Anda di halaman 1dari 7

TAJALLI AL-HAQQ DAN AL-INSAN AL-KAMIL DALAM PANDANGAN IBN

‘ARABI
Putri Nurani, Lailatul Maghfiroh, Zahraini Jannatul Firdaus
Putrinurani2001@gmail.com , lailatulmagfiroh074@gmail.com , zahrainigf@gmail.com

Abstrak
Ibnu ‘Arabi membuat keterkaitan yang sangat jelas manifestasi sempurna wujud dalam peran
Manusia di dalam kosmos. dengan doktrinya yang terkenal ”manusia sempurna” yakni manusia
yang mampu mengaktualisasikan semua potensialitas batinnya sesuai sifat dan asma Tuhan
secara lengkap dan total. Di satu pihak dalam Manusia sempurna yang sangat berbeda dengan
makluk lain. manusia yang mampu mewujudkan kausalitas yang terpuji. Insan kamil ini
menjadi teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang dan segala kebaikan moral serta spiritual
manusia. Mereka membibing individu dan masyarakat ke tingkatan tertinggi yakni Tuhan, dan
insan kamil bertindak mencerminkan tindakan al-Haqq, dan mengarahkan kepada kebahagiaan
tertinggi di alam akhirat, dalam manifastasi manuisawinya Ia seperti Nabi dan para auliya’.
Kata Kunci: Ibn Arabi, al-Haqq, dan Insan Kamil
Abstract
Ibn 'Arabi makes a very clear connection with the perfect manifestation of being in the role of
Man in the cosmos. with its well-known doctrine of "perfect man" namely a human being who
is able to actualize all of his inner potentialities in accordance with God's nature and attributes
completely and totally. On the one hand, the perfect human being is very different from other
creatures. human beings who are able to realize commendable causality. This perfect human
being is a role model for wisdom, compassion and all human moral and spiritual goodness.
They guide individuals and society to the highest level, namely God, and human beings act to
reflect the actions of al-Haqq, and lead to the highest happiness in the afterlife, in his human
manifestations he is like the Prophet and his auliya'.
Keywords: Ibn Arabi, al-Haqq, and Insan Kamil
Pendahuluan
Akhlak dalam tasawuf sangat-sangat dibutuhkan bagi manusia khususnya umat
Islam. Oleh karena itu khususnya bagi umat islam haruslah tahu apa arti ajaran-ajaran
sufi atau pemahaman dalam aliran sufi itu, agar dalam mengamalkan tepat pada sasaran
yang sesuai dengan kaedah agama yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw,
pada zaman sekarang banyak dari golongan-golongan umat muslim yang menyimpang
dari ajaran agama, maka dari itu untuk menjadi pedoman atau contoh dalam makalah
ini kami akan membahas sedikit apa yang terdapat dalam ajaran-ajaran sufi yang dapat
kita teladani.
Para sufi percaya bahwa orang biasanya mengikuti nafsu mereka. Dia sering
mencoba untuk mengatur dunia atau ingin menguasainya. Al-Gazali menegaskan
bahwa cara hidup seperti ini akan mendorong umat manusia ke ambang kehancuran
moral. Tujuan keseluruhan orang telah berubah termasuk menikmati hidup. Dengan
sudut pandang ini, manusia melupakan fakta bahwa mereka adalah makhluk yang
berada di bawah kendali Tuhan dan harus menaati hukum-hukum-Nya. Seseorang yang
bercita-cita memasuki kehidupan sufi harus melewati beberapa fase yang sangat sulit
untuk memperbaiki kondisi mental negatif ini. Tujuannya adalah untuk mengendalikan
emosi, menundukkannya ke level terendah, dan, jika memungkinkan, memadamkannya
sepenuhnya. Ada tiga tingkatan di panggung: takhalli, tahalli, dan tajalli. Untuk
pendalaman materi yang sudah dilewati pada fase tahalli, maka tahapan selanjutnya
untuk menyempurnakan ada di fase tajalli.
Pembahasan
A. Tajalli al-Haqq
Kata “tajali” (Tajalli) merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri
Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal
dari kata Tajallah atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”.
Konsep tajali beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt dalam kesendirian-Nya
(sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya
alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin
melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan bahwa Tuhan
berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajali.
Proses penampakan diri Tuhan itu diuraikan oleh Ibn ’Arabi. Menurutnya, Zat
Tuhan yang mujarrad dan transendental itu bertajali dalam tiga martabat melalui sifat
dan asma (nama)-Nya, yang pada akhirnya muncul dalam berbagai wujud konkret-
empiris. Ketiga martabat itu adalah martabat Ahadiyah, martabat Wahidiyah, dan
martabat tajalli syuhudi.
Pada martabat Ahadiyah, wujud Tuhan merupakan Zat Mutlak lagi mujarrad, tidak
bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat dipahami ataupun dikhayalkan.
Pada martabat ini Tuhan—sering diistilahkan al-Haq oleh Ibn ’Arabi—berada dalam
keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-’amâ’); tidak sesudah, tidak sebelum,
tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama,
tidak di namai. Pada martabat ini, al-Haq tidak dapat dikomunikasikan oleh siapa pun
dan tidak dapat diketahui.
Martabat Wahidiyah adalah penampakan pertama (ta’ayyun Awwali) atau disebut
juga martabat tajali zat pada sifat atau faydh al-aqdas (emanasi paling suci). Dalam aras
ini, zat yang mujarrad itu bermanifestasi melalui sifat dan asma-Nya. Dengan
manifestasi atau tajali ini, zat tersebut dinamakan Allah, Pengumpul dan Pengikat Sifat
dan Nama yang Maha sempurna (al-asma al-Husnah, Allah). Akan tetapi, sifat dan
nama itu sendiri identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa,
tetapi Ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam
semesta atau entitas permanen (al-’a’yan tsabitah).
Martabat tajalli syuhudi disebut juga faidh al-muqaddas (emanasi suci) dan
ta’ayyun tsani (entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua). Pada martabat
ini Allah Swt bertajali melalu asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam
kasatmata. Dengan kata lain, melalui firman “Kun” (jadilah), maka entitas permanen
secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan
demikian, alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan
lokus atau mazhar tajali al-Haq. Alam yang menjadi wadah manifestasi itu sendiri
merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain laksana ’aradh atau
aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam.
Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula dalam tasawuf.
Menurut Ibn ’Arabi, selama ada Allah, maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan
tenggelam tanpa akhir.
Konsep wahdat al-wujud merupakan konsep dasar metafisika Ibn al-‘Arabi yang
Terkait erat dengan konsep insan al-kamil (manusia sempurna), inti sari ajaran
Tasawufnya. Konsep wahdat al-wujud Ibn al-‘Arabi berawal dari pandangan bahwa
Wujud dalam pengertian yang sebenarnya adalah realitas tunggal dan tidak dapat
Menjadi dua wujud, satu-satunya wujud itu adalah wujud Tuhan. Sementara
wujudwujud yang lain selain wujud Tuhan hanyalah sebagai bayang-bayang dan
merupakan Penampakan dari semua kualitas-kualitas-Nya dalam wujud yang terbatas.
Kata haqq menurut ibn Arabi adalah Allah, Sang pencipta, Yang Esa, wujud dan
wajib, sedangkan al-khal adalah alam makhukyang banyak al-maujudat dan al-
mumkinat. Secara tekhnis Ibn al-‘Arabi menggunakan istilah al-haqq dan al-khalq
untuk Menunjuk kedua pengertian wujud di atas. Al-haqq digunakan untuk menyebut
esensi (substansi) dari semua fenomena dan al-khalq digunakan untuk menunjuk semua
Fenomena yang memanifestasikan esensi itu. Kedua Istilah ini sebenarnya muncul
hanyalah sebagai tanggapan dari akal semata dan tidak Lain hanyalah sebutan bagi dua
hal dari satu hakikat, yakni wujud Tuhan. Sebagaimana Yang dikatakan oleh Ibn al-
‘Arabi sendiri : “ ...Tetapi al-Haqq dan al-Khalq adalah dua Aspek bagi wujud yang
satu atau realitas yang satu.1
B. Insan al-Kamil
Tiga jenis istilah yang digunakan dalam Al-Qur'an untuk merujuk pada konsep
manusia: (1) al-insan, al-ins, dan al-nas, atau unas; dan (2) al-basyar. Kedua kata ini
memiliki penekanan yang berbeda meskipun pada kenyataannya keduanya
mempertahankan konsep manusia. Istilah al-Nas muncul 240 kali dan mencakup 53
huruf dalam Al-Qur'an. Terlepas dari tingkat kepercayaan atau ketidakpercayaan
mereka, semua manusia digambarkan dalam kata al-nas sebagai makhluk sosial,
makhluk hidup. Yang dimaksud dengan “al-Nas” adalah sekelompok individu atau
masyarakat yang melakukan berbagai aktivitas (kegiatan) dalam rangka memajukan
kehidupannya.
Menurut etimologi, basyar mengacu pada tubuh, wajah, atau kulit kepala tempat
tumbuhnya rambut. Dalam hal ini, perbedaan biologis umum antara manusia dan hewan
lain yang bulu atau rambutnya mendominasi dapat dilihat. Al-Basyar juga bisa merujuk
pada mulasamah, atau kontak fisik antara laki-laki dengan perempuan. Makna
etimologi dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk dengan segala keterbatasan
dan keistimewaan manusia, seperti makan dan minum, keamanan, dan kebahagiaan.
Al-basyar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut Allah bagi semua orang, tanpa
membeda-bedakan, termasuk keberadaan para Nabi dan Rasul. Meski berbagi
kenyamanan dengan manusia pada umumnya, ia juga menonjol dengan cara yang unik
dari manusia lain. Al-Qur'an membuat perbedaan antara wahyu ilahi dan tanggung
jawab kenabian yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Kenyamanan mereka di

1
Khamid, 2014. Wahdat Al Wujud dan Insan Kamil Menurut Ibnu Al arabi(Kajian Tasawuf Moderen). Vol. 10,
No. 1
sekitar orang lain adalah kualitas lain dari mereka. Mereka adalah satu-satunya yang
mendapatkan wahyu; wahyu tidak diberikan kepada semua manusia. Firman Allah
SWT.
Adapun insan yang terdapat dalam konsep insan al kamil Ibn arabi adalah
manusia yang sempurna dari segi fisik dan kecerdasannya. Kesempurnaan manusia
adalah manifestasi Tuhan yang dihasilkan dari pencerminan sifat-sifat Tuhan. Menurut
sisi pengetahuan, makrifat, atau realisasi hakikat Tuhan, adalah derajat yang dapat
diklaim oleh manusia. Ibnu Arabi dianggap sebagai penemu ungkapan "insan kamil"
pada abad ketujuh. Meskipun maknanya sudah dipahami dengan baik sebelum Ibnu
Arabi, namun belum pernah ada yang menggunakan ungkapan insan kamil. Misalnya,
Abu Yazid al Bustami mengemukakan gagasan al-wali al-kamil pada abad ketiga H.
(wali sempurna).
Ibnu Arabi menegaskan bahwa agar manusia menjadi manusia seutuhnya harus
meneladani Nabi Muhammad. dengan mengikuti petunjuknya. Karena orang yang tidak
bercela ini adalah tajalli Tuhan yang terlihat sempurna. Dua kalimat syahadat
merangkum semua ajaran ini. Kemudian, dalam realitas ganda ini, keberadaan absolut
itu terwujud dengan sempurna. Tajalli ini terjadi bersamaan dengan saat Tuhan
menggunakan sifat-Nya untuk mewujudkan alam semesta. Abdul Karim al-Jili
menyarankan untuk membagi Insan Kamil menjadi tiga tingkatan. Tingkat pertama,
atau awal, di mana seseorang pertama kali mengenali sifat-sifat ketuhanan dalam diri
manusia. Kedua, sedangkan pada tingkat awal menyadari sifat-sifat Tuhan, pada tingkat
ini naik satu tingkat karena semakin banyak informasi yang diberikan oleh Tuhan,
tingkat menengah at-tawasut dalam hal ini tetap pada realitas cinta Tuhan. Tingkatan
terakhir, al-Khitam yaitu mampu merealisasikan citra Tuhan secara utuh dan mampu
mengetahui segala rahasia takdir yang akan datang. 2
Kata Ibn Arabi , apapun yang kita sifatkan kepada Tuhan, maka manusialah
sifat itu. Manusia menjadi bagian dari Tuhan, yang terpantul dari penciptaan alam. Ia
berwujud di dalam hamparan alam. Yang dengannya pula menjadikan imajinasi
darinya. Menurutnya manusia ideal (insan kamil) memiliki dua kedudukan, yaitu:
1) Sebagai khalifah (wakil) Tuhan dimuka bumi.
Dalam hal ini diyakini bahwa penciptaan dan pemeliharaan alam semesta ini
disebabkan oleh orang yang ideal. Dengan kata lain, alam semesta dan segala isinya
akan musnah jika manusia ideal tidak ada. Hal ini karena hanya manusia ideal yang
dapat mencapai tujuan penciptaan alam semesta, yaitu agar alam memanifestasikan
secara sempurna nama dan sifat Tuhan. Orang yang ideal melayani masyarakat
sebagai wakil Tuhan dengan memupuk kekayaan, keadilan, dan perdamaian. Ibnu
Arabi tampaknya telah meminjam gagasan khalifah (wakil) Tuhan dari konsepsi
Islam tentang manusia, yang menekankan baik kerendahan hati maupun elevasi
manusia (khususnya, sebagai khalifah-Nya) (sebagai hamba-Nya). Bersama-sama,
kedua unsur ini membentuk sifat dasar manusia.3
2) Manusia Ideal (insan kamil)

2
Ibnu Ali. Nilai-Nilai Dasar Pendidikan tasawuf dalam paradigma Mistik Ibnu Arabi Tentang Insan Kamil Dalam
Jurnal El-Furqania. Vol. 04, No. 01, Hal. 21, 2017.
3
Khamid Al Hamidiyah. Wahdat Al Wujud Dan Insan Kamil Menurut Ibnu Al Arabi ( Kajian Tasawuf Modern).
Dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani Vol. 10, No. 1, Tahun. 2014 hal. 106
Dia berstatus qutb (penjaga tertinggi) yang memiliki pengetahuan esoteris ('ilm
al-ladunni), yaitu informasi yang secara langsung diakui sebagai kebenaran dan
menghasilkan hasil yang sangat persuasif. Akibatnya, manusia ideal dipuja sebagai
otoritas sejati. Selain menjadi khalifah, Insan Kamil dianggap memiliki
pengetahuan esoteris, yang oleh Ibnu Arabi disebut sebagai pengetahuan suci ('ilm
alladunni), pengetahuan rahasia ('ilm al-asrar), atau jenis pengetahuan tertinggi
yang mungkin dicapai. manusia tanpa wahyu. Ia merupakan persepsi langsung
terhadap kebenaran, sehingga hasilnya pun diyakini sepenuhnya. Pengetahuan ini
merupakan karunia dari Tuhan setelah seseorang menempuh penyucian rohani.
Sebenarnya sumber pengetahuan esoterik itu berada dalam diri manusia, tetapi
untuk mencapainya seseorang harus telah menyadari jati dirinya. Orang yang telah
menyadari jati dirinya itulah insan kamil, yang dipandang sebagai wali tertinggi
atau qutb (paros). Dalam struktur hirarki spiritual sufi, qutb dipandang sebagai
pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap jaman. Selain
itu ia dipandang sebagai pemegang jabatan khalifah, Diantara mereka adalah:
khulafa' al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali), Hasan Ibn Ali, `Umar ibn
Abdul 'Aziz, Abu Yazid al-Bustami, dan lain-lain.
Pengertian Insan Al-kamil
Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya.
Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi
sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan
secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah
mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan
Tuhan, yang disebut makrifat.8 Ibn Arabi memandang insan kamil sebagai wadah
tajalli Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa
segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud
mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah
esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan
sesuatu. Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alamsemesta
yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan dengan penciptaan alam
yang dilakukan oleh Tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada.
Bagi para sufi, alam dunia adalah cermin dan sifat-sifat Tuhan dan nama-nama
indah-Nya (al-asma’ al-husna). Masing-masing tingkat eksistensi yaitu mineral,
tumbuhan dan hewan dipandang mencerminkan sifat-sifat tertentu Tuhan. Di
tingkat mineral, misalnya, keindahan Tuhan tercermin sampai batas tertentu, dalam
batu- batuan atau logam mulia. Demikian juga dalam dunia tumbuh-tumbuhan
ribuan jenis bunga-bunga dengan aneka warnanya yang unik dan serasi tidak henti-
hentinya mengilhami para penyair dengan inspirasi yang sangat mengesankan.
Begitu pula, pesona yang diberikan oleh berbagai jenis hewan yang sangat beraneka
bentuk dan posturnya. Tetapi dari semua makhluk yang ada di alam dunia, tidak
ada yang bisa mencerminkan sifat-sifat Tuhan secara begitu lengkap kecuali
manusia. Ini karena manusia sebagai mikrokosmos yang terkandung di dalamnya
seluruh unsur kosmik, bisa mencerminkan seluruh sifat Ilahi dengan sempurna,
ketika ia telah mencapai tingkat kesempurnaannya, yang disebut insan kamil,
manusia sempurna, atau manusia universal.
Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya
Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-
Muhammadiyah). Hakikat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajalli
Tuhan yang sempurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan
oleh Tuhan.11 Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang
paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya,
karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik
alam fisika maupun metafisika. Hati insan kamil berpadanan dengan arasy Tuhan,
“ke-Aku-an”nya sepadan dengan kursi Tuhan, peringkat rohaninya dengan sidratul
muntaha, akalnya dengan pena yang tinggi, jiwanya dengan lauh mahfuz, tabiatnya
dengan elemen-elemen, kemampuannya dengan hayula, tubuhnya dengan haba’
dan lain-lain.Bani Adam secara potensial adalah insan kamil, meski hanya di
kalangan para nabi dan wali saja potensi itu menjadi aktual.
Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan. Tingkat pertama disebutnya
sebagai tingkat permulaan (al-bidayah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat
merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya. Tingkat kedua adalah tingkat
menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat
kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqaiq ar-rahmaniyah).
Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga
telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib
telah dibukakan Tuhan kepadanya. Tingkat ketiga ialah tingkat terakhir (al-khitam).
Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Di
samping itu, ia pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.
Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.14 Akan
tetapi, insan kamil yang muncul dalam setiap zaman, semenjak Adam a.s. tidak
dapat mencapai peringkat tertinggi, kecuali Nabi Muhammad saw.
Jadi setiap manusia secara potensial merupakan citra Tuhan, pada insan kamil
potensi itu menjadi aktual, karena pada dirinya termanifestasi nama-nama dan sifat
Tuhan. Tetapi citra itu belum sempurna sampai ia menyadari kesatuan esensialnya
dengan Tuhan. Setiap insan kamil adalah sufi, karena kesadaran seperti itu hanya
bisa diperoleh di dalam tasawuf.

Kesimpulan
Tidak ada yang ada selain Tuhan, dan hanya ada satu Wujud, yaitu Tuhan, seperti yang
disembunyikan oleh kelompok sarjana lainnya. Segala sesuatu yang lain, selain Tuhan,
hanyalah manifestasi dari Wujud Ilahi; itu sendiri tidak ada. Bayangan Tuhan adalah alam.
Alam tidak memiliki eksistensi independen selain dari bentuk pinjaman atau turunan dari
Tuhan. Meskipun satu, Al-Haqq (Tuhan) dan Al-Khllaq (alam) tetap berbeda.
Dalam menjalani kehidupannya, tak jarang manusia menghadapi berbagai
permasalahan. Dalam Islam, datangnya sebuah permasalahan, atau musibah kadang ditafsirkan
menjadi dua hal yaitu antara cobaan atau azab. Dari musibah tersebut, manusia tak jarang
terjangkit gangguan jiwa. Namun, psikoterapi yang sering dikunjungi manusia adalah
psikoterapi modern yang tidak menganggap jiwa merupakan salah satu bagian dari diri
manusia. Di samping itu, Islam mempunyai metode spiritual healing yang absolut, sehingga
tidak terjadi efek samping dalam pengaplikasiannya.
Salah satu ulama Muslim yang merumusakan metode spiritual healing adalah Ibnu
Arabi. Konsep yang ia suguhkan adalah konsep insan kamil. Dalam metode ini, Ibnu Arabi
menggagas konsep Fana’ dan Baqa’. Dengan konsep fana’dan Baqa’, Ibnu ‘Arabi memberi
pengertian Fana’ dan Baqa’ dalam dua pengertian. Pertama, Fana’ berarti sirnanya diri dari
sifat-sifat tercela (almadhmumah) dan Baqa’ berarti kekalnya diri dalam sifat-sifat yang mulia
(al-mahmudah). Jika shahwat kediriannya terhadap hal-hal duniawi telah sirna maka seseorang
telah Baqa’ dalam mencapai niat yang ikhlas dalam ibadahnya.
Daftar Pustaka
Akilah Mahmud.2014. Insan Kamil Perspektif Ibn Arabi. Vol.9, No. 2
Ibnu Ali. Nilai-Nilai Dasar Pendidikan tasawuf dalam paradigma Mistik Ibnu Arabi Tentang
Insan Kamil Dalam Jurnal El-Furqania. Vol. 04, No. 01, Hal. 21, 2017.
Khamid Al Hamidiyah. Wahdat Al Wujud Dan Insan Kamil Menurut Ibnu Al Arabi ( Kajian
Tasawuf Modern). Dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani
Vol. 10, No. 1, Tahun. 2014 hal. 106
Khamid, 2014. Wahdat Al Wujud dan Insan Kamil Menurut Ibnu Al arabi(Kajian Tasawuf
Moderen). Vol. 10, No. 1

Anda mungkin juga menyukai