Anda di halaman 1dari 19

PAPER

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL


DI LINGKUNGAN KERATON YOGYAKARTA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam

Dosen : Drs., H., Jarot Wahyudi, S.H., M.A

:Oleh

SAILA FADHILA ULFA


NIM : 18101010044

PROGRAM STUDI BAHASA SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UIN SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami limpahkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahNya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas paper ini
dengan baik. Shalawat dan salam tak lupa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar
Muhammad SAW yang telah menyampaikan risalah Allah dan membawa
umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman penuh dengan peradaban.

Adapun paper ini saya tulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Kebudayaan Islam dengan judul “Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di
Lingkungan Keraton Yogyakarta”. Dalam paper ini akan dibahas mengenai
muatan-muatan islam yang terkandung dalam budaya di lingkungan Keraton
Yogyakarta.

Tak lupa saya ucapkan terima kasih banyak yang pertama kepada Tuhan
Yang Maha Esa, kedua orang tua, dan tentunya bapak Drs. H. Jarot Wahyudi,
S.H., M.A selaku pembimbing paper sekaligus dosen mata kuliah Sejarah
Kebudayaan Islam.

Sebagai penulis, saya menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan


dalam penulisan paper ini. Maka, kritik dan saran pembaca sangat membantu
dalam pengembangan penulisan kedepannya. Terima kasih.

Yogyakarta, 19 Mei 2019

Mahasiswi,

(Saila Fadhila Ulfa)

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3

A. LATAR BELAKANG.....................................................................................3

B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................4

C. TUJUAN PENULISAN...................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5

A. SEJARAH KERATON YOGYAKARTA......................................................5

B. PROSES AKULTURASI KEBUDAYAAN (ISLAM, HINDU, BUDHA,


DAN BUDAYA LOKAL)…………………………………………...................6

C. NILAI ISLAM DALAM LINGKUNGAN KERATON YOGYAKARTA. .10

BAB III PENUTUP...............................................................................................16

A. KESIMPULAN.............................................................................................16

B. KRITIK DAN SARAN..................................................................................16

LAMPIRAN...........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyebaran islam di tanah Jawa tak terlepas dari peran Walisongo yang
dinilai unik dalam berdakwah. Hal ini disebabkan nilai keislaman diajarkan oleh
Walisongo melalui media budaya. Bentuk kreativitas para wali dalam berdakwah
ini mampu memikat hati masyarakat sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai
tertarik dan pada akhirnya memeluk agama islam tanpa menghilangkan adat
budaya yang telah mendarah daging dalam lingkungan mereka. Hal ini
menandakan adanya akulturasi antara Islam dengan budaya lokal. Mengambil
pendapat dari Atang Abdul Hakim dalam mengemukakan pendapat Nurcholis
Majid, ia mengatakan agama bersifat primer dan budaya bersifat sekunder 1.
Artinya, agama atau yang dimaksud disini nilai-nilai ajaran dalam agama tidak
akan berubah seiring berjalannya zaman. Sedangkan budaya masih dapat berubah
seiring perkembangan zaman.

Keraton Yogyakarta merupakan salah satu saksi penyebaran islam kala itu.
Sultan Hamengkubuwono I membangun Keraton Yogyakarta sebagai istana
Sultan juga sebagai pusat penyebaran islam dan pelestarian budaya. Adat budaya
Hindu dan Budha yang telah melekat pada masyakarat tidak dihilangkan, namun
dimasukkan nilai-nilai islam di dalamnya. Hingga kini bangunan bersejarah ini
masih secara rutin melestarikan adat budaya nenek moyang meski ditengah
berkembangnya budaya asing yang masuk. Bagaimana siasat penyebaran islam di
lingkungan Keraton? Budaya apa sajakah yang hingga kini masih dilestarikan?
Serta nilai islam apa yang terkandung di dalamnya?

Paper ini akan membahas sejarah asal mula Keraton Yogyakarta beserta
perannya dalam menyebarkan islam yang kala itu masih menganut agama Hindu

Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, (Cet.I ;Bandung: Remaja Rosda Kirya 1999), hal. 34 1
sebagaimana yang dikutip oleh Hamzah Junaid, Kajian Kritiis Akulturasi Islam dengan Budaya
Lokal, Jurnal Sulesana Vol. 8 No. 1, 2013, hal. 3

3
dan Budha hingga masyarakat mampu menerima islam dengan begitu baik. Juga
akan kami paparkan beberapa budaya yang ada di lingkungan Keraton
Yogyakarta.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta?
2. Bagaimana pertemuan islam dengan budaya lokal di lingkungan Keraton
Yogyakarta?
3. Nilai islam apa saja yang termuat dalam adat budaya tersebut?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta.
2. Untuk memahami bagaimana pertemuan atau proses akulturasi islam
dengan budaya lokal di lingkungan Keraton Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui apa saja makna islami yang terkandung dalam budaya-
budaya Keraton Yogyakarta.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH KERATON YOGYAKARTA


Sebelum menjadi daerah yang berdiri sendiri, tanah Yogyakarta merupakan
salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Pada masa kekuasaannya,
Mataram Islam banyak menghadapi konflik dan perselisihan hingga pada akhirnya
salah satu diantara konflik tersebut menghasilkan perjanjian Giyanti antara VOC,
Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi. Dari perjanjian tersebut Pangeran
Mangkubumi diakui menjadi Sultan Hamengkubuwono I dengan daerah
kekuasaan Barat sedangkan Paku Buwono III mendapatkan daerah kekuasaan di
daerah Timur Sungai Opak. Pangeran Mangkubumi dengan gelarnya Senopati Ing
Ngalogo Sayidin Panotogomo Khalifatullah memang terkenal sebagai Raja Besar.
Namun, pada kenyataannya ia dan daerah kekuasaannya berada di bawah
kedaulatan Belanda. Hal ini tampak pada beberapa poin yang disetujui dalam
Perjanjian Giyanti.

Beberapa bulan setelah Perjanjian Giyanti tepatnya pada tanggal 13 Februari


1755, Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan untuk memulai pembangunan
ibu kotanya dengan Keraton Yogyakarta sebagai pusat dan permulaan. Konon ada
yang mengatakan asal mula Keraton adalah sebagai tempat pesanggrahan yang
bernama Garjitawati di tengah Hutan Beringan dan digunakan sebagai tempat
pemberhentian iring-iringan jenazah para raja yang akan dimakamkan di Imogiri.
Kemudian pada tahun 1756 Sultan Hamengkubuwono I mulai memindahkannya
menuju tempat keraton yang saat ini lebih dikenal orang dan disebut dengan
Keraton Baru. Lambang dari Keraton Baru berupa gambar dua naga yang saling
melilit yang memiliki makna tahun berdirinya Keraton yaitu pada 1682 Tahun
Jawa. Dalam Bahasa Jawa, tahun ini akan membentuk suatu kalimat yang unik ( 2
: dwi, 8 : naga, 6 : rasa, 1 : tunggal ). Jika digabungkan, akan membentuk “Dwi

5
nagara satunggal” yang berarti “dua negara yang satu”. Hal ini dimaknai bahwa
meskipun Mataram Islam terpecah menjadi dua kerajaan, namun pada hakikatnya
mereka adalah satu kesatuan.

B. PROSES AKULTURASI KEBUDAYAAN (ISLAM, HINDU,


BUDHA, DAN BUDAYA LOKAL)

Sejak zaman pra sejarah masyarakat Indonesia khususnya di tanah Jawa sudah
mulai meyakini adanya alam gaib berupa dewa-dewa, roh jahat ataupun roh baik.
Seiring berkembangnya zaman, dari waktu ke waktu kebudayaan asli yang ada
dalam jiwa masyakarat ini mulai dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing
yang masuk, salah satunya adalah kebudayaan Hindu dan Budha.

“Jauh sebelum masuknya kebudayaan, masyarakat telah memiliki


kebudayaan yang maju. Unsur-unsur kebudayaanan asli indonesia telah
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat indonesia.
Masuknya pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia telah membawa perubahan
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia” (Badrika, 2004) 2.

Suatu kebudayaan baru yang datang kemudian bertemu dengan kebudayaan


asli akan saling menyatu satu sama lain yang kemudian membentuk kebudayaan
baru. Menurut Yanyan Suryana dalam sebuah artikelnya, ia mengatakan bahwa
unsur-unsur kebudayaan baru dapat diterima dengan baik oleh masyarakat
Indonesia karena beberapa sebab. Pertama, karena masyarakat Indonesia sudah
memiliki kebudayaan yang tinggi sehingga kebudayaan baru yang datang
menambah perbendaharaan kebudayaan di Indonesia. Kedua, karena bangsa
Indonesia memiliki apa yang disebut dengan istilah Local Genius yaitu kecakapan

Sebagaimana dikutip oleh Yanyan Suryana, Akulturasi Kebudayaan (Hindu-Budha-Islam) dalam 2


Buku Teks Pelajaran Sejarah Nasional Indonesia, jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol.26 No. 1, 2017,
.hal. 104

6
suatu bangsa dalam menerima kebudayaan asing dan mengolahnya sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia3.

Pada masa Kerajaan Majapahit (era hindu-budha) masyarakat mulai mengenal


dan melakukan ritual kepada dewa-dewa berupa selametan. Dalam ritual ini,
masyakarat mempersembahkan sesaji kepada dewa disertai mantra-mantra dan
ditujukan pula untuk menghormati arwah leluhur. Selain persembahan berupa
sesaji, fungsi gamelan dalam ritual ini juga dinilai sangat penting. Suatu adegan
tari-tarian oleh pria dan wanita yang diiringi permainan gamelan. Dalam hal ini I
Wayan Sueca mengungkapkan :

''Gamelan yang mengiringi upacara sering kali mampu memberikan suasana


lain terutama dalam hubungannya dengan yang 'di atas'. Dengan kata lain
gamelan yang dipakai dalam kegiatan keagamaan tidak bisa dipandang
sebagai pelengkap saja'' (Sueca, 2001; Bali Post) 4.

Dalam pendapatnya tersebut, jelas dikatakan gamelan merupakan alat


musik yang mampu memberikan suasana khidmat dalam beribadah untuk
berinteraksi dengan Tuhan pada masa Hindu Budha.

Selain itu, ada pula tradisi yang dilakukan rutin oleh raja-raja Hindu
pada kala itu, yaitu tradisi Rajawedha yang berarti perbuatan bijaksana yang
dilakukan raja. Pada upacara ini, raja akan keluar dan duduk di Bangsal
Pancaniti beserta sanak kerabatnya untuk bertemu rakyat. Kemudian
prajurit-prajurit raja mempersiapkan kelengkapan yang akan digunakan
dalam tradisi ini yang disebut “Garebeg”.

Konon, suatu ketika ada Kerajaan bernama Giling Oya yang rajanya
bergelar Sang Prabu Sitawaka. Rakyatnya kala itu terserang wabah penyakit.
Kemudian, Sang Prabu meminta salah seorang Brahmana bernama
Brahmana Radi untuk menyembuhkan rakyatnya. Bergegaslah Brahmana ini
untuk bersemedi. Setelah bersemedi, Brahmana ini mengatakan kepada
.Ibid., hal. 1043
4
Sebagaimana dikutip oleh Pradoko, A.M.S., Akulturasi Tradisi Gamelan Budaya Hindu-Budha
.Menuju Gamelan Budaya Islam-Jawa dan Katolik, UNY, hal. 3

7
Sang Prabu bahwa satu-satunya cara untuk menghilangkan wabah penyakit
rakyatnya adalah dengan mengadakan kerja bakti bersih desa tiap tahunnya
yang kemudian disebut dengan Gramaweda dan disertai dengan tradisi
Rajawedha (sedekah raja) sebagai bentuk kesyukuran. Setelah Sang Prabu
melakukan tradisi ini secara rutin tiap tahun, kondisi rakyatnya semakin
membaik.

Pada masa awal masuknya islam yang ditandai dengan berdirinya


Kerajaan Demak, salah satu raja Demak yang terkenal bernama Sultan
Syekh Alam Akbar (Raden Patah) menghilangkan tradisi Rajawedha karena
menganggapnya bertentangan dengan islam. Namun, yang terjadi adalah
rakyat pada masa kepemerintahannya kembali diserang wabah penyakit.
Berbagai macam upaya telah dicoba, seperti doa-doa khusus sembari
mengelilingi desa, dan lain sebagainya. Namun, usaha ini juga tak berhasil.
Setelah dilakukan musyawarah antara walisongo dengan raja, maka
diputuskan bahwa tradisi ini akan dihidupkan kembali dengan sedikit
perubahan doa-doa yang kini lebih dikenal sebagai Selametan dan gunungan
yang merupakan sedekah raja terhadap rakyatnya disebut “Garebeg”.

Dalam penghidupan kembali budaya masyarakat, Sunan Kalijaga


berperan penting. Ia mampu menjadikan tradisi-tradisi Hindu Budha bernilai
islami. Contohnya, dalam upacara Sekaten, ia mengadakan persembahan
wayang kulit dan permainan gamelan yang merupakan warisan budaya
Hindu Budha dan merubah inti pesan yang disampaikan menjadi pesan yang
bermuatan islami.

Pada masa Hindu-Budha secara keseluruhan, dapat dimaknai bahwa


masyarakat pada zaman ini memiliki kepercayaan yang kuat terhadap hal-
hal yang mistik. Hal ini terbukti dalam Sajak Jawa yang bernama
Nagarakertagama (abad 14) menceritakan yang pada kesimpulannya semua
raja adalah inkarnasi Syiwa.

8
Hal ini kemudian mewarnai kehidupan Raja di Kesultanan Yogyakarta.
Sultan Hamengkubuwono I mengidentifikasikan dirinya dengan Dewa
Syiwa atau Dewa Wisnu yang memiliki wibawa untuk memerintah dan
melestarikan dunia. Wisnuisme pada Sultan Hamengku Buwana I serta para
penerusnya terlihat pada: (1) gelar abhiseka-nya adalah Hamengku Buwana,
yang berarti “Yang Melestarikan atau Mengelola Dunia”, (2) dua dari
tombak-tombak pusakanya bernama Cakra atau Hardacakra, (3)
kerajaannnya disebut Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berarti “Ayodya
Yang Makmur, Keindahan dari Dunia”, (4) apabila Sultan menyaksikan
pertunjukan wayang wong ritual, ia selalu duduk di atas tahta tepat di bawah
uleng, serta menghadap ke timur untuk menghormati hadirnya Matahari,
yang juga berarti menghormati hadirnya Dewa Wisnu5.

Melihat paparan di atas, menuai pertanyaan mengenai arah


pembangunan Keraton Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono. Jika
dilihat, kompleks Keraton tidak menghadap ke arah Timur, yang dalam
kepercayaan Hindu merupakan arah munculnya Dewa Wisnu, namun justru
menghadap ke arah utara dan membujur ke arah selatan. Dalam kehidupan
religi pra-islam terdapat kepercayaan akan kekuasaan Empu Rama dan
Permadi di Gunung Merapi. Di gunung inilah Dewa Wisnu bersemayam.
Dalam Vastu Purusa Mandala Hindu-Jawa di keraton Yogyakarta, arah
Utara merupakan posisi utama, berada pada posisi kepala dalam mandala.
Sedangkan arah Selatan dipercaya sebagai tempat kekuasaan Kanjeng Ratu
Kidul. Arah Selatan dalam mandala merupakan posisi kaki6.

Selain itu, sebagian besar bangunan Keraton Yogyakarta beratapkan 3


tingkatan. Hal ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Hindu kala itu.
Dunia terbagi menjadi 3 bagian yang disebut dengan Triloka, yaitu Jagad
atas, jagad tengah, jagad bawah. Jagad atas merupakan tempat
bersemayamnya para dewa. Jagad tengah merupakan tempat segala
5
Wardani, Gaya Seni Hindu–Jawa pada Tata Ruang Keraton Yogyakarta. Jurnal Dimensi Interior,
Vol. 9 No.2, 2011, hal. 111
Ibid., hal. 115 6

9
makhluk berada atau biasa disebut dengan alam dunia. Sedangkan Jagad
bawah merupakan tempat bersemayam roh jahat yang mengganggu alam
semesta. Tingkatan atap ini juga terdapat pada Masjid Gedhe Kauman.

C. NILAI ISLAM DALAM LINGKUNGAN KERATON


YOGYAKARTA

Sultan Hamengkubuwono memiliki gelar yang istimewa yaitu Senopati


Ingalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Dalam pemberian
gelar kepadanya, ada hikayat yang menceritakan bahwa gelar Senopati Ingalaga
pertama kali digunakan oleh Sultan Agung sebagai bentuk penghormatan dan
penghargaan terhadap kakeknya, pendiri kerajaan Mataram yang memiliki jabatan
panglima perang. Sejak itulah maka sebutan gelar Senopati Ingalaga selalu
dicantumkan sebagai gelar para raja Jawa keturunan Panembahan Senopati.
Mengenai sebutan gelar Khalifatullah ada versi yang berpendapat gelar ini
didapatkan oleh Sultan Agung dari penguasa Makkah yang kala itu berada di
bawah kekuasaan Turki Utsmani. Namun ada juga yang mengatakan Sultan
Agung mendapatkannya dari Raja Demak yang sudah lebih awal dikukuhkan oleh
Sultan Turki. Pada intinya, gelar yang disandang oleh Sultan Hamengkubuwono
ini memiliki nilai islam tersendiri yang terpengaruh oleh kekuasaan Dinasti Turki
Utsmani meskipun masih diragukan prosesnya.

Menurut Purwadi (2007: 524), adanya konsep dewa-raja pada masa Hindu
Jawa yang memandang raja sebagai inkarnasi dewa, berlanjut pada masa Islam
dalam pengertian kalifatullah yaitu wakil Allah di dunia7.

7
Trusti Warni, Skripsi : “MAKNA SIMBOLIS ORNAMEN PRABA DAN TLACAPAN PADA
BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA” (Yogyakarta : UNY, 2015), hal. 27

10
ARSITEKTUR BANGUNAN

Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya, bangunan Keraton


Yogyakarta tak luput dari nilai islam. Menurut pemaparan sang abdi dalem dalam
sebuah wawancara, beliau menjelaskan bahwa tiap tiang yang menyangga
bangunan Keraton terdiri dari 3 jenis simbol agama, yaitu Hindu, Budha dan
Islam. Pada sisi ujung atas tiang berbentuk bunga lotus yang melambangkan kasih
sayang dalam agama Hindu. Selanjutnya pada bagian tengah sedikit kebawah
terdapat bunga teratai yang melambangan kemurnian dalam agama Budha dan
dibawahnya terdapat simbol agama islam8. Urutan simbol ini merupakan urutan
masuknya agama di daerah Yogyakarta.

Menurut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku


Buwono X, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki simbol-simbol Islam.
Di antaranya 64 tiang yang menyangga bangunan Pagelaran Keraton, menandakan
usia Rasulullah Muhammad dalam perhitungan tahun Jawa9.

Masjid Gedhe Kauman merupakan salah satu simbol islam-jawa yang


dimiliki Keraton Yogyakarta. Masjid ini dilibatkan dalam beberapa upacara adat
Keraton. Sama halnya dengan Keraton, Masjid Gedhe Kauman dibangun oleh

Hasil wawancara dengan bapak KMT Tirto Joyotomtomo, seorang abdi dalem yang bertugas 8
dalam bidang pemandu wisata, pada hari Sabtu, 4 Mei 2019, pukul 11.15 WIB
Eko Huda, “Simbol-Simbol Islam di Keraton Yogyakarta” diakses dari 9
https://www.dream.co.id/jejak/simbol-simbol-islam-di-keraton-yogyakarta-150211m.html pada
.tanggal 18 Mei 2019 pukul 21.59 WIB

11
Sultan Hamengkubuwono I pada tanggal 29 Mei 1773 dengan menunjuk arsitek
handal bernama Kyai Wiryokusumo dan penghulu pertama yang bernama Kyai
Faqih Ibrahim Dipaningrat.

Meskipun masjid, bangunan peribadatan ini juga masih melestarikan budaya


Jawa berupa seni-seni yang tampak pada arsitekturnya. Dalam serambi masjid,
terdapat beberapa tiang yang hampir sama persis dengan tiang yang dimiliki
Keraton yang membuktikan adanya akulturasi budaya antara Islam dengan Hindu
maupun Budha. Pada badan tiang tersebut akan ditemukan tulisan “Allah” pada
bagian atas dan tulisan “Muhammad” pada bagian bawahnya dengan aksara yang
begitu indah.

Selain itu, pada tiap ujung persegi atap di serambi ini terdapat pahatan yang
berbentuk nanas. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang relawan perabot
masjid tersebut, nanas ini melambangkan “hablum minan-nas”, sedangkan pada
bagian dalam (inti) masjid merupakan “hablum minallah”. Kemudian, masih pada
sisi atap serambi, terdapat beberapa buah kepala buaya yang menghadap ke arah
luar serambi yang melambangkan adanya bahaya di luar sehingga manusia
diperintahkan untuk berlindung hanya pada Allah semata.

12
Menuju arah luar masjid, tembok-tembok pembatas (pagar) pada tiap
ujungnya dihiasi oleh bentuk buah blewah yang melambangkan kata “Billahi”
(hanya dengan Allah) atau dalam Bahasa Jawa buah ini disebut Waluh yang
mengarah pada kata “Wallahi” (hanya untuk Allah).

UPACARA ADAT

Upacara Garebeg merupakan salah satu upacara adat yang telah banyak
diketahui masyakarat lokal maupun masyarakat asing. Hal ini dikarenakan sudah
sejak zaman Hindu Budha upacara ini dilakukan secara rutin oleh Raja kala itu.
Hanya saja, saat ini upacara Garebeg sudah memuat nilai-nilai islam berkat
perjuangan Walisongo dalam menyebarkan agama.

Dalam setahun, ada 3 upacara Grebeg yang diadakan Keraton, yaitu Grebeg
Maulud, Grebeg Syawwal, dan Grebeg Besar (Idul Adha). Kata garebeg berasal
dari kata gumrebeg yang memiliki filosofi sifat riuh, ribut, dan ramai. Pada ritual
upacara ini, gunungan yang menjadi ciri khas Grebeg dikawal oleh prajurit

13
Keraton menuju Masjid yang kemudian diperebutkan masyarakat demi mendapat
berkah. Hal ini merupakan sedekah Sultan terhadap rakyatnya sebagai bentuk rasa
syukur kepada Allah.

Selain 3 Garebeg tersebut, Hari Besar Islam yang dirayakan oleh Keraton
Yogyakarta adalah Isra’ Mi’raj. Upacara perayaan ini lebih terkenal dengan
sebutan Yasa Peksi Burak. Secara teknis, proses pelaksanaannya hampir sama
dengan ketiga Garebeg diatas. Uniknya, gunungan yang nantinya diarak menuju
Masjid Gedhe Kauman tersebut berbentuk burung. Hal ini diambil dari peristiwa
sejarah Isra’ Mi’raj dimana Nabi Muhammad SAW mengendarai Buroq yaitu
kuda yang memiliki sayap.

Pada era Sultan Agung, ia menciptakan sistem penanggalan Jawa yang


merupakan hasil dari akulturasi penanggalan Saka dan penanggalan Islam. Maka,
perayaan tahun baru Jawa juga merupakan tahun baru Hijriah milik islam. Dengan
hal ini, Keraton Yogyakarta mengadakan upacara adat yang merupakan perayaan
dari tahun baru Jawa. Salah satunya adalah Siraman Pusaka.

Upacara ritual Siraman Pusaka adalah upacara pembersihan alat-alat pusaka


milik Keraton. Upacara ini dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon bulan Suro atau
Muharram. Hari Selasa Kliwon dinilai baik untuk upacara Siraman Pusaka, karena
merupakan hari turunnya wahyu Keraton. Namun, apabila dalam satu bulan itu
tidak ditemukan hari Selasa Kliwon, maka akan dilaksanakan pada hari Jumat
Kliwon yang merupakan hari baik bagi umat Islam. Sebelum upacara ini
berlangsung, persiapan tak hanya dari segi fisik saja, namun juga dari segi rohani.
Pada abdi dalem yang akan bertugas diwajibkan untuk berpuasa dan mandi
terlebih dahulu. Selama upacara berlangsung, mereka diharuskan untuk menjaga
sikap, tutur kata dan perbuatan. Hal ini bertujuan untuk menyucikan diri.

Balutan budaya terhadap nilai islam juga terdapat dalam adat perkawinan
Keraton Yogyakarta. Dalam tradisinya, apabila seorang putra biasa (bukan
keluarga kerajaan) menikahi putri Raja, maka akan dilakukan prosesi
“bondongan” yaitu pengangkatan sang putri oleh sang paman dan sang suami.

14
Makna yang ingin disampaikan dalam tradisi ini adalah pengangkatan derajat
wanita. Hal ini sesuai dengan nilai Islam dimana kedudukan wanita sangat
dihormati dan dijunjung tinggi. Selain itu, diadakan pula Tari Tolak Bala yang
bertujuan untuk mengusir roh jahat yang mengganggu acara pernikahan. Tradisi
dalam pernikahan ini hanya ditemukan dalam pernikahan keluarga Keraton
Yogyakarta.

Sultan juga masih mengadakan tradisi Tingalan Jumenengan Dalem yang


merupakan upacara penobatan dan kenaikan tahta, serta hari ulang tahun Sultan.
Diantara prosesi upacara ini, yang paling terkenal adalah proses Ngapem yaitu
pembuatan kue apem oleh putri dan kerabat Sultan. Kata Ngapem sendiri konon
merupakan pengambilan dari bahasa arab, yaitu “Afwan” yang berarti mohon
ampun. Maka, kue apem yang menjadi hal utama dalam prosesi ini sebagai simbol
permohonan ampun kepada Sang Pencipta.

15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyebaran agama Islam dilakukan dengan cara yang damai tanpa kekerasan
sama sekali. Hal ini dikarenakan strategi penyebaran yang digunakan adalah
melalui pendekatan budaya. Masyarakat Jawa pada saat itu masih menganut
agama Hindu Budha dan memiliki kepercayaan yang kuat akan adanya dewa dan
roh baik maupun jahat. Dengan kepercayaan ini, mereka melakukan ritual-ritual
pemujaan dewa. Ketika Islam masuk, para wali tidak mengubah sama sekali ritual
yang sudah melekat pada mereka. Namun, mereka mengganti inti pemujaan yang
ada dalam tradisi ritual tersebut. Dengan ini, sedikit demi sedikit Islam mulai
dapat diterima baik oleh masyarakat.

Secara keseluruhan, budaya-budaya yang ada di Keraton Yogyakarta


mengandung nilai-nilai islam. Tidak hanya pada upacara adatnya saja, bahkan tata
letak ruang, maupun arsitektur bangunan memiliki nilai islam yang terselubung.
Hal ini tak lepas dari perjuangan para Raja Mataram Islam dan juga para Wali
dalam menyebarkan agama Islam.

B. KRITIK DAN SARAN


Menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dalam tulisan
maupun pemikiran, penulis harap kedepannya kepenulisan ini menjadi lebih baik
lagi. Maka dari itu, segala bentuk kritik dan saran dari para pembaca dengan
senang hati penulis terima karena sangat dibutuhkan dalam pengembangan
kepenulisan ini.

16
LAMPIRAN

DATA WAWANCARA

NAMA : KMT. Tirto Joyotamtomo

UMUR : 60 tahun

PEKERJAAN : Abdi Dalem bagian


pemandu wisata Keraton

NAMA : Prayudi

UMUR : 54 tahun

PEKERJAAN : Relawan Prabot Masjid


Gedhe Kauman

17
DAFTAR PUSTAKA

Rama, Ageng Pangestu. 2017. Kebudayaan Jawa : Ragam Kehidupan


Kraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998 (Yogyakarta : Cahaya Ningrat).

Junaid, Hamzah. 2013. Kajian Kritis Akulturasi Islam dengan Budaya


Lokal. Jurnal Sulesana. 8(1) : 3.

Suryana, Yanyan. 2017. Akulturasi Kebudayaan (Hindu-Budha-Islam)


dalam Buku Teks Pelajaran Sejarah Nasional Indonesia. Jurnal Pendidikan Ilmu
Sosial. 26(1) : 101-108.

Wardani. 2011. Gaya Seni Hindu–Jawa pada Tata Ruang Keraton


Yogyakarta. Jurnal Dimensi Interior. 9 (2) : 108-118.

Pradoko, AMS. Akultrurasi Tradisi Gamelan Budaya Hindu-Budha


Menuju Gamelan Budaya Islam-Jawa dan Katolik. Uiversitas Negeri Yogyakarta.

Warni, Trusti. 2015. Skripsi “Makna Simbolis Ornamen Praba Dan


Tlacapan Pada Bangunan Kraton Yogyakarta”. Fakultas Bahasa dan Seni.
Proram Studi Pendidikan Seni Rupa. Universitas Negeri Yogyakarta.

Huda, Eko. 2015. Simbol-Simbol Islam di Keraton Yogyakarta. diakses


dari https://www.dream.co.id/jejak/simbol-simbol-islam-di-keraton-yogyakarta-
150211m.html pada tanggal 18 Mei 2019.

18

Anda mungkin juga menyukai