Anda di halaman 1dari 3

KONSEP HULUL

Ajaran Hulul dikembangkan oleh Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H). Beliau
adalah tokoh yang paling kontriversial di dalam sejarah tasawuf yang akhirnya menemui
ajalnya di tiang gantungan . Doktrin Hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf
falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari al-ittihad. Keduanya memiliki
persamaan, yaitu bahwa segala sesuatu pada hakekatnya adalah satu, Yang Hakiki.
Adapun perbedaanya, jika dalam Ittihad manusia naik menyatu dengan Ilahi, maka dalam
Hulul ini Tuhan turun dan mengambil tempat dalam diri manusia.
Al-Hulul memiliki pengertian bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat kemanusiaannya
melalui fana dan ekstase . Menurut al-Hallaj, manusia memiliki sifat ketuhanan (lahut)
dan kemanusiaan (nasut), demikian juga dengan Allah. Hal ini didasarkan kepada
peristiwa yang digambarkan dalam al-Qur’an tentang proses penciptaan Adam as, dimana
Malaikat dan Iblis disuruh Allah untuk bersujud kepada Adam (Q.S. Al-Baqarah 34). Al-
Hallaj berpendapat bahwa sebab keduanya disuruh bersujud adalah karena pada diri
Adam as terdapat bentuk yang disebut lahut, artinya Adam as adalah Allah SWT .
Pemahaman ini juga didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori,
Muslim dan Ibnu Hanbal yang berarti “Sesungguhnya Allah SWT menciptakan Adam
sesuai dengan bentuk-Nya” .
Diungkapkan oleh Harun Nasution, sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya
melihat diri-Nya sendiri ( ). Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan
dengan diri-Nya sendiri, dialog yang didalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-
huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Dzat-Nya ( ). Allah melihat
Dzat-Nya dan Ia-pun cinta pada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tidak bisa disifatkan, dan
cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab yang banyak ini. Ia-pun mengeluarkan
dari yang tiada (ex nihilo) bentuk (kopi) dari diri-Nya ( ) yang mempunyai segala sifat
dan nama-Nya. Bentuk (kopi) itu adalah Adam (melalui proses emanasi dalam berbagai
tahap/tingkatan yang akan diuraikan lebih lanjut – pen.). Setelah menjadikan Adam
dengan cara ini, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam ( ). Pada diri Adamlah Allah
muncul dalam bentuknya ( ). .
Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat ketuhanan (lahut), demikian sebaliknya,
pada diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Adam pada kenyataannya adalah Dia.
Teori ini memberikan asumsi bahwa al-Hallaj telah terpengaruh oleh dogma Kristen
tentang inkarnasi, semakin terbukti ketika al-Hallaj menggunakan istilah lahut “devine
nature” dan nasut “human nature”, walaupun teori al-Hallaj ini nampak lebih kompleks
untuk dikatakan sama .
Konsep lain, yang merupakan perincian dari konsep pemaparan tentang kejadian Adam di
atas, sebagaimana diungkapkan oleh Simuh adalah bahwa dalam persoalan terjadinya
alam semesta melalui proses emanasi atau faidl (memancar, melimpah). Dalam hal ini,
Abdul Hakim Hassan dalam kitab-Nya al-Tasawwuf fi al-Syi’ri al-‘arabi menyatakan
sebagai berikut:
Al-Hallaj adalah orang yang mula-mula mengajarkan adanya Nur Muhammad, yaitu
suatu konsep yang kemudian kadang disamakan dengan logos dan kadang pula disebut
Insan Kamil (manusia sempurna). Al-Hallaj mengajarkan bahwa mula pertama yang
diciptakan Allah SWT adalah Nur Muhammad, terciptanya segala apa yang ada (dalam
alam semesta) ini. Dan Nur Muhammad ini bersifat Azali dan Qadim. Adanya
mendahului segala maujud (alam semesta) ini. Maka Muhammad itu (dalam bentuk
hakikinya) adalah Nur Allah, bersifat Azali dan Qadim mendahului setiap makhluk.
Sedang kedudukannya sebagai Rosul Allah adalah manusia bersifat baharu, menjadi
penutup segala Nabi. Diantara segala nur, tidak ada nurnya segala nur yang amat terang
dan qadim selain Nur nya Muhammad yang adanya mendahului Adam dan namanya
mendahului Kalam, lantaran wujud sebelum adanya segala makhluk.

Menurut al-Hallaj, sebagaimana diungkapkan oleh Hamka dalam buku Tasawuf,


Perkembangan dan Pemurniannya, kejadian manusia terbentuk dari dua rupa. Pertama,
rupanya yang Qadim dan Azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang
ada. Ke dua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang nabi dan Rosul yang diutus
Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang Qadim
akan tetap ada meliputi alam . Paham tentang Nur Muhammad ini berpangkal dari hadits
yang sangat popular di kalangan sufi yaitu: Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh
dunia berasal dari cahayaku
Dari uraian di atas, maka jelas bahwa paham al-Hallaj menjelaskan adanya immanensi
Tuhan dalam diri manusia. Teori ini identik dengan emanasi untuk menjelaskan adanya
pancaran Nur Ilahi yang berwujud alam semesta. Pada dasarnya manusia memiliki anasir
keilahian yang immanen dalam dirinya., Dan orangyang mampu mengungkapkan sifat
keilahian dari tabiat kemanusiaannya (nasutnya) berarti mencapai tingkat Insan Kamil
atau Jadi Waliyullah yang suci.
Ajaran ini semakin tergambar jelas melalui sya’irnya:
Maha suci dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya
yang gemilang,
Kemudian kelihatan pada bentuk lahiriahnya pada wujud manusia yang makan dan
minum

Agar manusia memahami kesadaran ini dan dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus lebih
dahulu menghilangkan sifat kemanusiaannya melalui fana’. Kala sifat-sifat kemanusiaan
itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, disitulah Tuhan
dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya, dan ketika itu keadaan adalah bahwa
yang ada pada diri manusia adalah sifat-sifat ketuhanan. Sehingga dalam kesadarnnya
manusia itu adalah Tuhan itu sendiri. Hal ini nyata dalam sya’irnya:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci.
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu
dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Berikutnya ia berkata pula:
Aku adlah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa
yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami .

Dari ungkapan di atas jelas bahwa masih ada wujud manusia dan sama sekali tidak sirna
atau hancur. Jadi hulul hanyalah sebuah figurative (penggambaran keadaan) bukan riil,
karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam keadaan fana’dan dalam iradah Allah
SWT . Atau dengan kata lain, sesuai dengan terminology yang dipergunakannya,
hululnya lahut dengan nasut. Lebih lanjut digambarkan oleh al-Hallaj bahwa pada hulul
terkandung kefana’an total, kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap
tindakan manusia berasal dari kehendak Allah SWT. Manusia, menurutnya,
“sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki
tindakannya” . Karena segala sesuatu adalah dari Allah semata. Konsep bertasawuf Hulul
ini secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema II.
Tidak adanya penyatuan dalam arti riil ini lebih jelas sebagaimana dinyatakannya dalam
sya’irnya:
Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku satu
dari yang benar, maka bedakanlah antara kami .

Dengan demikian, sebagaimana halnya dengan Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj ketika
menyatakan an al-haqq ( ) bukanlah ruh al-Hallaj yang mengucapkan hal itu, tetapi ruh
Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dalam suatu kesempatan, sebagaimana
diungkapkan oleh at-Taftazani dalam buku Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islamy, al-Hallaj
menyatakan:
Barangsiapa mengira bahwa lahut (ketuhanan) berpadu jadi satu dengan nasut
(kemanusiaan) ataupun nasut berpadu dengan lahut, maka kafirlah dia. Sebab Allah
mandiri dalam Dzat maupun Sifat-Sifat-Nya, berbeda dengan dzat dan sifat makhluk-
Nya; dan merekapun sama sekali tidak menyerupai-Nya.
Dan katanya pula …
Seperti halnya nasutku lebur dalam lahut-Mu, tanpa berpadu dengan-Nya, Lahut-Mu
menguasai nasutku, tanpa berpadu dengannya .

Di sini al-Hallaj secara tegas meniadakan segala macam bentuk dan unsur anthropomor-
phisme, walaupun pada awalnya seolah ada kontradiksi pada pernyataan tentang hulul, di
satu kesempatan seolah ada pernyataan tentang penyatuan tapi pada sisi lain dia
menegasikan penyatuan itu. Akhirnya, adalah sangat tidak logis apabila seorang sufi yang
sepanjang hidupnya merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai