Hallaj
AL-HALLAJ
(Biografi,karya,tasawuf, dan pemikirannya)
Latar Belakang
Pada abad ke 9 Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan melakukan
Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan ma’rifat dan tauhid kepada
Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad
tersebut telah ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun pemikiran yang
menunjukkan keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik,
seperti halnya Al Ghazali, Dzun Nun (859 M), Bayezid Bistami (874 M), dan Al
Harith al Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al hallaj (858 M).
Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebaga i
wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak
pernah habis dibahaskan, kerana pihak-pihak yang berbeda pendapat
tidak pernah saling bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majlis,
kecuali hanya saling mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik
kekuasaan yang serakah dan licik sejak dahulu.
Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang popular yang di lontarkan oleh Husein
Ibnu Al Hallaj "Ana al-Haq" dan juga tak kalah populernya yaitu
paham hulul. Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap kaum
Sufi atau para Zahid yang menjalankan praktis kerohaniannya dengan melakukan
dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan diri dari
perbuatan maksiat. Sehingga pada ujungnya berpengaruh te rhadap
perkembangan ilmu tafsir yang menjadi nadi.
A. Biografi Al-Hallaj
Memiliki nama lengkap Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad al-
Baidawi . Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thur bagian distrik
Baida Persia, tempat orang-orang Iran selatan yang telah terArabisasi yang
merupakan sub camp dari jund Basrah, dan kemudian menjadi pusat militer (dengan
sebuah pabrik pembuat koin uang untuk pasukan yang keluar dari
Shiraz ke Khurasan untuk memerangi Turki), sekarang berada di wilayah Barat
Daya Iran. Beliau dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat
perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas . Ayahnya adalah
seorang penyortir wool (hallaj), oleh karena itu beliau diberi gelar al -Hallaj .
Bersama ayahnya, al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di Ahwaz dan Tustar.
Kakeknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum
ia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa al Hallaj berasal dari keturunan Abu
Ayyub, sahabat Rasulullah.
Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal.
Pada saat ia berumur 16 tahun, ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn
Abdullah at-Tustury (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah
belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia
meninggalkan gurunya at-Tustury dan pindah ke Bashrah untuk belajar kepada
Sufi ‘Amr al-Makki. Kemudian dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada
al-Junaid al-Baghdadi. Al-Hallaj pernah hidup dalam pertapaan dari tahun 873- 879 M
bersama-sama dengan guru sufi al-Tustury, ‘Amr al-Makki, dan Junaid al- Baghdadi.
Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain,
menambah pengetahuan dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang syekh ternama
yang tidak pernah dimintainya nasehat. Al-Hallaj telah menunaikan
ibadah haji tiga kali selama hidupnya. Dalam perjalanan dan pengembaraan
serta pertemuannya dengan ahli- ahli sufi itulah yang membentuk pribadi dan
pandangan hidup al-Hallaj sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi
pembicara ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda
dengan yang lain. Sampai-sampai seorang ulama fiqh terkemuka yang bernama Ibn Daud
al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa paham dan ajaran al-Hallaj
sesat. Atas dasar fatwa ini Al Hallaj dipenjarakan. Tetapi
setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan dari
seorang penjaga yang menaruh simpati padanya.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Disana ia bersembunyi
selama empat tahun. Namun pada tahun 301H/903M ia ditangkap kembali dan
dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya
pada tahun 309/921M diadakanlah persidangaan ulama di bawah kerajaan Bani
Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309H
jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum mati dengan mula-mula dipukul dan dicambuk
dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan
kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalakan tergantung pecahan-pecahan
tubunhnya itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian dibakar tubuhnya dan abunya
dihanyutkan di sungai Dajlah.
Dalam riwayat lain diceritakan secara lebih mendetail mengenai jalannya eksekusi
“ekstra tragis” yang diterima al-Hallaj. Al-Hallaj tengah dipecut
(disebat) seribu kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal,
tapi sebelum dipancung dia sempat shalat 2 rakaat. Kemudian kaki dan tangannya
dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu,
direndamkan ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke
sungai sedangkan kepalnya di bawa ke Khurasan untuk dipersaksikan oleh umat Islam dan
sejarahnya.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika proses hukuman mati al -Hallaj, algojo-
algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian
dikerumuni orang banyak yang datang dari berbagai penjuru yang
diperintahkan untuk melempari batu kepadanya. Ketika itu dia selalu
mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara dan
hukuman mati, yaitu Ana Al Haqq (aku adalah Yang Maha benar). Dan
ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya berseru kepada Allah :
“Sesungguhnya wujud Allah itu telah jelas, tidak
membutuhkan penguat semacam syahadat”.
Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai
memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, diapun menerimanya
dengan tersenyum, bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya ke
mukanya seakan-akan dia berwudhu dengan darah sucinya itu. Setelah itu
para algojo memotong lidah dan mencukil matanya. Pada saat itu dia berisyarat,
seakan-akan memintakan ampun bagi para algojo kepada Allah “Mereka
semua adalah hambaMu, mereka berkumpul untuk
membunuhku karena fanatik terhadap agamaMu dan untuk
mendekatkan diri kepadaMu. Maka ampunilah mereka.
Andaikata Kau singkapkan kepada mereka apa yang Kau
singkapkan kepadaku, tentu mereka tidak akan melakukan
apa yang mereka lakukan sekarang ini.”
Al-Hallaj adalah seorang ‘alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn
Suraij, ia adalah seorang yang hafal al-Quran beserta pemahamannya, menguasai ilmu fiqh
dan hadist serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam
ilmu tasawuf. Beliau merupakan seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan
masih banyak lagi sifat kesalehannya.
Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut at - Taftazani,
kitab At-Thawasin merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap dalam
menggambarkan paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit
dipahami, sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang
dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab tersebut berisi rumus -rumus dan istilah-
istilah yang tidak gampang dimengerti.
C. Filsafat Al-Hallaj
Inti ajaran al-Hallaj telah dinyatakan dalam bentuk syair (Tawasin) dan juga kadang
dalam prosa (Natsar), dalam susunan kata-kata yang mendalam di
sekililing tiga hal, yaitu :
Melalui syair diatas, tampaknya al-Hallaj memperlihatkan bahwa Allah memiliki dua sifat
dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut).
Demikian pula pada diri manusia juga terdapat dua sifat dasar, yaitu sifat
ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Dengan demikian maka manusia
mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Yang demikian ini
merupakan bentuk pemahaman al-Hallaj dalam menafsirkan Q.S. Al-Baqarah ayat 34
yang berbunyi :
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat: "Tunduklah
(beri hormat) kepada Nabi Adam". lalu mereka sekaliannya tunduk
memberi hormat melainkan Iblis; ia enggan dan takbur, dan
menjadilah ia dari golongan Yang kafir.
Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Adam. Karena
yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, maka al-Hallaj memahami bahwa
dalam diri Adam (manusia) sebenarnya terdapat unsur ketuhanan. Disisi lain,
hal ini (sujud) dikarenakan pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma
dalam diri Isa as.
Kalau sifat-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan
dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya. dan ketika itu
roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh
manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut :
تم ز ج ال خ م ر ج تا ل م ا ء ال ز لا ل# مز ج ت رو ح ك في رو ح ي كم ا
فإ ذ ا او ت او ا في كل ّ حا ل# فإ ذ ا مس ّ ك مس ّ ىي
وح ه رو ح ا ن حل ّ ىل ا تد و ا# او ا مه أه ى ي وم ه أه ى ي او ا
وإ ذ ا أت ص ر ت ه أت ص ر تى ا# فإ ذ ا أت ص ر تى ي أت ص ر ت ه
Telah bercampur rohMu dalam rohku
Laksana bercampurnya khamar dengan air yang jernih Bila
menyentuh akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku Sebab itu,
Engkau adalah Aku, dalam segala hal
Aku adalah ia yang kucintai dan ia yang ku cintai adalah aku Kami
adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat aku, engkau lihat ia
Dan jika engkau lihat ia, engkau lihat kami.
Kesimpulan
1. Al-Hallaj merupakan seorang ahli sufi, filsuf, dan sekaligus wali Allah yang
hidup pada masa khalifah al-muktadir billah dan beliau wafat karena dihukum mati
untuk mempertanggung jawabkan ajarannya yang dianggap sesat oleh
beberapa ulama’ khususnya fuqoha pada masa itu.
2. Al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi beliau dihukum
karena tindakannya yang dipandang bertentangan dengan hukum. Beliau
membuka rahasia tentang Tuhan dengan mengemukakan segala yang dianggap
misteri tertinggi yang selayaknya hanya boleh diketahui oleh orang-orang
terpilih saja.
3. Ajaran al-Hallaj yang mashur adalah hulul (ketuhanan (lahut) menjelma ke
dalam diri insan (nasut)), al-haqiiqah al-muhammadiyyah (nur Muhammad),
dan wahdatul adyan (kesatuan semua agama).
4. Al-Hallaj mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan
makhluk-Nya sebagaimana dengan kesatuan ilahi yang melingkupi makhluk -
Nya. Yang berbicara Ana Al-Haq bukanlah al-Hallaj pribadi, melainkan Tuhan
sendiri melalui mulut al-Hallaj.
Daftar Pustaka:
Massignon Louis, Al Hallaj, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, tt)
As Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) Rosihon
anwar dan Mukhtar sholihin, ilmu tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, tt) Hamka, Tasauf,
Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : PT. Pustaka
Panjimas)
Basthul Birri Maftuh, Manaqib 50 Wali Agung, (Kediri:Lirboyo, 1999)
At Thawasin Al Azal
Oleh Hussain bin Manshur Al-Hallaj
1. Sang Pelita (As-Siraj) tampak dan tercerah dari Cahaya Keghaiban,ia terpancar
dan (tampak) kembali, dan melampaui pelita-pelita lain.Ia rembulan yang cerlang,
yang menampakkan kecemerlangannya lebih dari bulan-bulan lain. Ia bintang
yang graha perbintangannya di Langit „Azaly. Allah menyebutnya „ummi (awam)
atas dasar keterpusatan aspirasinya,juga harami (suci) disebabkan kelimpahan
syafa‟atnya,
dan makki (pusat) karena kedekatannya di Hadirat-Nya.
5. Tiada seorang arif („irfan) pun yang merasa „kenal‟ padanya, yang tidak keliru mengenali
kebenaran kualitasnya. Kualitasnya hanya jelas kepada seseorang yang Allah bimbing
untuk menyingkap (kasyf) tabirnya, “Yaitu yang telah Kami berikan kepadanya Kitab,
mereka mengenalinya seperti mengenali anak-anaknya. Namun, sebagian mereka
menyembunyikan kebenarannya, padahal mereka mengetahui.” [Q. 2: 146]
6. Segenap cahaya nubuwah berasal dari cahayanya, dan cahayanya tercerahkan dari Cahaya
yang Gaib.Di antara cahaya-cahaya itu tidak ada yang lebih gemerlap, lebih nyata atau
lebih mutlak dari cahayanya sang Junjungan Semesta Rahmat ini.
7. Aspirasi (himmah)-nya mendahului segenap aspirasi lain, adanya mendahului
„Tiada‟ („Adam), namanya mendahului „Pena‟ (Qalam), sebab keberadaannya terdahulu
ada sebelum apa pun.
8. Tidak pernah ada di atas semesta atau di luar semesta, tidak juga di balik semesta,
sesuatu yang lebih indah, lebih agung, lebih bijak, lebih adil, lebih kasih, lebih taat
atau lebih takwa, yang lebih dari sang Tokoh Utama ini.Gelarnya adalah sang
Junjungan Makhluk, namanya adalah Ahmad, dan harkatnya adalah Muhammad.
Perintahnya penuh kepastian, hikmahnya penuh kebaikan, sifatnya penuh kemuliaan,
dan aspirasinya penuh keunikan.
9. Maha Suci Allah! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak, lebih agung, lebih
masyhur, lebih kemilau, lebih perkasa ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia –
sungguh – telah dikenal sebelum penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta. Ia
senantiasa diingat sebelum adanya „sebelum‟ dan setelah adanya „setelah‟, juga sebelum ada
substansi dan kualitas. Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya adalah
nubuwah, hikmahnya adalah wahyu, gaya bahasanya adalah Arab, kesukuannya
adalah “tiada Timur dan tiada Barat” [Q. 24: 35], silsilahnya adalah garis kebapakan,
misinya adalah damai, dan sebutannya adalah „ummi (awam).
10.Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia dan segenap jiwa terasa
dengan kehadirannya yang ada. Adalah Allah yang membuatnya fasih menghafalkan
rangkaian Firman-Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang meneguhkannya. Juga
Allah yang mengutusnya, dan ia adalah Bukti – senyatanya Bukti. Adalah ia yang
memuaskan dahaga hati pedamba yang kehausan, yang tidak tersentuh apa pun,
tidak terkatakan lidah, tidak juga terekayasa, yang „menyatu‟ dengan Allah tanpa
terpisahkan, bahkan jauh di luar jangkauan pikiran. Pokoknya ia yang mengabarkan
adanya akhir, dan akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya akhir.
11.Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-Haram). Ia adalah
„pembeda‟, bahkan ia adalah panglima perang. Adalah ia yang diperintah untuk
meluluhlantakkan berhala-berhala, juga ia yang diutus kepada ummat manusia untuk
membasmi pemujaan.
13.Allah („ada‟) bersamanya, dan bersamanya adalah hakikat. Ia yang pertama dalam
kesatuan (penciptaan) dan terakhir yang diutus sebagai Rasul, yang hakikatnya
bersifat batin, dan ma‟rifatnya bersifat lahir.
14.Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya, bahkan para filsuf
niscaya tersadar atas kearifannya.
15.Allah tidak menyerahkan [hakikat-Nya] itu kepada makhluk-Nya, sebab ia adalah „ia‟,
dan ia adanya bersama Dia, sedangkan Dia adalah „Dia‟.
16.Tidak ada apa pun yang keluar dari „Mim‟ () م-nya Muhammad () محمد, dan tidak
ada yang masuk ke „Ha‟ ( )ح-nya. Adapun „Ha‟ ()ح-nya sebagaimana „Mim‟ ()م-nya yang
kedua, sedangkan ‟Dal‟ ()د-nya seperti „Mim‟ ()م-nya yang pertama. „Mim‟ ()م-nya yang
pertama adalah peringkat (maqam)-nya, serta „Ha‟ ()ح-nya adalah
keadaan (hal) spritualnya, sebagaimana „Mim‟ () م-nya yang kedua.
17.Allah membuat bicaranya jelas, menambah nilainya, dan membuat bukti (hujjah)-
nya dikenal. Dia menurunkan wahyu Pembeda [Al-Furqan] kepadanya. Dia membuat
lidahnya fasih, dan Dia membuat hatinya terang. Dia membuat ummat sezamannya
tidak mampu [memalsu Al-Qur‟an].Dia pun mengakui kejelasannya, dan memuji
kemuliaannya.
18.Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syari‟at-nya, adakah jalan (lain)
yang dapat kau tempuh, tanpa adanya pembimbing, hai orang yang malang?
Ketahuilah, segenap fatwa para filsuf berantakan, seperti gundukan pasir,
dibandingkan hikmahnya.
Thasin Al Fahm (Pemahaman)
1. Pemahaman tentang alam-makhluk tidak terkait dengan hakikat, dan hakikat tidak
juga terkait dengan alam-makhluk. Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid, dan
taqlid-nya alam-makhluk tidak ada keterkaitannya dengan hakikat. Pengertian
tentang hakikat itu sulit dicapai, makanya betapa lebih sulit lagi mencapai pengertian
tentang hakikatnya- Hakikat (Allah). Apalagi, Allah itu di luar hakikat, dan
hakikat tidak dengan sendirinya menyatakan 'ada'-Nya Allah.
2. Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar. Lalu, ia kembali ke
teman- temannya, dan menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan
yang penuh kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api dalam hasratnya
untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.
5. Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang alpa, tidak juga manusia
yang maya, atau manusia yang penuh dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-
nafsunya semata.
6. Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan persamakan 'aku' (insani) dengan 'Aku' Ilahi --
janganlah sekarang, janganlah di masa depan nanti, janganlah pula di masa lampau
dulu. Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif,
kendatipun ini
merupakan keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan. Kendatipun 'aku'
adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.
7. Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa pemaknaan (masalah) itu bukanlah
kebenaran bagi siapa pun kecuali (bagi) Muhammad (shalallahu 'alaihi wasallam), dan
"Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi
Rasulullah (Utusan Allah) dan penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-
fana'-kan dirinya dari manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana'
pun, hingga tidak lagi tersisa kepalsuan hati ataupun kemunafikan.
8. Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat lagi,
saat ia mencapai gurun Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati
lahirnya (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat, ia
menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan dirinya naik ke Hadirat Sang
Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Allah), ia pun kembali sambil berkata:
"Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman kepada-Mu." Ketika
mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak dapat memuji-Mu
sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai Kenyataan hakikat,
ia berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji Diri-Mu." Ia
menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti panggilan tugasnya, "hatinya tidak
berdusta tentang apa yang dilihatnya" (Q. 53:11) di maqam dekat Pohon-Batas-
Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak berpaling ke kanan, ke arah hakikat
sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah Kenyataan hakikat. “Penglihatan (Nabi
Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan Dengan tepat (akan
pemandangan Yang indah di situ Yang diizinkan melihatnya), dan tidak pula
melampaui batas." (Q. 53: 17)
Thasin Al Shafa (Kebeningan)
1. Hakikat itu adalah sesuatu yang sangat halus, dan sulit menguraikannya. Jalan
untuk menempuhnya sempit, dan tentang jalannya itu, seorang penempuh (salik) harus
mengarungi 'kobaran api' di tengah gurun yang dalam. Seorang asing (gharib) telah
mengikuti jalan ini, dan menyampaikan bahwa apa yang dialaminya ada empat
puluh Maqam, yaitu:
1. Kesopansantunan ['adab],
2. Kegentarhatian [rahab],
3. Kejerihpayahan [nashab],
4. Penuntutan-diri [thalab],
5. Ketakjuban ['ajab],
6. Peniadaan ['athab],
7. Pemujaan [tharab],
8. Pendambaan [syarah],
9. Penjernihan [nazah],
10. Kelurusan [shidq],
11. Persahabatan [rifq],
12. Persamaan [litq],
13. Keberangkatan [taswih],
14. Penghiburan [tarwih],
15. Ketajaman [tamyiz],
16. Penyaksian [syuhud],
17. Keberadaan [wujud],
18. Penghitungan ['add],
19. Pengupayaan [kadda],
20. Pemulihan [radda],
21. Perluasan [imtidad],
22. Pengolahan [i'dad],
23. Penyendirian [infirad],
24. Pengendalian [inqiyad],
25. Kemauan [murad],
26. Kehadiran [hudur],
27. Pelatihan [riyadhah],
28. Kehati-hatian [hiyathah],
29. Penyesalan [iftiqad],
30. Kedayatahanan [istilad],
31. Pengawasan [tadabbur],
32. Keterkejutan [tahayyur],
33. Perenungan [tafaqqur],
34. Kesabaran [tashabbur],
35. Penafsiran [ta'abbur],
36. Penolakan [rafdh],
37. Pengoreksian [naqd],
38. Pengamatan [ri'ayah],
39. Pembimbingan [hidayah],
40. Permulaan-jalan [bidayah].
Maqam terakhir ini adalah maqam-nya orang-orang yang Hatinya tenang dan suci (shufi).
3. Adapun sang Gharib yang telah mengharungi gurun (hakikat) dan menyeberanginya,
telah mencakupnya serta memahaminya secara keseluruhan. Ia tidak memperoleh
sesuatu yang lazim ataupun biasa, tidak di gunung ataupun di darat.
5. Andaikan sang Pembimbing Utama puas dengan penerangan semu, bagaimana dapat
seseorang yang menempuh jalan (thariqah) tidak mencukupkan dirinya dengan jejak
semu.
6. Dari Semak yang Terbakar, di Bukit Sinai, apa yang kedengarannya difirmankan
Semak bukanlah dari Semak atau belukarnya, tetapi (firman) Allah.
9. 'Aku' sejati adalah subyek, dan obyek yang terurai adalah subyek dalam hakikatnya.
Soalnya adalah bagaimana itu terurai?
10.Allah berfirman kepada Musa (as): "Kau bimbinglah (ummatmu) pada Bukti
(al- Hujjah)," tapi bukan pada Obyeknya Bukti. Adapun bagi-Ku, Aku adalah
'Bukti' dari setiap bukti.
11.Allah membuatku melampaui apa adanya hakikat dengan kesepakatan, perjanjian, dan
persekutuan. Rahasiaku adalah penyaksian (syahadah) langsung tanpa (keikutsertaan)
pribadi makhlukku. Itulah rahasiaku, dan inilah hakikat.
12.Allah memfirmankan pengetahuanku melalui 'aku' dari hatiku. Dia menarikku dekat
pada-Nya setelah jauh dari-Nya. Dia membuat aku menjadi Sahabat (Waly)-Nya,
Dia memilih aku…
Thasin Al Dairah (Lingkaran)
2. Ia yang memasuki lingkaran itu jauh dari Kebenaran, sebab jalannya terjegal dan
sang penempuh (salik) disuruh kembali. Adapun noktah di atas melambangkan
hasratnya. Noktah yang lebih bawah melambangkan kembalinya ke titik-tolaknya,
dan noktah di tengah adalah kebingungannya.
3. Lingkaran dalam tidak memiliki pintu „ba‟ ()ب, dan „titik‟ yang ada di dalamnya adalah
pusat Kebenaran.
4. Makna tentang Kebenaran adalah yang darinya, baik lahir maupun batin, tidak ada
yang luput. Dan, ia pun tidak direkayasa.
5. Andaikan kau berhasrat memahami apa yang aku terangkan ini.“ambillah empat
ekor „burung‟, cincanglah buatmu,” (QS. 2: 260) sebab Al-Haqq (Allah) „tak-terbang‟.
6. Adalah kecemburuan-Nya yang membuat ia tampak, setelah Dia
menyembunyikannya. Adalah keterpesonaan yang menjaga keterpisahan kita.
Adalah kebingungan yang mencabut kita dari-Nya.
7. Inilah makna tentang Kebenaran. Ia lebih licin dari lingkaran Asal, ataupun
rancangan Bidang. Dan, yang lebih licin lagi adalah memfungsikan kearifan secara
batin, karena ketersembunyiannya (Kebenaran) dari khayalan.
8. Ini karena sang pengkaji hanya mengkaji lingkaran dari wilayah luar, bukannya
dari wilayah dalam.
10.Makanya mereka menamakan Sang Rasul (saw): Haramy, sebab hanya ia seorang
yang keluar dari Lingkarang Haram itu.
11.Ia penuh kegentaran dan keterpesonaan, serta mengenakan jubah Kebenaran. Ia keluar
dan menyerukan “Ah!!!” ( )احkepada segenap makhluk.
Thasin Al Nuqtah (Titik)
1. Ada yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan tentang Titik „AzaliyAda yang lebih
halus dari itu, yakni penyebutan tentang Titik „Azaliy yang berupa Asal, dan yang
(keberadaannya) tidak bertambah ataupun berkurang, tidak juga habis sirna
dirinya.
4. Orang yang menjangkau lingkaran ketiga mengira aku berada di bawah pengaruh nafsu.
6. “Tentu saja tidak! Tidak ada seorang pelindung pun. Pada hari itu hanya Tuhan
penolongmu untuk kembali. Juga pada hari itu setiap manusia akan diberi tahu
tentang perbuatan yang didahulukannya dan yang dilalaikannya.” (QS. 75:
11-13)
7. Namun, umumnya manusia berpaling pada pernyataan semu, melarikan diri pada
sang pelindung, mengkhawatiri pertanda-pertanda, tujuan hidupnya terpedaya, dan
akibatnya tersesat.
9. Aku melihat sejenis burung khasysy dari pribadi Shufi yang terbang dengan
dua sayap Tashawuf. Ia menyangkal kekeramatanku, sebagaimana ia terus
membumbung dalam penerbangannya.
Aku „melihat‟ Tuhanku dengan mata hatiku, aku menyapa: “Siapakah Engkau?” Dia
menjawab: “Kau!” Namun, bagi-Mu, „di mana‟ tidak memiliki tempat. Dan, tidak ada „di
mana‟ ketika perhatian hanya menyangkut-Mu. Akal pun tidak punya bayangan tentang
keberadaan-Mu dalam (dimensi) waktu, yang memungkinkan akal mengetahui „di
mana‟ adanya Engkau. Engkau adalah Sesuatu yang meliputi setiap „di mana‟,
mengatasi „titik‟ yang tak di mana-mana. Jadi, „di mana‟ Engkau adanya?
14.Ia begitu dekat” saat kenaikannya (mi‟raj) – “ia tampak kembali” saat kemuncakannya
(transenden). Karena pencarian, ia begitu dekat. Karena kegairahan, ia tampak
kembali.
Ia menanggalkan hatinya „di sana‟, dan begitu dekat kepada-Nya. Ia
sirna (fana‟) ketika „melihat‟ Allah, kendati demikian ia tidak sampai tuntas sirna (fana‟
ul-fana‟). Bagaimana mungkin ia hadir sekaligus tak-hadir? Bagaimana mungkin pula ia
tampak dan sekaligus tak-tampak?
17.Ada sebuah jarak dari “satu rentangan busur”, dan ketika ia kembali, ia pun
mencapai sasarannya. Ketika diseru, ia menjawabnya – merasa dilihat, ia
rendahkan dirinya. Karena minum, ia merasa puas. Karena mendekat, ia dicekam
keterpesonaan. Dan, karena keterpisahan dirinya dari Kota serta para
pembantunya, ia pun terpisah dari bisikan nurani, dari pandangan, juga dari
lamunan makhluk.
18.“Sahabatmu tidak tersesat,” (QS. 53: 2) ia tidak lemah atau bertambah sedih. Matanya
tidak goyah atau lelah oleh suatu „Saat‟ dari sejatinya masa.
21.“Ini tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan,” (QS. 53: 4) dari
Cahaya ke „Cahaya‟.
23.Maka, ia begitu dekatnya kepada Allah, seperti seorang ‟asyiq yang memasuki Ma‟syuq.
Selanjutnya ia memaklumkan bahwa itu terlarang. Itu seperti sebuah rintangan yang
lebih dari cukup untuk melemahlunglaikan. Ia melintas dari Maqam
Pembersihan
ke Maqam Pencelaan, dan dari Maqam Pencelaan ke Maqam Kedekatan. Ia begitu dekat
sebagai pencari, dan ia kembali secara berlari. Ia begitu dekat sebagai pendoa, dan
ia kembali sebagai „Abdi. Ia begitu dekatnya sebagai penyeru, dan kembali
dengan bai‟at sebagai Qarib-Nya Ilahi. Ia begitu dekatnya sebagai seorang saksi, dan
kembalinya sebagai ahli tafakur.
24.Jarak di antara keduanya adalah “dua rentangan busur”. Ia membidik tanda „di
mana‟ [„ayna] dengan panah „di antara‟ [bayna]. Ia menyatakan bahwa ada dua rentangan
busur untuk menetapkan ketepatan tempat-nya, baik karena tiada terlukiskannya sifat
Zat, atau karena serasa lebih akrab pada Zatnya-Zat.
25.Sang Faqir yang Luar dari Biasa (Khariq ul-„Addah) Al-Husain ibn Manshur Al-
Hallaj, berkata:
26.Aku tidak percaya bahwa ungkapan kita di sini dapat dipahami, kecuali untuk
orang yang sampai pada rentangan busur kedua, yang adanya melampaui
Lembaran yang Terjaga [Lawh ul-Mahfudz].
28.Kecuali satu huruf saja, yaitu huruf „mim‟ ( ) ﻢ, yang merupakan huruf pertanda “apa
yang ia pancarkan.”
30.„Mim‟ ( ) ﻢyang juga merupakan untaian “Yang Terawal”. Rentangan busur pertamanya
adalah „Alam Kegagahan (Jabarut), dan yang keduanya
adalah „Alam Kerajaan (Malakut). Sedangkan Sifat-Nya adalah untaian dua „Alam itu.
Serta Zat-Nya yang Khusus Beriluminasi (tajalliy khasysy) adalah panah yang
Mutlak, panahnya dua rentangan.
35.Apabila kau memahami ini, hai pecinta, pahamilah bahwa Tuhan tidak berbicara
kecuali dengan Diri-Nya, atau dengan Sahabat-Nya (waly).
36.Untuk menjadi Sahabat-Nya, janganlah punya Guru ataupun Murid. Jadilah tanpa
pilihan, tanpa perbedaan, tanpa kepura-puraan atau sok-nasihat, jangan mengakui
sesuatu itu “miliknya” atau “darinya”. Tapi, apa yang ada padanya cukuplah sebagai
“apa yang ada padanya”, tanpa merasa adanya itu “padanya”, sebagaimana gurun
tanpa air di suatu “gurun tanpa air”, juga sebagaimana pertanda di suatu
“pertanda”.
[: Untuk ia yang 'arif, dalam ke'arifannya-ke'arif saat berhubungan dengan wacana publik
tentang apa yang logis dalam memperhatikan tujuan...]
1. Sang Faqir, Abu Mughits (Al-Hallaj), semoga Allah merahmatinya, berkata: "Tidak
ada misi yang tangguh kecuali yang diemban Iblis dan Muhammad,
shalawat dan salam atasnya. Hanya, Iblis terjatuh dari Zat, dan Muhammad merasakan
Zatnya-Zat."
5. Dengan pernyataan ini: "Bersama Engkau semata aku merasa bahagia, dan
kepada Engkau semata aku mengabdikan diriku." Dan: "Wahai Engkau yang
membolak-balik hati." Serta: "Aku tidak tahu bagaimana memuji-Mu sebagaimana
mestinya Engkau dipuji."
6. Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus peng-Esa (Tawhid) yang seperti
Iblis.
7. Karena Iblis 'di situ' telah 'melihat' penampakan Zat Ilahi. Ia pun tercegah bahkan
dari mengedipkan mata kesadarannya, dan mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan
dalam pengasingan khusyuknya.
11.Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia menjadi 'buta', dan berkata: "Tidak ada jalan
bagiku kepada yang lain selain dari-Mu. Aku pecinta yang 'buta'!" Dia berfirman
kepadanya: "Kau telah takabur!" Ia menjawab: "Apabila ada satu saja kilasan
pandang di antara kita, itu cukup membuatku sombong dan takabur. Kendati begitu,
aku adalah 'ia' yang mengenal-Mu sejak ke-baqa'-an masa Terdahulu, dan "aku lebih
baik daripadanya" (QS. 7: 12), sebab aku lebih lama mengabdi kepada-Mu. Tidak
ada satu pun, di antara dua jenis makhluk (Adam dan Iblis) ini, yang mengenal-Mu
secara lebih baik daripadaku!" "Ada Kehendak-Mu bersamaku, dan ada kehendakku
bersama-Mu, sedangkan keduanya mendahului Adam. Apabila aku bersujud kepada
yang selain Engkau, ataupun tidak bersujud, niscaya harus bagiku untuk kembali ke
asalku. Karena Engkau menciptakan aku dari api, dan api kembali ke 'api',
menuruti keseimbangan (sunnah) dan pilihan yang adanya milik-Mu."
12."Tidak ada jarak dari-Mu padaku, karena aku yakin bahwa jarak dan
kedekatan itu 'satu'!" "Bagiku, apabila aku dibiarkan, pengabaian-Mu justru
menjadi mitraku. Jadi, seberapa pun jauhnya lagi, pengabaian dan cinta tetap
'menyatu'!" "Terpujilah
Engkau, dalam taufiq-Mu dan Zat-Mu yang tiada terjangkau, bagi sang pemuja setia ini,
yang tiada bersujud ke yang selain Engkau!"
13.Musa (as) bertemu Iblis di lereng Bukit Sinai, dan bertanya kepadanya: "Hai Iblis,
apa yang mencegahmu dari bersujud?" Ia (Iblis) menjawab: "Yang mencegahku
adalah pernyataan ikrarku mengenai Sang Pujaan yang Unik. Dan, jika aku
bersujud, aku akan menjadi sepertimu. Karena kau hanya perlu dipanggil sekali,
"Tengoklah ke gunung," kau langsung menengok. Sementara aku, aku telah dipanggil
ribuan kali untuk menyujudkan diriku kepada Adam, aku tidak bersujud, karena
aku bersiteguh
dengan 'Tujuan' Ikrarku."
14.Musa (as) bertanya: "Kau membangkangi perintah?" Iblis pun menjawab: "Itu sebuah
ujian, bukannya perintah." Musa bertanya lagi: "Tanpa dosa? Kendati wajahmu
berubah begitu?" Iblis menyahut: "Hai Musa, keadaanku ini sekadar kemenduaan
dari penampilan-lahir, sementara keadaan (hal) spiritualku tidak bergantung atasnya,
bahkan
tidak berubah. Ma'rifat tetaplah benar sebagaimana pada awalnya, dan itu tidak berubah
kendatipun pribadinya berubah."
15.Musa (as) bertanya: "Adakah kau mengingat-Nya (zikir) sekarang?" "Hai Musa,
pikiran yang murni tidak membutuhkan daya-ingat, -- dengan itu aku mengingat (Dia)
dan Dia mengingat (aku). Ingatan-Nya adalah ingatanku, dan ingatanku adalah ingatan-
Nya. Bagaimana mungkin, ketika kami saling mengingat, kami berdua berlainan satu
sama lain?" "Pengabdianku sekarang lebih murni, waktuku lebih lapang, ingatanku lebih
agung, sebab aku mengabdi kepada-Nya secara mutlak demi keberuntunganku, bahkan
sekarang aku mengabdi kepada-Nya demi Diri-Nya."
16."Aku mencabut keserakahan dari segenap apa pun yang mencegahku atau
menahanku, baik demi kerugian ataupun keuntungan. Dia mengasingkanku,
membuatku mabuk- kepayang, melinglungkanku, mengeluarkanku, sehingga aku tidak
dapat berpadu dengan para ruh suci. Dia menjauhkanku dari yang lain, sebab
kecemburuanku (kepada-Nya) supaya Dia Sendiri saja. Dia mengubahku, sebab Dia
mengagumiku. Dia mengagumiku, sebab Dia membuangku. Dia membuangku, sebab
aku pengabdi. Dan, menempatkanku dalam ahwal terlarang disebabkan
kemitraanku. Dia mempertunjukkan kekurangan nilaiku disebabkan aku memuji
Keagungan-Nya. Dia menyederhanakanku dengan sehelai kain ihram disebabkan
kehajianku [hijya]. Dia membiarkanku disebabkan 'penemuan'- ku atas-Nya dalam
zikir. Dia menyingkapkan (kasyf) hijabku disebabkaan penyatuanku. Dia
mempenyatukanku disebabkan Dia memencilkanku. Dan, Dia memencilkanku
disebabkan Dia mencegah hasratku."
18."Kendatipun Dia mengazabku dengan api-Nya sepanjang masa, aku tetap tidak akan
bersujud kepada sesuatu (selain-Nya). Aku tidak akan merundukkan diriku
kepada pribadi atau jasad (Adam as), sebab aku tidak mengaku berlawanan
dengan-Nya! Ikrarku khusyuk, dan aku memang seorang yang khusyuk
dalam 'cinta'!"
19.Al-Hallaj berkata: "Ada beragam teori yang berkenaan dengan keadaan (hal)
spiritualnya 'Azazyl ([ )عزازيلsebutan Iblis sebelum kejatuhannya]. Seseorang
mengatakan bahwa ia ditugaskan dengan misi di surga, serta dengan suatu misi (lainnya)
di
bumi. Di surga ia berkhutbah kepada malaikat, menunjukinya tentang amalan yang baik.
Dan, di bumi ia berkhutbah kepada manusia dan jin, menunjukinya tentang
perbuatan yang jahat."
20."Sebab, seseorang tidak akan mengenali sesuatu kecuali dengan (mengenali) yang
sebaliknya. Sebagaimana dengan sutera putih halus, yang hanya dapat
ditenun dengan menggunakan lakan hitam di belakangnya -- makanya,
malaikat
mempertunjukkan amalan baiknya, dan berkata simbolis, "Jika kau beramal, kau
akan mandapat pahala." Namun, ia yang tidak mengenal kejahatan sebelumnya,
niscaya tidak dapat mengenali kebaikan."
21.Sang Faqir, Abu Umar Al-Hallaj, berkata: "Aku bersoal dengan Iblis dan Fir'aun
tentang kehormatan Sang Pemurah." Kata Iblis: "Jika aku bersujud, aku niscaya
kehilangan gelar kehormatanku." Dan, kata Fir'aun: "Jika aku beriman kepada
Rasul (Musa as) itu, aku niscaya terjatuh dari harkat kehormatanku."
23.Tatkala Iblis berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)," maka ia tidak
melihat sesuatu pun selain dirinya. Tatkala Fir'aun berkata: "Aku tahu pun tidak
bahwa kau (Musa as) mempunyai Tuhan yang selain aku," ia tidak mengetahui
bahwa sembarang rakyatnya dapat membedakan antara kebenaran dan
kepalsuan.
25.Temanku adalah Iblis, dan guruku adalah Fir'aun. Iblis diancam dengan api dan
tidak mencabut pernyataannya. Fir'aun ditenggelamkan di Laut Merah tanpa
mencabut pernyataannya ataupun mengakui sembarang perantara (rasul). kendatipun
begitu ia berkata: "Aku beriman bahwa tiada Tuhan kecuali Dia yang diimani oleh
Bani Isra'il." (QS. 10: 90) Dan, bukankah kau melihat bahwa Allah pun
menentang Jibril dalam Keagungan-Nya? Dia berfirman: "Mengapa kau penuhi
mulutmu dengan 'pasir'?"
26.Jadi, aku (akhirnya) dibunuh, digantung, tangan dan kakiku dipotong, tanpa aku
mencabut pernyataan tegasku!
28.Dia (Allah) berfirman kepadanya: "Kau tidak bersujud, hai yang nista!" Ia
menjawab: "Sebutlah lebih baik -- 'pecinta'!" Karena pecinta dianggap rendah,
maka Engkau menyebutku nista. Aku telah membaca dalam Kitab yang Nyata,
wahai Sang Kuasa dan Setia, bahwa hal ini akan terjadi padaku. Jadi, bagaimana
mungkin aku menistakan diriku kepada Adam, padahal Engkau menciptakannya dari
tanah, sedangkan aku dari api? Dua hal yang berlawanan tidak dapat diakurkan.
Dan, aku telah mengabdi-Mu lebih lama, juga memiliki kebajikan yang lebih luhur,
pengetahuan yang lebih luas, serta aktivitas yang lebih sempurna."
29.Allah, yang senantiasa terpujilah Dia, berfirman kepadanya: "Pilihan adalah milik-
Ku, bukannya milikmu." Ia menjawab: "Segenap pilihan, bahkan pilihan diriku, adalah
milik- Mu. Karena Engkau telah terpilih untukku, wahai Sang Khaliq. Jika
Engkau mencegahku dari bersujud kepadaanya (Adam as), Engkau adalah 'Sebab'
pencegahan itu. Jika aku khilaf berbicara, Engkau tidak membiarkanku, karena
Engkau Sang Maha Mendengar. Jika Engkau berkehendak aku bersujud
kepadanya, aku niscaya taat. Aku tidak mengetahui seorang pun di antara (makhluk)
yang 'Arif, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripada aku."
30.Jangan persalahkan aku, ide kecaman jauh dariku, anugerahilah aku, wahai
Penguasaku, demi aku sendiri. Kalaupun dalam hal janji, janji-Mu itu sejatinya
Kebenaran prinsip, tentunya prinsip ikhtiarku juga kuat. Ia yang berhasrat
menulis ikrarku ini, atau membacanya, akan mengetahui bahwa aku (akhirnya)
menjadi seorang Syahid!
33.Sumber air di darat adalah telaga yang rendah. Ia (Iblis) terazab kehausan di tempat
yang (airnya) berlimpah-ruah. Ia menangisi kesakitannya, karena api telah
membakarnya. Kekhawatirannya tidak lain hanyalah kepura-puraan, dan ke-'buta'-
annya adalah kesia- siaan -- itulah ia adanya!
34.Hai saudaraku! Andaikan kau mengerti, kau telah mempertimbangkan jalan sempit di
kesempitannya yang teramat sangat. Kau telah menunjukkan khayalan itu kepadamu
dalam kemusykilannya yang teramat sangat. Dan, kau akan menderita serta
penuh kegelisahan.
35.Kaum shufi yang paling terjaga pun tetap bungkam tentang Iblis, dan para 'arifin
tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan apa yang telah dipelajarinya (tentang
Iblis). Iblis lebih kuat daripada mereka dalam hal pemujaan, dan lebih dekat daripada
mereka kepada Sang Zat Wujud. Ia (Iblis) mengerahkan dirinya lebih dan 'lebih'
setia pada perjanjian, serta lebih dekat daripada mereka kepada Sang Pujaan.
36.Malaikat lain bersujud kepada Adam (as) karena dukungan (Allah), sedangkan
Iblis menolak (bersujud) karena ia telah 'tafakur' sekian lamanya.
2. Iblis berkata: “Bila aku memasuki lingkaran pertama, aku akan menempuh ujian dari
(lingkaran) yang kedua. Dan, bila aku melintas ke yang kedua, aku harus
menempuh ujian dari (lingkaran) yang ketiga. Bahkan, bila aku menyeberang ke
yang ketiga, aku mesti menempuh ujian dari (lingkaran) yang keempat.”
3. Maka – tidak (la), tidak (la), tidak (la), tidak (la), dan tidak (la)! Bahkan, bila
aku istirah di „tidak‟ pertamaku, aku pasti dikutuk sampai aku mengucapkan („tidak‟)
yang kedua, dan dibuang sampai aku mengucapkan („tidak‟) yang ketiga. Jadi, apakah
yang keempat berarti bagiku?
4. Kalaulah aku tahu bahwa bersujud (kepada Adam as) pasti menyelamatkan aku,
aku niscaya bersujud. Kendati demikian, aku tahu bahwa setelah lingkaran (pertama) itu
ada lingkaran-lingkaran (kedua, ketiga, dan keempat) lainnya. Dengan pemikiran
begitu, maka kukatakan kepada diriku: Kalaupun aku selamat dari lingkaran
(pertama) ini, bagaimana dapat aku keluar dari (lingkaran) yang kedua, yang ketiga,
dan yang keempat?
5. Adapun „Alif‟ ( ) اdari „La‟ ( ) الyang kelima adalah “Dia – Tuhan, Sang Hidup.”
(QS. 2: 255)
Thasin Al Tauhid (Keesaan)
2. Allah adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan „saksi‟ sebagai yang Satu.
3. Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas Penyatuan (Tawhid) yang Satu, Adalah „di Dia‟
dan „dari Dia‟.
4. Dari-Nya datang jarak pemisah (makhluk) yang lain dari Penyatuan-Nya, dan itu dapat
dilambangkan demikian ini:
[Tauhid terpisah dari Allah, dan simbol „wahdaniyah‟ ini dilambangkan oleh „Alif‟
( ) ﺍpanjang, dengan sejumlah „dal‟ ( ) دdi dalamnya. Adapun „Alif‟-nya ( ) ﺍmerupakan
Zat, dan „dal‟-nya ( ) دsebagai Sifat.]
[Inilah „Alif‟ ( ) ﺍpurba-Nya Zat (‟Alif‟ panjang) dengan „alif-alif‟ ( ) ﺍ ﺍlainnya, yang
merupakan wujud-wujud makhluk, dan yang hidup di atas „Alif‟ ( ) ﺍutama.]
6. Tauhid adalah sifat subyek makhluk yang melafalkan ketauhidannya, dan bukan sifat
sang Obyek yang tersaksikan Satu.
7. Apabila aku yang makhluk mengatakan “aku”, dapatkah aku membuat-Nya
juga mengatakan “Aku”? Tauhidku datang dariku, dan bukan dari-Nya.
Dia
suci [munazzah] dariku dan Tauhidku.
8. Bila aku mengatakan: “Tauhid kembali ke „ia‟ yang mengatakannya,” maka aku
membuatnya (Tauhid) sebagai suatu makhluk.
9. Jika aku mengatakan: “Tidak, Tauhid itu datang dari sang Obyek yang
tersaksikan,” maka adakah hubungan yang mengaitkan seorang peng-Esa (Tauhid)
ke pernyataannya tentang Penyatuan itu?
2. Subyek sejatinya Tauhid berbolak-balik melintasi keragaman subyek, sebab Dia tidak
tercakup dalam subyek atau dalam obyek ataupun dalam kata-ganti lainnya.
Akhiran kata-bendanya juga tidak terliput pada Obyeknya. Kata-kepunyaan „ha‟-nya (
)حadalah milik „Ah‟-nya ( )حا, dan bukan „Ha‟ ( )ﻫlain, yang tidak membuat kita
bertauhid.
3. Bila kukatakan tentang „Ha‟ ( )ﻫini „Wa-Ha‟ ()ﻮﻫ, yang lainnya akan berseru padaku,
“Malangnya!”
4. Itulah julukan, sebutan dan kiasan demonstrative yang menembus (Tauhid) ini,
sehingga kita dapat „melihat‟ Allah melalui keadaan (hal) senyatanya.
5. Segenap peribadi insan seperti “sebuah bangunan yang tersusun rapi”. Inilah ketentuannya,
dan Penyatuan Allah (Tauhid) tidak terkecuali bagi ketentuan ini. Kendati
demikian, setiap ketentuan adalah batasan, dan sifat batasan hanya berlaku bagi obyek-
terbatas. Sebaliknya, obyek Tauhid tidak mengakui pembatasan tersebut.
6. Kebenaran [al-Haqq] itu sendiri tidak lain dari singgasana Allah, bukannya Zat
Allah.
7. Dikatakan, Tauhid tidak mencapai (Kebenaran) itu, karena peran kebahasaan dari suatu
istilah dan pengertiannya yang pas, tidak berpadu satu sama lain, ketika
menyangkut
sebuah imbuhan. Kalau begitu, bagaimana dapat semua berpadu, ketika
menyangkut Allah?
9. Andai kukatakan bahwa „ada‟-nya tersembunyi „di dalam‟ Allah, dan Dia
mengejawantahkannya. Bagaimana itu tersembunyinya, sedangkan di (Allah) sana tidak
ada „bagaimana‟ atau „apa‟ ataupun „ini-itu‟, dan di sana juga tidak ada tempat [„dimana‟]
yang memuat Dia.
10.Sebab, „di dalam ini-itu‟ adalah ciptaan Allah, sebagaimana adanya „di mana‟.
11.Adapun yang mendukung suatu aksi (aksiden) bukannya tanpa substansi. Dan,
yang tidak terpisahkan dari jasad bukannya tanpa unsur jasad. Juga yang tidak
terpisahkan dari ruh bukannya tanpa unsur ruh. Karena itu, Tauhid merupakan
sebuah perpaduan (spiritual).
12.Kita kembali dulu, di luar semua itu, ke pokok masalah [Obyek kita]
dan memisahkannya dari kalimat tambahan, pemaduan, penghitungan,
peleburan dan penyifatan.
13.Lingkaran pertama [pada diagram berikutnya] terdiri atas tindakan Allah, yang
kedua terdiri atas tiruannya (tindakan). Dan, inilah dua lingkaran (makhluk)
ciptaan.
2. Inilah kesemestaan yang dapat memperlihatkan kepada kita mengenai fatwa dan hukum
(Tauhid), juga buat para pakar, ahli „ibadah dan ahli madzhab, ahli fiqih dan ahli kalam.
3. Lingkaran pertama adalah „perasaan‟ harfiah, yang kedua adalah „rasa‟ batin, dan yang
ketiga adalah kias „ruh‟ (yang tidak terkiaskan).
4. Itulah keseluruhan segala sesuatu, yang dicipta ataupun digubah, yang dipakai,
ditapis, disaring, disangkal, yang dibuai ataupun dibius.
7. Kalau kukatakan: “Ia adalah Dia,” pernyataan itu bukanlah (refleksi) Tauhid.
8. Bila kukatakan bahwa Tauhid Allah itu shahih, orang akan menjawabku –
“Tidak sangsi lagi!‟
9. Andai kukatakan “tanpa waktu,” orang akan bertanya: “Adakah maknanya Tauhid
itu tamsil?” Padahal, tidak ada perbandingan saat menggambarkan Allah. Tauhidmu itu
tidak ada hubungannya dengan Allah ataupun makhluk, sebab faktanya mengungkapkan
bahwa sejumlah waktu itu mengintrodusir kondisi terbatas. Dalam hal ini, kau telah
menambahkan pengertian pada Tauhid, seolah (Tauhid) itu bergantung. Bagaimanapun,
kebergantungan bukanlah sifat Allah. Zat-Nya itu Unik. Dan, sekaligus, baik
Kebenaran maupun apa yang gaib, tidak mungkin terpancar (keluar) dari Zat-
Nya Zat.
10.Jika kukatakan: “Tauhid adalah Firman itu sendiri,” „Firman‟ adalah sifatnya Zat,
bukan Zat itu sendiri.
11. Jika kukatakan: “Tauhid maknanya Allah berhasrat sebagai yang Satu,‟
„Kehendak‟ Ilahi adalah sifatnya Zat, sedangkan hasrat adalah makhluk.
12.Jika kukatakan: “Allah adalah Tauhidnya Zat yang dinyatakan pada dirinya
sendiri,” maka aku membuat Zat bertauhid, yang bisa menjadi pergunjingan
kita.
13.Jika kukatakan: “Tidak, ‟ia‟ (Tauhid) bukan Zat,” lalu dapatkah aku menyatakan
bahwa Tauhid adalah makhluk?
14.Jika kukatakan: “Nama dan obyek yang dinamai itu Satu,” maka apakah
pengertian (nama) yang dikandung Tauhid?
15.Jika kukatakan:” Allah adalah Allah, maka adakah aku mengatakan bahwa
Allah adalah zatnya-Zat, dan „ia‟ (Tauhid) adalah Dia?
20.Maha Besar Allah, yang Maha Suci, yang dengan kesucian-Nya tidaklah Dia terjangkau
oleh segenap cara (thariqah) sang arif, apalagi oleh segenap intuisi orang kebatinan.