Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Sejarah Kebudayaan

Dosen Pengampu : Ilham R. Ramadhan, M. Pd

Oleh :

1. Elka Fikril Al-Hasani (202171083)


2. Gesti Gavira Ananda (202171085)
3. Muhammad Fauzan (202171086)
4. Rika Tri Sakbania (202171009)

KELAS B
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI TAHUN AJARAN 2020/2021
ABSTRAK

Tulisan ini mencoba untuk menganalisis tentang kebudayaan Islam di kerajaan


Indonesia yang sudah menjadi kebiasaan warga negara. Dalam kebudayaan dikerajaan Islam
di Indonesia tentulah memiliki ciri yang berbeda-beda juga memiliki cerita atau sejarah yang
berbeda-beda baik dari segi waktu, tempat, adat-istiadat dan lain sebagainya.
Maka dari itu kami mencoba menganalisis kebudayaan-kebudayaan kerajaan islam
yang ada di Indonesia.
DAFTAR ISI

COVER
ABSTRAK
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
I.II Rumusan Masalah
I.III Tujuan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Masuknya Kebudayaan di Indonesia
B. Hasil-hasil Kebudayaan di Kerajaan Banten Dan Samudra Pasai
C. Percampuran Kebudayaan Lokal, Hindu-Budha dan Islam

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “KEBUDAYAAN
INDONESIA PADA MASA KERAJAAN ISLAM” ini pada tepat waktu.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
Dosen Pengampu Ilham R. Ramadhan, M. Pd. Pada mata pelajaran SEJARAH
KEBUDAYAAN. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
“KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA KERAJAAN ISLAM” Bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pendahuluan Untuk mempelajari suatu agama, termasuk agama Islam harus bermula dari
mempelajari aspek geografis dan geografi persebaran agama-agama dunia. Setelah itu dapat
dipahami pula proses kelahiran Islam sebagai salah satu dari agama dunia, terutama yang
dilahirkan di Timur Tengah, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiganya dikenal sebagai
agama langit atau wahyu. Kedua hal itu, geografi persebaran dan persebaran agama itu
sendiri. Selanjutnya untuk dapat memahami proses perkembangan Islam sehingga menjadi
salah satu agama yang dianut oleh penduduk dunia yang cukup luas, harus dikenali lebih
dahulu tokoh penerimaan ajaran yang sekaligus menyebarkan ajaran itu, yaitu Muhammad
saw., sang pendatang, untuk mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengan
kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat yang akan dimasukinya dalam
pengakuan dunia Islam. Langkah ini merupakan salah satu watak Islam yan pluralistis yang
dimiliki semenjak awal kelahirannya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana proses masuknya kebudayaan islam di Indonesia ?
2. Apa saja hasil kebudayaan kerajaan islam di Indonesia ?
3. Bagaimana percampuran antara budaya local, hindu dan islam ?

C. TUJUAN MAKALAH
1. Menambah wawasan pembaca mengenai kebudayaan kerajaan islam di Indonesia.
2. Sebagai sarana meningkatkan kemampuan berpikir secara kritis.
3. Melatih kepekaan terhadap peristiwa masa lampau dan menyusunnya sesuai metode
penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN

KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

Berabad-abad lamanya kerajaan-kerajaan kecil yang terpencar letaknya dipulau Indonesia


secara ekonomis dan kulturil ,juga sewktu-waktu secara politis telah tergabung atau
digabungkan dalam satu-kesatuan yang lebih besar. Adanya komunikasi dan lalu lintas antara
kepulauan Indonesia ini sudah barang tentu dimungkinan oleh penduduknya yang telah
memperkembangkan suatujaringan maritim yang baik,dan telah didukung oleh teknologi
kapal dan keahlian navigasi yang baik serta suatu “enterprising spirit” yang besar.

A. Masuknya Kebudayaan Islam Di Indonesia


Bilamana islam, baik sebagai agama manapun yaitu sebagai arus kebudayaan,yang
mula-mula memasuki Indonesia, tidak dapat dipastikan.
Di Leran (dekat Gresik) terapat sebuah batu bersurat dalam bahasa dan huruf arab,
yang sebagian telah rusak sama sekali tulisannya. Batu itu memuat keterangan tentang
meninggalnya seorang perempuan, bernama Fatimah binti maimun, sangat mungkin dalam
tahun 1082 Masehi.
Keterangan yang lebih nyata kita dapati dari masa timbulnya kerajaan majapahit.
Seorang italia dari venetia, Marco Polo namanya, dalam tahun 1292 singgah dibagian utara
aceh dalam perjalanannya dari tiongkok ke Persia melalui laut. Di Perlak (peureula) ia
menjumpai penduduk yang memeluk agama islam, dan juga banyak pedagang islam dari
india yang giat menyebarkan agama itu. Di sekitar kota penduduknya masih kafir. Hal ini
menunjukan, bahwa pengislaman di peureula itu belum lama berlangsung.
Marco Polo mengunjungi pula berbagai tempat lainnya yaitu diujung utara Sumatra.
Dikatakannya bahwa ditempat-tempat ini penduduknya masih belum islam.
Keadaan ini rupanya sangat segera berubah. Disamudra terdapat makam-makam raja
islam, diantaranya yaitu dari sultan Malik Al-Saleh yang meninggal dalam bulan ramadhan
tahun 676 sesudah hijrah nabi (=1297 Masehi). Ini berarti, bahwa sesudah kunjungan Marco
Polo itu samudra telah diislamkan, sedangkan orang yang memerintah adalah begelar
“Sultan”.
Tempat islam memiliki pijakan yang nyata yakni di Indonesia yaitu di Aceh utara,
sedangkan waktunya adalah akhir abad ke-13 pembawa dan penyiarnya adalah pedagang-
pedagag dari india dan cara pengislamannya berlangsung secara damai.
Dari bentuk dan macam jirat-jiratnya saja di pemakaman raja di Samudra itu dapatlah
diketahui lebih lanjut,dari india bagian mana datangnya islam di Negeri kita ini. Dan jira-jirat
yang serupa didapatkannya di Gujarat. (India), sedangkan diantara jirat-jirat di Aceh itu ada
pula yang di sisi dalam dari batunya berpahatkan relief-relief dari kuil hindu di Gujarat.
Rupanya, untuk makam-makam di Aceh itu sengaja didatangkan jirat-jirat yang sudah jadi,
yang merupakan pula barang dagangan yang dibawa para pedagang india.

B. Hasil Kebudayaan Banten Dan Samudra Pasai


1. Kerajaan Banten
a. Masjid Agung Banten
b. Istana Keraton Kibon
c. Istana Keraton Serosoan
d. Benteng Spelwijk
e. Vihara Avalokitesvara
f. Meriam Ki Amuk
2. Kerajaan Samudra pasai
a. Cakra Donya
b. Makam Sultan Malik Al-Shaleh
c. Makam Sultan Muhammad Malik Al-Zahir
d. Makam Tengku Sidi Abdullah Tajul Nillah
e. Makam Teuku Peuet
f. Makam Ratu AL-Aqla (Nur llah)
g. Stempel Kerajaan Samudra Pasai
h. Naskah Surat Zainal Abidin

C. Percampuran budaya lokal Hindu-Budha dan Islam


Akulturasi antara Tradisi Lokal, Hindu-Budha dan Islam di Indonesia Keragaman
suku bangsa yang tersebar di Nusantara merupakan kondisi objektif yang penting dan sangat
berpengaruh dalam keseluruhan proses penyebaran dan pembentukan tradisi Islam di
Indonesia. Perbedaan suku bangsa itu tidak hanya menyangkut perbedaan bahasa, adat
istiadat, dan sistem sosio-kultural pada umumnya, tetapi juga perbedaan orientasi nilai yang
menyangkut sistem keyakinan dan keragaman masyarakat. Setiap suku bangsa, selain
memiliki kepercayaan lokal masing-masing, juga memiliki sistem pengetahuan dan cara
pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya. Masuknya unsur baru dalam kehidupan
tentu saja mendapat reaksi yang berbeda-beda. Adanya hukum adat yang terbentuk dari
tradisi sosial budaya masyarakat setempat merupakan bentuk paling jelas dari institusi lokal
yang mengatur tatanan masyarakat. Berdasarkan pengelompokan yang diperkenalkan oleh
pelopor studi hukum adat, Van Vollenhoven, terdapat Sembilan belas wilayah hukum adat
yang mengisyaratkan agama Islam tersosialisasikan dalam masyarakat yang memiliki ciri
adat tertentu. Interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang tinggi telah ada sebelum
Islam menjadi perdebatan diberbagai daerah. Daerah yang keterkaitannya dengan adat begitu
tinggi dan paling intens menerima proses islamisasi antara lain Aceh, Sumatera Barat, dan
Sulawesi Selatan. Terutama menyangkut persoalan untuk mempertemukan atau
menyelaraskan agama dan adat dalam kehidupan sehari-hari. Kepercayaan dan tradisi lokal
dalam masyarakat yang masih terdapat sisa-sisa tradisi meghalithikum (adalah kebudayaan
yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar, seperti menhir adalah tugu yang
melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pujaan. Dolmen adalah
bentuknya seperti meja batu berkakikan tiang satu dan merupakan tempat sesaji). Pada
dasarnya tertumpu pada keyakinan tentang adanya aturan tetap yang mengatasi segala yang
terjadi dalam alam dunia. Tradisi kepercayaan dan sistem sosial budaya adalah produk
masyarakat lokal dalam menciptakan keteraturan. Seperti tradisi lokal itu adalah melakukan
upacara adat, menghadirkan tata cara menanam dan memanen, melakukan selamatan serta
melakukan upacara peralihan hidup.
Contoh lain tradisi lokal: Di Tapanuli, kepercayaan lokal dikenal dengan nama
parmalim atau agama si Raja Batak. Di Kepulauwan Mentawai disebut Sabulungan, di Dayak
disebut Kaharingan, di Toraja disebut Aluk to dolo. Di Sulawesi Tengah di sebut
Parandangan, di Sumbawa disebut Baramarapu, di Nias disebut Ono niha. Di Sika
(Maumere) disebut Ratu bita bantara. Kepercayaan lokal tersebut memang berbeda di setiap
daerah, hal itu menunjukkan keragaman budaya yang ada di Indonesia. Kemudian tadi
dijelaskan mengenai kebudayaan megalithikum yang belum disebutkan adalah ada juga arca-
arca (ini mungkin melambangkan nenek moyang mereka dan menjadi pemujaan), kubur batu
(peti mayat dari batu yang keempat sisinya berdindingkan papan-papan batu, alas dan bidang
atasnya juga dari papan batu). Punden berundap-undap (yaitu bangunan pemujaan yang
tersusun berttingkat-tingkat). Pada umumnya kebudayaan megalithikum ini terdapat di
seluruh Indonesia seperti di Sumatera, Bali, Jawa, dan Sulawesi. Di samping itu masyarakat
Jawa telah mengenal cerita wayang dan ini adalah merupakan asli budaya Jawa. Indonesia
sejak zaman neolithikum atau zaman batu muda di mana alat yang dibuat sudah diasah
sehingga menjadi halus dan indah.
Dikatakan bahwa sejak zaman Neolithikum bangsa Indonesia telah mengenal:
1. Cara pertanian padi
2. Mengenal alat pemotong padi
3. Teknik pembuatan batik
4. Peternakan
5. Teknik pembuatan periuk belanga
6. Membuat alat-alat dari logam
7. Pembuatan rumah panggung
8. Mendirikan monument (bangunan pemujaan)
9. Sudah mengenal organisasi pemerintahan secara teratur yang dikepalai Kepala
Desa dan menurut Adat
10. Membuat/menggunakan mata uang.

Perpaduan Tradisi Lokal dengan Hindu-Budha Telah diketahui bahwa sebelum


masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah memiliki
kebudayaan yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kebudayaan asli
masyarakat Indonesia tersebut sudah cukup maju. Masuknya budaya Hindu-Budha membawa
perubahan dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Unsur kebudayaan Hindu-Budha
yang masuk ke Indonesia lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia,
tetapi tanpa menghilangkan sifat kebudayaan asli Indonesia. Dengan demikian, lahirlah
kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
Wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Hindu-Budha tersebut,
antara lai sebagai berikut: Sistem Kepercayaan. Sejak zaman prasejarah bangsa Indonesia
telah memiliki kepercayaan berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang dan juga
kepercayaan terhadap benda-benda tertentu. Kepercayaan itu disebut animism dan
dinamisme. Dengan masuknya kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia, terjadilah akulturasi.
Sebagai contoh, dalam upacara keagamaan atau pemujaan terhadap para dewa di candi,
terlihat pula adanya unsur pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dalam bangunan candi
terdapat pripih yang di dalamnya terdapat benda-benda lambang jasmaniah raja yang
membangun candi. Sehingga candi berfungsi sebagai makam. Di atas pripih terdapat arca
dewa yang merupakan perwujudan raja dan pada puncak candi terdapat lambang para dewa
(biasanya berupa gambar teratai pada batu persegi empat). Jadi, upacara keagamaan atau
pemujaan terhadap dewa yang ada pada candi tersebut pada hakekatnya juga merupakan
pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan di situlah letak akulturasinya. Dengan nama yang
lain tetapi esensinya adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang.

Filsafat (maknanya secara sederhana alam pikiran, berpikir secara mendalam). Wujud
akulturasi Indonesia dan Hindu-Budha di bidang filsafat dapat ditemukan dalam cerita
wayang. Isi cerita tersebut mengandung nilai filosofis, yaitu bahwa kebenaran dan kejujuran
akan berakhir dengan kebahagiaan dan kemenangan. Sebaliknya, keserakahan dan
kecurangan akan berakhir dengan kehancuran. Seni wayang yang sudah popular dalam
kehidupan masyarakat Indonesia (khususnya masyarakat Jawa) bersumber dari cerita
Ramayana dan mahabrata yang berasal dari India. Namun, penampilan wujud tokoh dalam
wayang tersebut adalah budaya Indonesia yang antara daerah satu dan lainnya berbeda. Baik
dalam agama Hindu maupun Budha, keduanya mempercayai adanya hukum karma dan
reinkarnasi. Kedua hukum tersebut mengandung makna filosofis, yaitu bahwa manusia harus
berbuat kebaikan, kebenaran, dan kejujuran agar lepas dari samsara atau penderitaan.
Sedangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu telah berkembang suatu konsep
berupa petuah-petuah, nasehat atau pesan yang mengandung makna filosofis tentang
kebenaran, kejujuran dan kebaikan. Pemerintahan. Sebelum masuknya pengaruh budaya
Hindu-Budha, pemerintahan di Indonesia berlangsung secara demokratis, yaitu untuk
menentukan seorang pemimpin (kepala suku) dilakukan melalui pemilihan. Setelah
masuknya budaya Hindu-Budha dikenal sistem pemerintahan kerajaan yang tidak lagi dipilih
secara demokratis, tetapi secara turun temurun. Namun, dalam perkembangannya sifat
pemerintahan demokratis tetap menampakkan kembali ciri khasnya.

Pemerintah kerajaan tetap menerapkan musyawarah dalam mengambil keputusan.


Kekuasaan raja tidak bersifat mutlak seperti di India. Dalam pergantian raja tidak selalu
dilakukan secara turun-temurun. Unsur musyawarah sangat menentukan, terutama bila raja
tidak mempunyai putra mahkota. Seni Bangunan. Masuknya pengaruh Hindu-Budha ke
Indonesia membawa pengaruh terhadap seni bangunan, terutama bangunan candi. Jika dilihat
dari bentuknya, bangunan candi selalu bertingkat-tingkat yang terdiri atas kaki candi, tubuh
candi, dan puncak candi. Pada candi Hindu ditemukan pripih yang berisikan lambang
jasmaniah raja (yang membuat candi), kemudian di atasnya terdapat patung dewa dan pada
puncaknya terdapat lambang para dewa. Dengan demikian, jika dilihat dari bentuk
bangunannya candi akan mengingatkan kita pada bangunan punden berundak. Oleh karena
itu, pada candi ditemukan unsur Indonesia dan unsur Hindu-Budha. Fungsi candi di India
adalah sebagai tempat untuk memuja dewa.

Di Indonesia, candi berfungsi sebagai makam dan pemujaan terhadap roh nenek
moyang. Hal itu dapat dilihat dengan lambang jasmaniah raja di dalam pripih, sedangkan arca
di atasnya adalah perwujudan raja yang telah meninggal tersebut. Seni Rupa. Masuknya
kebudayan Hindu-Budha berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa di Indonseia.
Contoh, seni hias yang berupa relief pada dinding candi di Indonesia menunjukkan adanya
akulturasi antara budaya Indonesia dan Hindu-Budha. Hiasan relief pada candi biasanya
merupakan suatu cerita yang berhubungan dengan agama. Relief pada dinding Candi
Borobudur seharusnya adalah cerita tentang riwayat Sang Budha Gautama. Namun, yang
digambarkan adalah suasana kehidupan masyarakat Indonesia karena ditemukannya hiasan
gambar perahu bercadik, rumah panggung, dan burung merpati. Pada Candi Jago di Jawa
Timur di jumpai tokoh Punakawan, yaitu orang yang menjadi pengawal seorang ksatria.
Cerita itu hanya ditemukan di Indonesia. Seni Sastra. Pengaruh seni sastra India juga turut
memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sansekerta besar pengaruhnya terhadab
sastra Indonesia. Prasasti di Indonesia, seperti Kutai, Tarumanegara, dan prasasti di Jawa
tengah pada umumnya ditulis dalam bahasa sansekerta dan huruf pallawa. Dalam
perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa sansekerta cukup dominan,
terutama dalam istilah pemerintahan. Seperti kata-kata patih lebet (sebuah jabatan yang
mengkordinasi pemerintahan dalam istana). Pada masa Sultan Agung Titayasa di Banten,
patih lebet dijabat oleh Adipati Mandaraka. Sistem Kalender. Sistem penanggalan (kalender)
Hindu-Budha turut berpengaruh dalam kebudayaan Indonesia, yaitu digunakannya kalender
Saka di Indonesia, juga ditemukan candrasangkala dalam usaha memperingati suatu peristiwa
dengan tahun atau kalender Saka. Tahun Saka dimulai tahun 78 M. Kalender Saka
merupakan kalender dari India yang digunakan di Indonesia. Penggunaan kalender Saka
ditemukan dalam prasasti Talang Tuo (adalah prasasti yang menjelaskan mengenai
keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra) yang berangka tahun 606 Saka (686 M). Prasasti
tersebut menggunakan huruf pallawa dan bahasa melayu kuno. Dua contoh prasasti tersebut
merupakan wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha. Candrasangkala
adalah angka huruf yang berupa susunan kalimat atau gambar. Setiap kata dalam kalimat
tersebut dapat diartikan dengan angka, kemudian dibaca dari belakang maka akan terbaca
tahun Saka.
Beberapa gambar harus dapat diartikan ke dalam kalimat. Contoh tahun
candrasangkala adalah sirna ilang kertaning bumi yang artinya: Sirna : berarti angka 0 Ilang :
berarti angka 0 Kertaning : berarti 4 Bumi : berarti 1 Jadi, sirna ilang kertaning bumi dalam
tahun Saka adalah 1400 dan sama dengan tahun 1478 M. Perpaduan Tradisi Lokal, Hindu-
Budha, dan Islam di Indonesia Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam,
berkembang pula kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur kebudayaan Islam itu lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia tanpa menghilangkan kepribadian
Indonesia, sehingga lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan
Indonesia dan Islam. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur
kebudayaan Hindu-Budha. Perpaduan kebudayaan Indonesia dan Islam, antara lain dapat
dilihat sebagai berikut: Seni Bangunan. Misalnya bangunan makam. Makam sebagai hasil
kebudayaan zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya Islam dan
unsur budaya sebelumnya, seperti berikut ini; Fisik Bangunan. Pada makam Islam sering kita
jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata)
yang kadang-kadang disertai bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam
tidak ada aturan tentang adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan
ciri bangunan candi dalam ajaran Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam Islam,
terutama makam para raja, biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan
para pengiringnya. Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang)
sebagai penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam, misalnya ada yang
berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi. Tata Upacara
Pemakaman. Pada tata cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara dan
selamatan sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan
unsur tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu) yang hidup
terus menerus sampai sekarang. Demikian pula, tradisi penaburan bunga di makam dan
upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari untuk
memperingati orang yang telah meninggal merupakan unsur Islam dan juga unsur agama
Hindu-Budha. Dan hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.
Penempatan Makam. Dalam penempatan makampun terjadi akulturasi antara kebudayaan
lokal, Hindu-Budha dan Islam. Misalnya, makam terletak di tempat yang lebih tinggi dan
dekat dengan masjid. Contohnya, makam raja-raja Mataram yang terletak di bukit Imogiri
dan makam para wali yang berdekatan dengan masjid. Dalam agama Hindu-Budha makam
dalam candi. Bangunan Masjid. Bangunan masjid merupakan salah satu wujud budaya Islam
yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam, masjid memiliki perkembangan
yang beragam sesuai dengan daerah tempat berkembangnya.

Di Indonesia, masjid mempunyai bentuk khusus yang merupakan perpaduan budaya


Islam dengan budaya setempat. Perpaduan budaya pada bangunan masjid terlihat pada;
Bentuk Bangunan. Bentuk masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa, bentuknya seperti
pendopo (balai atau ruang besar tempat rapat) dengan komposisi ruang yang berbentuk
persegi dan beratap tumpang. Cirri khusus bangunan masjid di Timur Tengah biasanya
bagian atapnya berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah
susunan bertingkat dua, tiga, dan lima. Menara. Menara merupakan bangunan kelengkapan
masjid yang dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat menyerukan azan, yaitu
tanda datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk menara yang dibuat seperti candi
dengan susunan bata merah dan beratap tumpang, seperti menara masjid Kudus (Jawa
Tengah). Letak Bangunan. Dalam ajaran Islam, letak bangunanmasjid tidak diatur secara
khusus. Namun, di Indonesia, penempatan masjid khususnya masjid agung, diatur sedemikian
rupa sesuai dengan komposisi mocopat (yaitu masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun),
dan dekat dengan istana (keraton) yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan
raja di bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya kentongan atau bedug yang dibunyikan di
masjid Indonesia sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal itu juga menunjukkan adanya
unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid di Timur Tengah.
Seni Rupa. Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan islam pada seni rupa dapat dilihat
pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu kubur) yang berupa susunan bingkai
meniru bingkai candi. Pada dinding rumah, makam dan gapura terdapat corak dan hiasan
yang mirip dengan corak dan hiasan yang terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan
Duwur di Tuban (Jawa Timur). Salah satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal
penyebaran agama Islam di Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya
digunakan untuk menghias bangunan makam atau masjid. Aksara. Akulturasi kebudayaan
Indonesia dan Islam dalam hal aksara diwujudkan dengan berkembangnya tulisan Arab
Melayu di Indonesia, yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menulis dalam bahasa Melayu.
Tulisan Arab Melayu tidak menggunakan tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Tulisan
Arab Melayu disebut dengan istilah Arab gundul. Seni Sastra. Kesusastraan pada zaman
Islam banyak berkembang di daerah sekitar selat Malaka (daerah Melayu) dan Jawa.
Pengaruh yang kuat dalam karya sastra pada zaman Islam berasal dari Persia. Misalnya,
Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, dn Cerita 1001 Malam. Di samping itu,
pengaruh budaya Hindu-Budha juga terlihat dalam karya sastra Indonesia. Misalnya, Hikayat
Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama, Hikayat Kuda Semirang, dan Syair Panji Semirang. Cara
penulisan karya sastra pada zaman Islam dilakukan dalam bentuk gancaran dan tembang. Di
Jawa, tembang merupakan suatu bentuk yang lazim, tetapi di daerah Melayu, tembang dan
gancaran ada semua.

Cerita yang ditulis dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan cerita yang
ditulis dalam bentuk tembang disebut syair. Di daerah Melayu, karya sastra itu ditulis dengan
menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa, naskah itu ditulis dengan menggunakan huruf
Jawa dan Arab (terutama yang membahas soal keagamaan). Sistem Pemerintahan. Pengaruh
agama Islam di Indonesia juga terjadi dalam bidang pemerintahan sehingga terjadi akulturasi
antara kebudayaan Islam dan kebudyaan pra-Islam. Sebelum masuknya agama Islam, di
Indonesia telah berkembang sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan. Raja mempunyai
kekuasaan besar dan bersifat turun-temurun. Masuknya pengaruh Islam mengakibatkan
perubahan struktur pemerintahan dalam penyebutan raja. Raja tidak lagi dipanggil maharaja,
tetapi diganti dengan julukan sultan atau sunan (susuhunan), panembahan, dan maulana. Pada
umumnya nama raja pun disesuaikan dengan nama Islam (Arab). Akulturasi dalam
penyebutan nama raja di Jawa lebih kelihatan karena raja tetap memakai nama Jawa
dibelakang gelar sultan, sunan, atau panembahan, seperti Sultan Trenggono. Di samping itu,
juga muncul tradisi baru di Jawa, yaitu pemakaian gelar raja secara turun-temurun, sedangkan
untuk membedakan raja yang satu dengan yang lainnya ditentukan dengan menambah angka
urutan di belakang gelar, seperti Hamengkubuwono I, II, III, dan seterusnya. Begitu pula,
dengan sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan Islam di Nusantara tetap
tidak mengabaikan cara-cara pengangkatan raja pada masa sebelumnya. Di Kerajaan Aceh,
tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat. Catatan tambahan Di
Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat. Tata cara
pengangkatan raja di Kerajaan Aceh adalah raja berdiri di atas tabal (tabuh/beduk yang dipalu
pada ketika meresmikan penobatan raja, mengumumkan penobatan raja), kemudian disertai
ulama sambil membawa al-Qur’an berdiri di sebelah kanan dan perdana menteri memegang
pedang di sebelah kiri. Di Jawa, pengangkatan raja dilakukan oleh para wali. Raden Fatah
menjadi Sultan Demak dengan permufakatan para wali dan dilakukan di masjid Demak.
Pengangkatan Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang dan Penembahan Senopati dari
Mataram juga tidak terlepas dari peran Wali Sanga. Perbedaan tata cara pengangkatan raja di
setiap daerah menunjukkan bahwa tradisi lokal tetap digunakan. Sistem Kalender. Wujud
akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam sistem kalender dapat dilihat dengan
berkembagnnya sistem kalender Jawa atau Tarikh Jawa. Sistem kalender tersebut diciptakan
oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1043 H atau 1643 M.

Sebelum masuknya budaya Islam, masyarakat Jawa telah menggunakan kalender


Saka yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Jawa, nama bulan adalah Sura, Safar, Mulud,
Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah, dan
Besar. Nama harinya adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad yang
dilengkapi hari pasaran, seperti Legi, Pahing, Pon, Wege, dan Kliwon. Filsafat. Filsafat
merupakan disiplin ilmu yang berusaha menjawab masalah-masalah yang tidak terjawab oleh
disiplin ilmu yang lain. Filsafat akan mencari suatu kebenaran yang hakiki. Dalam mencari
kebenaran, umat Islam menggunakan pendekatan tasawuf. Tasawuf adalah ilmu yang
mempelajari tentang orang-orang yang langsung mencari Tuhan karena terdorong oleh cinta
dan rindu terhadap Tuhan. Mereka meninggalkan masyarakat ramai dan kemewahan dunia
serta mendekatkan diri kepada Tuhan dengan seluruh jiwa dan raga mereka. Para pencari
Tuhan itu mengembara ke mana-mana. Mereka dinamakan sufi dan alirannya dinamakan
tasawuf. Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, muncul tarekat di Indonesia, seperti
tarekat qadariyah. Tarekat adalah jalan atau cara yang ditempuh oleh kaum sufi untuk
mendekatkan dirinya kepada Allah. Bentuk akulturasi ilmu tasawuf dengan budaya pra-Islam
tampak dalam hal-hal sebagai berikut: Aliran Kebatinan Dalam rangka mendekatkan diri
kepada Tuhan, muncul usaha mencari Tuhan dari kalangan sufi. Seperti ajaran manunggaling
kawulo gusti yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar. Ajaran Syeikh Siti Jenar banyak
dipengaruhi oleh unsur budaya pra-Islam. Akibatnya, ia dihukum oleh para wali, karena
dianggap menyesatkan. Filsafat Jawa Filsafat Jawa sangat erat sekali hubungannya dengan
dunia pewayangan. Oleh karena itu, dalam penyebaran Islam di pulau Jawa para
walimenggunakan wayang sebagai medianya. Tokoh yang terkenal adalah Sunan Kalijaga.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kebudayaan dikerajaan islam Indonesia amatlah banyak dan juga bermacam-macam baik
dari seni gerak, arsitektur dan masih banyak lagi. Perpadun antara tradisi lokal dengan
kebudayaan Hindu-Budha terlihat pada sistem kepercayaan, filsafat, pemerintahan, seni
bangunan, seni rupa, seni sastra, dan sistem kalender. Perpaduan antara tradisi lokal, Hindu-
Budha, dan Islam terlihat pada seni bangunan seperti makam dan masjid, seni rupa, aksara,
seni sastra, sistem pemerintahan, sistem kalender, dan filsafat seperti aliran kebatinan serta
filsafat jawa. Dalam hal kekuasaan raja, ajaran Hindu-Budha sangat mengagungkan
kedudukan seorang raja, sedangkan ajaran islam tidak. Karena dalam ajaran agama Islam,
semua manusia di mata Tuhan memiliki kedudukan yang sama atauyang membedakannya
hanya karena taqwanya.
DAFTAR PUSTAKA

Hamka. (1997) Sejarah Umat Islam. Pustaka Nasional.

Khan, Ong Hok. (2002) Dari Soal Priyayi sampai Nyi Biorong. Penerbit Buku Kompas.
Jakarta.

Sulistyo, Basuki. Mitos Bubuksah Kajian-Kajian Struktural dan Maknanya. Yogyakarta,

Balai Arkeologi Depdiknas, (2000). .Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Rajawali Press.

Buku Sejarah Kebudayaan jilid 3 karya DR. R. SOEKMONO hal 42-43

Anda mungkin juga menyukai