:Oleh
YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami limpahkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahNya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas paper ini
dengan baik. Shalawat dan salam tak lupa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar
Muhammad SAW yang telah menyampaikan risalah Allah dan membawa
umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman penuh dengan peradaban.
Adapun paper ini saya tulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Kebudayaan Islam dengan judul “Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di
Lingkungan Keraton Yogyakarta”. Dalam paper ini akan dibahas mengenai
muatan-muatan islam yang terkandung dalam budaya di lingkungan Keraton
Yogyakarta.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih banyak yang pertama kepada Tuhan
Yang Maha Esa, kedua orang tua, dan tentunya bapak Drs. H. Jarot Wahyudi,
S.H., M.A selaku pembimbing paper sekaligus dosen mata kuliah Sejarah
Kebudayaan Islam.
Mahasiswi,
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
A. LATAR BELAKANG.....................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................4
C. TUJUAN PENULISAN...................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
A. KESIMPULAN.............................................................................................16
LAMPIRAN...........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyebaran islam di tanah Jawa tak terlepas dari peran Walisongo yang
dinilai unik dalam berdakwah. Hal ini disebabkan nilai keislaman diajarkan oleh
Walisongo melalui media budaya. Bentuk kreativitas para wali dalam berdakwah
ini mampu memikat hati masyarakat sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai
tertarik dan pada akhirnya memeluk agama islam tanpa menghilangkan adat
budaya yang telah mendarah daging dalam lingkungan mereka. Hal ini
menandakan adanya akulturasi antara Islam dengan budaya lokal. Mengambil
pendapat dari Atang Abdul Hakim dalam mengemukakan pendapat Nurcholis
Majid, ia mengatakan agama bersifat primer dan budaya bersifat sekunder 1.
Artinya, agama atau yang dimaksud disini nilai-nilai ajaran dalam agama tidak
akan berubah seiring berjalannya zaman. Sedangkan budaya masih dapat berubah
seiring perkembangan zaman.
Keraton Yogyakarta merupakan salah satu saksi penyebaran islam kala itu.
Sultan Hamengkubuwono I membangun Keraton Yogyakarta sebagai istana
Sultan juga sebagai pusat penyebaran islam dan pelestarian budaya. Adat budaya
Hindu dan Budha yang telah melekat pada masyakarat tidak dihilangkan, namun
dimasukkan nilai-nilai islam di dalamnya. Hingga kini bangunan bersejarah ini
masih secara rutin melestarikan adat budaya nenek moyang meski ditengah
berkembangnya budaya asing yang masuk. Bagaimana siasat penyebaran islam di
lingkungan Keraton? Budaya apa sajakah yang hingga kini masih dilestarikan?
Serta nilai islam apa yang terkandung di dalamnya?
Paper ini akan membahas sejarah asal mula Keraton Yogyakarta beserta
perannya dalam menyebarkan islam yang kala itu masih menganut agama Hindu
Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, (Cet.I ;Bandung: Remaja Rosda Kirya 1999), hal. 34 1
sebagaimana yang dikutip oleh Hamzah Junaid, Kajian Kritiis Akulturasi Islam dengan Budaya
Lokal, Jurnal Sulesana Vol. 8 No. 1, 2013, hal. 3
3
dan Budha hingga masyarakat mampu menerima islam dengan begitu baik. Juga
akan kami paparkan beberapa budaya yang ada di lingkungan Keraton
Yogyakarta.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta?
2. Bagaimana pertemuan islam dengan budaya lokal di lingkungan Keraton
Yogyakarta?
3. Nilai islam apa saja yang termuat dalam adat budaya tersebut?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta.
2. Untuk memahami bagaimana pertemuan atau proses akulturasi islam
dengan budaya lokal di lingkungan Keraton Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui apa saja makna islami yang terkandung dalam budaya-
budaya Keraton Yogyakarta.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
nagara satunggal” yang berarti “dua negara yang satu”. Hal ini dimaknai bahwa
meskipun Mataram Islam terpecah menjadi dua kerajaan, namun pada hakikatnya
mereka adalah satu kesatuan.
Sejak zaman pra sejarah masyarakat Indonesia khususnya di tanah Jawa sudah
mulai meyakini adanya alam gaib berupa dewa-dewa, roh jahat ataupun roh baik.
Seiring berkembangnya zaman, dari waktu ke waktu kebudayaan asli yang ada
dalam jiwa masyakarat ini mulai dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing
yang masuk, salah satunya adalah kebudayaan Hindu dan Budha.
6
suatu bangsa dalam menerima kebudayaan asing dan mengolahnya sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia3.
Selain itu, ada pula tradisi yang dilakukan rutin oleh raja-raja Hindu
pada kala itu, yaitu tradisi Rajawedha yang berarti perbuatan bijaksana yang
dilakukan raja. Pada upacara ini, raja akan keluar dan duduk di Bangsal
Pancaniti beserta sanak kerabatnya untuk bertemu rakyat. Kemudian
prajurit-prajurit raja mempersiapkan kelengkapan yang akan digunakan
dalam tradisi ini yang disebut “Garebeg”.
Konon, suatu ketika ada Kerajaan bernama Giling Oya yang rajanya
bergelar Sang Prabu Sitawaka. Rakyatnya kala itu terserang wabah penyakit.
Kemudian, Sang Prabu meminta salah seorang Brahmana bernama
Brahmana Radi untuk menyembuhkan rakyatnya. Bergegaslah Brahmana ini
untuk bersemedi. Setelah bersemedi, Brahmana ini mengatakan kepada
.Ibid., hal. 1043
4
Sebagaimana dikutip oleh Pradoko, A.M.S., Akulturasi Tradisi Gamelan Budaya Hindu-Budha
.Menuju Gamelan Budaya Islam-Jawa dan Katolik, UNY, hal. 3
7
Sang Prabu bahwa satu-satunya cara untuk menghilangkan wabah penyakit
rakyatnya adalah dengan mengadakan kerja bakti bersih desa tiap tahunnya
yang kemudian disebut dengan Gramaweda dan disertai dengan tradisi
Rajawedha (sedekah raja) sebagai bentuk kesyukuran. Setelah Sang Prabu
melakukan tradisi ini secara rutin tiap tahun, kondisi rakyatnya semakin
membaik.
8
Hal ini kemudian mewarnai kehidupan Raja di Kesultanan Yogyakarta.
Sultan Hamengkubuwono I mengidentifikasikan dirinya dengan Dewa
Syiwa atau Dewa Wisnu yang memiliki wibawa untuk memerintah dan
melestarikan dunia. Wisnuisme pada Sultan Hamengku Buwana I serta para
penerusnya terlihat pada: (1) gelar abhiseka-nya adalah Hamengku Buwana,
yang berarti “Yang Melestarikan atau Mengelola Dunia”, (2) dua dari
tombak-tombak pusakanya bernama Cakra atau Hardacakra, (3)
kerajaannnya disebut Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berarti “Ayodya
Yang Makmur, Keindahan dari Dunia”, (4) apabila Sultan menyaksikan
pertunjukan wayang wong ritual, ia selalu duduk di atas tahta tepat di bawah
uleng, serta menghadap ke timur untuk menghormati hadirnya Matahari,
yang juga berarti menghormati hadirnya Dewa Wisnu5.
9
makhluk berada atau biasa disebut dengan alam dunia. Sedangkan Jagad
bawah merupakan tempat bersemayam roh jahat yang mengganggu alam
semesta. Tingkatan atap ini juga terdapat pada Masjid Gedhe Kauman.
Menurut Purwadi (2007: 524), adanya konsep dewa-raja pada masa Hindu
Jawa yang memandang raja sebagai inkarnasi dewa, berlanjut pada masa Islam
dalam pengertian kalifatullah yaitu wakil Allah di dunia7.
7
Trusti Warni, Skripsi : “MAKNA SIMBOLIS ORNAMEN PRABA DAN TLACAPAN PADA
BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA” (Yogyakarta : UNY, 2015), hal. 27
10
ARSITEKTUR BANGUNAN
Hasil wawancara dengan bapak KMT Tirto Joyotomtomo, seorang abdi dalem yang bertugas 8
dalam bidang pemandu wisata, pada hari Sabtu, 4 Mei 2019, pukul 11.15 WIB
Eko Huda, “Simbol-Simbol Islam di Keraton Yogyakarta” diakses dari 9
https://www.dream.co.id/jejak/simbol-simbol-islam-di-keraton-yogyakarta-150211m.html pada
.tanggal 18 Mei 2019 pukul 21.59 WIB
11
Sultan Hamengkubuwono I pada tanggal 29 Mei 1773 dengan menunjuk arsitek
handal bernama Kyai Wiryokusumo dan penghulu pertama yang bernama Kyai
Faqih Ibrahim Dipaningrat.
Selain itu, pada tiap ujung persegi atap di serambi ini terdapat pahatan yang
berbentuk nanas. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang relawan perabot
masjid tersebut, nanas ini melambangkan “hablum minan-nas”, sedangkan pada
bagian dalam (inti) masjid merupakan “hablum minallah”. Kemudian, masih pada
sisi atap serambi, terdapat beberapa buah kepala buaya yang menghadap ke arah
luar serambi yang melambangkan adanya bahaya di luar sehingga manusia
diperintahkan untuk berlindung hanya pada Allah semata.
12
Menuju arah luar masjid, tembok-tembok pembatas (pagar) pada tiap
ujungnya dihiasi oleh bentuk buah blewah yang melambangkan kata “Billahi”
(hanya dengan Allah) atau dalam Bahasa Jawa buah ini disebut Waluh yang
mengarah pada kata “Wallahi” (hanya untuk Allah).
UPACARA ADAT
Upacara Garebeg merupakan salah satu upacara adat yang telah banyak
diketahui masyakarat lokal maupun masyarakat asing. Hal ini dikarenakan sudah
sejak zaman Hindu Budha upacara ini dilakukan secara rutin oleh Raja kala itu.
Hanya saja, saat ini upacara Garebeg sudah memuat nilai-nilai islam berkat
perjuangan Walisongo dalam menyebarkan agama.
Dalam setahun, ada 3 upacara Grebeg yang diadakan Keraton, yaitu Grebeg
Maulud, Grebeg Syawwal, dan Grebeg Besar (Idul Adha). Kata garebeg berasal
dari kata gumrebeg yang memiliki filosofi sifat riuh, ribut, dan ramai. Pada ritual
upacara ini, gunungan yang menjadi ciri khas Grebeg dikawal oleh prajurit
13
Keraton menuju Masjid yang kemudian diperebutkan masyarakat demi mendapat
berkah. Hal ini merupakan sedekah Sultan terhadap rakyatnya sebagai bentuk rasa
syukur kepada Allah.
Selain 3 Garebeg tersebut, Hari Besar Islam yang dirayakan oleh Keraton
Yogyakarta adalah Isra’ Mi’raj. Upacara perayaan ini lebih terkenal dengan
sebutan Yasa Peksi Burak. Secara teknis, proses pelaksanaannya hampir sama
dengan ketiga Garebeg diatas. Uniknya, gunungan yang nantinya diarak menuju
Masjid Gedhe Kauman tersebut berbentuk burung. Hal ini diambil dari peristiwa
sejarah Isra’ Mi’raj dimana Nabi Muhammad SAW mengendarai Buroq yaitu
kuda yang memiliki sayap.
Balutan budaya terhadap nilai islam juga terdapat dalam adat perkawinan
Keraton Yogyakarta. Dalam tradisinya, apabila seorang putra biasa (bukan
keluarga kerajaan) menikahi putri Raja, maka akan dilakukan prosesi
“bondongan” yaitu pengangkatan sang putri oleh sang paman dan sang suami.
14
Makna yang ingin disampaikan dalam tradisi ini adalah pengangkatan derajat
wanita. Hal ini sesuai dengan nilai Islam dimana kedudukan wanita sangat
dihormati dan dijunjung tinggi. Selain itu, diadakan pula Tari Tolak Bala yang
bertujuan untuk mengusir roh jahat yang mengganggu acara pernikahan. Tradisi
dalam pernikahan ini hanya ditemukan dalam pernikahan keluarga Keraton
Yogyakarta.
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyebaran agama Islam dilakukan dengan cara yang damai tanpa kekerasan
sama sekali. Hal ini dikarenakan strategi penyebaran yang digunakan adalah
melalui pendekatan budaya. Masyarakat Jawa pada saat itu masih menganut
agama Hindu Budha dan memiliki kepercayaan yang kuat akan adanya dewa dan
roh baik maupun jahat. Dengan kepercayaan ini, mereka melakukan ritual-ritual
pemujaan dewa. Ketika Islam masuk, para wali tidak mengubah sama sekali ritual
yang sudah melekat pada mereka. Namun, mereka mengganti inti pemujaan yang
ada dalam tradisi ritual tersebut. Dengan ini, sedikit demi sedikit Islam mulai
dapat diterima baik oleh masyarakat.
16
LAMPIRAN
DATA WAWANCARA
UMUR : 60 tahun
NAMA : Prayudi
UMUR : 54 tahun
17
DAFTAR PUSTAKA
18