Anda di halaman 1dari 10

KEMENTERIAN AGAMA RI

SUNAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


GUNUNG DJATI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BANDUNG FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
Jl. A. H. Nasution 105 Cibiru, Bandung 40614; Telp. (022) 7810790, Fax.: (022)
7803936; E-mail: adhum-uinsgd@telkom.net

UJIAN AKHIR SEMESTER

NAMA : JATMIKA AJI SANTIKA


KELAS : 6B
NIM : 1195010070
MATA KULIAH : SEJARAH SENI ISLAM
JURUSAN : Sejarah dan Peradaban Islam
SEMESTER : VI (Enam)
HARI/TANGGAL : Selasa, 14 Juni 2022

Bacalah Asma Allah sebelum mengisi soal dibawah ini.

Isilah soal dibawah ini.

1. Berikan salah satu contoh jenis seni budaya yang sintetik (tidak bisa dipisahkan budaya seni
asli nusantara dengan budaya seni Islam tetapi bisa dibedakan) dilihat dari latar belakang,
proses penyebaran dan warisan-warisannya yang sampai hari ini masih hidup. Komparatifkan
salah satu contoh budaya seni tersebut dan berikan argumentasinya?
2. Pilihlahlah salah satu artikel tentang Akar seni Islam di Indonesia, Seni Musik Islam, Seni
Tari, Seni Lukis, Seni Kaligrafi, Seni lukis kain, Seni kriya, Arsitektur profan, Arsitektur
Masjid, Seni sastra, Seni rupa (Dekoratif), Seni pahat, Busana Islam, Seni pertunjukan
(Pewayangan) dan buatlah artikel sebanyak 600 kata?
3. Berikan komentar saudara terhadap salah satu budaya seni Islam di Nusantara baik itu Seni
Musik Islam, Seni Tari, Seni Lukis, Seni Kaligrafi, Seni lukis kain, Seni kriya, Arsitektur
profan, Arsitektur Masjid, Seni sastra, Seni rupa (Dekoratif), Seni pahat, Busana Islam, Seni
pertunjukan (Pewayangan)?

Selamat mengutarakan jawaban Anda dengan baik dan gamblang.


1. Kebudayaan Indonesia semakin kaya dengan masuknya agama Islam. Adanya proses
akulturasi kemudian membuat kebudayaan baru Indonesia bercirikan kebudayaan asli lokal,
Hindu-Buddha, dan Islam. Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan setelah
masuknya Islam pun tidak hanya berbentuk kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir, dan
karya sastra, tetapi juga menyangkut pola hidup dan tradisi masyarakat. Berikut ini contoh
akulturasi budaya Islam dengan budaya lokal dari berbagai bidang.

Seni bangunan

Bangunan yang dapat dijadikan contoh wujud akulturasi budaya lokal dengan Islam di
Indonesia adalah masjid, makam, dan keraton. Di berbagai daerah, bangunan masjid
mempunyai berbagai bentuk arsitektur sesuai dengan pengaruh budaya masing-masing.
Sebagai bentuk akulturasi, bangunan masjid selain menjadi tempat beribadah juga
mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan sosial, politik dan pendidikan Islam.

Makam

Selain masjid, wujud akulturasi kebudayaan lokal dan Islam adalah makam. Makam biasanya
dibuat dengan membangun cungkup atau kijing di atasnya. Dalam Islam, tidak ada ajaran
yang mengharuskan menggunakan dua hal tersebut, karena kijing dan cungkup adalah
pengaruh dari kebudayaan Hindu-Buddha yang lebih dulu masuk di nusantara. Tempat
tinggal sultan atau keraton juga salah satu perwujudan akulturasi kebudayaan Islam dengan
kebudayaan lokal. Hal ini dapat dilihat pada bangunan keraton kesultanan Islam di Jawa dan
beberapa di Sumatera yang merupakan perpaduan arsitektur budaya setempat dengan
kebudayaan Islam.

Seni ukir

Ketika kebudayaan Hindu-Buddha masuk ke Indonesia, seni ukir dan pahat berkembang
pesat. Buktinya dapat dijumpai pada relief-relief dan patung yang dibuat pada periode
Kerajaan Hindu-Buddha. Berbeda dengan ajaran Islam, yang melarang untuk melukis ataupun
membuat tiruan makhluk hidup seperti patung. Kendati demikian, berkembangnya pengaruh
Islam di nusantara tidak membuat seni pahat dan seni ukir hilang. Seni ukir tetap berkembang
dengan berbagai modifikasi, contohnya dapat dijumpai pada ukiran yang terdapat di masjid
dan makam-makam Islam. Dikembangkan juga seni ukir dengan bentuk tulisan Arab atau
kaligrafi yang dicampur dengan ragam hias yang lain.

Aksara dan seni sastra Ketika Islam masuk ke nusantara

Abjad atau huruf-huruf Arab juga mulai digunakan di Indonesia. Sebagai bentuk akulturasi,
huruf Arab yang digunakan masyarakat setempat menjadi lebih sederhana dan dipakai di
daerah-daerah dengan penggunaan bahasa daerah. Huruf Arab ini lebih dikenal dengan huruf
Arab gundul, yang mulanya dipakai di Sumatera lalu menyebar ke seluruh Indonesia. Dalam
bidang sastra, banyak karya yang ditulis pada masa pengislaman di Indonesia. Adapun karya-
karya tersebut adalah sebagai berikut.

1. Hikayat Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah yang menarik dan terkadang
tidak masuk akal. Beberapa contoh hikayat yang muncul pada masa pengaruh Islam adalah
Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat Sri Rama, Hikayat Pandawa Lima, dan
masih banyak lainnya.
2. Babad Babad berisi cerita sejarah, yang berisi campuran antara fakta, mitos, dan
kepercayaan. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, dan Babad Mataram.
3. Suluk Suluk adalah karya sastra berupa kitab-kitab yang isinya menjelaskan tentang
tasawuf. Salah satu contohnya adalah Suluk Wujil, yang berisi ajaran Sunan Bonang kepada
Wujil, yakni seorang kerdil yang pernah menjadi abdi di Kerajaan Majapahit.

Kesenian Berikut ini beberapa bentuk kesenian yang muncul pada saat pengislaman di
Indonesia.
1. Permainan debus Permainan debus adalah tarian yang pada puncak acaranya para penari
akan menusukkan benda tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali
dengan pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan selawat nabi.
2. Seudati Seudati adalah tarian dari Aceh yang asilnya dimainkan oleh delapan penari sambil
menyanyikan lagu yang isinya selawat nabi.
3. Wayang Ketika Islam masuk ke Indonesia, wayang yang merupakan kebudayaan asli lokal
dan pernah mengalami akulturasi dengan budaya Hindu-Buddha, kembali mengalami
penyesuaian. Misalnya pada bentuk tubuh tokoh, di mana tangannya dibuat sangat panjang
untuk membedakan dengan manusia sesungguhnya. Baca juga: Sejarah Penggabungan Tahun
Jawa dan Islam Kalender Pada masa kekuasaan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram,
terjadi penggabungan antara kalender Jawa dengan kalender Islam. Sultan Agung melakukan
beberapa penyesuaian dan perubahan mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka. Misalnya
bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadha diganti dengan Pasa. Kalender ini dimulai
pada 1 Muharam tahun 1043 H atau 1 Sura tahun 1555 Jawa, tepatnya pada 8 Agustus 1633.
Tradisi Sampai saat ini, masyarakat muslim Indonesia masih melakukan upacara-upacara
ritual yang memadukan tradisi setempat dengan kebudayaan muslim. Misalnya Hari Raya
Idul Fitri, yang dirayakan dengan silaturahmi antarkeluarga dan tetangga. Kemudian sebagai
bentuk dari rasa hormat terhadap orang tua dan nenek moyang, masyarakat muslim Indonesia
juga menjalankan tradisi berziarah. Selain itu, masyarakat Jawa juga melakukan berbagai
kegiatan selamatan dengan bentuk kenduri yang dilakukan pada waktu tertentu.  

Referensi: Kau, Sofyan A.P dan Kasim Yahiji. (2018). Akulturasi Islam dan Budaya
Lokal: Studi Islam tentang Ritus-ritus Kehidupan dalam Tradisi Lokal Muslim
Gorontalo. Malang: Inteligensia Media.

2. Sebelum abad ke-20, satu-satunya musik di Indonesia (kemudian Hindia Belanda) yang
melintasi batas regional dan etnolinguistik adalah musik religius Islam dan nyanyian Al-
Quran (yang terakhir tidak, dari sudut pandang Islam yang ketat). Penyebaran Islam dan
pembentukan kerajaan-kerajaan oleh para elit Muslim di berbagai wilayah Indonesia (di
Jawa, khususnya mulai abad ke-15 M) memungkinkan pengenalan dan pelokalan musik
Islam. Dalam banyak kasus, rebana digabungkan. Dominasi tasawuf pada awal islamisasi di
Indonesia menghasilkan sikap positif terhadap musik (menurut tasawuf, musik dapat
digunakan sebagai saluran untuk berkomunikasi dengan Tuhan).
Sejak sekurang-kurangnya tahun 1500-an, telah ada komponen kuat mistisisme Sufi
dalam Islam Nusantara, terutama di daerah pedesaan, di mana hal itu sering
bercampur dengan kepercayaan mistis dan ajaran Budha. Beberapa bentuk musik
devosional Muslim memiliki hubungan yang jelas dengan tasawuf. Yang lain
mungkin berasal dari jenis-jenis Islam populer lainnya, mungkin lagi dengan unsur-
unsur sufi.
Gagasan tentang musik devosional (yang dibedakan dari pembacaan Al-Qur’an atau
pembacaan puisi untuk memuji Muhammad, keduanya tidak dianggap sebagai musik
menurut definisi Muslim) termasuk di Nusantara terhadap Islam populer (jika bukan
tasawuf) dan tidak dipercaya oleh kaum ortodoks.
Yang jelas berasal dari Sufi adalah penggunaan dalam ibadah kebaktian kelompok
bernyanyi dan nyanyian formula verbal dan melodi bahasa Arab (biasanya disebut
dikir atau zikir), nyanyian-nyanyian puisi Arab (qasidah), dan keterbukaan dalam
devosi ini terhadap musik instrumental, tarian dan keadaan ekstase atau ekstasi. Sifat-
sifat ini dapat ditemukan secara individu atau kombinasi. Seringkali asal mereka
dalam praktik sufi tidak diakui dan mungkin tidak dikenali.
Bentuk paling umum dari musik devosional Muslim di Nusantara memanfaatkan
nyanyian oleh seorang penyanyi solo dan paduan suara pria atau wanita (tapi tidak
keduanya) bernyanyi dalam hubungan heterophonic. Penyanyi sering menari dalam
posisi duduk, berlutut atau berdiri. Bernyanyi dan menari sering disertai oleh
sekelompok instrumentalis yang bermain drum bingkai dalam irama yang saling
terkait, dan instrumen melodi tidak ada. Contoh genre tersebut adalah salawatan,
hadrah dan rudat atau rodat di Jawa dan Madura, dikie rabano di Sumatera Barat,
butabuh di Lampung, dan genre serupa di Sulawesi dan tempat lain.
Puisi untuk memuji Muhammad (Burda al-Busirī dan Mawlid al-Barzanjī) dapat
dibacakan dengan iringan drum bingkai (tanpa tarian). Samman, yang tercatat di Aceh
dan Madura, dilaporkan dari Halmahera dan mungkin ditemukan di banyak lokasi
lain, mencerminkan namanya sebagai asal mula praktik tarekat Sufi Sammāniyya,
sebuah cabang Khalwatiyya diperkenalkan ke utara Sumatra sekitar tahun 1800;
Tidak menggunakan drum, dan para praktisi cenderung mengalami gangguan dalam
melakukan pertunjukan.
Bentuk kesalehan lain dengan hubungan yang jelas dengan tasawuf dikenal di
Nusantara sebagai dabus (dan varian dari istilah itu dalam bahasa daerah). Semua
bentuk dabus Nusantara melibatkan (bersama dengan qidah dan dzikir disertai dengan
drum bingkai/rebana/gendang) menampilkan kekebalan: penari menusuk diri dengan
besi, namun iman dan pengetahuan esoteris pemimpin spiritual (khalifah atau syeh)
memastikan bahwa mereka tidak dilukai.
Di Halmahera, kata dabus konon berasal dari praktik tatanan Rifā’iyya (dinamai
menurut nama Ahmad ibn ‘Alī al-Rifā’ī, 1106-82); Di Sumatra, hubungan formal
dengan Rifâ’iyya tidak dilaporkan, namun bingkai drum yang digunakan disebut
rapa’i (sebuah pengucapan bahasa Nusantara dari nama al-Rifā’ī). Kelompok dabus
Jawa Barat yang dipelajari oleh Vredenbregt (1973) bukanlah Rifā’iyya, tapi
Qādiriyya.
Perlu dicatat bahwa pembentukan kerajaan pelabuhan Islam yang berpengaruh di
Malaka pada abad ke-15 membawa Sumatra dan pulau-pulau di sekitarnya di bawah
kekuasaan penguasa Melayu. Hal ini berakibat pada adaptasi tarian dan musik Melayu
di Sumatera, termasuk pembentukan nobat, ansambel pengadilan, di sejumlah
pengadilan Sumatera. Terdiri dari instrumen angin (nafiri dan sarunai) dan drum,
nobat, menurut awal abad ke-17 Sejarah Melayu (Sejarah Melayu), pertama kali
dibentuk di Sumatra oleh Ratu Bintan.
Budaya Melayu telah berpengaruh tidak hanya di wilayah Nusantara yang dikuasai
langsung oleh penguasa Melayu (misalnya pantai timur Sumatera, tidak termasuk
Aceh dan Lampung, kepulauan Riau, pantai barat Borneo, dan pemukiman utama di
Kalimantan Barat di sepanjang sungai-daratan yang masuk ke pedalaman dari pantai),
tapi juga di sebagian besar wilayah negara lain, di mana bentuk budaya yang terkait
dengan Melayu diadopsi oleh penguasa lokal yang bukan Melayu.
Dalam seni pertunjukan, ciri budaya Melayu tertentu bisa dibedakan. Ini termasuk
yang berikut: ansambel kecil dengan biola sebagai pemimpin melodi (biasanya
bergantian antara mendampingi seorang vokalis dan memimpin saat vokalis diam);
penggunaan kelas bentuk ayat yang disebut pantun, dinyanyikan di Melayu, sering
oleh dua penyanyi bergantian; dan penari penyanyi wanita biasanya dikenal sebagai
ronggeng.
Fitur penting lainnya adalah kehadiran bentuk teater berbahasa Melayu dengan
menggunakan konvensi teater bangsawan Malaysia untuk menceritakan kisah Melayu
lokal dan klasik, disertai ansambel yang dibuat biola (contoh bentuk teater semacam
itu adalah bangsawan sendiri, yang pernah tersebar luas di Riau; Mendu dan langlang
buana di pulau Natuna; Dermuluk di Sumatera Selatan dan mamanda di Kalimantan
Selatan dan Timur).
Dua elemen kompleks lainnya dapat disertakan: Genre  ritual dan hiburan (dikir atau
zikir, gambus atau zapin), dan hubungan komplementer antara pasangan instrumen
yang identik atau antara dua pemain pada satu instrumen, sehingga satu dimainkan
dengan sederhana. Perlu dicatat bahwa genre Islam yang disebutkan kadang-kadang
dianggap berasal dari Melayu. Ini karena di sebagian besar Sumatera dan Kalimantan
Selatan adalah budaya Melayu; pemukim yang mendirikan dan mempraktikkan Islam,
serta agama dan etnisitas dianggap sebagai identitas Melayu. Di wilayah timur dan
selatan Nusantara, bagaimanapun, genre ini tidak dilihat sebagai Melayu tapi hanya
sebagai Muslim.
Teater bahasa Melayu komersial diperkirakan berasal dari semenanjung Melayu dan
telah menyebar di tahun 1890-an ke Jawa (awalnya Surabaya dan Batavia atau
Jakarta, yang disebut stambul, komedi stambul, bangsawan dan opera. Stambul adalah
eklektik dalam cerita dan musik, menggambar pada sumber-sumber Belanda, Timur
Tengah, Cina, Melayu dan lokal Indonesia (terutama Batavia). Musik itu dimainkan
oleh ansambel kecil: rebab dan biola. Menurut satu laporan awal, biola, seruling dan
gitar sesuai yang lain. Kemungkinan instrumen lain juga ditambahkan. Pada awal
abad ke-20, orkestra bisa mencakup instrumen piano, namun tidak pernah diperluas
ke instrumen lain seperti gamelan dan lainnya.
Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di negara manapun di dunia,
diperkirakan 85-90% dari total populasi penduduknya. Musik Islam mempunyai
kedudukan yang cukup signifikan. Di komunitas Muslim di seluruh Indonesia, jenis
seni pertunjukan, khususnya musik,  dengan mudah dapat ditemukan. Realitas
menunjukkan adanya musik religius dan profan. Oleh sebagian kalangan musik
religius Islam memang sering dianggap “bukan musik”, karena sifatnya yang
(mungkin) resitatif. Sebagai contoh musik religius Islam adalah: Adzan dan Tilawah,
sering dianggap bukan musik.
Berbeda dengan musik religius, musik profan dalam Islam terlihat lebih jelas dan
dapat diterima “sebagai musik”. Dalam musik profan inilah, seperti Sholawat dengan
iringan instrumen musik, dianggap sebagai musik “kesalehan”, yang pertunjukannya
yang dilakukan di pertemuan keagamaan, di masjid atau di tempat umum, atau rumah
pribadi. Sebagian besar, genre-genre Muslim ini menunjukkan sedikit pengaruh
tradisi musik lokal.
 
3. Menurut pendapat saya, fragmen-fragmen perkembangan yang kita kenaI selama
ini berakar pada tiga pandangan yang berbeda ten tang pertumbuhan dan
perkembangan seni rupa mo-dern kita. Pandangan pertama, menempatkan
pertumbuhan tahun 1930' an sebagai awal kelahiran seni rupa modern Indonesia.
Tonggak pertumbuhan ini adalah kelahiran Persatuan Ahli Gambar Indonesia dengan
tokoh pelukis Soedjojono (1913-1986). Pandangan ini didasari keyakinan konsep
"Indonesia" yang muncul pada Sumpah Pemuda tahun 1928. Dalam arti, sebelum
tahun 1928, konsep Indonesia tidak dikenal. Karena itu tidak mungkin terdapat seni
modern "Indonesia" sebelum tahun 1928. Pertumbuhan seni rupa pada tahun 1930'an
yang berkaitan dengan Sumpah Pemuda dan pergerakan kebangsaan adalah awal
munculnya seni rupa (modern) Indonesia. Maka dalam bentuk sederhananya,
pandangan ini percaya, seni rupa (modern) "Indonesia" lahir bersama Republik.
Pandangan itu mengabaikan (bahkan menyangkal) samasekali arti perkembangan
sebelum tahun 1930' an yaitu perkembangan seni lukis masa kolonial. Pandangan ini
menyangkal peran pelukis-pelukis Basuki Abdullah (1914-1994) dan lebih ke
belakang lagi, Raden Saleh (1811-1880) dalam perkembangan seni lukis Indonesia.
Pelukis-pelukis ini dianggap bukan pelukis Indonesia. Mereka adalah pelukis-pelukis
Belanda. Pandangan itu dominan sampai sekitar awal tahun 1970' an. Sesudah itu,
pada tahun 1976, muncul tiba-tiba pandangan yang menempatkan Raden Saleh
sebagai awal pertumbuhan seni lukis Indonesia. Pad a tahun 1976 itu, diselenggarakan
"Pameran 100 tahun Seni Rupa Indonesia" di Museum Seni Rupa dan Keramik,
Taman Fatahilah, Jakarta. Pada pameran ini untuk pertama kalinya beberapa lukisan
Raden Saleh - yang ketika itu baru saja dikembalikan pemerintah Belanda -
dipamerkan. Pada tahun yang sama Dewan Kesenian Jakarta mempublikasikan buku
yang menempatkan Raden Saleh sebagai awal seni lukis Indonesia. 2) Inilah
pandangan yang kedua. Pandangan kedua itu melihat keindonesiaan tidak melalui
konsep nasionalisme tapi melalui konsep geografis. Manusia yang hidup dalam
lingkup geografis Indonesia adalah manusia Indonesia. Dengan demikian bukan
mustahil, manusia Indonesia sudah mempraktekkan seni lukis Indonesia, sebelum
Indonesia lahir. Dalam menarik benang merah perkembangan, pandangan ini
memasukkan pelukis-pelukis pribumi pada masa kolonial- Raden Saleh, Abdullah
Suriosubroto (1878-1941), Mas Pirngadi (1865-1936) dan Basuki Abdullah - sebagai
materi kajian, karena mereka pun manusia Indonesia. Pandangan ketiga merupakan
pandangan yang sangat jarang dibahas atau didiskusikan - walau sering diperdebatkan
tanpa arah yang jelas. Pandangan ketiga ini melihat perkembangan seni rupa modern
Indonesia berdasarkan teori seni rupa modern yang lazim diterapkan di seluruh dunia
- dasar seni rupa internasional. Teori seni rupa modern ini berakar pada Modernisme
penggunaan "M" huruf-besar), yaitu konsep budaya modern (dunia) yang dikukuhkan
kebudayaan Eropa dan Amerika sesudah Perang Dunia II, Modernisme ini percaya
pada totalitas dan universalisme, karena itu dianggap berlaku di seluruh dunia. Namun
Modernisme ini tidak bisa disangkal, terbentuk berdasarkan paradigma
masyarakat/budaya Barat. 3) Pada masa kini, penerapannya di luar masyarakat Barat,
semakin terasa dipaksakan. Dalam teori (Barat) itu, seni rupa modern diyakini
berawal pada perkembangan aliran-aliran Post-impresionisme dan Kubisme dalam
perkembangan seni lukis Eropa. Aliran-aliran seni lukis yang muncul pada awal Abad
ke 20 ini dianggap membuka era baru dalam perkembangan seni rupa karen a
menampilkan pemahaman yang sama sekali baru, yaitu pemahaman masalah "rupa"
atau masalah visual yang dipercaya merupakan esensi seni rupa. Bila pada masa
sebelumnya permasalahan seni rupa senantiasa berakar pada pengkajian "realitas
hidup" (seperti pada Klasisisme, Romantisisme, Naturalisme, Realisme, Dada,
Surealisme, Ekspresionisme Jerman) maka pada aliran-aliran Post-impresionisme dan
Kubisme permasalahan seni rupa beranjak ke masalahnya sendiri yang spesifik, yaitu
"realitas rupa". Di Indonesia fragmen perkembangan yang mengacu pada Modernisme
itu muncul (teoretis) di Bandung pada tahun 1950 di bawah pengaruh pelukis Belanda
Ries Mulder - guru gambar yang pada masa itu tinggal di Bandung. Kemunculannya
berkaitan dengan pembentukan sekolah guru gambar di kota itu (kini sekolah itu
dikenal sebagai Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung). Seperti
pada perkembangan seni lukis modern Eropa Amerika, fragmen ini memperlihatkan
pula kecenderungan menjelajahi aspek rupa (dikenal pula sebagai penjelajahan bentuk
atau formalisme). Kendati pandangan ketiga itu paling dekat dengan pengertian seni
rupa modern yang umum dikenal dalam teori-teori seni rupa (dunia) para penganutnya
di Indonesia tidak pernah sesungguhnya mengumumkan pandangan mereka dan
menunjuk pertumbuhan 1950 di Bandung sebagai awal seni lukis modern di
Indonesia. Sikap ragu-ragu para pelukis "Modernis" Indonesia ini membuka serangan
sebagian kritikus Indonesia yang menganggap perkembangan Bandung itu sebagai
pertumbuhan yang kebarat-baratan. 4) Serangan ini tidak pernah mendapat
perlawanan yang berarti. (Sikap tidak melawan ini bisa membangkitkan kesangsian,
benarkah Modernisme yang tercermin pada karyakarya para pelukis itu, diyakini 7)
Namun patut kit a catat, tidak satu pun dari ketiga pandangan itu benar-benar
mempersoalkan seni rupa "modern" Indonesia, seperti yang saya tuliskan dengan
tegas dalam analisa saya. Istilah yang lebih banyak digunakan adalah: "seni rupa
Indonesia" (tanpa predikat modern) atau "seni rupa modern" (tanpa keterangan
Indonesia). Menurut pendapat saya inilah kelemahan ketiga pandangan itu.
Kecenderungan menghindari predikat "modern" dan juga keterangan mengaburkan
konteks seni rupa yang dibahas. Kecenderungan menghindari predikat "modern"
membuat diskusi tentang . 'lai-nilai modern dalam perkembangan seni rupa modern
Indonesia menjadi 'ehilangan gantungan. Kecenderungan yang berkaitan dengan
retorika anti-Barat ini mengkhawatirkan akan terjadi penerapan teori-teori Barat yang
tidak relevan engan kenyataan di Indonesia. Kecemasan ini menurut pendapat saya,
malah 1emunculkan kelemahan lain, yaitu tak adanya ketegasan seni rupa modern ,
adalah perkembangan seni rupa dalam bingkai Barat. Akibatnya seni rupa modern kita
sering dianggap sebagai perkembangan kontinu seni rupa dalam ingkai tradisi. Lalu
munculah kekacauan pengkajian, karena konsep seni lukis. Alam bingkai kesenian
tradisi, sarna sekali tidak dikenal. Ke khawatiran itu, yang justru dibayangi teori-teori
Barat (khususnya Orientalisme), tidak melihat kenyataan bahwa pengaruh Barat yang
masuk ke Indonesia senantiasa mengalami transformasi - melahirkan perkembangan
yang aslinya. Untuk mengkaji "produk campuran" ini semua teori Barat, mau tak
mau, harus diubah dan disesuaikan ketika diterapkan untuk mengkaji. Teori-teori
Barat ini bisa, dan bahkan harus diubah, karena tidak ada teori 'esenian dan
kebudayaan yang punya kebenaran absolut. Maka melepaskan diri ari dominasi
pandangan dan teori-teori Barat, sarna sekali tidak harus dengan menghindarinya
apalagi menyangkalnya. Sementara kita tidak bisa melepaskan diri dari Tibingkai
Barat, sikap menghindar dan menyangkal pandangan Barat membuat kita tidak
memahami teori-teori Barat. Akibatnya, seperti kita lihat dalam kenyataan, sikap kita
menghadapi teori-teori Barat menjadi ambivalen dan bahkan paradoksal. Dalam
retorika, kita menyatakan sikap anti-Barat namun pada praktek kita menerapkan teori-
teori itu dengan pemahaman yang sangat terbatas, tanpa penafsiran dan tanpa sadar
menganggapnya absolut. Kita sering menemukan teori-teori sejarah seni rupa Barat
diterapkan untuk mengidentifikasi ekspresi karya seni rupa kita. Misalnya
menetapkan sesuatu karya sebagai menganut (bukan terpengaruh) Naturalisme,
Realisme, Ekspresionisme, Kubisme, Surealisme bahkan Futurisme. Identifikasi ini
dilakukan tanpa catatan sarna sekali. Tak adanya keterangan tambahan dalam
penggunaan istilah-istilah itu menunjukkan kecenderungan kita memutlakkan
kebenaran teori-teori (sejarah seni rupa) Barat itu. Hanya satu dua pengamatan dengan
cermat menyertakan keterangan tambahan, seperti misalnya pembentukan istilah
"Surealisme Yogya". Penambahan predikat "Yogya" menunjukkan keinginan
menunjukkan Surealisme Yogya berbeda dengan Surealisme yang kita kenaI melalui
teori sejarah seni rupa Barat, Surealisme yang muncul di Eropa awal Abad ke 20.
Kecenderungan menghindari pembahasan seni rupa "modern" juga membuat kita
menjadi berjarak dengan pemikiran seni rupa modern mana pun. Pengkajian makna
dan nilai-nilai karya seni rupa modern kita menjadi mustahil karena tak adanya
patokan bagi pemaknaan (signifier). Karena itu kit a selalu ragu dalam menilai karya-
karya seni rupa kita dan akhirnya tak ada karya yang sesungguhnya bisa ditandai
sebagai bermakna (signified ). Yang kemudian terjadi, peninjauan yang didasari teori-
teori Barat yang dicomot secara acak tanpa mempertimbangkan kurun waktu. Atau,
seperti yang banyak kita temui, tinjauan yang malah tidak berkaitan samasekali
dengan pemaknaan - esei/resensi yang sekadar membahas keindahan rupa dengan
deskripsi yang berbunga-bunga. Tidak aneh apabila dari keadaan semacam itu, makna
dan nilai karya-karya seni rupa modern kita digantungkan pada berbagai patokan yang
tidak secara langsung berkaitan dengan masalah seni rupa. Misalnya makna yang
didasarkan pada kadar ketuaan, seperti dalam menilai barang antik. Atau, yang lebih
parah lagi menggantungkan makna / nilai karya pada luas peredarannya di pasar
barang seni. Dengan kata lain, nilai yang diidentikkan dengan harganya yang
mengikuti hukum pasar - didasari perimbangan persediaan (supply) dan permintaan
(demand). Maka sulitnya proses pemaknaan karya seniman-seniman kita, menurut
pendapat saya, bukan karena tak adanya kritik seni yang baik seperti yang seringkali
dikeluhkan, tetapi karena tak adanya dasar bagi pemaknaan. Menghadapi keadaan
semacam itu, menurut pendapat saya, kita harus mencoba menemukan pemikiran
yang bisa mengarah ke pembentukan dasar bagi pemaknaan itu. Salah satu cara yang
paling mungkin ialah mengkaji kembali fragmen-fragmen perkembangan seni rupa
modern Indonesia yang kita kenal selama ini - ketiga pandangan mengenai
pertumbuhan seni rupa. modern kita - dan mencoba melihatnya sebagai elemen-
elemen diskrusif dalam pembentukan wacana. Terdapat beberapa premis pada
pengkajian itu. Pertama, perkembangan seni lukis mas a kolonial berhubungan dengan
pertumbuhan seni lukis modern Indonesia. Kedua, perkembangan seni lukis mas a
kolonial yang berhubungan dengan seni lukis modern Indonesia, tidak sama dengan
perkembangan seni lukis di Eropa dan Amerika. Ketiga, perkembangan seni lukis
modern Indonesia tidak bisa dipahami tanpa mengkaji seni lukis masa kolonial di
mana terletak awal seluruh perkembangan seni rupa Indonesia, yaitu awal masuknya
seni rupa dengan bingkai Barat. Seni lukis dan seni gambar dengan bingkai Barat
muncul di Indonesia pada Abad ke 17. Peninggalan yang menunjukkan masuknya
seni lukis ini, sebuah lukisan yang menggambarkan sua sana pasar di sekitar benteng
Batavia, dilukis oleh Andries Beeckman pada tahun 1656. 5) Dan juga ilustrasi pada
buku Raffles, History of Java (London, 1817) yang dibuat dua pelukis Inggris antara
tahun 1785-1794. 6) Seni lukis ini mula-mula dipraktekkan oleh pelukis-pelukis
Eropa, khususnya Belanda, namun dalam perkembangannya dipraktekkan pula oleh
pelukis-pelukis pribumi, khususnya pelukis pribumi yang berasal dari kelompok
masyarakat bangsawan. Catatan sejarah menunjukkan seni lukis masa kolonial itu,
sampai perkernbangannya pada awal Abad ke 20, didominasi seni lukis pemandangan
alamo Perkembangan ini yang awalnya dipengaruhi seni lukis Belanda dan Inggris,
hampir tidak mengalami perubahaan selama hampir tiga abad. Gejala ini
menunjukkan perkembangan seni lukis masa kolonial terpisah dari perkembangan
seni lukis Eropa. Interaksi yang terjadi sangat selektif. Di tengah keadaan tidak
berkembang semacam itu Raden Saleh tercatat sebagai tonggak seni lukis masa
kolonial pada Abad ke 19. Raden saleh mendapat pendidikan seni lukis di Belanda
dan setelah pendidikannya selesai ia tinggal dan berkarya di Belanda, Jerman dan
Prancis antara tahun 1839-1851. Ia satusatunya pelukis masa Hindia Belanda yang
menampilkan pengaruh Romantisisme Eropa pada Abad ke 19. Bila kita
menempatkan Raden Saleh sebagai tonggak perkembangan seni lukis masa kolonial,
pertimbangannya tidak semata-mata karena ia pelukis pribumi. Ia memang satu-
satunya pelukis masa kolonial yang karya-karyanya mengandung makna yang bisa
diperhitungkan dalam perkembangan seni lukis masa kolonial. Pelukis seangkatannya,
yang juga belajar ke Belanda, Jan Daniel Beynon, tidak sungguh-sungguh
meneruskan profesi pelukis, karena menjadi pegawai negeri sekembalinya ke Hindia
Belanda. 7) Dalam perkembangan seni lukis kita, batas berakhirnya perkembangan
seni lukis masa kolonial itu tidak pernah dibahas, padahal bila kita ingin melihatnya
sebagai segmen dalam perkembangan seni lukis Indonesia, akhir perkembangan itu
penting bagi mediasi. Berakhirnya seni lukis mas a kolonial menurut pendapat saya,
dapat dilihat melalui dua catatan. Pertama, catatan perkembangan seni lukis Hindia
Belanda. Kedua, pandangan pelukis-pelukis pribumi, khususnya Soedjojono, yang
bereaksi pada seni lukis masa kolonial itu. Kedua catatan yang berbeda ini melahirkan
dua kemungkinan garis perkembangan yang berbeda pula. Khususnya dalam melihat
pertumbuhan seni lukis modern Indonesia. (1) Mempertimbangkan catatan
perkembangan seni lukis Hindia Belanda, akhir perkembangan seni lukis masa
kolonial ditandai sebuah kemajuan - kecenderungan meninggalkan tradisi seni lukis
pemandangan alamo Pada awal Abad ke 20 tercatat sejumlah pelukis Belanda yang
dipengaruhi perkembangan seni rupa Eropa Abad ke 20 dan bahkan perkembangan
seni rupa modern. Pelukis-pelukis ini antara lain, Jan Frank, Kees van Dongen, Piet
Ouburg dan Ernest Deezentje. 8) Bila garis perkembangan itu diteruskan, kita akan
sampai pada munculnya pengaruh Kubisme pada pelukis Ries Mulder. Kendati Ries
Mulder tidak tercatat dalam perkembangan seni lukis Hindia Belanda, kedudukannya
menjadi penting karena ia mempengaruhi sejumlah pelukis Indonesia (pada tahun
1950 di Bandung). Bila kita percaya dan mengikuti acuan/teori Modernisme (Barat)
seni lukis modern Indonesia lahir dalam garis perkembangan ini - ditandai munculnya
pengaruh Kubisme pada sejumlah pelukis Indonesia. Namun, menurut pendapat saya
asumsi itu sulit dikukuhkan, karena satusatunya alasan untuk membenarkannya adalah
teori Modernisme yang pada kenyataannya berjarak dengan kita. Sangat sulit melihat
pengaruh Kubisme itu sebagai penting dan bermakna dalam konteks pertumbuhan
seni lukis modern Indonesia. Kaitannya dengan akhir seni lukis masa kolonial sulit
dikaji. Hubungannya dengan lukisan-Iukisan Jan Frank, Kees van Dongen dan Piet
Ouburg, terbatas pada kontinuitas pengaruh seni lukis Eropa. Kubisme yang muncul
pad a lukisan-Iukisan Ries Mulder pun lebih memperlihatkan adaptasi Kubisme dari
pad a menampilkan pemikiran baru. 9) Fragmen perkembangan itu seringkali
dipertanyakan, apakah bagian dari perkembangan seni lukis Indonesia atau bukan.
Menurut pendapat saya, perkembangan 1950 di Bandung itu tidak bisa disangkal
merupakan bagian dari garis perkembangan seni lukis modern Indonesia. Fragmen ini
memperlihatkan munculnya pengaruh prinsip-prinsip Modernisme (perkembangan
sesudah Perang Dunia II) dalam seni lukis modern Indonesia yang sudah tumbuh dan
mulai berkembang (sebagai kelanjutan bukan sebagai awal pertumbuhan). (2)
Mempertimbangkan pandangan pelukis-pelukis pribumi yang bereaksi pada seni lukis
masa kolonial, akhir perkembangan seni lukis masa koloniallebih mudah
diidentifikasi. Terdapat berbagai kenyataan yang lebih memungkinkan kita melihat
kaitannya dengan awal pertumbuhan seni lukis modern Indonesia - diskontinuitas
yang sangat bermakna dalam hal perubahan ke sebuah perkembangan baru, dan babak
transisi yang memungkinkan mediasi. Mengikuti pandangan Soedjojono, akhir
perkembangan seni lukis masa kolonial ditandai berkembangnya seni lukis
pemandangan alamo Dalam perkembangan seni lukis pemandangan alam ini, menurut
catatan Soedjojono, muncul pelukis-pelukis pribumi seperti Abdullah Soeriosubroto,
Mas Pirngadi dan Basuki Abdullah. 10) Namun dalam catatan perkembangan seni
lukis Hindia Belanda, nama-nama pelukis-pelukis pemandangan alam seperti
Abdullah Soeriosubroto, Wakidi, Sukardji, Mas Pirngadi, sarna sekali tidak tercatat.
Karena itu sulit untuk menentukannya sebagai akhir perkembangan seni lukis masa
kolonial. Pelukispelukis ini memang tidak menuntut pengakuan. Mereka tidak
berpretensi menjadi seniman: seperti dalam pandangan Soedjojono. Pekerjaan
melukis mereka lebih bertujuan menjuallukisan. Karena itu bukan hanya masyarakat
kolonial yang meremehkan seni lukis ini tapi bahkan juga Soedjojono, sebagai sesama
pelukis pribumi. Kritik Soedjojono pada seni lukis pemandangan alam yang
berkembang di kalangan pribumi, menurut pendapat saya tidak esensial. Kendati seni
lukis pribumi ini merupakan bagian dari perkembangan panjang seni lukis
pemandangan alam masa kolonial, seni lukis pemandangan alam pribumi ini lebih
merupakan gejala sosial. Sebuah tanda semakin banyaknya pelukis~pelukis pribumi
di lingkungan seni lukis masa kolonial. Penentangan Soedjojono pada seni lukis
pemandangan alam, menurut pendapat saya, lebih ditujukan pada identitas para
pelukis pribumi di balik seni lukis itu. Mereka adalah anggota masyarakat feodal yang
kehidupannya berjarak dengan masyarakat kebanyakan. Dalam persepsi Soedjojono,
mereka berpihak pada masyarakat kolonial Belanda. 11) • Sejarah kebangsaan kita
dan juga catatan pemerintah Hindia Belanda, mencatat banyak peristiwa yang
memperlihatkan ambiguitas masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai