Anda di halaman 1dari 4

Ayn Tsbitah dan Nafas Ra mni

Ayn Tsbitah Al-ayan ( ,)bentuk plural dari al-ayn ( )yang sepadan dengan entity (entitas), essence (esensi), dan source (sumber/mata air), eye (mata). Dengan ayan dimaksudkan untuk menyebut banyak entitas-entitas yang terpisah satu sama lain, satu entitas bersifat partikular dan distingtif dari entitas lain. Partikularitas dan distingsi pada setiap entitas ini erat kaitannya dengan esensi mereka masing-masing. Jika mengacu pada makna esensi, maka satu entitas terbedakan dari entitas lain secara esensial. Hal ini karena dengan ke-apa-an/whatness/esensi/mahiyah-nya, sesuatu dimengerti sebagai yang berbeda dari yang lain. Dua benda, meski berasal dari substansi yang sama, tampak berbeda dalam terang esensinya masing-masing. Kursi berbeda dari meja, meski substansinya sama-sama kayu. Jika mengacu pada makna source, bisa dikatakan bahwa suatu entitas menjadi sumber bagi munculnya entitas lain sebagai turunannya (derivasi). Hal ini karena setiap entitas memiliki potensi (atau memiliki sisi potensial) untuk diaktualisasikan pada substansi dan/atau forma lain: bertrans-substansi dan bertrans-formasi. Perubahan tersebut tidak mengimplikasikan perubahan pada entitas-sumber, karena sudah terpisahkan oleh batas-batas aktualisasinya, seperti induk melahirkan anak. Jika mengacu pada makna mata/eye, menurut spekulasi saya, maka suatu entitas menampilkan diri pada lokus penglihatan. Sebagaimana mata hadir pada dan bagi penglihatan, demikian juga entitas hadir pada dan bagi fakultas persepsi. Tentunya perlu diperjelas bahwa bukan entitas itu berfungsi sebagai mata, tetapi ia menempatkan diri pada lokus persepsional. Tinjauan etimologis ini sangat menunjang bagi dipahaminya makna ayan dalam terminologi sufisme. Sedangkan tsabitah berarti tetap, tak berubah, pasti. Sifat tetap dan tak berubah ini ditambahkan bagi ayan untuk menegaskan sisi ketetapan dan ketidakberubahannya. Apapun yang muncul dari ayan sebagai sumber, tak mengimplikasikan keberubahannya. Dikatakan ditambahkan karena keduanya, yakni dzat dan sifatnya, terpisah (secara tafriqah) dan tak semua dzat (esensi) bersifat tetap. Dengan dilekatkannya sifat pada dzat, maka keduanya menjadi satu himpunan dalam ketunggalan (secara jam). Secara terminologis, mengacu pada definisi Dawud al-Qayshari, ayan tsabitah adalah forma-forma intelijibel dari Nama-nama ilahi, dengan ketentuan dan hubungan yang spesifiknya masing-masing, di dalam hadirat pengetahuan ilahi. Definisi ini menjadi lebih jelas ketika dikaitkan dengan doktrin sufistik tentang hierarki wujud dan posisi ayan tsabitah di antara nama-nama ilahi dan alam ciptaan. Dalam hierarki wujud, posisi ayan tsabitah berada di dalam hadirat Nama-nama ilahi. Hierarki Wujud sendiri merupakan tingkatan-tingkatan dimana Wujud memanifestasikan-Diri

sedemikian rupa sesuai kapasitas dan kapabilitas dari tingkatan-tingkatan tersebut, bermula pada level Dzat yang gaib-total ( ) yang identik dengan level ahadiyah )) yang bermanifestasi pada level wahdah ( ) lalu pada level di bawahnya, wahidiyyah ( ,) berlanjut pada tingkatan-tingkatan yang lebih rendah. Sebagai forma bagi Nama-nama ilahi dalam level wahidiyyah, maka ayan tsabitah termasuk lokus manifestasi ilahi. Karena itu, tak salah jika al-Hallaj menyatakan, dari sisi persepsi, Nama-nama ilahi hanya sekadar nama: tapi dari sisi Yang-Riil ( ,) Namanama ilahi adalah realitas ( .) Demikian itu karena tiada realitas kecuali ia memiliki efek-pengaruh, yang pada realitas Nama-nama ilahi efekpengaruh itu pertama-tama- tertuju pada ayan tsabitah. Contoh, realitas air akan mendatangkan efek basah, realitas api mendatangkan efek panas, tidak demikian jika sekadar nama air atau api. Tingkatan/level-level itu terkait dengan apa yang disebut taayyun, dengan konsep ini dimaksudkan untuk mengkonsepsikan bagaimana ketunggalan mutlak ilahi memanifestasikan-diri pada pelbagai lokus alam, suatu keadaan dimana Ketunggalan itu mentajallikan-Diri dalam bentuk partikularitas-partikularitas yang plural. Keadaan dimana yang-tunggal berentifikasi/mempartikulasikan-diri menjadi entitas-entitas distingtif yang plural ini diistilahkan dengan taayyun. Taayyun ini diibaratkan seperti keberadaan si Fulan sebagai ayah, suami, kakek, paman secara sekaligus tanpa harus menjadi banyak pribadi, tergantung bagi siapa ia menjadi ayah, bagi siapa ia menjadi suami, dan seterusnya. Berkenaan dengan Nama-nama ilahi, Allah adalah Yang-Maha pengasih bagi yang dikasihiNya, Yang-berkuasa bagi yangdikuasaiNya, Yang-berkehendak bagi yang dikehendakiNya, dan seterusnya. Inilah maksud taayyun Dzat pada level Nama-namaNya (level Wahidiyyah). Dari sudut pandang hierarki wujud, ada dua taayyun, dimana ayan tsabitah berada di tataran taayyun kedua bersama Nama-nama ilahi di bawah taayyun pertama yang ditempati oleh hakikat Muhammad ( .) Hubungan ayan tsabitah bagi Nama-nama ilahi di dalam hadirat pengetahuan ilahiyah seperti hubungan forma bagi esensi, sebagaimana alusi Dawud al-Qayshari di atas. Dalam hal ini perlu dipisahkan antara hierarki wujud dan hierarki alam dengan mengacu pada perbedaan antara wujud dan maujud, al-Haqq dan al-kholq. Dari sudut pandang hierarki alam ciptaan, menurut Fadhlullah Burhanpuri, ada tiga tingkat taayyun di mana ayan tsabitah berada pada level di bawah ketentuan-ketentuan ilahi (sunnatullah?). Sedangkan level taayyun ketiga, tak lain merupakan entifikasi di tataran wujud eksternal ( .)Pada tataran terakhir inilah segala entitas menjadi tampak secara dzahir, baik secara fisik maupun nonfisik, jasmani ataupun ruhani. Jika tidak demikian, tentu malaikat akan dipandang sebagai sekadar potensi non-substansial, dan ini keliru. Malaikat merupakan maujud eksternal-substansial yang dipersepsikan secara nonfisik/spiritual. Dawud al-Qayshari menganalogikan posisi ayan tsabitah, bagi Nama-nama ilahi seperti tubuh bagi ruh, bagi wujud eksternal (alam) seperti ruh bagi tubuh. Skema al-Qayshari

memperlihatkan posisi ayan tsabitah sebagai mediasi/barzakh ( )antara aspek ilahiyah dan aspek non-ilahiyah. Bisa pula dikatakan: antara transendensi dan imanensi. Melalui posisinya sebagai tubuh bagi ruh, seorang arif berkemungkinan menyaksikan ayan tsabitah melalui penyingkapan maknawi-shuri (makna-forma) sekaligus. Karena itu, menurut Ibnu Arabi, penyingkapan ayan tsabitah adalah puncak tertinggi penyingkapan mistis. maka jangan harap yang lebih dari ini, katanya. Sebagai mediasi, ayan tsabitah tidak bersifat transenden sepenuhnya atau imanen mutlak. Tetapi pada dirinya terhimpun sisi transenden dan sisi imanen sekaligus. Hal ini diperkuat oleh ajaran Ibnu Arabi bahwa antara alam satu sama-lain selalu dipisahkan oleh barzakh, alam manusia menjadi barzakh antara alam malaikat dan alam binatang, alam binatang sendiri menjadi barzakh antara alam manusia dan alam benda mati, pikiran adalah barzakh antara tulisan ini dan pembacanya. Transendensi ayan tsabitah dikonstitusikan oleh keberadaannya sebagai forma di dalam pengetahuan ilahi, sedangkan imanensinya tersubstitusikan oleh derivasinya di dunia eksternal. Karena itu, senada dengan arti source (sumber), ayan tsabitah sinonim dengan, dalam istilah Henry Corbin, eternal haecceities atau principial possibilities. Ibnu Arabi, dalam al-Durrah al-Baydha, menyatakan sifat ketakterciptaan ayan tsabitah dan kontingensinya sekaligus. Gagasan bahwa ia kontingen (maujud-mumkin) sekaligus azali sekilas tampak absurd. Maksud Ibnu Arabi adalah kontingensi ayan tsabitah dikarenakan aktualisasinya (ijad, ) bergantung pada kehendak ilahi, sedangkan esensinya sendiri azali di dalam pengetahuanNya, ia bukan sesuatu yang diciptakan ( ) karena tiada penciptaan di dalam keazalian. Dalam keadaan kontingen dan posibel ini, Ayan tsabitah dikatakan sebagai ketiadaan-potensial ( ) sebagaimana ungkapan Ibnu Arabi: ia tidak mencium wewangian wujud. Chittick megistilahkannya dengan supreme archetypes, atau immutable essences. Entitas eksternal muncul dari entitas-tetap, entitas-tetap sebagai forma intelijibel dari Nama-nama ilahi, Nama-nama ilahi tercakup secara global dalam Hakikat Muhammad, Hakikat Muhammad sebagai manifestasi-Diri pertama Dzat ilahiyah. Demikianlah, dikatakan di dalam kitab suci bahwa Allah meliputi segala sesuatu, dengan ilmu dan wujud. Harus segera ditambahkan, kemeliputan itu alih-alih tidak mengimplikasikan perubahan apapun pada Dzat-Nya yang ghayb muthlaqtidak berpengaruh apapun pada keesaanNya. Awan Primordial Nafas al-Ra mn Kemunculan alam sebagai manifestasi-ilahi tidak melulu dipahami dari sisi esensial dan formalnya, dalam kaitannya dengan Nama-namaNya. Aktualisasi ayan tsabitah ke dalam wujud eksternal bergantung pada kehendak ilahi dimana materi-materi substansialnya dimungkinkan oleh apa yang disebut al-ama ( )atau awan-primordial. Barangkali istilah ini identik dengan hyle (materi-dasar, hayula, )menurut temuan para filsuf Yunani presocratic.

al-Ama adalah awan primordial yang siap menerima ketentuan dari Nama-namaNya dan forma ayan tsabitah sekaligus sebagai hakikat tunggal, pada saat yang bersamaan al-ama ini melimpahkan substansi yang telah terformakan pada entitas eksternal. Karena itu, dikatakan bahwa al-ama bersifat reseptif dan konstruktif sekaligus. Hal ini sesuai alusi Ibnu Arabi: substansi alam dimana forma-formanya menjadi tampak adalah nafas Sang Pengasih. al-Ama sendiri dinisbatkan pada hadis Nabi (Saw.) dalam sabdanya: Tuhan berada di Awan yang, baik di atasnya maupun di bawahnya, tidak ada udara. Hadis yang ditujukan bagi pertanyaan seorang badui ini menemukan takwil mistiknya pada ajaran Ibnu Arabi. Menurutnya, Nafas Sang Pengasih ( ) ini identik al-ama lantaran dari sisi substansinya keduanya sama-sama merupakan uap air. Nafas sebagai uap air menandai suatu proses dari bekerjanya organ-organ hidup dari makhluk hidup. Saya mengira-ngira, mestilah ini ada hubungannya dengan air kehidupan yang konon sempat diminum sedikit oleh Khidhir (As.) hingga ia dipercaya hidup abadi hingga hari ini. Uap sendiri merupakan catharsis unsuriah dari air, dan menjadi barzakh yang menghimpun aspek air dan udara sebagai 2 unsur penting bagi kehidupan. Bisa pula kita memahami, bahwa sebagaimana hembusan nafas muncul dari yang hidup, demikian juga substansi alam muncul dari Yang-Maha hidup. Seperti realisasi spiritual salik dicapai melalui catharsis ruhani (tajrid), realisasi alam melalui catharsis dari air kehidupan dalam bentuk al-Ama. Karena itu, kemunculan alam pada lokus substansial, berhubungan erat dengan keMaha-hidup-an ( )dan Nama ilahi Yang Maha-hidup (al-Hayyu, .)Di dalam uraiannya pada bab 4 Futuhat-nya tentang signifikansi Nama-nama ilahi bagi kemunculan alam, Ibnu Arabi memasukkan Nama al-Hayyu di antara 7 Nama-induk ilahiyah (ummahat al-asma, .) Secara faktual historis di majlis wirid dan sima, tak jarang untuk meng-hidup-kan suasana dzikir Allah Hayy diulang-ulang secara kencang (jahriy). Demikianlah, bahwa di dalam memahami secara mistik eksistensi alam, konsep ayan tsabitah dan al-ama/Nafas Rahmani cukup memadai untuk mendukung perolehan pemahaman demi mengakui secara doktrinal kebesaran dan kebijaksanaan Allah SubnaHu wa Tal. WaLLhu alamu bis shawb

Anda mungkin juga menyukai