Anda di halaman 1dari 14

1. Bagaimana Pemikiran Filsafat Al-Thusi ?

Pemikiran filsafat Al-Thusi dibagi menjadi tiga, yaitu:

A.Filsafat Metafisika

Menurut Al-Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, yaitu ilmu Ketuhanan (‘Ilmi Ilahi) dan filsafat
pertama (Falsafah Ula). Ilmu Ketuhanan meliputi Tuhan, akal, dan jiwa, serta pengetahuan tentang
alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta yang merupakan filsafat
pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan kemajemukan, kepastian, dan
kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan juga membentuk bagian dari
filsafat pertama tersebut. Diantara cabang (furu’) metafisika itu termasuk pengetahuan ke-Nabian
(Nubuwwat). Jelajah subjek itu menunjukkan bahwa metafisika merupakan esensi filsafat Islam dan
lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-gagasan.(Syarif, 1963)

Bagi Al-Thusi eksistensi Tuhan sebagai postulat (yang sudah terang akan kebenaran bahwa Allah itu
ada), harus diyakini oleh manusia dan bukan harus dibuktikan. Pembuktian eksistensi Tuhan
ataupun wujud Tuhan bagi manusia adalah mustahil, karena pemahaman manusia tentang wujud
Tuhan sangat terbatas untuk dipikirkan. Meskipun Al-Thusi membagi metafisika atas ilmu Ketuhanan
dan filsafat pertama, tetapi di dalamnya tidak mencakup kajian pembuktian eksistensi Tuhan, karena
ini merupakan hal yang di luar batas kemampuan pembuktian manusia. Al-Thusi berpendapat sama
halnya dengan filsuf lainnya yang mengulas teori ex nihilo yaitu sebuah teori yang menyatakan
adanya penciptaan sesuatu dari tidak ada.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya’ ayat 30, yaitu:

َ‫ض كَانَتَا َر ْتقًا فَفَتَ ْقنَا ُه َما َو َج َع ْلنَا ِمنَ ا ْل َماء ُك َّل ش َْي ٍء َح ٍّي َأفَاَل يُْؤ ِمنُون‬
َ ‫ت َواَأْل ْر‬ َّ ‫َأ َولَ ْم يَ َر الَّ ِذينَ َكفَ ُروا َأنَّ ال‬.
ِ ‫س َما َوا‬
Artinya: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air
Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?” (QS.Al-
Anbiya’:30).

B.Filsafat Etika

Tujuan dari filsafat etika (akhlak) Al-Thusi ini adalah untuk menemukan cara hidup untuk mencapai
sebuah kebahagiaan. Agar bisa mencapai kebaikan maka dalam hal ini manusia dituntut untuk
sering berbuat baik, menempatkan kebaikan diatas keadilan dan cinta.

Menurut Plato, yang termasuk perbuatan baik menyangkut kebijaksanaan, keberanian,


kesederhanaan, dan keadilan. Keempat hal ini termasuk pada trinitas jiwa yang meliputi akal,
kemarahan, dan hasrat. Namun Al-Thusi yang sependapat dengan Ibnu Maskawaih. Ia
menempatkan kebajikan diatas keadilan, dan cinta sebagai sumber alam kesatuan, diatas kebajikan.

Perbuatan baik selalu diusik oleh perbuatan jahat. Selain dari kebaikan dan kejahatan, satu hal yang
mempengaruhi etika adalah penyakit. Penyakit yang dimaksud adalah penyakit moral manusia, yang
merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan. Menurut Al-Thusi, penyakit moral ini bisa
disebabkan oleh tiga sebab, yaitu keberlebihan, keberkurangan, ketidakwajaran akal, dan
kemarahan, serta hasrat. (M.M.Syarif, 1993)
Dari teori tiga sebab ini, Al-Thusi menggunakannya dengan menggolongkan tiga golongan penyakit
fatal akal teoritis yang terbagi menjadi tiga karakter, yaitu:

a. Kebingungan (hairat)

Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan
kesalahan dikarenakan adanya bukti saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan
terhadap suatu masalah yang kontroversial.

b. Kebodohan sederhana (Jahl Basith)

Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan suatu hal tanpa mengira bahwa
dia mengetahuinya. Kebodohan semacam itu merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik
tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal kalau merasa puas dengan keadaan begitu.

c. Kebodohan fatal (Jahl Murakkab)

Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia akan suatu hal dan dia merasa mengetahui hal itu.
Walaupun dia bodoh, dia tidak tahu bahwa dia memang bodoh. Menurut Al-Thusi, penyakit ini
adalah penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tetapi dengan upaya keras dalam bidang
matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan kefatalannya menjadi kebodohan bersama.(Suryadi,
2009)

Pandangan Al-Thusi secara keseluruhan, ia menganggap bahwa manusia adalah makhluk sosial,
maka untuk memperkuat sikap daripada manusia itu sendiri, manusia mesti mencapai sebuah watak
yang baik terhadap sesamanya sampai batas sempurna. Kesempurnaan ini disebutnya dengan
peradaban. Manusia hidup saling membutuhkan maka sangat mustahil manusia bisa hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain.

C.Filsafat Jiwa

Pandangan Al-Thusi tentang jiwa, ia berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa
terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan
secara kasat mata. Masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri
merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu argumen masyarakat
tentang adanya seorang ahli argumen dan sebuah masalah untuk diargumentasikan, sedangkan
dalam hal ini, keduanya sama yang bernama jiwa.(M.M.Syarif, 1993) Jiwa mmpunyai sifat sebagai
substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Jiwa berkerja untuk mengontrol
tuubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi jiwa tidak bisa dirasa lewat alat-alat tubuh.
2.Bagaimana Pemikiran Filsafat Muhammad Iqbal

Methafisika
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain
itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah
ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia
senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego
mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus
untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena
rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-
instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat
mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus
menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang
merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari
ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut7.
Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya
membunuh ego kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala
pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat). Ketika Iqbal meramu postulat, “Saya
berbuat, karena itu saya ada (I act, therefore I exist)”, membedakannya dengan pemikir Muslim
terdahulu yang banyak terjebak kenikmatan “asketisme di sana “.
Menyatukan diri dengan Tuhan, tetapi ego kreasi dalam diri terkikis habis. Gejala tersebut oleh Iqbal
diistilahkan dengan “kesadaran mistis” dan tentunya sangat bertentangan dengan “kesadaran
profetik”. Kesadaran mistik adalah istilah yang digunakan Iqbal untuk mengategorikan konsep
wahdah al-wujud sebagai salah satu usaha yang dilakukan manusia dengan menafikan kehendak
pribadi ketika mengidentifikasikan diri dengan Tuhan. Maka, aktivitas kreatif menjadi tidak terlihat
dalam hidup keseharian. Sedangkan, kesadaran profetik adalah sebuah cara mengembangkan
kesadaran melalui aktivitas kreatif yang bebas dan melalui kesadaran bahwa aktivitas kreatif
manusia adalah aktivitas Ilahi.
Jadi, konsep wahdah al-wujud dalam perspektif Iqbal adalah pengidentifikasian keinginan pribadi
dengan kehendak Tuhan melalui cara penyempurnaan diri, bukan penafian diri. Kehendak manusia
pada posisi demikian menjadi otonom, tetapi tetap dalam koridor bimbingan Ilahi. Iqbal tidak serta
merta mengakui kedaulatan postulat milik Descartes, cogito ergo sum, karena eksistensi manusia
tidak ada hanya dengan melakukan kegiatan berpikir untuk mengeksiskan diri. Intelektualisme yang
hanya mendewakan rasionalitas tidak akan eksis tanpa ada aktivisme yang berdimensi praktis.

Estetika
Berdasarkan konsep kepribadian yang memandang kehidupan manusia yang berpusat pada ego
inilah, Iqbal memandang kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni –
sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal— harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni
tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang lahir
berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia (penanggap)8.
Seni yang tidak demikian tidak lebih dari api yang telah padam.
Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan
karya kreatif sang seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan
Tuhan. Ini sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat
hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang Maha Hidup mencipta
dan menggerakan semesta. Selain itu, hidup manusia pada dasarnya tidaklah terpaksa melainkan
sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadikannya bermakna. Karena itu, dalam
pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep
tetapi sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata.
Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal tersebut disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa
seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu
dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan
baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan “hal
baru” bagi kehidupan9. Dengan menawan sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas dirinya,
manusia harus mampu menjadi “saingan” Tuhan. Di sinilah hakekat pribadi yang hidup dalam diri
manusia dan menjadi kebanggaannya dihadapan Tuhan. Mari kita lihat syairnya.Kedua, berkaitan
dengan pertama, kreatifitas tersebut bukan sekedar membuat sesuatu tetapi harus benar-benar
menguraikan jati diri sang seniman, sehingga karyanya bukan merupakan tiruan dari yang lain
(imitasi), dari karya seni sebelumnya maupun dari alam semesta. Bagi Iqbal, manusia adalah
pencipta bukan peniru, dan pemburu bukan mangsa, sehingga hasil karya seninya harus
menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang belum ada’, bukan sekedar menggambarkan ‘apa
yang ada’ (Azzam, 1985, 141). Dalam salah satu puisinya, Iqbal mengecam dan menyebut sebagai
kematian terhadap seni Timur yang meniru seni Barat.
Konsep-konsep seni dan keindahan Iqbal tersebut hampir sama dengan teori seni Benedetto Croce
(1866-1952 M), seorang pemikir Italia yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya, seni adalah
kegiatan kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali
keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika dan logika. Kegiatan seni hanya
merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam bentuk citra
tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi
oleh penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada
dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman10.
Dengan pernyataan seperti ini, mengikuti Syarif, teori Croce berarti terdiri atas empat hal,
· bahwa seni adalah kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam
pertimbangan etis,
· bahwa kegiatan seni berbeda dengan kegiatan intelek. Seni lebih merupakan ekspresi diri atas
pengalaman individu (intuitif) dan menghasilkan pengetahuan langsung dalam bentuk individualitas
kongkrit, sedang intelek lebih merupakan kegiatan analitis dan menghasilkan pengetahuan reflektif.
· bahwa kegiatan seni ditentukan oleh perkembangan kepribadian seniman,
· bahwa apresiasi adalah penghidupan kembali pengalaman-pengalaman seniman didalam diri
penanggap.
Pandangan seni Iqbal tidak berbeda dengan teori Croce tersebut, kecuali pada bagian pertama. Iqbal
menolak keras kebebasan seni dan keterlepasaannya dari etika. Iqbal justru menempatkan seni
dibawah kendali moral, sehingga tidak ada yang bisa disebut seni –betatapun ekspresifnya
kepribadian sang seniman— kecuali jika mampu menimbulkan nilai-nilai yang cemerlang,
menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan dan aspirasi baru bagi peningkatan kualitas hidup
manusia dan masyarakat. Dengan demikian, gagasan seni Iqbal tidak hanya ekspresional tetapi
sekaligus juga fungsional.
Etika
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali
kepada ajaran Islam yang agung serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal
memandang bahwasanya sebab kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabibuta
terhadap kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi
budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi.
Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat: “Akan tetapi terpulanglah kepada
kalian dan peradaban tanpa agama yang menghadapi pertarungan yang berkepanjangan dengan al-
Hak. Sesungguhnya malapetaka ini telah menghasilkan bencana yang besar kepada dunia seperti
kembalinya al-Latta dan al-Uzza (keberhalaan) ke Tanah Haram Mekah, dimana hati manusia
menjadi buta dengan sihirnya dan jiwa menjadi mati. Ia telah memadamkan cahaya hati atau
menghilangkan hati dari pemiliknya. Ia juga telah mengubah siang yang terang benderang dengan
meninggalkan insan tanpa roh dan tanpa nilai apa-apa lagi”.
“Walaupun ilmu pengetahuan berkembang dan perusahaan maju di Eropa, namun lautan kegelapan
memenuhi kehidupan mereka.Sesungguhnya ilmu pengetahuan, hikmah, politik dan pemerintahan
yang berjalan di Eropa tidak lebih dari ketandusan dan kekeringan. Perkembangan itu telah
mengorbankan darah rakyat dan jauh sekali dari arti nilai kemanusiaan dan keadilan. Apa yang
terjadi ialah kemungkaran, meminum arak dan kemiskinan terbentang luas di negeri mereka. Inilah
akibat yang menimpa umat manusia yang tidak tunduk kepada undang-undang Samawi ciptaan Ilahi.
Inilah dia negeri-negeri yang hanya berbangga dengan terang benderang cahaya listrik dan teknologi
modern. Dan sesungguhnya negeri-negeri yang dikuasai oleh alat-alat dan industri ini telah
memusnahkan hati-hati manusia dan membunuh kasih sayang, kesetiaan dan makna kemanusiaan
yang mulia”.
Selanjutnya kata Iqbal, gerakan perkembangan ilmu pengetahuan dan rasionalisasi yang
berlangsung dikalangan peradaban Barat tidak hanya membawa bahaya bagi bangsa mereka sendiri.
Perkembangan teknologi informasi di era modern telah membawa kerusakan ini merasuki negeri-
negeri Islam, yang merusak kejiwaan dan spritual umat Islam. Bagaimanapun, apa yang
dikhawatirkan ialah munculnya gejala kebekuan dan kelumpuhan di kalangan umat Islam itu sendiri.
Dalam pengulasan lebih lanjut, Iqbal secara berani mengeluarkan pernyataan: “Perkembangan
Eropa itu sebenarnya tidak pernah memasuki kehidupan kemasyarakatan dalam bentuk yang amali
dan hidup. Apa yang mereka slogankan dengan konsep demokrasi hanyalah pembahasan ilmiah,
tetapi apa yang sebenarnya adalah penimbunan kekayaan golongan hartawan di atas air mata
golongan fakir miskin”.
Justru bagi Iqbal, hanya Islam yang mampu menyelesaikan semua permasalahan manusia. Ini karena
kaum Muslimin memiliki pemikiran dan akidah yang kukuh dan sempurna – diasaskan atas petunjuk
wahyu (al-Quran; S 3 : 110). Pemikiran dan pegangan yang kukuh ini dapat menjadi solusi kepada
pelbagai problem kehidupan karena mempunyai kekuatan sama ada dari segi rohani maupun
jasmani.
Di sisi lain, Islam mengandung kekuatan yang mampu menangani semua permasalahan hidup
manusia disebabkan sistem hidupnya yang bersandarkan kepada keimanan dan keagamaan. Dalam
waktu yang sama Islam juga mendukung prinsip kebebasan, keadilan sesama manusia dalam
kelompok sosialnya (al-Quran; S 4 : 36). Oleh karena itu ia mendorong manusia untuk melaksanakan
ajaran Islam demi tercapainya tujuan tersebut.

3.Bagaimana Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail

 Filsafat Ibnu Tufail

1. Tentang Dunia

Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas
kehendak-Nya? Dalam filsafat Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi
masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin
saingannya, dan tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para
pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas
yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti
itu tidak lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka
dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara
lambat laun. Begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang
seksama.[6]

Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum


ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada,
tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan
dunia di kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa
sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu
yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu
terjadi atas-Nya. Apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi
adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik
pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.

2. Tentang Tuhan

Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia
tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab materi yang
merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain anggapan bahwa Tuhan
bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena
itu dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat
immaterial, maka kita tidak dapat mengenalNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab
imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.[8]

Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertama dianggap sebagai penyebab
adanya yang kedua? Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara
kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya dunia
dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika kau pegang sebuah benda
dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu tak gerak lagi, akan bergerak
dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului
gerak benda dalam esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam soal
waktu keduanya tak saling mendahului.

Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu Tufail mempertahankan pendapat
mistisnya bahwa dunia ini bukanlah suatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang
ditafsirkan sebagai cahaya yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan,
sebagaimana dipercaya oleh Al Ghazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari
esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak
akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari penentuan. Kehancurannya berupa
keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia
mesti terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai dengan
kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan
pengejawantahan kekal.[9]

Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa
kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa
akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada
Tuhan.[10]

3. Tentang Kosmologi Cahaya

Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi
kemajemukan, kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton,
sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada
prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin. Cahaya matahari yang
jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan .
semua itu merupakan pantulan matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri,
bukan pula suatu yang lain dari matahari dan cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu
hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat
dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama
serta perwujudannya di dalam kosmos.[11]

4. Epistemologi Pengetahuan

Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong, imaji tuhan telah tersirat di
dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang
jernih tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal
semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong.
Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka
secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan
hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam
itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi,
dipihak lain membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.[12]
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini
berfungsi berkat jiwa hewan yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau
mencapai otak menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat
jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.

Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan akat-
alat pembanding dan pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap
kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-
bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi
hipotesis semacam iti tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang
dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari
suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh
itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan. [13]

Mengikuti pendapat Al Ghazali dan mendahului pendapat Hume, Ibnu Thufail tidak melihat adanya
kekuatan pada sebab yang bias mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume
berakhir dalam skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan sebab
akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan, tapi oleh Kant hal itu dianggap
berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant.
Dia telah mengemukakan terlebih dahulu metoda induktif ilmu modern; melihat ketidakmampuan nalar
teoritis untuk menjawab teka-teki mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, juga
ketidakmampuan akal induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan akibat,
dan akhirnya menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat pernyataan bersama Al Ghazali bahwa
rangkaian sebab akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan.

Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya
berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam
taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara
langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa
yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak
terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau
dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa dilihat lewat cahaya didalam esensi itu
sendiri yang masuk dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu
pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.[14]

5. Etika/Akhlak

Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan demikian
menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada
pemuasan ketiga aspek sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa
dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dan
kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan
yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan
tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan
perputaran esensi orang dalam ekstase.

Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam
perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan
sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan,
kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban diri sendiri, demi yang
lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban
yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya
dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.

4.Bagaimana Pemikiran Ibnu Bajjah

1. Metafisika (Ketuhanan) Menurut Ibn Bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi dua: yang
bergerak dan tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas).
Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini
digerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan gerakan ini digerakkan oleh
penggerak yang tidak bergerak, dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan
jisim (materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari substansinya sendiri
sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak
terbatas), yang oleh Ibn Bajjah disebut dengan ‘aql. Kesimpulannya, gerakan alam ini—jisim
yang terbatas— digerakkan oleh ‘aql (bukan berasal dari substansi alam sendiri). Sedangkan
yang tidak bergerak ialah ‘aql, ia menggerakkan alam dan ia sendiri tidak bergerak. ‘Aql inilah
yang disebut dengan Allah (‘aql, ‘aqil, dan ma’qul), sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-
Farabi dan Ibn Sina. Perlu diketahui bahwa para filosof Muslim pada umumnya menyebut Allah
itu adalah ‘aql. Argumen yang mereka majukan ialah Allah Pencipta dan Pengatur alam yang
beredar menurut natur rancangan-Nya, mestilah Ia memiliki daya pikir. Kemudian dalam
mentauhidkan Allah semutlakmutlaknya, para filosof Muslim menyebut Allah adalah Zat yang
mempunyai daya pikir (‘aql), juga berpikir (‘aqil) dan objek pemikirannya sendiri (ma’qul).
Keseluruhannya adalah zat-Nya yang Esa. Sebagaimana Aristoteles, Ibn Bajjah juga mendasarkan
filsafat metafisikanya pada fisika. Argumen adanya Allah adalah dengan adanya gerakan di alam
ini. Jadi, Allah adalah azali dan gerakannya bersifat tidak terbatas. Di sinilah letak kelebihan
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 43. Ahmad Zaini 66 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 Ibn Bajjah
walaupun ia berangkat dari filsafat gerak Aristoteles, namun ia kembali pada ajaran Islam. Dasar
filsafat Aristoteles ialah ilmu pengetahuan alam yang tidak mengakui adanya sesuatu di balik
alam empiris ini. Kendatipun penggerak pertama berbeda dengan materi, namun ia masih
bersifat empiris. Uraian tersebut dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa Ibn Bajjah mempelajari
dan memahami filsafat Aristoteles dengan baik karena argumen yang dimajukannya masih
berbau Aristotelean. Tampaknya Ibn Bajjah berupaya mengislamkan argumen metafisika
Aristoteles tersebut. Karena itu, menurutnya, Allah tidak hanya penggerak, tetapi ia adalah
Pencipta dan Pengatur alam.16 2. Materi dan Bentuk Menurut Ibn Bajjah, “Materi dapat
bereksistensi tanpa harus ada bentuk (ash-shurat).” Pernyataan ini menolak asumsi bahwa
“materi itu tidak bisa bereksistensi tanpa ada bentuk, sedangkan bentuk bisa bereksistensi
dengan sendirinya, tanpa harus ada materi.” Ibn Bajjah berargumen jika materi berbentuk, ia
akan terbagi menjadi “materi” dan “bentuk” dan begitu seterusnya. Ibn Bajjah menyatakan
bahwa “Bentuk Pertama” merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi
yang dikatakan sebagai tidak mempunyai bentuk. Bentuk-bentuk yang berkaitan dengan aktif
oleh Ibn Bajjah dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan umum, sedangkan bentuk-bentuk yang
berkaitan dengan akal sehat dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus. Pembedaan ini
dilakukan karena bentuk-bentuk kejiwaan umum hanya memiliki satu hubungan dan hubungan
itu ialah dengan yang menerima, sedangkan bentukbentuk kejiwaan khusus memiliki dua
hubungan-hubungan khusus dengan yang berakal sehat dan hubungan umum dengan yang
terasa. Semisal, seorang manusia, ingat akan bentuk Taj Mahal, bentuk ini tidak berbeda dari
bentuk nyata Taj Mahal kalau benda itu berada di depan mata, selain memiliki hubungan
khusus, juga hubungan dengan wujud umum yang terasa, sebab banyak orang melihat Taj
Mahal.Contoh lainnya, kita ingat bentuk Ka’bah. Bentuk Ka’bah yang kita ingat sama dengan
bentuk Ka’bah yang nyata. Kalau Ka’bah tersebut berada di depan mata, ini dinamakan bentuk
rohani umum. Bentuk ini juga mempunyai hubungan dengan wujud umum yang terasa sebab
banyak orang yang melihat Ka’bah, ini dinamakan bentuk khusus. Sedangkan bentuk fisik, yaitu
Ka’bah itu benar.18 3. Jiwa Menurut pendapat Ibn Bajjah, setiap manusia mempunyai satu jiwa,
jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia.
Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat
jasmaniah diantaranya ada berupa buatan dan ada pula yang berupa alamiah, seperti kaki dan
tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat buatan, yang disebut juga oleh Ibn Bajjah
dengan pendorong naluri (al-harr al-gharizi) atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk
yang berdarah. Jiwa menurut Ibn Bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Di
akhirat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga) maupun
balasan siksaan (neraka). Akal daya berpikir bagi jiwa, adalah satu bagi setiap orang yang
berakal. Ia dapat bersatu dengan ‘Aqal Fa’al yang di atasnya dengan jalan ma’rifat filsafat.
Filsafat Ibn Bajjah tentang jiwa pada prinsipnya didasarkan pada filsafat Al-Farabi dan Ibn Sina.
4. Akal dan Ma’rifat (Pengetahuan) Menurut Ibn Bajjah, akal merupakan bagian terpenting yang
dimilliki oleh manusia. Ia berpendapat bahwa ma’rifat (pengetahuan) yang benar dapat
diperoleh lewat akal. Akal ini merupakan satu-satunya sarana yang melaluinya kita mampu
mencapai kemakmuran dan membangun kepribadian. Ibn Bajjah percaya pada kemajemukan
akal dan mengacu pada akal pertama dan akal kedua. Ia berpendapat, akal manusia paling jauh
adalah akal pertama. Lebih jauh, ia menjelaskan tingkatan-tingkatan akal dengan mengatakan
bahwa sebagian akal secara langsung berasal dari akal pertama; sebagian lain berasal dari akal-
akal lain, hubungan antara yang diperoleh dan tempat asal akal yang diperoleh itu sama dengan
hubungan cahaya matahari yang ada di dalam rumah dan cahaya matahari yang ada di halaman
rumah.Ibn Bajjah berpendapat bahwa seseorang dapat mencapai puncak ma’rifat dan
meleburkan diri pada ‘Aqal-Fa’al (Akal Aktif), jika ia telah dapat terlepas dari sifat kerendahan
dan keburukankeburukan masyarakat, serta dapat memakai kekuatan pikirannya untuk
memperoleh ma’rifat dan ilmu sebesar mungkin, juga dapat menenangkan segi pikiran pada
dirinya atas pikiran hewaninya. Ibn Bajjah menjelaskan bahwa masyarakat manusia itulah yang
mengalahkan perorangan dan melumpuhkan kemampuankemampuan berpikirnya, serta
menghalang-halanginya dari kesempurnaan, melalui keburukan-keburukannya dan
keinginankeinginannya yang menggebu. Jadi seseorang dapat mencapai tingkat kemuliaan
setinggi-tingginya melalui pemikiran dan memperoleh ma’rifat yang tidak akan terlambat,
apabila akal pikiran dapat menguasai perbuatan-perbuatan seseorang dan mengabdikan diri
untuk memperolehnya. Pemikiran Ibn Bajah tersebut berlawanan sekali dengan pemikiran al-
Ghazali yang menetapkan bahwa akal-pikir itu lemah dan tidak dapat dipercaya, serta semua
pengetahuan manusia sia-sia belaka, karena tidak bisa menyampaikan kepada sesuatu
kebenaran, dan cara yang paling baik untuk mencapai ma’rifat yang benar ialah beribadah
(tasawuf). Dalam Risalah al-Wada’, Ibn Bajah mengatakan bahwa alGhazali dalam bukunya Al-
Munqidz min ad-Dlalal telah menempuh jarak khayali yang remeh, dan dengan demikian ia telah
sesat dan menyesatkan orang-orang yang memasuki fatamorgana dan yang mengira bahwa
pintu Telaah PemAkhlak Ibn Bajah membagi perbuatan-perbuatan manusia kepada dua bagian.
Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang
berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari
pemikiran yang lurus dan kemajuan yang bersih dan tinggi. Bagian ini disebutnya “perbuatan-
perbuatan manusia”. Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibn Bajjah bukan
perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan
tersebut, ia mengemukakan seseorang yang terantuk dengan batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia
melemparkan batu itu. Kalau ia melemparnya karena telah melukainya, maka ia adalah
perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang lebih mendiktekan kepadanya
untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya. Adapun sebaliknya, kalau
melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya,
atau marahnya tidak ada bersangkut-paut dengan pelemparan tersebut, maka perbuatan itu
adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan
akhlak, karena menurut Ibn Bajah, hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan
keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi-hewani padanya, itu saja yang
bisa dihargai perbuatannya. Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya,
maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam
keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi
kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena
kekurangan ini timbul disebabkan ketundukannya kepada naluri.22 Contoh lainnya, perbuatan
makan bisa dikategorikan tasawuf telah membuka dunia pikiran dan selanjutnya
memperlihatkan kebahagiaan ketika melihat alam langit. perbuatan hewani dan bisa pula
menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk memenuhi
keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun, apabila perbuatan
makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam mencapai keutamaan dalam
hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua
perbuatan ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang
bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan
rasio (akal) maka dinamakan perbuatan manusiawi. Manusia, menurut Ibn Bajjah, apabila
perbuatannya dilakukan demi memuaskan akal semata, perbuatannya ini mirip dengan
perbuatan llahi daripada perbuatan manusiawi. Hal ini merupakan keutamaaan karena jiwa
telah dapat menekan keinginan jiwa hewani yang selalu menentangnya. Perbuatan seperti itulah
yang dikehendaki oleh Ibn Bajjah bagi warga masyarakat yang hidup dalam negara utama.23 6.
Politik (Teori Pemerintahan) Pandangan politik Ibn Bajjah dipengaruhi oleh pandangan politik Al-
Farabi. Sebagaimana Al-Farabi, dalam buku Ara’ Ahl alMadinat al-Fadhilat, ia (Ibn Bajjah) juga
membagi negara menjadi negara utama (al-Madinat al-Fadhilat) atau sempurna dan negara
yang tidak sempurna, seperti negara jahilah, fasiqah, dan lainnya. Demikian juga tentang hak-
hak yang lain, seperti persyaratan kepala negara dan tugas-tugasnya selain mengatur negara,
juga pengajar dan pendidik. Pendapat Ibn Bajjah ini sejalan dengan Al-Farabi. Perbedaannya
hanya terletak pada penekanannya. AlFarabi titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibn
Bajjah titik tekannya pada warga negara (masyarakat). Warga negara utama, menurut Ibn
Bajjah, mereka tidak lagi memerlukan dokter dan hakim. Sebab mereka hidup dalam keadaan
puas terhadap segala rezeki yang diberikan Allah, yang dalam istilah agama disebut dengan al-
qana’ah. Mereka tidak mau memakan23 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam..., hlm. 203. Telaah
Pemikiran Ibn Bajjah ISSN: 2354-6174 , e-ISSN: 2476-9649 71 makanan yang akan merusak
kesehatan. Mereka juga hidup saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menghormati.
Oleh karena itu, tidaklah akan ditemukan perselisihan antara mereka. Mereka seluruhnya
mengerti undang-undang negara dan mereka tidak mau melanggarnya.24 Tampaknya Ibn Bajjah
mempunyai hubungan tersendiri dengan al-Farabi lantaran perhatiannya yang sama besar
dengan al-Farabi terhadap isu-isu etika dan politik yang oleh Ibn Sina cenderung
dikesampingkan. Maka dari itu, seperti halnya al-Farabi, karya utama Ibn Bajjah Tadbir Al-
Mutawahhid (Pemerintahan Soliter), bertitik-tolak pada bagaimana membentuk sebuah rezim
politik yang sesuai dengan cita-cita kehidupan soliter para filosof yang sejati. Menurutnya, rezim
ini haruslah mampu memberikan landasan yang kuat bagi tegaknya kehidupan yang bijak bestari
dan keluhuran yang layak bagi para filosof meskipun tanpa kehadiran para tabib atau hakim.
Akan tetapi, apabila negara ideal yang bebas dari penyakit moral dan kejahatan tersebut
terjerumus ke dalam salah satu dari empat jenis rezim yang korup seperti yang telah
dikemukakan al-Farabi, nasib filosof yang hidup di dalamnya akan menjadi benar-benar
menyedihkan. Dua pilihan yang pasti akan dihadapinya, yaitu apabila dimungkinkan, ia akan
berhijrah ke kota ideal yang lain; atau tetap tinggal di dalamnya dan mengelola semua
urusannya sebaik mungkin. Sambil hidup bagai orang yang terasing di tengah masyarakat dan
kerabatnya sendiri.25 7. Manusia Penyendiri (‘Uzlah) Filsafat Ibn Bajjah yang paling populer ialah
manusia penyendiri (al-insan al-munfarid). Pemikiran ini termuat dalam 24 Ibid., hlm. 204-205.
25 Majid Fakhry, Sejarah..., hlm. 100-101. Al-Farabi berpendapat apabila tujuan negara yang
ideal terganggu dan menjadi bahan tertawaan, maka akan lahir empat macam kemungkinan
rezim yang korup, yakni alMadinah al-Jahilah, al-Madinah al-Dhalal, al-Madinah al-Fasiqah, dan
alMadinah al-Mutabadilah. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam..., hlm. 85, Dedi Supriyadi, Pengantar...,
hlm. 93. Ahmad Zaini 72 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 magnum opum-nya Kitab Tadbir al-
Mutawahhid. Sebagaimana Al-Farabi, pembicaraan Ibn Bajjah tentang hal ini erat kaitannya
dengan politik dan akhlak. Dalam menjelaskan manusia penyendiri ini, Ibn Bajjah terlebih dahulu
memaparkan pengertian tadbir al-mutawahhid. Lafal tadbir, adalah bahasa Arab, mengandung
pengertian yang banyak, namun pengertian yang diinginkan oleh Ibn Bajjah ialah mengatur
perbuatan-perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dengan kata lain, aturan yang
sempurna. Dengan demikian, jika tadbir dimaksudkan pengaturan yang baik untuk mencapai
tujuan tertentu, maka tadbir tentu hanya khusus bagi manusia. Sebab pengertian itu, hanya
dapat dilakukan dengan perantaraan akal, yang akal hanya terdapat pada manusia. Dan juga
perbuatan manusia berdasarkan ikhtiar. Hal inilah yang membedakan manusia dari makhluk
hewan. Lebih lanjut Ibn Bajjah menjelaskan tentang tadbir bahwa kata ini menakup pengertian
umum dan khusus. Tadbir dalam pengertian umum, seperti disebut di atas, adalah segala
bentuk perbuatan manusia. Sementara itu, tadbir dalam pengertian khusus adalah pengaturan
negara dalam mencapai tujuan tertentu, yakni kebahagiaan. Pada pihak lain, filosof pertama
Spanyol ini menghubungkan istilah tadbir kepada Allah Swt. karena Allah Swt. Maha Pengatur,
yang disebut al-Mutadabbir. Ia telah mengatur alam sedemikian rapi dan teratur tanpa cacat.
Pemakaian kata ini kepada Allah hanya untuk penyerupaan semata. Akan tetapi, pendapat Ibn
Bajjah ini memang ada benarnya. Tadbir yang akan dilaksanakan manusia mestinya mencontoh
kepada tadbir Allah Swt. terhadap alam semesta. Selain itu, tadbir hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan akal dan ikhtiar. Pengertian ini tercakup manusia yang memiliki akal dan Allah yang
dalam filsafat disebut dengan ‘aql. Adapun yang dimaksud dengan istilah al-Mutawahhid ialah
manusia penyendiri. Dengan kata lain, seseorang atau beberapa orang, mereka mengasingkan
diri masing-masing secara sendiri-sendiri, tidak berhubungan dengan orang lain. Berhubungan
dengan orang lain tidak mungkin sebab dikhawatirkan akan terpengaruh dengan perbuatan yang
Telaah Pemikiran Ibn Bajjah ISSN: 2354-6174 , e-ISSN: 2476-9649 73 tidak baik. Sementara itu,
al-Mutawahhid yang dimaksud Ibn Bajjah ialah seorang filosof atau beberapa orang filosof hidup
menyendiri pada salah satu negara dari negara yang tidak sempurna, seperti Negara Fasiqah,
Jahilah, Berubah, dan lainlainnya. Apabila tidak demikian, tidak mungkin baginya untuk
mencapai kebahagiaan.26 ‘Uzlah (penyendirian) yang dikemukakan oleh Ibn Bajjah bukanlah
menjauhi manusia, melainkan tetap juga berhubungan dengan masyarakat. Hanya saja ia harus
selalu bisa menguasai dirinya serta hawa nafsunya dan tidak terbawa oleh arus keburukan-
keburukan kehidupan masyarakat. Atau dengan kata lain, ia harus berpusat pada dirinya sendiri
dan selalu merasa bahwa dirinya menjadi anutan dan pusat aturan-aturan bagi masyarakat,
bukan malah tenggelam di dalamnya. Bagi Ibn Bajjah, tiap-tiap orang, mampu menempuh jalan
tersebut, dan tidak ada yang menghambatnya kecuali peremehannya terhadap dirinya sendiri
dan ketundukannya terhadap keburukan-keburukan masyarakat. Kalau sekiranya tiap-tiap orang
bisa meninggalkan sikap tersebut, tentulah masyarakat manusia keseluruhannya bisa mencapai
kesempurnaan.27 Perlu dijelaskan bahwa manusia penyendiri (‘uzlah) yang dikemukakan Ibn
Bajjah adalah ‘uzlah aqliyyah berbeda dengan ‘uzlah sufi yang dikemukakan Al-Ghazali. Bahkan,
Ibn Bajjah mengkritik ‘uzlah total Al-Ghazali, yang ia katakan bertentangan dengan tabiat atau
watak manusia sebagai makhluk sosial. Dilihat dari kritik ini dapat dipastikan bahwa Ibn Bajjah
mengenal bukubuku Al-Ghazali yang berbicara dengan tasawuf, paling tidak buku al-Munqiz min
al-Dhalal dan Ilya’ ‘ulum al-Din. Akan tetapi, dilihat dari sisi pemikiran filsafat yang lain,
sepertinya Ibn Bajjah tidak menyinggung buku Tahafut al-Falasifah. Karena itu, berat dugaan
buku-buku seperti Tahafut al-Falasifah dan yang sejenisnya tidak sampai kepada Ibn Bajjah.28
26 Ibid., hlm. 205-206. 27 Ahmad Hanafi, Pengantar..., hlm. 158-159. 28 Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam..., hlm. 207. Ahmad Zaini 74 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 8. Teori Ittishal, Kontak
Intelektual dengan Tuhan Seperti halnya Al-Farabi dan Ibn Sina, Ibn Bajjah percaya bahwa
pengetahuan tidak diperoleh semata melalui indra. Pertimbangan-pertimbangan universal dan
niscaya, isi ilmu yang prediktif dan eksplanatif serta landasan bagi penalaran apodeiktik (apho-
deictic) tentang alam, hanya dapat dicapai dengan bantuan Akal Aktif, intelegensi yang
mengatur.29 Mirip kaum sufi—yang metodenya kadangkala dianggap oleh Ibn Bajjah sendiri
sebagai picisan karena bersandar pada citra dan representasi indrawi—Ibn Bajjah juga
menempatkan manusia pada tataran spiritual, yang tinggi apabila ia mampu menyatukan diri
dengan bentuk-bentuk spiritual, terutama dengan Akal Aktif yang letaknya paling dekat dengan
eksistensi manusia. Akan tetapi, menurut Ibn Bajjah, penyatuan atau lebih tepatnya pertalian
(conjunction) ini sepenuhnya bersifat intelektual, bukan afektif atau indriawi, seperti kata kaum
sufi yang suka memakai bahasa cinta, kontemplasi, dan visi (musyahadah). Lagi pula, objek
penyatuan ini bukanlah Wujud Tertinggi atau Tuhan—sebagaimana diakui oleh kaum sufi—
melainkan maujud-maujud spiritual yang lebih rendah, termasuk Akal Aktif yang menurut kaum
Neoplatonis Muslim menempati posisi antara Tuhan dan alam materiil. Manakala pribadi-prbadi
tersebut berhasil mencapai kondisi berhubungan dengan entitasentitas spiritual dan intelektual
yang ada di alam spiritual dan intelektual, lengkaplah sudah kebahagiaan mereka. Jika para
filosof gagal mencapai kondisi ini akibat tekanan hidup yang dideritanya di negara atau rezim
yang korup, dapatlah kiranya mereka dimaklumi. Walaupun begitu, wajib bagi mereka, selaku
filosof, untuk menjalani hidup dalam kesendirian (solitude) sebaik mungkin.30 Dalam Risalatul-
Ittishal Ibn Bajah membagi manusia 29 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.),
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, penerjemah Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003),
hlm. 369 30 Majid Fakhry, Sejarah..., hlm. 102. Telaah Pemikiran Ibn Bajjah ISSN: 2354-6174 , e-
ISSN: 2476-9649 75 dalam tiga golongan, yaitu: kaum awam (al-jumhur), an-nudzdzar (kaum
khawas atau kaum cendekiawan) dan kaum yang bahagia. Kaum awam dapat menjangkau
gambaran yang masuk akal lewat penglihatannya kepada alam nyata, atau dari
ketergantungannya kepada alam wujud. Kaum khawas berhubungan dengan soal-soal yang
masuk akal lebih dulu, barulah kemudian mereka berhubugan dengan alam nyata. Adapun kaum
yang bahagia—jumlahnya amat sedikit—ialah mereka yang berhubungan langsung dengan
segala yang masuk akal. Mereka adalah orang-orang yang dapat melihat segala sesuatu dengan
jiwa (rohaninya)

5.Sebutkan ayat Quran yang menyuruh agar berfilsafat

Surat Ali ‘Imran ayat 190

ِ ‫ت ُأِلولِي اَأْل ْلبَا‬


‫ب‬ ِ َ‫ف اللَّ ْي ِل َوالنَّه‬
ٍ ‫ار آَل يَا‬ ِ ْ‫ت َواَأْلر‬
ْ ‫ض َو‬
ِ ‫اختِاَل‬ ِ ‫ِإ َّن فِي خَ ْل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”

Ayat di atas merupakan hikmah dibalik perenungan terhadap penciptaan langit, bumi, sinag, dan
malam. Hikmah merenungi dan berfikir secara mendalam terhadap semua ciptaan Allah
sebagaimana yang tertulis akan menjadi pengantara bagi orang-orang yang memiliki akal sehat
dalam penemukan ketuhanan Allah.

Dari tiga ayat yang telah disebutkan di atas sengat jelas menunjukkan sebuah perintah untuk berfikir
secara mendalam dalam permasalahan atau alam yang mengitarinya. Bukan hanya sekedar melihat
tanpa difikirkan, sebab al-Qur’an memerintahkan untuk berfikir secara kritas. Dengan berfikir secara
kritas terhadap alam dan diri manusia sendiri akan menjadi pengantar dalam penemuan siapa
pencipta semua yang ada.

Tidak bisa dipungkiri bahwa penelitian dan pemikir yang muncul dari diri sendiri akan lebih
menyakinkan daripada hanya mengikuti perkataan yang ada atau hanya taklid pada para petua.

Anda mungkin juga menyukai