Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Islam dan Kearifan Lokal di Lombok

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Islam dan Budaya Lokal

Dosen Pengampu: Muhammad Ali Syahbana, M.Hum.

Disusun Oleh:

Ela Apriiya Amaliya (220601038)

Husnul Hotimah (220601063)

Habib Akmal (220601068)

Lalu Januardi (220601057)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur tertuju hanya kepada Allah SWT atas karunia-
Nya yang begitu luas, kita selalu bisa menikmati apa yang terdapat pada diri kita
baik yang berupa materi seperti keluarga, teman, harta-harta yang kita miliki
ataupun yang berupa inmateri sebagai contohnya, kesehatan, keimanan, keislaman,
serta nikmat membaca dan berfikir. Shalawat dan salam kepada Rasulullah
Muhammad SAW yang telah menjadikan Al-Qur'an dan hadits-hadits beliau
sebagai jalan hidup terbaik dan penuh cahaya bagi orang-orang yang beriman di
muka bumi ini untuk menggapai kemenangan yang begitu sempurna pada
kehidupan kelak. Amin ya robbal 'alamin.

Islam dan budaya lokal di Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan atau dengan kata lain memiliki kesatuan dengan coraknya masing-
masing. Karena keberagaman budaya di Indonesia membuat tidak henti-hentinya
para WNA untuk berkunjung dan merasakan keberagamannya, dengan
keberagaman ini pula agama di Indoneisa bisa masuk dan dapat berkembang
dengan banyaknya jumlah penduduk yang menganut agama masing-masing.
Terkhususnya agama Islam sebagai penganut agama terbanyak di Indonesia bisa
berkembang dengan budaya, tradisi, adat dan kebiasaan yang ada pada masyarakat
Indonesia. Namun, dengan kedatangan Islam banyak pula budaya dan kebiasaan di
Indonesia yang menyesuaikan diri dengan agama Islam, karena Islam
diperkenalkan dengan tidak merusak budaya atau tradisi di Indonesia, tetapi
disesuaikan dengan perintah dan larangan yang ada pada Islam.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Islam dan
Budaya Lokal, bapak Muhammad Ali Syahbana yang telah memberikan bimbingan
terkait materi kami ini sehingga kami mampu dan bisa mengerjakan dan
menyesesaikan tugas kami ini.

Sambil memohon ridho Allah SWT, Maha pemberi pengetahuan dan


pencerahan atas hamba-hambanya, semoga makalah kami yang sederhana ini bisa

i
menjadi “Pintu” masuk untuk memahami dan mempelajari beberapa materi
pembahasan kami yaitu Islam dan Kearifan Lokal di Lombok.

Mataram, 18 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................................i


DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I ...............................................................................................................................1
PENDAHULUAN ..............................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................................2
BAB II ..............................................................................................................................3
PEMBAHASAN ................................................................................................................3
A. Sejarah Masuknya Islam di Lombok .........................................................................3
B. Filosofi dan Aturan Pakaian Adat Sasak....................................................................4
C. Nilai Filosofi, Makna Simbolik Dan Aturan Waktu Pemakaian Busana Adat Sasak .....6
BAB II ............................................................................................................................12
PENUTUP ......................................................................................................................12
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 12
B. Saran ..................................................................................................................... 12
LAMPIRAN ....................................................................................................................13
HASIL WAWANCARA DI DESA SUKARARA ...................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lombok merupakan salah satu pulau bagian dari Nusa Tenggara Barat yang
mayoritas penduduknya adalah suku Sasak dan mayoritas penganut agama Islam.
Sebelum Islam masuk secara luas, pertemuan budaya Sasak Hindu dan Islam di
masa lalu mempengaruhi cara hidup masyarakat. Cara hidup masyarakat Lombok
sebelum dan sesudah Islam masuk mempengaruhi kehiduppan sehari-hari, apalagi
ketika masuknya Islam membuat perubahan yang signfikan.

Islam pertama kali datang ke Lombok pada abad ke-16 melalui proses yang
panjang dan beragam. Pada waktu ini merupakan periode syang sangat penting
dalam sejarah pulau Lombok, karena agama Islam membawa perubahan dalam
berbagai bidang seperti budaya, sosial dan politik.

Sebelum masuknya Islam, Pulau Lombok telah memiliki sejarah yang


panjang sebagai bagian dari kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Namun,
dengan tibanya pedagang Arab dan perantau Muslim di pulau ini, Islam mulai
diperkenalkan. Proses peralihan Islam terjadi secara bertahap dan mencakup
berbagai faktor seperti perdagangan, pernikahan antara etnis dan hubungan dengan
komunitas Musim di wilayah lain.

Seiring berjalannya waktu, Islam menjadi agama yang dominan di Pulau


Lombok dan membentuk landasan budaya dan indentitas masyarakatnya. Kini,
Pulau Lombok menjadi salah satu destinasi wisata yang memukau dengan beragam
budaya dan keindahan alamnya, di mana Islam memiliki peran penting dalam
kehidupan sehari-hari penduduknya.

Lebih lanjutnya lagi terkait sejarah masuknya Islam dan perkembangan


budaya lokal di Pulau Lombok akan dibahas di bab selanjutnya. Dalam hal ini
penulis akan memaparkan pula terkait filosofi dan aturan pakaian dalam adat Sasak.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Masuknya Islam di Lombok?


2. Apa Filosofi dan Aturan Pakaian Adat Sasak?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah masuknya Islam di Lombok.


2. Untuk mngetahui filososfi dan aturan dari pakaian adat sasak.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Masuknya Islam di Lombok

Ada tiga teori yang menjelaskan tentang masuknya Islam di Lombok, yaitu:
Pertama, Islam masuk ke Lombok pada abad ke-13 bersamaan dengan masuknya
pedagang Gujarat ke Perlak, Samudera Pasai, juga dari Arab, yaitu adanya seorang
mubaligh Syaikh Nurul Rasyid yang kemudian menikah dengan Dende Bulan
(Dewi Anjani) dan melahirkan anak bernama Zulkarnain, yaitu cikal bakal raja
Selaparang. Di Batu Layar Ampenan kota Mataram terdapat makam seorang Arab
bernama Sayid Duhri Haddad al-Hadrami yang mengembangkan Islam pada masa
kerajaan Selaparang. Kerajaan Selaparang di Pulau Lombok sudah diketahui sejak
abad ke-11.1

Teori kedua, menjelaskan bahwa Islam masuk di Lombok dibawa dari Jawa
oleh Sunan Prapen (1548-1605) putra Sunan Giri atau yang lebih dikenal dengan
Sunan Rtau Giri keempat.2 Ia datang bersama dengan Pangeran Sangapati pada
abad ke-16.3 Melalui jalur di sebelah utara, hal ini ditandai dengan adanya Lokok
Jawa, Ampel Duri dan Ampel Gading di Bayan Lombok Utara melalui pelabuhan
Carik. 4 Anak Agung Ketut Agung menyebutkan bahwa penyebaran Islam mulai
dari kerajaan Lombok sebelah timur baru kemudian menyebar ke kerajaan tetangga
lainnya, seperti Kerajaan Langko, Kerajaan Pejanggik, Kerajaan Bayan, Kerajaan
Parwa, Kerajaan Sawardadi, Kerajaan Sokong dan Kerajaan Sasak.5

1
Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, (Mataram: Sumur Mas al-
Hamidi, 1998), hlm. 32.
2
Ahmad Abd. Syukur, Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm. 323. Dan lihat
juga Masnun, Tuan Guru…, hlm. 1-5.
3
Ahmad Taqiuddin Mansur, NU Lombok: Sejarah Terbentuknya Nahdlatul Ulama Nusa
Tenggara Barat, (Lombok Barat: Pustaka Lombok, 2008), hlm. 2.
4
Jhon Ryan Barthlomoew, Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, terj. Imron
Rosyidi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 93.
5
Anak Agung Ketut Agung, Kupu-Kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok: Lintasan
Sejarah Kerajaan Karangasem: 1661-1950, (Denpasar: Upada Sastra, 1991), hlm. 79-80.

3
Teori ketiga, bahwa Islam masuk ke Lombok pada abad yang sama, yakni
abad ke-16, namun melalui jalur timur, yakni dari pulau Sumbawa yang kemudian
disebarkan oleh para pedagang dan pelaut dari Makasar. Sebagaimana diketahui,
bahwa kerajaan Selaparang Islam semula di Labuan Lombok, Kabupaten Lombok
Timur yang kemudian sekarang dipindahkan ke ibukota lama Kerajaan Selaparang
Hindu, yaitu Watu Parang Lombok. Teori yang ketiga ini adalah sebagaimana Islam
di Bima dulu yang datang dari Makasar dan kemudian menuju ke Lombok.

Dari ketiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam menginjakkan


kakinya di Pulau Lombok pada abad ke-16. Dua di antara ketiga teori masuknya
Islam di Pulau Lombok menegaskan hal tersebut, yakni dari dua jalur (arah) yang
berbeda yaitu dari arah barat adalah Jawa dan dari arah timur yakni dari Makasar
melewati Bima dan Sumbawa baru kemudian ke Pulau Lombok, walaupun tidak
dapat menutup mata juga dari teori yang pertama. 6

Hal tersebut dikuatkan pula oleh hasil dari penelitian kami di Museum
Negeri NTB bahwa kami menemukan salah satu benda koleksi peninggalan sejarah
Agama Islam yang menjelaskan bahwa, Agama Islam dibawa oleh Sunan Prapen
dari Jawa ke NTB melalui pelabuhan Lmbok pada abad ke-16 pada masa kerajaan
Mumbul. Pada abad ke-16, Kerajaan Majapahit mulai runtuh karena ditaklukan
oleh Kesultanan Giri. Dari situlah Islam mulai masuk pertama kali di wilayah Salut,
Lombok Utara.

B. Filosofi dan Aturan Pakaian Adat Sasak

Pakaian atau Busana adat merupakan salah satu wujud dari ekspresi budaya
yang menjadi simbol dari masyarakat adat. Tatacara berpakaian ini telah menjadi
bagian dari identitas masing-masing suku bangsa yang diwariskan oleh nenek
moyang secara turun temurun. Cara berbusana ini juga merupakan salah satu bentuk
pengetahuan kearifan lokal (local wisdom) yang menggambarkan kekayaan
tradisional dari masyarakat lokal tersebut.

6
Ulyan Nasri, Akar Historis Pendidikan Perempuan: Refleksi Pemikiran TGKH. M.
Zainuddin Abdul Madjid, (Yogyakarta: Penerbit Republish, 2015), hlm. 45-46.

4
Busana dalam kamus bahasa Indonesia diartikan pakaian, menurut
Djalaludin Ar zaki kata busana, berasal dari Bahasa Jawa Kuno "Bhusana" atau
weisana yang artinya pakaian, atau perhiasan. Karena itu dalam berbusana harus
memenuhi syarat estetika (keindahan) dan etika (sopan santun). Demikian juga
halnya bagi orang Sasak yang menggunakan "busana adat Sasak" hendaknya dapat
menampilkan keindahan sebagai sebuah perhiasan badan dan juga dipakai dengan
sopan dan santun. Dengan demikian ketika orang Sasak sedang berbusana adat
wajib bersikap "tindih dan maliq". Sikap tindih berarti bahwa dalam berbusana adat
hendaknya tidak melanggar norma-norma atau aturan-aturan kesantunan yang
berlaku. Syarat "maliq" artinya takut dan tidak melanggar ajaran-ajaran agama-
agama seperti membuka aurat.7

Aturan yang ada dalam adat termasuk berbusana adat pada suku Sasak
berangkat dari nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat setempat. Hal ini
dalam adat minang kita mengenal istilah “adat bersendikan syara’, syara’
bersendikan kitabullah”, sedangkan dalam bahasa Sasak dikenal dengan istilah
“adat game luir game” yang artinya bahwa adat harus menjunjung tinggi ajaran
agama yang terdpaat dalam kitab Al-Qur’an.

Beberapa hal yang berkaitan dengan berbusana atau berpakaian dalam Islam
tercermin dalam al Qur'an surat an- Nahl ayat 81: "dan Allah menjadikan tempat
bernaung bagimu dari apa yang telah Dia ciptakan, Dia menjadikan bagimu tempat-
tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia menjadikan pakaian bagimu yang
memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memeliharamu dalam
peperangan. Demikian Allah menyempurnakan nikmatNya kepadamu agar kamu
berserah diri kepada Nya"(QS.16:81). Ayat ini menerangkan tentang fungsi pakaian
sebagai pelindung dari hawa panas dan dingin. 8

Pelaksanaan agama Islam senantiasa dijunjung tinggi dengan beteken


(bertiang), betatah (bertata hias) dan betakaq (berwadah) adat budaya peninggalan

Djalaludin Ar-Zaki, Busana Adat Sasak, (Lombok: KSU “Prima Guna”, 2014), hlm. 2.
7
8
Baiq Ratna Mulhimmah, Mengenal Busana Adat Sasak, (Mataram: Sanabil Puri Bunga
Amanah, 2017), hlm. 10.

5
leluhur sebagai sebuah warisan budaya lokal (Local Heritage). Sebagai sebuah
warisan budaya maka, ajaran Sasak dalam hal berbusana adat pun harus mematuhi
warisan budaya yang disebut kearifan lokal (Local Wisdom).

Ciri khas busana adat Sasak ini dapat dilihat lebih jelas baik pada jenis,
bentuk motif kain, maupun tata cara penggunaannya. Jika terdapat beberapa
persamaan dengan daerah lain itu terjadi karena akulturasi budaya dan agama
seperti yang dijelaskan sebelumnya. Indonesia pada umumnya memiliki
kebudayaan yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu Polenisia, Maka
suku Sasak sendiri juga dipengaruhi oleh sebagian dari budaya dari beberapa negara
tersebut seperti India, Pakistan, Bangladesh, Burnia dan lainnya melalui budaya
Melayu, tentunya budaya Arab juga sangat berpengaruh melalui akulturasi agama
Islam. Selain itu busana adat Sasak ada juga yang dipengaruhi oleh budaya daerah
lain di Indonesisa seperti Madura, Jawa, Bali dan lainnya. 9 Dari beberapa
perpaduan pengaruh tersebut kemudian melahirkan adat khas daerah Suku Sasak,
yang tentunya terdapat pula budaya asli dari suku Sasak itu sendiri.

C. Nilai Filosofi, Makna Simbolik Dan Aturan Waktu Pemakaian Busana


Adat Sasak

Nilai nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai yang telah diwariskan oleh
leluhur baik berasal dari budaya yang mengakar maupun dari agama (baca: Islam)
yang telah menjadi pedoman hidup masyarakat suku Sasak. Menurut Djalaludin Ar
Zaki terdapat 5 (lima) syarat kepatutan (panca patut) dalam berbusana yakni 10;

1. Patut wirasa artinya, tampil dengan penuh timbang rasa atau dengan
perasaan halus melalui base krame, lindi krame, dan linggih krame yang
benar. Tegasnya harus berbusana sopan santun, dengan kata lain berbusana
yang etis.
2. Patut wirame artinya berbusana dengan gaya atau tampilan yang indah,
wajar dan harmonis.

9
Ibid., hlm. 11.
10
Djalaludin Ar zaki, Busana Adat Sasak, (Lombok: KSU “Prima Guna”, 2014), hlm. 10.

6
3. Patut wirage artinya berpenampilan dengan raga gagah, pantas, patut,
dengan aura yang tinggi.
4. Patut wiwusana artinya berpenampilan dengan menggunakan busana yang
begus indah, serasi dengan penggunaan yang benar menurut adat.
5. Patut widagde artinya, berbusana dengan tampilan yang satria, menghargai
orang lain, tidak sombong dan gila sanjungan.

Dengan demikian maka sesngguhnya dalam berpakaian adat Sasak haru


diperhatikan norma-norma atuaran yang telah ditetapkan. Karena dengan
berpakaian baik setidaknya menggambarkan jati diri seseorang bahwa orang
tersebut menggunakannya sebagai pancaran jiwa yang baik. Beberapa makna
afilososfis yang terkandung dalam bpakaian adat Sasak di antaranya adalah:

1. Busana Laki-laki
a. Makna Ikatan Kepala
Makna ikatan kepala atau yang sering disebut sapuq/capuk.
/bolot/dastar adalah selain sebagai mahkota bagi pemakainya juga
bermakna sebagai tanda kejantanan bagi kaum pria, serta sebagai
pengendali dari pikiran-pikiran yang kotor. Hal ini senada dengan pendapat
budayawan Lalu Abdurrahim bahwa sapuq berasal dari kata shofa yang
artinya jernih, suci, bersih, sehingga sapuq yang mengikat kepala diartikan
bahwa diikatnya kepala dengan pikiran-pikaran yang bersih. Sapuq juga
dimaknakan sebagai bentuk penghormatan kepada yang Maha Pencipta
yakni Allah SWT juga penghormatan kepada orang lain dalam kehidupan
bermasyarakat.11
Sapuq atau ikat kepala ini ada beberapa jenisnya antara lain sapuq
lepek, sapuq nebeng, sapuq sekep pindang, sapuq patirate. Ada juga jenis
Sapuq yang dipergunakan pada waktu-waktu khusus. Jenis sapuk nebeng
ini dipakai oleh semua orang, sedangkan sapuk sekep pindang digunakan
oleh para tokoh agama, sapuq patirate biasanya dikenakan oleh

11
Baiq Ratna Mulhimmah, Mengenal Busana Adat Sasak, hlm. 53.

7
prajurit/lang/ petugas keamanan dan sapuq tunjung langit yang biasa dipakai
oleh para kiyai.
b. Penggunaan Baju atau Pegon
Baju merupakan penutup aurat dan sebagai simbol kehormatan
seseorang, seseorang dapat dinilai kemartabatannya dari baju atau
pakaiannya yang dikenakannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa stratifikasi
sosial juga terdapat dalam masyarakat suku Sasak, sehingga baju atau
pakaian yang dikenakan termasuk menjadi pembeda antar kelas dalam
masyarakat tersebut.
c. Penggunaan Tamper
Tamper adalah merupakan kain panjang (kain belo/belancingan)
yang digunakan sebagai sarung penutup aurat dari bagian perut/ pinggang
dengan ujung kain menjuntai tajam ke bawah. Ujung kain (poton kereng)
yang tajam menjuntai ini disebut dengan cote. Makna kain cote yang
menjuntai ke bawah adalah mengingat akan kematian dan menunjukkan
sikap tawaddhu’ (rendah hati) kepada Tuhan Yang Maha Esa (Dzalaludin
Arzaki: 14).
d. Pengunaan Umbaq
Selendang umbaq ini dibuat secara khusus dalam ritual adat suku
Sasak. Selain umbaq dikenal juga yang namanya sabuk kemalik sebagai
lambang pengayoman dan tanggung jawab bagi seorang pengerakse serta
simbol kedalaman pengetahuan (pengawuruh, kasih sayang,
kearifan/kebijaksanaan). Ada dua jenis umbaq yakni umbaq dalam jabatan
pemerintahan atau kepemangkuan dalam adat, serta umbaq kombong atau
umbag kemalik yang diperuntukkan untuk anak-anak yang baru dilahirkan
sebagai simbol pengasuhan orang tua khususnya ibu. Umbaq tersebut
kemudian dipergunakan dalam acara ritual upacara-upacara adat tertentu
yakni ritual-ritual dalam daur hidup seperti upacara ngurisan (potong
rambut bayi yang baru lahir), upacara khitanan, bekikir (potong gigi) bagi

8
anak perempuan, untuk upacara kikir gigi saat ini sudah jarang dan mulai
mengikis. 12
e. Penggunaan Keris Sebagai Sesingkuran
Makna penggunaan keris ini adalah agar kesatria yang memiliki
keberanian dalam mempertaruhkan kehormatan dan kemartabatan diri atau
komunitas. Untk penggunaanya pisau kecil (pemaje) sebagai kesiapan diri
utntuk membantu orang lain, sebab pisau ini sangat serba guna dapat
digunakan dalam hal apa saja dalam pekerjaannya bahkan dalam keadaan
darurat sekalipun.
2. Busana Adat Perempuan
a. Penggunaan Aksesoris Kepala
Penggunaan aksesoris kepala sebagai mahkota dengan berbagai
macam hiasan pada konde atauoun modifikasi kerudung atau hijab bagi
yang menggunakannya merupakan simbol kecantikan (aura) bagi seorang
perempuan dalam adat Sasak. Hiasan mahkota ini menjadi penentu
kecantikan dalam penampilan seorang perempuan dalam berpakaian adat.
b. Penggunaan Baju (Kuwace)
Penggunaan baju ini memiliki pengaruh besar seseorang dalam
perpenampilan. Baju kebaya ataupun lambung yang dikenakan oleh
perempuan sasak, di samping memiliki fungsi sebagai pelindung dan
penutup aurat juga sebagi simbol kehormatan dan harga diri bagi seorang
perempuan. Untuk itu dalam mengenakan baju hendaknya benar-benar
sebagai penutup aurat dan tidak boleh menggunakan bahan kain transparan,
serta hendaknya menggunakan warna sepantasnya. Untuk kebaya biasanya
boleh menggunakan berbagai warna asal tidak mencolok sedangkan khusus
lambung menggunakan warna hitam. 13
c. Penggunaan Selendang (Lempot)
Pengunaan selendang (lempot) yang disampirkan ke pundak kiri dan
kanan merupakan simbol penjaga kehormatan diri dan melindungi salah

12
Ibid., hlm. 54.
13
Ibid.., hlm. 56.

9
satu bagian tubuh seperti dada. Pemakai selendang dengan disampirkan
pada pundak kiri da kanan sehingga membentuk segitiga ini di sebut
tongkak dan biasa digunakan pada baju lambung, sedangkan selendang
dengan panjang dengan tenunan khas Sasak yang disampirkan atau
diselempangkan pada pundak kiri biasanya pada pemakai baju kebaya, dan
digunakan pada jenis pakain tegep (lengkap) merupakan simbol kasih
sayang. Selendang ini juga melambangkan kehormatan dan kemartabatan
seorang perempuan yang menggunakannya, sehingga nampak aura
kecantikan, keanggunan serta kewibawaan sebagai perempuan yang
terhormat.14
d. Penggunaan Sabuk
Penggunaan sabuk dengan memakai tenunan khas Sasak biasanya
digunakan pada busana perempuan. Jika sslendang tenun atau lempot ini
digunakan sebagai sabuk pakaian madya (dengan memakai kebaya) maka
sabuk ini dinamakan tekek. Dan biasanya tekek ini merupakan pasangan dai
kain songket sebagai sarung yang digunakan untuk menutup aurat bagian
bawah, sehingga motif sarung songket seringkali sama dengan motif sabuk
tekek.
e. Penggunaan Kain
Penggunaan kain sebagai penutup aurat dengan menggunakan
tenunan songket atau bahan pelung hitam merupakan simbol kemartabatan
serta kehormatan pemakainya.
3. Momentum Pemakaian (Ngerangsuk) Busana Adat Sasak
Terdapat cara atau waktu-waktu tertentu dalam penggunaan busana
adat Sasakini. Hal ini tentunya merupakan aturan sebagai tata tertib yang
sudah diatur secara turun temurun dan melekat menjadi sebuah aturan adat
dalam masyarakat. Adapan aturan-aturan tersebut antara lain;
a. Busana Tegep Utama, digunakan pada saat upacara resmi
kenegaraan, upacara menyambut tamu Negara, serta pada beberapa

14
Ibid…, hlm. 56.

10
prosesi adat perkawinan seperti prosesi sorong serah aji krame”’
besejati", selabar," dan acara mendakin (menyambut pengantin).
Busana ini digunakan oleh pengrakse (kepala pemerintahan),
pemangku adat (pimpinan adat) penglingsir adat (tetua/tokoh adat),
dan. pembayun (duta dan juru bicara pada prosesi sorong serah aji
krame).
b. Busana Tegep Madya digunakan pada saat acara resmi organisasi,
sangkep/gundem/musyawarah adat, beberapa proses perkawinan
seperti memadiq/melamar, nuntut wali, nyongkolan (parade)
pengantin, prosesi dan acara-acara gawe (pesta) adat. Busana ini
digunakan oleh para saksi pada upacara sorong serah aji krame,
pengiring pengantin pada upacara nyongkolan, serta partisipan pada
acara-acara adat.
c. Busana adat biasa/harian (jamak) digunakan pada saat acara
kendurian, gendu rase (sarasehan), ngayo (silaturrahmi antar
keluarga dan kerabat), memaos (pembacaan tembang macapat),
serta rapat-rapat kecil. Penggunaan busana adat ini oleh partisipan
pada acara-acara kenduri, memãos dan acara adat seperti yang
disebutkan sebelumпуa.

11
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejarah masuknya Islam di Pulau Lombok memiliki tiga teori dan salah satu
teori tersebut di perkuat lagi dengan salah satu koleksi benda bersejarah yang di
miliki oleh Museum Negeri NTB. Teori yang paling kuat adalah bahwa, Agama
Islam dibawa oleh Sunan Prapen dari Jawa ke NTB melalui pelabuhan Lmbok pada
abad ke-16 pada masa kerajaan Mumbul. Pada abad ke-16, Kerajaan Majapahit
mulai runtuh karena ditaklukan oleh Kesultanan Giri. Dari situlah Islam mulai
masuk pertama kali di wilayah Salut, Lombok Utara. Namun, tidak menutup
kemungkinan untuk dua teori yang lain akan kebenarannya.

Filososi dan aturan pakaian adat Sasak sangatlah kental dan memiliki aturan
atau tata tertib yang harus diikuti dan tidak boleh dilanggar. Hal ini dikarenakan
setiap pakaian memiliki keunikan dan sejarahnya sendiri serta tata cara
pembuatannya yang berbeda-beda. Menggunakan bahan khusus dan dengan
pembuatan yang masih terjaga tradisionalnya. Apalagi seperti yang kita ketahui
sekarang bahwa jika tidak dilestarikan secara turun temurun, sudah tentu akan
dimakan oleh zaman yang semakin maju. Oleh karen itu, kita sebagai penerus
bangsa harus bisa melestarikan kekayaan budaya lokal di wilayah kita masing-
masing dan selalu menjaganya dari budaya asing yang akan masuk.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari banyaknya kekurangan,


mulai dari materi pembahasan yang tidak terlalu lengkap dan beberapa teknik
penulisan yang salah. Maka dari itu, penulis meminta kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak agar kedepannya penulis bisa berkembang lebih
baik lagi. Semoga dengan makalah kami ini bisa menambah pengetahuan pembaca
terkait Islam dan Kearifan Lokal di Lmbok terkhususnya bagi penulis sendiri.

12
LAMPIRAN

HASIL WAWANCARA DI DESA SUKARARA

Pengetahuan masyarakat tentang baju adat lambung diperoleh secara turun-


tenurun dari leluhur mereka. Menurut penuturan M.Miftahurrizki seorang tokoh
masyarakat sekaligus sekretaris yayasan di pondok pesantren miftahul mujahidin
buncalang desa sukarara bahwa dahulu setiap anak gadis dalam keluarga-keluarga
di desa Sukarara diwajibkan membuat minimal satu helai tenun atau songket
sebelum diperbolehkan menikah. Alasannya gadis yang sudah dapat membuat
tenun dianggap sudah mampu membantu penghasilan suami pada saat menikah
nanti.

Baju lambung merupakan pakaian adat Sasak yang digunakan untuk wanita
mulai dari anak-anak, dewasa maupun yang sudah tua. Masyarakat desa Sukarara
menggunakan baju lambung dalam acara perkawinan seperti saat nyongkolan atau
ada begawe (acara adat) desa. Pakaian ini secara sederhana terdiri dari pakaian
bagian atas yaitu baju tanpa lengan dengan leher lebar bentuk V dan badannya
bagian belakang lebih pendek. Bagian bawahnya memakai kain panjang atau bisa
juga kain tenun songket khas Lombok yang dililitkan sampai lutut atau mata kaki
dengan bordiran di tepi kain bermotif kotak-kotak atau segitiga. Hal ini
melambangkan kesopanan dan kesuburan.

(wawancara pada tanggal 21 september 2023)

13
DAFTAR PUSTAKA

Agung, Anak Agung Ketut. 1991. Kupu-Kupu Kuning yang Terbang di Selat
Lombok: Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem: 1661-1950. Denpasar:
Upada Sastra.

Ar-Zaki, Djalaludin. 2014. Busana Adat Sasak. Lombok: KSU Prima Guna.

Barthlomoew, Jhon Ryan. 2001. Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mansur, Ahmad Taqiuddin. 2008. NU Lombok: Sejarah Terbentuknya Nahdlatul


Ulama Nusa Tenggara Barat. Lombok Barat: Pustaka Lombok.

Mulhimmah, Baiq Ratna. 2017. Mengenal Busana Adat Sasak. Mataram: Sanabil
Puri Bunga Amanah.

Nasri, Ulan. 2015. Akar Historis Pendidikan Perempuan: Refleksi Pemikiran


TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid. Yogyakarta: Penerbit Republish.

Syukur, Ahmad Abdul. 1979. Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara.

Zakaria, Fathurrahman. 1998. Mozaik Budaya Orang Mataram. Mataram: Sumur


Mas al-Hamidi.

14
15

Anda mungkin juga menyukai