Anda di halaman 1dari 4

A.

Ego atau Khudi Ketuhanan


Istilah "Ego" (Khudi) secara etimologi berarti "Diri" (self) atau Person (Iqbal,
1983). Kata Khudi secara harfiah berarti kedirian dan individualitas. Ego merupakan
suatu kesatuan yang nyata dan benar-benar mempunyai arti yang merupakan pusat dan
landasan keseluruhan organisasi kehidupan manusia. Ego (Khudi), bagi Iqbal berarti
pikiran (mind) dan kesadaran (consciousness), sebab dimana ada pikiran dan kesadaran
diri di situ pasti ada kehidupan (M.Rafiuddin, 1972).
Filsafat Iqbal titik tekannya adalah filsafat ego. Ego merupakan awal sekaligus
masalah dasar pemikiran Iqbal. Sebab egolah yang memberi Iqbal jalan menuju
metafisik, karena menurutnya intuisi ego yang membuat metafisik mungkin. Sebab ego
adalah sesuatu realitas yang benar-benar nyata. Ego ada dan keberadaannya terletak
dalam hakikatnya sendiri, dengan institusi itu dapat diketahui bahwa diri benar-benar
nyata dan dapat diketahui hakikatnya secara langsung. Jadi intuisi ego juga memberikan
keyakinan yang kokoh dan langsung atas keberadaan pengalaman, lebih lanjut intuisi
tidak hanya menguatkan keberadaan diri melainkan juga memperlihatkan sifat dan
hakikatnya. Ego seperti yang diketahui lewat intuisi pada dasarnya ialah bersifat
memerintah, bebas dan abadi. Khudi merupakan kesatuan nyata yang secara mantap
merupakan landasan dari keseluruhan kehidupan manusia, iradah kreatif yang terarah
secara rasional yakni hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan suatu prinsip
kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang melingkupi serta
memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai- berai dari organisme yang
hidup ke arah suatu tujuan konstruktif.
Tuhan sebagai Khudi merupakan Hakikat sebagai suatu keseluruhan yang pada
dasarnya bersifat spiritual. Dia adalah suatu Diri (Individu), yang dianggap sebagai Ego
Karena seperti pribadi manusia yang mengorganisasi, dalam arti suatu paduan yang
terikat satu sama lain yang berpangkal pada fitrah kehidupan Organisme-Nya untuk suatu
tujuan konstruktif. Bukan berarti Dia bergantung pada pribadi lain, Ia akan tetap menjadi
Ego tersendiri (Ego Mutlak). Dia bersifat Mutlak adalah karena Dia meliputi segalanya
dan tidak ada sesuatupun di luar Dia.8 Ia adalah Realitas Tertinggi (Ultimate- Reality)
sebagai suatu Ego, dan hanya dari Ego-Tertinggi (Ultimate-Ego) itulah ego-ego bermula.
Tenaga kreatif Ego-Tertinggi dimana laku dan pikiran adalah identik, berfungsi sebagai
kesatuan-kesatuan ego (Ego-Unities). Dunia dengan segala isinya, sejak dari gerakan
mekanis dari apa yang kita namakan dengan atom materi sampai kepada gerakan pikiran
bebas dalam ego manusia, adalah penjelmaan diri (self-revelation) dari ‘Aku Yang
Akbar’.
Manusia tidak lagi melihat ciptaan tapi menciptakan sesuatu, sehingga ia menjadi
sesuatu. Dengan ego, manusia akan lebih mengenal dirinya, untuk apa ia diciptakan dan
apa tugasnya di dunia ini. Karena betapa dan bagaimanapun usaha manusia dalam
merefleksikan kehidupannya, manusia tidak akan pernah mengingkari jati dirinya yang
lemah dan terbatas itu. Karenanya, manusia harus mencari siapa yang lebih kuat darinya,
siapa yang lebih berkuasa dan mempunyai kebebasan lebih darinya. Maka dari itu, ego
akan berusaha menggapai Ego-Tertinggi tersebut, yang dengannya perlu kiat-kiat dalam
meraihnya.
B. Materi dan Kausalitas, Insan Kamil
Insan al-Kamil berarti manusia yang kamil (suci, bersih, bebas dari dosa).4
Sempurna. Lebih lengkapnya, yaitu manusia yang egonya mencapai titik intensitas
tertinggi , yakni ketika ego mampu menahan pemilikan secara penuh, bahkan ketika
mengadakan kontak langsung dengan yang mengikat ego (ego mutlak atau Tuhan).
Gagasan Insan al-Kamil menurut Al-Jili ini, merujuk pada diri Nabi Muhammad
SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al- haqiqah al-
Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad
SAW sebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi
pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini. Pada pengertian ini, seorang yang
sempurna adalah pribadi yang selalu dibawah cahaya Allah, selalu berkehendak untuk
bersikap positif dan kreatif terhadap petunjuk- petunjuk Tuhan.
Oleh karena itu, makna penting pendidikan dalam konteks tersebut adalah
menjadikan pendidikan sebagai media dalam melakukan transformasi peserta didik ke
arah insan al-Kamil. Hal ini, bisa dilihat dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa dunia,
kemajuan yang diraih tidak pernah lepas dari proses pendidikan bangsanya yang terus
menerus lakukan. Artinya, pendidikan benar-benar menjadi media utama untuk meraih
transformasi kepribadian peserta didik, bahkan sebagai tolak ukur kemajuan dan
keberhasilan sebuah peradaban.
Bagi Ibn Arabi, insan al-kamil adalah mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab
sebenarnyalah dia memanifestasikan semua sifat dan kesempurnaan ilahi, dan manifestasi
semacam ini tidaklah sempurna tanpa perwujudan penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan.
Insan kamil adalah miniatur dari kenyataan. Sedangkan menurut Al Jilli, seperti dalam
bukunya ‘Al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil Awakhiri wal Awail mengatakan, manusia
adalah suatu wujud yang utuh dan merupakan manifestasi ilahi dan alam semesta.
Manusia adalah citra Tuhan dengan alam semesta. Manusia adalah tujuan utama yang ada
di balik penciptaan alam, karena tiada ciptaan lain yang mempunyai sifat-sifat yang
diperlukan untuk menjadi cermin sifat-sifat ilahi yang sesungguhnya.
Menurut Iqbal, konsep Ibn Arabi dan Al Jilli tersebut, melemahkan khudi dan
membunuh individualitas. Konsep insan kamil yang Iqbal ingini adalah mirip konsep
ubermensch (Superman)-nya Nietzsche. Jika ubermensch Nietsche lahir dari ‘kematian
tuhan’ (God is dead) maka insan al-kamilnya Iqbal adalah makhluk moralis, yang
dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi, yang untuk menumbuhkan kekuatan di
dalam dirinya ia senantiasa meresapi dan menghayati akhlak ilahi. Proses menjadi insal
kamil bukan terjadi begitu saja tapi melalui proses- proses; (1) ketaatan kepada hukum,
(2) penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi, dan (3)
kekhalifahan Ilahi.
Untuk mencapai strata Insan al-Kamil, seorang mistikus harus melewati tiga
langkah (barzakh): al-bidâyah, al-tawasuth dan al-khitâm. Pertama, seseorang harus
mampu berperilaku sesuai dengan cerminan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Di level
ini seorang sufi disinari oleh nama dan atribut Tuhan; sufi pengasih dan penyayang akan
memperoleh sinaran kasih sayang Tuhan. Pada level ini sufi akan menjadi khalifah dan
gambar Tuhan, sebagaimana dalam haidts “Adam diciptakan seperti gambar Allah al-
Rahman”. Kedua, seorang sufi harus mampu menyerap status kemanusiaan sekaligus
hakikat ketuhanan. Sufi yang telah mencapai level ini dapat menerawang misteri- misteri
alam ghaib. Ketiga, seorang sufi harus mengetahui hikmah di balik penciptaan. Dengan
hal itu, sufi akan mengapai kekramatan supra-natural. Dalam terminologi al-Jili,
nomenklatur ‘Insan al-Kamil’ secara etis hanya boleh disematkan kepada Muhammad
saw. Namun ketika Muhammad saw ‘menjelma’ dalam diri para nabi dan wali, maka
para nabi dan wali tersebut juga sah disebut sebagai Insan al-Kamil. Titisan-titisan
Muhammad selalu muncul pada setiap generasi untuk kepentingan umat. Mereka adalah
al-Khulafa, para pengganti Muhammad. Salah satu titisan Muhammad, menurut al-Jili,
adalah Syaikh Syarf al-Din al-Jabarti. Dalam konteks ini, al-Jili menolak dengan keras
jika teori ‘penjelmaan Muhammad’ disebut sebagai bentuk ‘reinkarnasi’
(tanâsukh/metempsychosis).

Anda mungkin juga menyukai