaya Bugis-Makassar memiliki potensi untuk dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa, sebab siri’ merupakan pandangan hidup yang bertujuan
untuk meningkatkan harkat,martabat dan harga diri, baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial.

BAB II

PEMBAHASAN
ASAL-USUL MANUSIA SULAWESI SELATAN

A. Temuan Archeologi

Sejumlah pakar menyakini bahwa Homo Erektus, manusia purba telah tiba di Nusantara sekitar
1,3 juta tahun silam. Namun persebaran mereka terbatas di wilayah barat saja: Jawa, Sumatera,
dan Kalimantan.

KawasanTimur, yg dikenal sebagai kawasan Wallacea: Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, belum
dihuni manusia.

Bagaimana dg manusia purba di Sulsel?

Sejauh penemuan, tinggalan manusia purba di sulsel paling jauh diperkirakan berumur sekitar
118.000-200.000 tahun silam.

Penemuan itu dilaporkan oleh Gerrit D. Van den Bergh, arkeolog dari Universitas Wollongsong,
Australia dalam Jurnal Nature Arlies Hominin Occupation of Sulawesi, Indonesia (2016). Bergh
meneliti situs arkeologi di desa Talepu, kecamatan Lilirilau, Soppeng tahun 2007-2012.

Kemana perginya manusia purba ini?, belum ada temuan, apakah mereka sdh punah? Sejauh
ini, tak ada satu pun fosil meteka yg ditemukan. Wallahu 'A'lam.

Pasca temuan Bergh dan timnya, terdpt babak panjang yg kosong mengenai asal-usul manusia
Sulsel.

Semasa 60.000 tahun silam, gelombang manusia modern yg dikelompokan sebagai Ras
Melanesia, tiba di Nusantata melalui daratan Asia. Migrasi ini, lanjutan gelombang migrasi
besar-besaran manusia modern yg bermula dari Afrika, semasa 100.000 tahun silam.
Ciri-ciri manusianya berkulit hitam, berambut keriting. Jejak mereka bisa dilihat pd masyarakat
Papua, Maluku, dan Flores.

Di Sulsel sendiri, manusia ini diperkirakan tiba 50.000 tahun silam. Mereka menempati gua-gua
di daerah Maros dan Pangkep sebagai tempat berlindung.

Jejak kehadiran mereka terekam dg indah pd lukisan di dinding2 gua prasejarah. Sisa-sisa
kebudayaan mereka aadalah satu-satunya cara mengenal mereka.

Sekitar 4.000 tahun silam, pendatang baru kemudian tiba, mereka dikenal sebagai Ras
Mongoloid dari daratan Taiwan, mereka telah berpengetahuan lebih maju. Ciri khas pendukung
kebudayaan ini adalah pembawa teknologi tembikar.

Di Sulawesi, jejak kehadiran mereka diketahui pertama kali di KAlumpang dan Mamuju, Sulbar,
serta di Mallawa, Maros, Sulsel.

Di Kalumpang, mereka membuat perkampungan kecil, sementara di Mallawa memilih menetap


di gua-gua.

Mereka sdh bisa bercocok tanam dan memelihara ternak. Berbeda dengan orang2 Melanesia,
Mingoloid bertahan hidup dg mengandalkan hasil pertanian dan berburu, mereka hidup dari
gua kemudian membuat perkampungan kecil. Kalau Austro-Melenesia, memang hidup di gua
terus.

Peter Bellwood, Propessor arkeolog asal Australia telah melakukan uji radiokarbon pd
peninggalan prasejarah di Maros, menunjukan bahwa manusia modern pertama mendiami
wilayah Sulsel pada 30.000 tahun SM., tdk ada bukti yg lebih tua daripada penemuan di Maros.

Pendapat ini menegaskan bahwa Sulsel tdk mengalami kehidupan manusia purba. Sebagaimana
penemuan fosil mengindikasikan bahwa Jawa sdh dihuni manusia purba semenjak 1,5 juta
tahun SM. Tdk ada bukti yg menunjukkan peninggalan manusia purba di Sulsel.

Peter Bellwood dalam bukunya "Southeas Asia From Prehistory to History (2004), menunjukan
bahwa kehidupan manusia modern di Sulsel berasal dari masuknya peladang berbahasa
Austronesia. Berdasarkan catatan radiokarbon di Maros, pendatang tersebut berasal dari pulau
Kalimantan.

Para pendatang ini, awalnya membuat koloni di hilir sungai Sa'dan, kemudian berpindah ke
bagian dalam, ke kawasan pegunungan dan berkembang mmenjadi delapan kelompok yg
terisolasi satu sama lain. Hal itu mempengaruhi timbulnya delapan bahasa di Sulsel.

Salah satu kelompok yg paling berkembang secara geografis adalah kelompok Bugis

B. Catatan Sejarah

Menurut catatan sejarah, nenek moyang penduduk Sulsel, Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja
berasal dari Yunan (Funan), seperti halnya orang Manado, Sunda, dan Jawa.

Dari dataran tinggi Yunan, bangsa Drutro-Melayu menuruni lereng2 gunung ke dataran rendah
sambil mengembangkan budaya perunggu. Mereka biasa pula disebut orang Don Song, sebuah
kota dekat Vietnam Utara. Diperkirakan mereka pindah ke Nusantara sekitar tahun 1500 SM.

Orang-orang Funan tersebut kemudian bertebaran di Kepulauan Nusantara, membangun


kemunitas di pinggir pantai, ada yg masuk ke pedalaman melalui sungai besar. Mereka
beradaptasi dengan lingkungan untuk mempertahankan kehidupan. Lama-kelamaan
pemukiman mereka bertambah besar, kemudian terciptalah kota-kota kecil, terutama daerah
pelabuhan yg sering disinggahi para pelaut dan pedagang dari berbagai negeri.

Menurut seorang ahli antropologi budaya Universitas Hasanuddin C. Salambe, nenek moyang
suku Toraja, suku Batak, suku Dayak termasuk dalam ras Proto Melayu. Leluhur mereka berasal
dari daerah Dongsong, Annam, Indocina. Mereka meninggalkan tanah leluhur secara
berangsur-angsur melalui dua jalur.

Pertama, perjalanan dari Dongsong ke arah selatan melalui Malaysia, Sumatera, Jawa, dan
sebagainya.

Kedua, melalui daratan Tiongkok, Jepang, Taiwan, Sulawesi, Kalimantan, dst.

C. Versi Budaya Lokal


Dalam buku La Galigo, dikisahkan bahwa manusia pertama di bumi Sulawesi Selatan adalah
Batara Guruh, keturunan dewa di langit.

Dikisahkan bahwa, La Patigana Patoto'e biasa disebut To Palanro'e dan Datu Pslinge', suami istri
ini adalah penguasa Botinglangi, mengumpulkan sanak-keluarnya membahas rencana
menurunkan tunas di bumi.

Mereka yg bermusyawarah adalah: La Patigana Patoto'e beserta istri, Sianauttoja, Guru


Riselleng bersama raja-raja bawahannya dari Buri'liung (Paratiwi), La Balaunnyi, penguasa
tertinggi di Ute Empong, tengah laut, Aji Tellino di Malagenni, I La Sangiang ri Malimongang, La
Rimpa'megga ri Wawo Unru. Nama-nama lain yg hadir adalah To Akkarodda, Sianuttoja,
Sangkamalewa, La Sauleng, dan La Boncaci.

Setelah semuanya berkumpul, To Palanro'e dan Datu Palinge, suami-istri berkata; maksud kami
mengundang kamu hai adik-adikku berkumpul di Botinglangi ini, katena kami ingin mengadakan
tunas di bumi. Jangan sampai dunia bawa langit kosong, karena jika tdk ada manusia, maka tdk
ada artinya kita sesanak, sekeluarga, sepupu, dan para kemanakan di langit kalau tdk ada
manusia. Mereka akan mempertuan kita yg di Botinglangi, mereka akan bersyukur kalau
memperoleh kemakmuran, dan akan meminta perlindungan kepada kita bila tertimpah
musibah. Begitulah hubungan manusia dengan para dewa di langit.

Singkat cerita disepakatilah menurunkan salah seorang putra To Palanro'e, yakni Batara Guruh,
sebagai tunas manusia di bumi.

Setelah 7 hari 7 malam Batara Guruh berada di bumi, Datu Palinge terbangun dari tidurnya
mendengar keluhan putranya yg kesepian sendirian di bumi, maka sang ibu menurunkan istana
pribadinya yg indah ke bumi, diikutsertakannya pula dayang-dayang, biti-biti perwara ratusan
jumlah turun ke bumi menyertai istana itu.

Pada ssuatu hari, di dalam istana yg indah, Batara Guruh melepaskan pandangannya ke arah
mata hari terbit, tiba-tiba dilihatnya di sebelah timur muncul cahaya bersinar menerangi lautan,
bagai bara api memercik kemilau dipermukaan laut. Batara Guruh bertanya kepada dayang-
dayang; apakah itu hei we Sanriu, hei we Leleuleng, hei Apputolaga, bagaikan api menyala-nya
di atas lautan? Baru saja lepas pertanyaan itu, tiba-tiba munculnya We Nyilitimo di atas
permukaan air, dieluk-elukan cahaya laut terhampar.

Dengan penuh rasa gembira, Batara Guruh menyambut kedatangan sepupunya itu. Mulai saat
itu, lupalah Batata Guruh kehidupan di Botinglangi, setelah bergaul dengan sepupunya itu
sebagai suami-istri.

Perkawinan Batara Guruh dari Botinglangi dengan We Nyilitimo dari Buri'liung di bumi,
melahirkan anak yg diberi nama Batara Lattu.

Batara Lattu kawin dengan saudara sepupunya Datu Sengngeng, putri Guruh Selleng, saudara
Batara Guruh. Dari perkawinan itu, lahir seorang anak laki-laki bernama Sawerigading dan
seorang putri bernama We Tenriabeng.

Keturunan mereka ini yg memerintah di bumi selama beberapa generasi.

Anda mungkin juga menyukai