Anda di halaman 1dari 11

Mansur Al Hallaj

Antara Drama Ilahi dan Tragedi Penyingkapan Rahsia

Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan
tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Siri
as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl
bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr
asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.

Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul
sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politikal dan kalangan
Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain
bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofi Islam, sekaligus
menjadi watak misteri dalam sejarah Tasawuf Islam.

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, terkenal dengan dipanggil dengan Abul
Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Iraq.
Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul
Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia
ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad
bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy.
Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan
memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar,

1 / 11
Mansur Al Hallaj

“Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”

Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa zalim ketika itu, di dekat
gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Zul Qa’dah tahun 309 H.

Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj,


berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah
as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi)
yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak tersebar
luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula.
Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan
faham tentang pandangan Al-Hallaj.”

Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal
halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia
telah membuka rahsia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal
hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.

Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara
sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.

2 / 11
Mansur Al Hallaj

Para teologi, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga
mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau
pantheisme.

Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan
Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang
disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj.
Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang
manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik
yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat
hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.

Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan
isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya
bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada umum pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan
Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.

Setidak-tidaknya ada tiga kelompok besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ mahupun Sufi
terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan
mengkafirkan dan ada pula yang secara umum tidak memberi apa-apa komen, dan ada yang
langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam
bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:

1. Mereka yang mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan
mazhab zahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah
Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab

3 / 11
Mansur Al Hallaj

Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara
lain Ibnu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby.

Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny
(Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah);
Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi
mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.

2. Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain:
At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy
(Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan
Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan
Mutakallim Salaf.

Dari kalangan Filosuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara
lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ asSulamy dan Al-Kalabadzy.

4 / 11
Mansur Al Hallaj

3. Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul
(Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly,
Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.

Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat


rahasia dan dalam, yang tidak boleh ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya
para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib.
Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara
lebih terperinci.

Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami
wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali
wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa
dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah
wacananya, Al-Hallaj sentiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir.
Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi
dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di
puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.

5 / 11
Mansur Al Hallaj

Jadi Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’,
sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.

Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang
dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etik murni dari seorang
Sufi yang sangat dalam.

Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan pegadilannya:

“Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama
dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan perundangan juga
dihadirkan di sebelah barat, tepatnya di hari Selasa, bulan Dzul Qa’dah Minggu kedua, TAHUN
309H. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukkan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua
tangannya, lalu lehernya ditebas. Lalu tubuhnya dibakar dengan api.

Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada umum dalam kandang besi,
sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati
saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan
padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang
menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam
DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”.

6 / 11
Mansur Al Hallaj

Sebelum meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu tahanan ke
tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tersaingi
oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh
bahaya masa Al-Hallaj. Kalau ia Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana
pernah ia ramalkan sendiri, adalah karena ia harus menghadapi ketidak dayaan kekuasaan.
Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang
digambarkan, sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam, puasa
sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali
tidak ada kaitannya dengan disabitkan bahwa dirinya salah dan benar.

Rasanya Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf.
Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan
merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menghukum Al-Hallaj begini dan begitu,
tanpa pernah menghayati pengalaman terdalam dalam kaedah Sufistik, siapa pun akan selalu
gagal memahaminya.

Ada ungkapan Sufi yang sangat arif dan ia boleh menjadi renungan kita bersama untuk sekadar
merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan
pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah
mentas dari tenggelam, dan sedar, baru ia bicara tentang kisah rahsia tenggelam tadi. Ketika ia
bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar
ilmu tentang tenggelam.

Bezakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati
tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahpahaman dalam
memahami tenggelam itu sendiri.”

7 / 11
Mansur Al Hallaj

Diantara Ucapan-ucapan Al-Hallaj :

1. Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia
menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu
disingkapkan niscaya mereka mati semua.

2. Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu
bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Syukur, bukan yang lain.

3. Siapa yang menyandarkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang
menyandarkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.

4. Asma-asma Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama sahaja, tapi dari segi
kebenaran adalah hakikat.

5. Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung perbezaan.

8 / 11
Mansur Al Hallaj

6. Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju
kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”

7. Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau
mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih
melihat individu-individu lainnya.

8. Siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertutup dari


ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh
cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, kerana kemabukan itulah yang
bicara dengan segala hal yang tersembunyi.

9. Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari
dengan cahaya bintang gemilapan.

10. Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad
itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu
pun tidak memiliki pekerjaannya.

9 / 11
Mansur Al Hallaj

11. Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji,
adalah Zat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat
QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun
dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu
difikirkan dan tidak boleh tercetus dalam imaginasi, tidak pula boleh dilihat pandangan, tidak
bisa darusi kesenjangan.

12. Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan ZzatNya, di sana tak ada lagi
perbezaan.

13. Ketika ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha
Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu, dan itulah
hamparan Tauhid.

MAKAM BELIAU

10 / 11
Mansur Al Hallaj

11 / 11

Anda mungkin juga menyukai