Anda di halaman 1dari 11

PERIODESASI KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN : PERIODE ISLAM

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5

NITA PRATIWI 40200118004

NINI ISMAYANI 40200118015

SITTI NURIYANA 40200118021

TAKBIR 40200118032

SUHARMAJID 40200118040

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Puji Syukur pada Allah Swt yang telah memberikan kemudahan untuk dapat menyelesaikan
makalah ini sesuai dengan waktu yang ditentukan. Tanpa adanya berkat dan rahmat Allah Swt
tidak mungkin rasanya dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Terlebih penulis ingin mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang mendukung dan
membantu penulis untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “Periodisasi Kebudayaan
Sulawesi Selatan : Periode Islam”.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu
penulis sangat mengharapkan partisipasi pembaca untuk memberikan masukan baik berupa
kritikan atau saran untuk membuat makalah ini lebih baik dari segi fisik maupun segi yang
lainnya. Penulis mohon maaf bila ada hal yang kurang berkenan dalam penulisan makalah ini.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih.

Makassar, 13 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1-2

A. Latar Belakang.........................................................................................................1-2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3-5

A. Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan.....................................................................3-5


B. Integrasi Islam dalam Budaya Lokal Sulawesi Selatan.......................................6-7

BAB III PENUTUP..............................................................................................................8

A. Kesimpulan ..............................................................................................................8
B. Saran ........................................................................................................................8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam masuk di berbagai suku bangsa kepulauan Indonesia tidak berlangsung dengan jalan yang
sama. Demikian juga dengan penyebaran Islam di berbagai daerah Nusantara tidak berlangsung
secara bersamaan, di karena kan faktor geografi dan tujuan perdagangan. Islamisasi di Nusantara
merupakan suatu proses yang bersifat evolusioner. Proses kedatangan dan penyebarannya
dilakukan dengan melalui beberapa saluran yang berbeda, ada yang melalui proses perdagangan,
perkawinan, birokrasi pemerintahan, pendidikan, tasawuf dan sebagainya. Keadaan politik dan
sosial budaya daerah-daerah ketika didatangi Islam juga berlainan. Oleh karena itu, cara dan
strategi ulama menyebarkan ajaran Islam di Nusantara sangat bervariasi, dimana metode
penyebaran ajaran Islam di Sumatra berbeda dengan metode penyebaran yang digunakan untuk
menyebarkan Islam di daerah Jawa, begitu juga dengan ulama pembawa ajaran Islam di daerah
Sulawesi Selatan. Pandangan yang berkembang di kalangan masyarakat Bugis dan Makassar
Sulawesi Selatan, menyebutkan bahwa agama Islam pertama datang ke daerah ini pada awal
abad ke-17 dimana Islam pertama kali di perkenalkan oleh para Muballigh dari Minangkabau,
Sumatera Barat ketika masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. (Burhani, 1984: 62;
Said, 2010: 313). Mengenai hal ini, Mattulada dalam bukunya Sejarah masyarakat dan
Kebudayaan Sulawesi Selatan, menyebutkan bahwa seorang ulama dari Minangkabau Tengah,
Sumatera Barat, bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal tiba di Pelabuhan Tallo pada tahun
1605 dengan menumpang sebuah kapal dan perahu. Setibanya di pantai, ia kemudian melakukan
shalat yang mengherankan rakyat. Ia menyatakan maksud kedatangannya untuk menghadap raja.
Raja Tallo yang mendengar berita itu langsung bergegas ke pantai untuk menemui orang
tersebut, tapi di tengah perjalanannya ke pantai pada pintu gerbang halaman istana Tallo, raja
bertemu dengan seorang lelaki tua kemudian ia menulis sesuatu di atas kuku ibu jari Raja Tallo
dan mengirim salam pada Abdul Kadir Khatib Tunggal, raja Tallo pun menyampaikan salam
lelaki tua tadi. Kemudian mengenai tulisan yang ada di atas kuku jari Raja Tallo, ternyata adalah
tulisan yang berlafadzkan “Surah Al-Fatihah”. Khatib Tunggal pun mengatakan bahwa lelaki tua
yang menjumpainya tadi adalah jelmaan Nabi Muhammad Saw. Selanjutnya dari kisah itulah,
kemudian orang Makassar mengatakan bahwa “Akkasaraki Nabbia” inilah asal usul kata

1
“Makassar” dari kata “Akkasara”. (Mattulada, 1998: 150). Peristiwa tersebut membawa
implikasi terhadap di Islamkannya Kerajaan Tallo yang di terima oleh rajanya yang pertama
bernama I Malingkaang Daeng Manyonri Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng kemudian ia
diberi gelar Sultan Awwalul Islam. Peristiwa masuk Islam Raja Tallo terjadi pada Jum’at 22
September 1605/9 Jumadil Awal 1014 H. Dalam konteks syiar Islam di dalam masyarakat
muslim, terdapat orang-orang yang diberi tugas khusus untuk mengajarkan, menyebarluaskan
ajaran agama dan nilai-nilai Islam serta peradabannya kepada seluruh masyarakat. Orang yang
diberi amanah tersebut dinamakan muballigh atau ustadz yang bertugas untuk mengajarkan
masyarakat muslim untuk membaca Alquran dengan benar dan mereka inilah yang berperan
dalam proses Islamisasi Sulawesi Selatan hingga memasuki abad ke-20.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan

Islamisasi Sulawesi Selatan pada awal abad XVII M telah membawa perubahan dalam dinamika
sosial masyarakat di wilayah ini secara signifikan. Penerimaan Islam pada beberapa tempat di
Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima terlebih dahulu oleh
masyarakat lapisan bawah, kemudian berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas atau
penguasa kerajaan. Pola ini disebut pola bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite
penguasa kerajaan, kemudian di sosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat bawah. Pola
ini disebut top down. Secara umum, pola top down inilah yang berlaku di Sulawesi Selatan
dengan menganalisis sumber-sumber sejarah yang ada seperti “lontara”. Kedatangan Islam di
Sulawesi Selatan terlambat jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, seperti
Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Maluku. Menurut lontara’ patturioloang bahwa pada masa
pemerintahan Raja Gowa X (1546-1565 M) yang bernama Tunipallangga, telah ditemukan
sebuah perkampungan muslim di Makassar dimana penduduknya kebanyakan pedagang Melayu
yang berasal dari Aceh, Campa, Patani, Johor dan Minangkabau. Sebagaimana kawasan lainnya,
Islamisasi di Sulawesi Selatan melalui beberapa tahapan. Menurut J. Noordyn, Islamisasi di
Nusantara melalui tiga tahapan, yaitu kedatangan, penerimaan dan penyebaran. Pertama, tahap
kedatangan Islam di Sulawesi Selatan yaitu ketika pertama kali para pedagang Melayu Muslim
mendatangi daerah ini pada akhir abad XV M. Kedatangan mereka lebih intensif lagi setelah
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M. Kedua, tahap penerimaan Islam yaitu
ketika Islam diterima secara resmi oleh Mangkubumi Kerajaan Gowa yang sekaligus menjabat
sebagai Raja Tallo. Ketiga, tahap penyebaran Islam, yaitu setelah Islam resmi menjadi agama
kerajaan dan mulai disebarluaskan ke dalam masyarakat dank e kerajaan tetangga pada tahun
1607 M. Kerajaan Gowa baru berpengaruh dalam bidang perdagangan pada akhir abad XVI dan
awal abad XVII. Secara resmi Kerajaan yang pertama memeluk Islam di Sulawesi Selatan adalah
Kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan Gowa Tallo merupakan Kerajaan kembar yang saling
berbatasan, biasanya disebut Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung barat daya
Pulau Sulawesi, yang merupakan transito yang sangat strategis. Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai
pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang telah

3
menerima Islam dari Gresik, Giri. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah dari Ternate yang
dijuluki “Raja Tujuh Puluh Dua Pulau” karena pengaruhnya membentang hampir seluruh Pulau
Maluku dan pulau-pulau sekitarnya, mengadakan perjanjian persekutuan dengan Kerajaan Gowa
Tallo. Dalam pertemuan tersebut Sultan Babullah menawarkan bantuan dan sebagai imbalannya
Kerajaan Gowa Tallo dituntut untuk masuk Islam, namun Raja Gowa Tallo menolaknya. Pada
masa Datuk ri Bandang Abdul Makmur Khatib Tunggal yang merupakan Muballigh dari
Minangkabau datang bersama Khatib Sulaiman yang kemudian dikenal dengan Datuk Patimang
dan Khatib Bungsu yang bernama Datuk di Tiro, Raja Gowa Tallo baru menerima Islam. Dengan
demikian, mulailah Islamisasi dilakukan oleh kerajaan kembar Gowa Tallo. Ahmad M. Sewang
menilai bahwa kedatangan Datuk tiga serangkai ini merupakan babakan baru terhadap Islamisasi
di Sulawesi Selatan. Raja pertama yang memeluk agama Islam adalah Raja Tallo yang juga
merupakan Mangkubumi Kerajaan Gowa bernama I Malingkaang Daerng Manyonri’ dan diberi
gelar Sultan Awwalul Islam. Selanjutnya, Raja Gowa yang bernama I Mangarangi Daeng
Manrabbia, juga memeluk agama Islam dan memperoleh gelar Sultan Alauddin. Tanggal resmi
penerimaan Islam pada Kerajaan Gowa Tallo adalah pada malam Jum’at, 22 September 1605 M/
9 Jumadil Awal 1014 H. Dalam kurun waktu dua tahun rakyat Gowa Tallo telah memeluk agama
Islam dan hal ini ditandai dengan dilaksanakannya shalat Jum’at yang pertama di Tallo pada 9
November 1607 M/ 9 Rajab 1016 H. Setelah Raja Gowa dan Tallo menganut agama Islam maka
Islam pun menjadi agama resmi kerajaan dan kedua kerajaan tersebut menjadi pusat penyiaran
Islam dan memegang peranan penting dalam mengembangkan agama Islam ke seluruh daerah
bahkan sampai keluar daerah Sulawesi Selatan. Saat itu, Sultan Alauddin mengirim seruan
kepada Raja Bugis yang masih belum menganut Islam agar menganut agama Islam. Menurut
Ahmad M. Sewang, utusan kerajaan Gowa Tallo kepada kerajaan-kerajaan tetangganya di
Sulawesi Selatan dengan membawa hadiah untuk diberikan kepada setiap raja yang didatangi,
dan maksud dari hadiah tersebut adalah sebagai bukti keinginan untuk berdamai. Seruan
pengIslaman itu oleh beberapa kerajaan kecil menerima dengan baik dan berlangsunglah
pengIslaman dengan cara damai, seperti Sawitto, Balanipa di Mandar, Bantaeng dan Selayar.
Kerajaan-kerajaan Bugis yang kuat seperti Bone, Soppeng dan Wajo bergabung dalam
persekutuan “Tellumpoccoe” (tiga negeri puncak kerajaan), menolak ajakan Kerajaan Gowa
tersebut dengan keras. Terutama Bone menolak keras ajakan tersebut, karena menganggap
bahwa hal ini semata-mata adalah siasat Raja Gowa untuk menguasai daerah-daerah Bugis.

4
Seruan Gowa yang ditolak oleh raja-raja Bugis disambut oleh Kerajaan Gowa dengan
mengangkat senjata terhadap mereka. Pasukan Kerajaan Gowa menyerang kerajaan
Tellumpoccoe yang dikenal sebagai “Musu’ Asselengeng” atau perang Islam. Akan tetapi,
Musu’ Asselengeng lebih dapat diartikan sebagai ekspansi politik ekonomi, terutama jika
dihubungkan dengan posisi Kerajaan Gowa sebagai kerajaan maritim yang menuntutnya untuk
mencari daerah-daerah komoditi. Penyerangan laskar Kerajaan Gowa kepada Kerajaan Bugis,
akhirnya kerajaan yang terikat dalam aliansi Tellumpoccoe mengalami kekalahan dan harus
memeluk Islam. Soppeng menerima Islam pada tahaun 1609 M, Wajo menerima Islam tanggal
10 Mei 1610 M dan Bone saingan politik Gowa Tallo sejak pertengahan abad ke-16, tanggal 23
November 1611 M dan dengan menyerahnya Bone pada 1611 M, maka seluruh Sulawesi Selatan
kecuali Toraja, secara resmi telah memeluk agama Islam.

Abu Hamid seorang Anropolog dari Universitas Hasanuddin mengungkapkan bahwa ada tiga
pola pendekatan keislaman yang dilakukan oleh ulama dalam proses Islamisasi di Sulawesi
Selatan. Pertama, penekanan pada aspek syariat dilakukan untuk masyarakat yang kuat berjudi
dan minum arak (ballo’), mencuri atau perbuatan terlarang lainnya. Pendekatan seperti ini
dilakukan oleh Datuk ri Bandang di daerah Gowa. Kedua, pendekatan yang dilakukan pada
masyarakat yang secara teguh berpegang pada kepercayaan Dewata Sewae dengan mitologi La
Galigo nya, ialah dengan menekankan pada aspek aqidah (tauhid) mengesakan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Ketiga, penekanan terhadap aspek tasawuf yang dilakukan bagi masyarakat yang
kuat berpegang pada kebatinan dan ilmu sihir (black magic) dimana usaha ini ditempuh oleh
Datuk di Tiro di daerah Bulukumba (Hamid, 1982: 75-77). Meskipun Islam tersebar lebih awal
di Kerajaan Luwu, namun Kerajaan Gowa Tallo merupakan Kerajaan pertama di Sulawesi
Selatan yang menetapkan ajaran Islam sebagai agama resmi Kerajaan. Peristiwa masuknya Islam
Raja Gowa merupakan tonggak sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan karena
setelah itu terjadi konversi ke dalam Islam secara lebih luas. Konversi ini ditandai dengan
dikeluarkannya sebuah dekrit Sultan Alauddin pada tanggal 9 November 1607 M untuk
menjadikan Islam sebagai agama kerajaan dan agama masyarakat. Namun satu hal yang perlu
dicatat bahwa kedatangan agama Islam di wilayah ini tidak serta merta menumbangkan seluruh
adat istiadat dan tradisi lokal yang hidup di tengah masyarakat saat itu.

5
B. Integrasi Islam dalam Budaya Lokal Sulawesi Selatan

Masuknya Islam di Sulawesi Selatan tidak menjumpai ruang yang kosong dari kebudayaan.
Masyarakat Sulawesi Selatan sebelumnya telah memiliki apa yang disebut kebudayaan dan
kepercayaan yang telah diamalkan secara turun temurun dari zaman nenek moyang mereka.
Budaya Sulawesi Selatan bersifat unik dan khas berbeda dengan budaya yang ada di daerah Jawa
dan Sumatera. Budaya Sulawesi Selatan masih menampakkan keoriginalannya sebagai budaya
yang lahir dari masyarakat pribumi yang tidak terlalu mendapatkan pengaruh dari budaya luar.
Diterimanya Islam pada masyarakat Sulawesi Selatan, maka beberapa sendi kehidupan
masyarakat mengalami warna baru dan hal ini dapat dilihat dalam pola-pola sosial, sistem
budaya, bahkan birokrasi kepemimpinan yang mengalami perubahan. Kedatangan Islam
memunculkan pemahaman baru bahwa Islam datang untuk menguatkan adat yang baik dan
merombak adat yang tercela. Seluruh sendi kehidupan pribadi dan sosial masyarakat, sedikit-
banyaknya mengalami persentuhan dan pengaruh ajaran Islam. Sulawesi Selatan sejak dahulu
sampai sekarang terbangun dari pola tertentu yang disebut pola budaya atau budaya Sulawesi
Selatan. Berbagai studi menunjukkan bahwa budaya Sulawesi Selatan dapat ditemukan dan
terangkum dalam konsep pangadereng (Bugis) dan pangngadakkang (Makassar) merupakan
tumpuan tradisi yang sudah lama ada, yaitu sejak manusia Sulawesi Selatan mulai ada dalam
Sejarah. Kedatangan Islam di wilayah Sulawesi Selatan membawa perubahan besar bagi
kehidupan sehari-hari masyarakat. Islam datang memperkaya budaya Sulawesi Selatan dengan
memasukkan unsur baru kedalamnya. Sebagaimana diketahui bahwa sebuah budaya akan
berkembang manakala budaya itu terbuka terhadap masuknya unsur budaya dari luar. Tanpa itu
maka budaya dan masyarakatnya sendiri akan vakum dan tertinggal bahkan dapat mengalami
kepunahan. Sebelum Islam masuk pangngadereng atau pangngadakkang merupakan sistem
kebudayaan masyarakat Bugis dan Makassar dimana sistem adat tersebut mencakup 4 hal, yaitu
ade’ (adat) yang berarti aturan atau keputusan yang permanen. Ade’ mwrupakan konsep kunci
dari kebudayaan Bugis dan Makassar yang mengatur keseluruhan dimensi kehidupan
masyarakat. Ade’ mencakup pengaturan kehidupan rumah tangga, bermasyarakat, dan bernegara.
Selanjutnya adalah bicara atau ketentuan-ketentuan menyangkut masalah peradilan. Ade’ dan
bicara merupakan dua bagian yang saling berkaitan dimana pelanggaran terhadap adat
mengharuskan dilaksanakannya pengadilan yang berfungsi untuk menilai kadar pelanggaran dan
untuk kemudian menentukan sanksi apa yang tepat untuk dijatuhkan. Ketiga adalah rapang yang
6
berarti pemisalan atau perumpamaan dimana ini merupakan salah satu sendi dari pangngadereng
yang berfungsi untuk memberi petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang
seharusnya tidak dilakukan. Selanjutnya adalah wari’ yaitu komponen pangngadereng yang
berfungsi untuk menata masyarakat menurut hubungan kekerabatan dan keturunan. (Said, 2009:
50-57). Kedatangan Islam menambah satu komponen panngngadereng menjadi lima komponen
penting yaitu dengan memasukkan sara’ yaitu komponen adat yang mengatur soal masalah
keagamaan, sara’ secara struktur dan pranata sosial diposisikan setara dengan keempat
pangngadereng yang telah ada sebelumnya. Sesuai namanya, sara’ yang artinya syariat Islam
dimana institusi sara’ bertanggung jawab dalam urusan-urusan yang menyangkut ajaran (syariat)
Islam dan ini berarti bahwa sara’ mengurus hal-hal yang menyangkut sendi-sendi kehidupan
masyarakat yang penting yaitu kehidupan beragama. Struktur organisasi sara’ mengikuti
susunan organisasi pemerintahan kerajaan. Pada tingkat pusat terdapat kali (kadhi) selaku pejabat
sara’ tertinggi dalam suatu kerajaan. Selanjutnya adalah imang (imam) dengan pembantunya
terdiri dari katte’ (khatib), bilala/bidala (bilal) dan doja/doya. Struktur serupa berlaku di
beberapa kerajaan lainnya seperti Kerajaan Luwu, Gowa, Wajo, Bone, Mandar dan hampir
semua daerah di Sulawesi Selatan dan Barat. Dengan diterimanya sara’ sebagai bagian integral
dari pangngadereng, maka pranata-pranata kehidupan sosial masyarakat Bugis dan Makassar
memperoleh warna baru, karena sara’ memberikan peranannya dalam berbagai tingkah laku
kehidupan sosial budaya. Ketaatan orang Bugis dan Makassar kepada sara’ sama dengan
ketaatan mereka kepada aspek-aspek pangngadereng lainnya dan keadaan seperti ini terjadi
karena penerimaan mereka kepada Islam (sebagai agama) tidak terlalu banyak mengubah nilai-
nilai atau kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada. Apa yang dibawa Islam pada
awal datangnya hanyalah menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan ubudiyah dan tidak
mengubah lembaga-lembaga sosial yang menyangkut kehidupan politik sesuai dengan
pangngadereng. (Mappangara dan Abbas, 2003: 141).

Kedatangan Islam bukan berarti merubah total semua tata cara dan seluruh adat kebiasaan di
Sulawesi Selatan dengan menghilangkan adat dan tata cara lama, melainkan terjadi proses
asimilasi dan negoisasi kebudayaan, dimana antara Islam dan tradisi lokal berpadu. Tradisi lokal
dalam bentuk upacara-upacara adat tetap berlangsung namun diberi sentuhan Islam tanpa
menghilangkan jejak kelokalannya.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebelum datangnya agama Islam, pranata keagamaan atau sistem kepercayaan masyarakat
Sulawesi Selatan telah cukup mapan, dimana masyarakat Sulawesi Selatan talah menganut
kepercayaan yang ajarannya lebih menekankan pada aspek keruhanian. Sistem kepercayaan
masyarakat Sulawesi Selatan adalah kepercayaan tradisional yang mempercayai akan adanya
sosok dewa yang tunggal. Pola penyebaran Islam di Sulawesi Selatan menggunakan pendekatan
politik sebagai saluran Islamisasi. Jalur birokrasi politik dan Islamisasi adalah dua hal yang tidak
terpisahkan dalam proses penyebaran Islam di Sulawesi Selatan secara umum. Proses Islamisasi
melalui jalur politik membuat kehadiran Islam pun tampil sebagai pemersatu kerajaan untuk
kemudian mengintegrasikan diri ke dalam persekutuan masyarakat yang lebih luas. Diterimanya
Islam pada masyarakat Sulawesi Selatan maka beberapa sendi kehidupan masyarakat mengalami
warna baru. Hal ini dapat dilihat dalam pola-pola sosial, sistem budaya, bahkan birokrasi
kepemimpinan yang mengalami perubahan. Islam yang disebarkan oleh Sulawesi Selatan dengan
pendekatan formal birokratis atau bersifat top down, namun ajaran Islam tetap ditanamkan
melalui pendekatan kultural dan tidak ada pemaksaan secara formal tentang bagaimana aturan
Islam harus dijalankan melalui kekuatan Negara. Kehadiran Islam di wilayah Sulawesi Selatan
tidak serta merta menghabisi unsur-unsur budaya lokal, melainkan Islam hadir memberikan
nuansa dan nilai-nilai baru pada budaya lokal tanpa menghilangkan identitas kelokalannya.

B. Saran

Demikianlah makalah yang penulis buat semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah yang dibuat memiliki banyak kesalahan dan sangat jauh dari
kesempurnaan dan tentunya penulis akan terus memperbaiki penyusunan makalah yang akan
datang dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan kelak. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran mengenai makalah ini agar pembuatan materi
belajar selanjutnya akan lebih baik. Sekian Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh.

Anda mungkin juga menyukai