Anda di halaman 1dari 12

al-Hallaj

PENDAHULUAN
Wacana seputar sufisme selama ini memang secara tidak langsung telah mendudukkan
tasawuf sebagai bentuk kerinduan universal nurani manusia untuk manunggal dengan Allah swt.
Bila mempertimbangkan objek cakupannya, memang tidak sesederhana ini, namun bisa
saja definisi seperti muncul karena mempertimbangkan keunikan dari tasawuf itu sendiri yang
cendrung mengarahkan seluruh pelakunya untuk mencoba merasakan pengalaman mistik.
Ranah mistisisme pertama kali menarik perhatian para ahli psikologi agama ketika timbul
kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang
mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan. Kondisi ini
digambarkan oleh mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu
dengan Tuhan.
Pengalaman mistik seperti apa yang mampu mengikat hati bahkan perhatian banyak orang
itu, tak tanggung-tanggung hingga mengikutsertakan para psikolog agama untuk terjun
melakukan analisis? tak lain dan tak bukan adalah pengalaman yang pernah dirasakan al-Hallaj
dan tokoh para sufi yang masyhur lainnya.
Siapa yang tak kenal dengan sosok al-Hallaj ? seorang guru sufi yang kondang, seorang
yang pandai merangkai sebuah kata-kata hingga menjadi sebuah syair yang indah bahkan
populer, seorang yang diakui kemampuannya oleh sebagian ulama dalam merealisasikan
ketauhidan serta mampu konsisten dalam hal tersebut, lebih lebih sejarah telah mengukir
namanya sebagai sesosok orang yang sangat kontroversial karena dengan berani mengatakan
“ana al-Haqq” di depan khalayak luas.
Dipilihnya al-Hallaj sebagai tokoh kajian di makalah ini, sebenarnya tak lepas dari sejarah
hidupnya yang terkesan diwarnai oleh ketidakadilan penguasa terhadap dirinya sebagai rakyat
biasa yang padahal mempunyai hak memeluk agama dan menjalankannya sesuai dengan
keyakinannya masing-masing, tapi alhasil, malah mendapatkan nasib yang kurang mujur yaitu
harus mengakhiri masa hidupnya di tiang gantungan.
Selain itu, dipilihnya al-Hallaj juga karena ketertarikan penulis sendiri untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai pengalaman beragama yang dilalui oleh al-Hallaj sampai menemukan titik
puncak dalam pengalaman beragamanya.
Selanjutnya, di makalah ini akan mengupas lebih lanjut mengenai pengalaman beragama
al-Hallaj yang ditinjau dari persfektif Psikologi Agama, namun sebelumnya akan dijelaskan
terlebih dahulu mengenai tarjamahnya al-Hallaj, baik berupa biografinya, perjalanannya
menuntut ilmu, para guru serta muridnya, ajarannya, serta setting historisnya dan sebagainya.

PEMBAHASAN
A. Biografi al-Hallaj
Mengenai asal usul al-Hallaj, nama al-Hallaj bukanlah nama aslinya, melainkan hanya
sebuah laqab yang diberikan orang-orang kepadanya. Ada beberapa pendapat
mengenai laqab al-Hallaj tersebut. Pertama, menurut al-Salma, beliau digelari al-Hallaj karena
ketika ia berada di Wasit, ia menjumpai seorang penenun. Ia berkata : “ Pergilah engkau untuk
menggantikan kesibukanku, aku akan menggantikan kesibukanmu “ hemat cerita, ketika penenun
kembali kepada pekerjaannya semula, ia menemukan kapas-kapasnya telah tersusun dan sejak itu
ia digelari al-Hallaj. Kedua, menurut al-Bughdadi, dengan mengutip cerita anak al-Hallaj sendiri,
bahwa al-Husain mampu menguraikan rahasia-rahasia manusia, dari kemampuannya itulah ia
digelari Hallajul Asrar, kemudian disingkat dengan al-Hallaj, pendapat Ketiga, menurut al-
Taftazani, ia gelari al-Hallaj karena memang pekerjaannya sebagai penenun.[1]
Nama asli beliau adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Mansur ibn Muhammad al-
Baidhawi, lahir di kota Thur, salah satu desa dekat al-Baida di Persia pada tahun 886 M.
Keterangan lain dari Louis Massignon menyebutkan bahwa al-Hallaj lahir pada tahun 858 M.
Banyak para peneliti yang meyakini bahwa sesungguhnya al-Hallaj adalah orang Arab
Yaman karena ibunya dipastikan seorang Arab dari Haristsiya. Namun ada pula yang
berpendapat bahwa ia adalah orang Persia, mengingat kakeknya adalah seorang Persia
penyembah api (zoroastrian), pemeluk agama Majusi sebelum ia memeluk Islam. Disisi lain ada
pula yang mengatakan bahwa al-Hallaj masih berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat
Rasulullah saw. Tetapi yang jelas, ayahnya yang bernama Mansur telah pindah agama menjadi
Islam.[2]
B. Rihlah al-ilmiahnya
Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan sufi-sufi kenamaan, di umurnya yang
ke-16 tahun ia pernah berguru kepada Sahl bin Abdullah al-Tustari, salah seorang sufi terkenal
pada abad ke III Hijriah selama dua tahun lamanya. Sebelumnya ia juga pernah berguru kepada
al-Makki. Tidak lama kemudian ia meninggalkan al-Makki untuk menemui Junaid al-Bughdadi,
namun sayangnya al-Bughdadi menolak untuk mengajarinya.[3] Kemudian ia meneruskan
perjalanannya ke Basrah, setelah itu ia melanjutkan ke Bagdad. Ada juga yang mengatakan
bahwa al-Hallaj juga pernah melakukan perjalanan ilmiahnya ke Mekkah dan India.[4]
Setelah itu, al-Hallaj melancong kesana-kemari mengembara untuk menambah
pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf sehingga tak ada seorangpun syekh ternama,
katanya yang tidak dimintai nasihat dan tuntunannya.[5]
C. Ajaran Tasawufnya
Ada beberapai inti ajaran tasawuf al-Hallaj kadang-kadang dituangkan dalam bentuk syair
dan kadang-kadang berupa nasr dengan kata-kata yang dalam, yang meliputi tiga persoalan
pokok yaitu : Hulul, Haqiqah Muhammadiyyah dan Wahdah al-Adyan.
a. Hulul
al-Hulul adalah ajaran yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia
tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat
kemanusiaannya yang ada dalam tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu.
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia, bertolak dari dasar
pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar,
yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tuhan pun menurutnya, mempunyai sifat
kemanusiaan disamping sifat ketuhanan-Nya. Dengan dasar inilah maka persatuan antara Tuhan
dengan manusia bisa saja terjadi. Dan persatuan inilah, dalam ajaran al-Hallaj disebut dengan al-
hulul (mengambil tempat).
Paham al-Hallaj didasari oleh konsep penciptaan Adam. Menurutnya, sebelum Tuhan
menciptakan makhluk-Nya. Dia hanya melihat dirinya sendiri. Dalam kesendiriannya itu terjadi
dialog antara dia dengan diri-Nya sendiri, dialog yang di dalamnya tidak ada kata-kata ataupun
huruf-huruf. Yang dilihatnya hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Dan dia pun cinta
terhadap zat-Nya itu. Cinta yang tak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab dari
segala yang ada (makhluk-Nya). Kemudian dia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk diri-
Nya dan bentuk itu adalah Adam. Maka pada diri Adamlah, Tuhan muncul dalam bentuk-Nya.
Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari
Tuhan.[6]
Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat
kemanusiaan (nasut). Demikian pula manusia, disamping mempunyai sifat kemanusiaan (nasut),
juga memiliki sifat ketuhanan (lahut) dalam dirinya. Paham al-Hallaj ini dapat pula dilihat dalam
tafsirannya mengenai kejadian Adam (al-Quran surat al-Baqarah ayat 34) yang artinya: “Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: sujudlah kamu kepada Adam, maka
sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dengan takabur, dan ia termasuk golongan orang-
orang yang kafir”.
Menurut al-Hallaj, Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam
karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul) dalam diri Isa
as. Paham bahwa Allah menjelma dalam diri Adam, berarti pula Allah menjadikan Adam sesuai
dengan bentuk-Nya. Dengan kata lain, Adam itu adalah copy Tuhan. Paham ini berpangkal dari
sebuah hadis yang berpengaruh sangat besar atas sufi: “sesungguhnya Allah menciptakan adam
sesuai dengan bentuk-Nya.”
Paham al-Hallaj ini lebih jelas kelihatan dalam gubahan syairnya:

Maha Suci Zat yang menyatakan nasut-Nya


dengan lahut-Nya, yang cemerlang seiring bersama
lalu dalam makhluk-Nya pun tampak nyata
bagai si peminim dan si pemakan tampak sosok-Nya
hingga semua makhluknya melihat-Nya
bagaikan bertemunya dua kelopak mata

Dengan demikian menurut paham tasawuf al-Hallaj dalam diri manusia terdapat sifat
ketuhanan, dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Karena itu persatuan antara Tuhan
dengan manusia bisa terjadi dan persatuan itu mengambil bentuk hulul. [7]
Dalam suatu sumber yang lain, disebutkan bahwa Al-Hallaj mengambil teori hulûl dari
kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma
pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah
hilang. Hulûl Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen.
Sedangkan hulûl Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara, melibatkan emosi dan
spiritual, tidak fundamental dan permanen.
Agar manusia dapat bersatu, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaan melalui fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya
sifat ketuhanan dalam dirinya, di situlah baru Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam
dirinya dan dan ketika itu ruh Tuhan dan ruh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Dengan cara inilah, menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika
al-Hallaj berkata: Ana al-haq (aku adalah Tuhan) bukanlah ruh al-Hallaj mengucapkan kata itu,
tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dengan kata lain, bahwa al-Hallaj
sebenarnya tidak mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula dia tegas: “aku adalah rahasia
Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, Aku hanya dari yang benar, maka
bedakanlah antara kami.[8]
Dalam kesempatan lain, penegasannya terhadap adanya perpaduan, al-Hallaj berkata:
“Barang siapa mengira bahwa lahut berpadu jadi satu dengan nasut, ataupun nasut berpadu
dengan lahut, maka kafirlah dia. Sebab Allah mandiri dalam Zat dan sifat-Nya, berbeda dengan
zat dan sifat makhluk. Dan dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya, dan
mereka pun sama sekali tidak menyerupai-Nya”. Dan katanya pula: “…seperti halnya nasut-ku
(kemanusiaanku) lebur dalam lahut-Mu (ketuhanan-Mu), tanpa berpadu dengan-Nya, lahut-Mu
menguasai nasut-ku, tanpa berpadu dengannya.
Dari ungkapan-ungkapan di atas, ternyata paham hulul ini begitu kontradiktif.
Terkadang hulul dinyatakan dalam bentuk penyatuan, namun di pihak lain dia renegasikan
(meniadakan) penyatuan, dan secara tegas dia meniadakan segala macam bentuk atau
unsur anthropomorphisme.
Thoulk seorang pemerhati al-Hallaj menginterpretasikan bahwa dia ketika menyatakan
penyatuan berada dalam keadaan fana. Atau bisa juga dikatakan sebagai cara al-Hallaj untuk
menghadapi para fuqaha pada masa itu. Atau juga, seperti telah disebutkan di atas, diduga kuat
bahwa hulul, menurut al-Hallaj berciri figuratif dan bukan riil.
Para ulama maupun sarjana berbeda pendapat tentang hakikat ajaran hulul al-Hallaj ini. Al-
Taftazani telah berusaha menampilkan beberapa pendapat tentang hal tersebut. Di dalam
kesimpulannya dia mengatakan bahwa hulul al-Hallaj itu bersifat majazi, tidak dalam pengertian
yang sesungguhnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Irfan Abd al-Hamid Fattah
berpendapat bahwa paham “kesatuan wujud” telah mulai nampak sejak hadirnya Abu Yazid Al-
Bustami dengan paham ittihad-nya. Dan paham hulul al-Hallaj ini, menurut al-Taftazani
merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-
Bustami.
Ada dua hal yang perlu dicatat dalam paham hulul yang dikemukakan al-Hallaj . pertama,
bahwa paham hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari mahabbah yang dibawa
Rabiah al-Adawiyah. Hal ini terlihat adanya kata-kata cinta yang dikemukakan al-Hallaj .
kedua, hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun
Harun Nasution membedakan rohaniah yang dialami oleh Abu Yazid dalam ittihad, dengan
kesatuan rohaniah yang dialami al-Hallaj melalui hulul. Dalam persatuan melalui al-hulul ini, al-
Hallaj kelihatannya tak hilang, sebagaimana halnya dengan Abu Yazid dalam ittihad.
Dalam ittihad, diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam faham al-Hallaj,
dirinya tak hancur sebagai diungkapkan dalam syairnya tentang hulul. Dengan kata lain, kalau
dalam ittihad, yang dilihat oleh Abu Yazid hanya satu wujud yaitu Tuhan, maka dalam al-
hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh manusia yang telah dipilih Tuhan untuk
ditempati.[9]
b. al-Haqiqah al-Muhammadiyah (Nur Muhammad)
Menurut al Hallaj nur Muhammad merupakan asal atau sumber dari segala sesuatu, segala
kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantaraan Nur Muhammad itulah
alam ini dijadikan.
Nur Muhammad juga bisa diartikan sebagai pusat kesatuan alam dan pusat
kesatuan nubuwwat segala Nabi. dan nabi-nabi itu, nubuwwat-nya ataupun dirinya hanyalah
sebagian dari Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran
dari Nur Muhammad.
Menurut Al Hallaj, kejadian Nabi Muhammad terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya
yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua, ialah
rupanya sebagai manusia, sebagai seorang Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai
manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.
Paham tentang Nur Muhammad ini berdasarkan pada hadis yang sangat populer di
kalangan ahli sufi, yaitu : “Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh dunia berasal dari
cahayku”. Paham ini kemudian dikembangkan dan disebarluaskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi
(w638H) dan Abd al-Karim bin Ibrahim al Jili (w.811H) dalam kerangka ide Insan Kamil.
Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran
filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta diperkenalkan oleh al Farabi
dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonisme Plotinus, maka dalam tasawuf teori ini mula-
mula diperkenalkan oleh al Hallaj dengan konsep barunya yang disebut Nur Muhammad atau
Haqiqah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang maujud.[10]
c. Wahdah al adyan (Kesatuan agama-agama)
Inti ajaran dari Wahdah al adyan adalah sebenarnya nama agama yang berbagai macam,
seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang
satu saja. Nama berbeda, satu tujuan. Segala agama adalah agama Allah maksudnya ialah
menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam satu agama, bukanlah atas
kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. cara ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya
hanya satu.
Paham Wahdah al-Adyan ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur
Muhammad. Yakni pahamnya al-Hallaj tentang qadimnya Nur Muhammad telah mendorongnya
untuk berkesimpulan tentang kesatuan agama. Mengenai hal ini, ‘Abdullah bin Tahir al-Azdi
mengatakan, sebagaimana dicatatkan oleh al-Taftazani sebagai berikut: “Suatu hari aku
bertengkar dengan orang yahudi di pasar baghdad. Diapun ku maki: hai anjing. Ketika itu al-
Hallaj lewat dan memandangku dengan geram. Dan tegurnya: jangan kau maki anjingmu. Dan
diapun langsung pergi. Setelah pertengkaran itu, aku mencari al-Hallaj. Namun ketika ku temui,
dia memalingkan wajahnya. Akupun meminta maaf kepadanya. Lalu dia berkata: wahai
sahabatku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan menganut suatu agama tanpa
adanya pilihan, bahkan dipilihkan bagi mereka. Kerena itu, barangsiapa menyalahkan apa yang
dianut golongan itu sama saja halnya dia telah menghukumi golongan tersebut menganut agama
atas upayanya sendiri. Ketahuilah ! agama-agama yahudi, islam dan yang lain-lainya adalah
sebutan serta nama yang beraneka ragam dan berbeda. Akan tetapi tujuan tujuan semuanya tidak
berbeda” . [11]
Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena
itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah.
Tetapi lebih baik perdalamlah agama masing-masing.
D. Respons Para Ulama dan Para Cendekiawan terhadap al-Hallaj
Al-Hallaj, di kalangan kaum sufi muslim dianggap sebagai sesosok sufi yang kontroversial.
Banyak ucapan eksatik dan bernada menghujat disodorkan kepadanya. Ia dituduh melakukan
bid’ah, murtad, serta menyatakan bahwa dirinya sebagai titisan Tuhan. Para fuqaha juga
menyodorkan asumsi yang lebih ekstrim lagi sampai-sampai mengatakan bahwa al-Hallaj adalah
seorang kafir. [12]
Ada beberapa tuduhan miring yang disodorkan kepadanya, yakni sebagai berikut :
1. Ia mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramith, yang merupakan salah satu sekte syi’ah
yang dibentuk oleh Hamdan ibn Qarmat. Sekte ini mempunyai faham komunis, pernah
mengadakan teror, menyerang Mekkah, merampas Hajar Aswad dan menentang pemerintahan
Bani Abbasiyah.
2. Keyakinan para pengikutnya bahwa ia mempunyai sifat ketuhanan.
3. Baginya Ibadah Haji tidak wajib.[13]
Dalam hal-hal tertentu diri al-Hallaj terpecah menjadi dua pribadi, Ibnu Arabi memandang
bahwa pada satu sisi al-Hallaj dipandang sebagai seorang wali, namun disisi lain ia memiliki
sebuah pandangan yang melebihi kebesaran nabi.[14]
Namun, tak hanya respons negatif yang diterima al-Hallaj, beliau juga mendapatkan
sambutan hangat dari para ulama dan cendekiawan. Mereka mengatakan al-Hallaj adalah seorang
hafidz al-Qur’an yang sarat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fiqh dan hadits, serta tidak
diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf dan masih banyak lagi sifat-sifat keshalihan yang
dimilikinya.[15]
E. Karya-karyanya
Dengan keahlian dan kepribadian serta keshalihan yang dimiliki al-Hallaj, tak usah heran,
jika ia mampu melahirkan sebuah karya-karya yang gemilang, terutama tentang tasawuf.
Menurut Ibnu Nadin tak kurang dari 47 buah karya yang diluncurkannya. Diantaranya
sebagai berikut :
1. Al-Ahruf al-Muhaddasah wa-Al-Azaliyah wa Al-Asma’ al-Kulliyyah.
2. Kitab al-Usul wa al-Furu’
3. Kitab Sirral-A’lam wa al-Mab’us.
4. Kitab al-Adl wa al-Tauhid.
5. Kitab ‘ilm al-Baqa wa al-Fana’
6. Kitab Madh al-Nabi wa Masal al-A’la.
7. Kitab Huwa-huwa.
8. Al-Tawasin.
Kitabnya yang berjudul al-Tawasin merupakan kitabnya yang paling jelas menggambarkan
tentang paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit untuk dipahami, sehingga kata al-
Taftazani, mungkin banyak pembaca yang tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya,
disamping itu, kitab tersebut berisi istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.[16]
F. Pengalaman Beragamanya
Sebuah pengalaman keagaman merupakan bagian dari pengalaman kerohanian, ada orang
yang mengalami dunia sampai pada batas-batasnya seakan-akan menyentuh apa yang berada
diseberang duniawi.
Pengalaman seperti itu merupakan tanda-tanda adanya Tuhan dan sifat-sifatNya. Akan
tetapi, karena pengalaman seperti itu dirasakan oleh manusia maka sering kali pengalaman yang
kudus bercampur dengan hal-hal yang duniawi sehingga kekudusannya menjadi dangkal.
Kesyahduan memandang ka’bah, kelezatan bergelantungan di Multazam, kekhusyuan
shalat atau keasyikan bertasawuf merupakan pengalaman beragama yang kudus. Kekudusan itu
akan serasa sirna dengan kesadaran bahwa ka’bah itu merupakan bangunan batu yang berbentuk
kubus dan gantungan Multazam adalah tambang Ka’bah atau kiswah. Kadang-kadang tanda
keagungan Tuhan dianggap sebagai Tuhan itu sendiri, hal inilah yang sering kali menyesatkan
manusia untuk memuja dan menyembah kepada selain Allah.[17]
Lain halnya, pengalaman yang dirasakan al-Hallaj. Karena ketekunan al-Hallaj dalam
beribadah tak segan-segan masyarakat memberikan perhatian yang berlebih
terhadapnya bahkan banyak yang ingin menjadi muridnya. Pengaruhnya yang besar dikalangan
murid-muridnya menyebabkan rezim Abbasiyah jealousy (cemburu) sehingga menuduh al-Hallaj
mempunyai hubungan dengan kelompok Qaramithah yang merongrong dan mengganggu
kekuasaan pemerintah. Ia dituduh menyebarkan keyakinan bahwa ibadah haji tidak wajib.[18]
Diantara tuduhan-tuduhan terhadap dirinya, ungkapan syathahatnya merupakan puncak
reaksi terutama kalangan ulama syariah dan rezim penguasa. Pada tahun 287 H / 909 M Dawud
Zahiri mengeluarkan fatwa bahwa Al-Hallaj telah sesat. Atas tuduhan ini ditangkap dan
dipenjarakan. Namun ia sempat melarikan diri. Pada tahun 301 H ia ditangkap kembali
berdasarkan keputusan hakim madzhab Maliki, Abu Amr, Al-Hallaj dijatuhi hukuman mati.
keputusan ini tidak disetujui khalifah Al-Muqtadirbillah, kecuali jika Al-Junaid ikut
menandatanganinya.
Enam kali persoalan putusan tersebut disampaikan kepada al-Junaid, namun ia tidak mau
menandatanganinya. Untuk yang ketujuh kalinya khalifah meminta ketegasan jawaban ya atau
tidak. Lalu al-Junaid mengemukakan jawaban bahwa secara syariat al-Hallaj dapat dihukum
mati, tetapi menurut ajaran rahasia kebenaran Tuhan Allahlah Yang Maha Tahu.
Sebelum eksekusi dilaksanakan Al-Hallaj ditahan selama satu tahun. Selama itu pula ia
masih mengucapkan syathahat “Ana Al-Haq”. Akhirnya pada tanggal 24 Dzulhijjah 309 H / 24
Maret 922 M. Eksekusi hukuman mati dilaksanakan. Ia dibunuh dengan cara disalib, kedua
tangan dan kakinya dipotong, juga kepalanya, lalu mayatnya dibakar dan dibuang ke Sungai
Tigris.
Ketika disalib al-Hallaj berseru : “Mereka semua adalah hamba-Mu, maka ampunilah
mereka. Andai kau singkapkan kepada mereka apa yang kau singkapkan kepadaku, niscaya
mereka tidak akan melakukan apa yang mereka perbuat ini”.
Al-Hallaj tidak merasa dendam pada orang-orang yang menghukumnya, malah dia
memaafkan mereka. Kematian tragis al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat
gentar para pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang, terbukti setelah satu abad dari
kematiannya di Iraq ada 4.000 orang yang menamakan diri Al-Hallajah. Disisi lain pengaruhnya
sangat besar terhadap pengikutnya, dia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan
qaramitah.[19]
G. Pesfektif Psikologi Agama Mengenai Pengalaman Beragamanya
Ketika membicarakan mengenai mistisisme terkait kajian psikologi agama tentu tak lepas
dari hubungan sikap dan perilaku agama dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya.
bukan malah mempermasalahkan dari absah tidaknya mistisisme itu berdasarkan pandangan
agama.
Dengan demikian mistisisme menurut pandangan psikologi agama hanya terbatas pada
upaya untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaan tertentu yang terdapat pada tokoh-tokoh mistik,
tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut.[20]
Semenjak kecil al-Hallaj dikenal sudah berbaur dengan sufi-sufi kenamaan jadi tak ayal
jika beliau menjadi seorang sufi pula, seperti kata pepatah Arab, jika berteman dengan penjual
minyak harum, maka ia akan kecipratan harumnya juga, sama halnya yang dilakukan al-Hallaj
tersebut.
Al-Hallaj hidup dimasa pemerintahan khalifah Abbasiyah, yang pada waktu itu sedang
mengalami puncak kejayaannya baik dalam bidang pengetahuan maupun politik. Hal itu jelas
sangat berdampak pada pola pemikiran al-Hallaj sehingga membangkitkan semangat al-Hallaj
dalam mencari atau memperbanyak khazanah pengetahuannya.
Rihlahnya ke berbagai belahan dunia untuk menambah khazanah pengetahuannya,
kezuhudan yang dimilikinya dan cintanya yang sangat mendalam mengenai agama serta sikap
ketidakadilan yang dilakukan para pemimpin yang diiringi sikap kecemburuan para sufi terhadap
apa yang sudah diperoleh al-Hallaj pada waktu itu telah mampu membawanya totalitas menuju
Tuhan sehingga sampai pada puncaknya ia mengucapkan “ana al-Haqq” .
Padahal, di belakang al-Hallaj secara diam-diam mereka memuji dirinya serta mengakui
pelajaran yang diajarkannya. Hal itu dibuktikan dalam sebuah karya Aththar Tadzkirah al-
Awliya, dalam komentarnya ia menyatakan Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar
terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku
adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa
menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu firman-firman Allah sendiri. Di
dalam syair epiknya Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah
pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah
kezaliman."

KESIMPULAN

Title “KONTROVERSIAL” merupakan embel-embel yang tak mungkin lepas dari


pembicaraan mengenai al-Hallaj. Pengalaman beragamanya yang berbeda dengan para sufi yang
lain mewarnai sederet kisah bersejarah dalam dunia pengetahuan, khususnya di ranah mistisisme.
Setelah dianalisis, menurut persfektif psikologi agama ada beberapa hal yang melatar
belakangi kontroversialnya pengalaman beragama al-Hallaj, yaitu sebagai berikut:
Pertama, dari segi kejiwaanya yaitu berupa cinta yang sangat mendalam terhadap
religiusitasnya. Dengan cinta manusia bisa dipandang hina, dengan cinta manusia bisa dipandang
mulia dan dengan cinta seseorang bisa menggemparkan dunia, dan dengan cinta pula seseorang
bisa totalitas menuju Tuhannya.
Kedua, dari faktor lingkungannya, hal itu terlihat dalam pergaulannya, karena sejak kecil ia
sudah banyak bergaul dengan para sufi, sehingga ia terlahir juga menjadi seorang sufi yang turut
serta menghantarkannya ke gerbang puncak menuju Tuhan.
Ketiga, dari faktor watak sekelilingnya, hal itu terlihat jelas, ketika al-Hallaj sudah
memiliki keahlian yang lebih dari sufi lainnya, sehingga menumbuhkan faktor kecemburuan
yang juga turut serta mewarnai pengalaman beragamanya.
Dan terakhir yang Keempat, yaitu dari pribadinya yang sangat disiplin dalam beragama,
hal itu dibuktikan dengan kezuhudan serta kesahalihan-keshalihan yang pernah diajarkan
gurunya. Bahkan, dihembusan nafas yang terakhirnya, ia masih sempat mendoakan orang yang
menghukumnya mendapatkan hidayah serta ampunan dari Allah swt, sehingga tak heran jika
Tuhan membukakan tabir kepadanya yang tidak dapat dilihat oleh yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi, Abdul Aziz, Psikologi Agama : Kepribadian Muslim Pancasila, Bandung : Sinar Baru, 1991.
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
Haq, Muhammad Zairul, al-Hallaj : Kisah Perjuangan Total menuju Tuhan, Bantul : Kreasi Wacana,
2010.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj
Labib, Muhsin, Mengurai Tasawuf Irfan & Kebatinan, Jakarta : Lentera, 2004.
Mujieb, M. Abdul, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, Jakarta : Mizan Publika, 2009.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973.
_______, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya : Jilid II, Jakarta : UI-Press, 1986.
Robert H, Thouless, Pengantar Psikologi Agama, penj Machnun Husein, Jakarta : Rajawali, 1992.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk., Miftahus Sufi, Yogyakarta: Teras, 2008.
Zuhri, Amat, Ilmu Tasawuf¸ Pekalongan : STAIN, 2004.

[1] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke-2,
hlm 311.
[2] Muhammad Zairul Haq, al-Hallaj : Kisah Perjuangan Total menuju Tuhan, (Bantul :
Kreasi Wacana, 2010), Cet ke-1, hlm 10-11.
[3] M. Abdul Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, (Jakarta : Mizan
Publika, 2009), Cet ke-1, hlm 130.
[4] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya : Jilid II, (Jakarta : UI-Press,
1986), Cet ke-6, hlm 86.
[5] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf,.....hlm 311-312.
[6] M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008), 170-171.
[7] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf,.....hlm 318.
[8] Muhammad Zairul Haq, al-Hallaj : Kisah Perjuangan Total menuju Tuhan, hlm 87-88.
[9] M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Miftahus Sufi, 174-175.
[10] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf,.....hlm 320-322.
[11] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf,.....hlm 322-323.
[12] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan & Kebatinan, (Jakarta : Lentera, 2004), hlm
188.
[13] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973),
hlm 85.
[14] M. Abdul Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali,.....hlm 131.
[15] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf,.....hlm 315.
[16] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf,.....hlm 316.
[17] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama : Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung :
Sinar Baru, 1991), Cet ke-2, hlm 185.
[18] Amat Zuhri, Ilmu Tasawuf¸ (Pekalongan : STAIN, 2004), hlm 62.

[19] Amat Zuhri, Ilmu Tasawuf¸ hlm 63.


[20] Thouless Robert H, Pengantar Psikologi Agama, penj Machnun Husein, (Jakarta :
Rajawali, 1992), hlm 219.
Unknown at 11:30 AM
Share

No comments:
Post a Comment


Home
View web version
Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai