Adanya proses akulturasi kemudian membuat kebudayaan baru Indonesia bercirikan kebudayaan
asli lokal, Hindu-Buddha, dan Islam. Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan
setelah masuknya Islam pun tidak hanya berbentuk kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir,
dan karya sastra, tetapi juga menyangkut pola hidup dan tradisi masyarakat.
Seni bangunan Bangunan yang dapat dijadikan contoh wujud akulturasi budaya lokal dengan
Islam di Indonesia adalah masjid, makam, dan keraton. Di berbagai daerah, bangunan masjid
mempunyai berbagai bentuk arsitektur sesuai dengan pengaruh budaya masing-masing. Sebagai
bentuk akulturasi, bangunan masjid selain menjadi tempat beribadah juga mempunyai fungsi
sebagai pusat kegiatan sosial, politik dan pendidikan Islam. Selain masjid, wujud akulturasi
kebudayaan lokal dan Islam adalah makam. Makam biasanya dibuat dengan membangun
cungkup atau kijing di atasnya. Dalam Islam, tidak ada ajaran yang mengharuskan menggunakan
dua hal tersebut, karena kijing dan cungkup adalah pengaruh dari kebudayaan Hindu-Buddha
yang lebih dulu masuk di nusantara. Tempat tinggal sultan atau keraton juga salah satu
perwujudan akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal. Hal ini dapat dilihat pada
bangunan keraton kesultanan Islam di Jawa dan beberapa di Sumatera yang merupakan
perpaduan arsitektur budaya setempat dengan kebudayaan Islam.
Masjid-masjid Peninggalan Kerajaan Islam dan Ciri-cirinya Seni ukir Ketika kebudayaan Hindu-
Buddha masuk ke Indonesia, seni ukir dan pahat berkembang pesat. Buktinya dapat dijumpai
pada relief-relief dan patung yang dibuat pada periode Kerajaan Hindu-Buddha.
Berbeda dengan ajaran Islam, yang melarang untuk melukis ataupun membuat tiruan makhluk
hidup seperti patung. Kendati demikian, berkembangnya pengaruh Islam di nusantara tidak
membuat seni pahat dan seni ukir hilang. Seni ukir tetap berkembang dengan berbagai
modifikasi, contohnya dapat dijumpai pada ukiran yang terdapat di masjid dan makam-makam
Islam. Dikembangkan juga seni ukir dengan bentuk tulisan Arab atau kaligrafi yang dicampur
dengan ragam hias
Masuknya Islam ke Nusantara Aksara dan seni sastra Ketika Islam masuk ke nusantara, abjad
atau huruf-huruf Arab juga mulai digunakan di Indonesia. Sebagai bentuk akulturasi, huruf Arab
yang digunakan masyarakat setempat menjadi lebih sederhana dan dipakai di daerah-daerah
dengan penggunaan bahasa daerah. Huruf Arab ini lebih dikenal dengan huruf Arab gundul,
yang mulanya dipakai di Sumatera lalu menyebar ke seluruh Indonesia.
Dalam bidang sastra, banyak karya yang ditulis pada masa pengislaman di Indonesia. Adapun
karya-karya tersebut adalah sebagai berikut.
1. Hikayat Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah yang menarik dan
terkadang tidak masuk akal. Beberapa contoh hikayat yang muncul pada masa pengaruh
Islam adalah Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat Sri Rama, Hikayat
Pandawa Lima, dan masih banyak lainnya.
2. Babad Babad berisi cerita sejarah, yang berisi campuran antara fakta, mitos, dan
kepercayaan. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, dan Babad
Mataram.
3. Suluk Suluk adalah karya sastra berupa kitab-kitab yang isinya menjelaskan tentang
tasawuf. Salah satu contohnya adalah Suluk Wujil, yang berisi ajaran Sunan Bonang
kepada Wujil, yakni seorang kerdil yang pernah menjadi abdi di Kerajaan Majapahit.
Baca juga: Peninggalan Kerajaan Mataram Islam Kesenian Berikut ini beberapa bentuk
kesenian yang muncul pada saat pengislaman di Indonesia.
1. Permainan debus Permainan debus adalah tarian yang pada puncak acaranya para penari
akan menusukkan benda tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali
dengan pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan selawat nabi.
2. Seudati Seudati adalah tarian dari Aceh yang asilnya dimainkan oleh delapan penari
sambil menyanyikan lagu yang isinya selawat nabi.
3. Wayang Ketika Islam masuk ke Indonesia, wayang yang merupakan kebudayaan asli
lokal dan pernah mengalami akulturasi dengan budaya Hindu-Buddha, kembali
mengalami penyesuaian. Misalnya pada bentuk tubuh tokoh, di mana tangannya dibuat
sangat panjang untuk membedakan dengan manusia sesungguhnya.
Sejarah Penggabungan Tahun Jawa dan Islam Kalender Pada masa kekuasaan Sultan Agung
dari Kesultanan Mataram, terjadi penggabungan antara kalender Jawa dengan kalender Islam.
Sultan Agung melakukan beberapa penyesuaian dan perubahan mengenai nama-nama bulan
pada tahun Saka. Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadha diganti
dengan Pasa. Kalender ini dimulai pada 1 Muharam tahun 1043 H atau 1 Sura tahun 1555
Jawa, tepatnya pada 8 Agustus 1633. Tradisi Sampai saat ini, masyarakat muslim Indonesia
masih melakukan upacara-upacara ritual yang memadukan tradisi setempat dengan
kebudayaan muslim. Misalnya Hari Raya Idul Fitri, yang dirayakan dengan silaturahmi
antarkeluarga dan tetangga. Kemudian sebagai bentuk dari rasa hormat terhadap orang tua
dan nenek moyang, masyarakat muslim Indonesia juga menjalankan tradisi berziarah. Selain
itu, masyarakat Jawa juga melakukan berbagai kegiatan selamatan dengan bentuk kenduri
yang dilakukan pada waktu tertentu. Referensi: Kau, Sofyan A.P dan Kasim Yahiji. (2018).
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal: Studi Islam tentang Ritus-ritus Kehidupan dalam Tradisi
Lokal Muslim Gorontalo. Malang: Inteligensia Media.