Anda di halaman 1dari 48

KITAB THAWASIN AL-HALLAJ

Tasawuf Falsafi Al-Hallaj


AL-HALLAJ
(Biografi,karya,tasawuf, dan pemikirannya)

Latar Belakang
Pada abad ke 9 Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan
melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan ma’rifat dan
tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad tersebut telah
ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun pemikiran yang menunjukkan
keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik, seperti halnya Al Ghazali, Dzun
Nun (859 M), Bayezid Bistami (874 M), dan Al Harith al Muhasibi (857 M) dan Husein
Ibn Mansur Al hallaj (858 M).
Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebagai wacana
keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah habis
dibahaskan, kerana pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah saling bertemu
untuk memberikan klarifikasi dalam satu majlis, kecuali hanya saling mengecam dan
mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang serakah dan licik
sejak dahulu.
Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang popular yang di lontarkan oleh Husein
Ibnu Al Hallaj "Ana al-Haq" dan juga tak kalah populernya yaitu paham hulul.
Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap kaum Sufi atau para
Zahid yang menjalankan praktis kerohaniannya dengan melakukan dzikir secara rutin,
shalat malam dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Sehingga pada ujungnya
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu tafsir yang menjadi nadi.

A. Biografi Al-Hallaj
Memiliki nama lengkap Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad al-
Baidawi . Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thur bagian distrik Baida
Persia, tempat orang-orang Iran selatan yang telah terArabisasi yang merupakan sub
camp dari jund Basrah, dan kemudian menjadi pusat militer (dengan sebuah pabrik
pembuat koin uang untuk pasukan yang keluar dari Shiraz ke Khurasan untuk
memerangi Turki), sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran. Beliau dibesarkan di
Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal
para penyortir kapas . Ayahnya adalah seorang penyortir wool (hallaj), oleh karena itu
beliau diberi gelar al-Hallaj . Bersama ayahnya, al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat
tekstil di Ahwaz dan Tustar. Kakeknya, Muhammad adalah seorang penyembah api,
pemeluk agama Majusi sebelum ia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa al Hallaj
berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.
Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal. Pada saat
ia berumur 16 tahun, ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn Abdullah at-
Tustury (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah belajar pada Sufyan
at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia meninggalkan gurunya at-
Tustury dan pindah ke Bashrah untuk belajar kepada Sufi ‘Amr al-Makki. Kemudian dia
masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid al-Baghdadi. Al-Hallaj pernah
hidup dalam pertapaan dari tahun 873-879 M bersama-sama dengan guru sufi al-
Tustury, ‘Amr al-Makki, dan Junaid al-Baghdadi.
Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah
pengetahuan dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang syekh ternama yang tidak
pernah dimintainya nasehat. Al-Hallaj telah menunaikan ibadah haji tiga kali selama
hidupnya. Dalam perjalanan dan pengembaraan serta pertemuannya dengan ahli- ahli
sufi itulah yang membentuk pribadi dan pandangan hidup al-Hallaj sehingga dalam usia
53 tahun ia telah menjadi pembicara ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya
yang berbeda dengan yang lain. Sampai-sampai seorang ulama fiqh terkemuka yang
bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa paham dan
ajaran al-Hallaj sesat. Atas dasar fatwa ini Al Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu
tahun dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan dari seorang penjaga
yang menaruh simpati padanya.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Disana ia bersembunyi selama
empat tahun. Namun pada tahun 301H/903M ia ditangkap kembali dan dimasukkan
lagi ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309/921M
diadakanlah persidangaan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-
Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309H jatuhlah hukuman kepadanya. Dia
dihukum mati dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu disalib,
sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalakan
tergantung pecahan-pecahan tubunhnya itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian
dibakar tubuhnya dan abunya dihanyutkan di sungai Dajlah.
Dalam riwayat lain diceritakan secara lebih mendetail mengenai jalannya eksekusi
“ekstra tragis” yang diterima al-Hallaj. Al-Hallaj tengah dipecut (disebat) seribu kali
tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal, tapi sebelum
dipancung dia sempat shalat 2 rakaat. Kemudian kaki dan tangannya dipotong.
Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan ke naftah dan kemudian
dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai sedangkan kepalnya di bawa ke
Khurasan untuk dipersaksikan oleh umat Islam dan sejarahnya.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika proses hukuman mati al-Hallaj, algojo-
algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian dikerumuni orang
banyak yang datang dari berbagai penjuru yang diperintahkan untuk melempari batu
kepadanya. Ketika itu dia selalu mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan ia
dijebloskan ke dalam penjara dan hukuman mati, yaitu Ana Al Haqq (aku adalah Yang
Maha benar). Dan ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya
berseru kepada Allah : “Sesungguhnya wujud Allah itu telah jelas,
tidak membutuhkan penguat semacam syahadat”.
Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai memukulnya,
mereka memotong tangan dan kakinya, diapun menerimanya dengan tersenyum,
bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya ke mukanya seakan-akan
dia berwudhu dengan darah sucinya itu. Setelah itu para algojo memotong lidah dan
mencukil matanya. Pada saat itu dia berisyarat, seakan-akan memintakan ampun bagi
para algojo kepada Allah “Mereka semua adalah hambaMu, mereka
berkumpul untuk membunuhku karena fanatik terhadap
agamaMu dan untuk mendekatkan diri kepadaMu. Maka
ampunilah mereka. Andaikata Kau singkapkan kepada mereka
apa yang Kau singkapkan kepadaku, tentu mereka tidak akan
melakukan apa yang mereka lakukan sekarang ini.”
Al-Hallaj adalah seorang ‘alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn
Suraij, ia adalah seorang yang hafal al-Quran beserta pemahamannya, menguasai ilmu
fiqh dan hadist serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Beliau
merupakan seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan masih banyak lagi sifat
kesalehannya.

B. Karya – Karya Al-Hallaj


Ibnu nadim seorang ahli riwayat ternama, yang banyak sekali membicarakan al-Hallaj
dan menentang pendiriannya, mencatat bahwa karya-karya al-Hallaj tidak kurang dari
47 buah banyaknya. Diantaranya adalah:
1. Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
2. Kitab Al Ushul wal Furu’.
3. Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
4. Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
5. Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
6. Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
7. Kitab “Hua, Hua”.
8. Kitab At Thawwasin. 
Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut at-Taftazani,
kitab At-Thawasin merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap dalam
menggambarkan paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami,
sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya.
Disamping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang
dimengerti.

C. Filsafat Al-Hallaj
Inti ajaran al-Hallaj telah dinyatakan dalam bentuk syair (Tawasin) dan juga kadang
dalam prosa (Natsar), dalam susunan kata-kata yang mendalam di sekililing tiga hal,
yaitu : 

1. Hulul ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan


(nasut).
Secara etimologi Hulul memiliki sinonim dengan infusion yang bermakna
“penyerapan” yakni menyerap keseluruh obyek yang dapat menerimanya (the infusion
spreads to all part of the receptive object). Secara harfiah hulul berarti Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat
melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’. Menurut keterangan Abu Nasr
al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, hulul adalah paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat di dalamnya setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Paham hulul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham al-ittihad
yang dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M/ 261 H). Tetapi dua konsep
ajaran ini berbeda. Dalam ajaran al-ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri
Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep hulul, diri manusia tidak hancur.
Dalam konsep al-ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam konsep ajaran hulul
disana ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh .
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam
kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog
yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah
kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada dzat-Nya dan Ia pun cinta pada
zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab
wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk
copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam.
Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia
cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuk-Nya. Teori ini nampak
dalam syairnya:

‫ س ّر سنا الهوته الثاقب‬# ‫سبحان من اظهر ناسوته‬


‫ في صورة األكل والشارب‬# ‫ث ّم بدا لخلقه ظاهرا‬
Maha suci dzat yang sifat kemanusiaannya membuka rahasia
Ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum

Melalui syair diatas, tampaknya al-Hallaj memperlihatkan bahwa Allah memiliki dua
sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Demikian pula
pada diri manusia juga terdapat dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat
kemanusiaan (nasut). Dengan demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan
dalam dirinya. Yang demikian ini merupakan bentuk pemahaman al-Hallaj dalam
menafsirkan Q.S. Al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi :
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#r߉àfó™$#
tPyŠKy (#ÿr߉yf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4’n1r&
  uŽy9õ3tFó™$#ur tb%x.ur z`ÏB šúïÍ�Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat: "Tunduklah (beri
hormat) kepada Nabi Adam". lalu mereka sekaliannya tunduk memberi
hormat melainkan Iblis; ia enggan dan takbur, dan menjadilah ia dari
golongan Yang kafir.

Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Adam. Karena yang
berhak untuk diberi sujud hanya Allah, maka al-Hallaj memahami bahwa dalam diri
Adam (manusia) sebenarnya terdapat unsur ketuhanan. Disisi lain, hal ini (sujud)
dikarenakan pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma dalam diri Isa
as.
Kalau sifat-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat
ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya.
dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia, sebagaimana
diungkapkannya dalam syair berikut :

‫ تمزج الخمرة بالماء الزالل‬# ‫مزجت روحك في روحي كما‬


‫ فإذا انت انا في ك ّل حال‬# ‫سني‬
ّ ‫سك م‬
ّ ‫فإذا م‬
ّ
‫ نحن روحان حللنا بدنا‬# ‫انا من أهوى ومن أهوى انا‬
‫ وإذا أبصرته أبصرتنا‬# ‫فإذا أبصرتني أبصرته‬
Telah bercampur rohMu dalam rohku
Laksana bercampurnya khamar dengan air yang jernih
Bila menyentuh akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku
Sebab itu, Engkau adalah Aku, dalam segala hal
Aku adalah ia yang kucintai dan ia yang ku cintai adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat aku, engkau lihat ia
Dan jika engkau lihat ia, engkau lihat kami. 

Berdasarkan syair diatas, dapat diketahui bahwa persatuan antara Tuhan dengan
manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Yakni dengan terlebih dahulu
menghilangkan sifat kemanusiaannya (nasut). Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang
dan hanya tinggal sifat ketuhanan (lahut) yang ada pada dirinya, disitulah Tuhan
mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu
dalam tubuh manusia.
Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam
kehendak ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga
tindakannya. Namun disisi lain al-Hallaj mengatakan:
“Keinsananku tenggelam kedalam ketuhanan-Mu, tetapi
tidaklah mungkin percampuran. Sebab ketuhanan-Mu itu
senantiasa menguasai akan keinsananku. Barangsiapa yang
menyangka bahwa ketuhanan bercampur keinsanan jadi satu,
atau keinsanan masuk kedalam ketuhanan, maka kafirlah dia.
Sebab Tuhan itu bersendiri dalam zat-Nya dan sifat-Nya
daripada makhluk dan sifat-Nya pula. Tidaklah Tuhan serupa
dengan manusia dalam rupa bentuk yang mana jua pun”.
Dengan demikian, al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya adalah Tuhan
dan juga tidak sama dengan Tuhan. Seperti yang terlihat dala syairnya:

‫ق فف ّرق بيننا‬
ّ ‫ بل انا ح‬# ‫ق ما انا الحق‬
ّ ‫انا س ّر الح‬
Aku adalah yang Maha Benar
Dan bukanlah yang Maha benar itu aku
Aku hanya satu dari yang Maha Benar
Maka bedakanlah aku dari yang Maha Benar 

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang
terjadi pada al-Hallaj tidaklah nyata karena membari pengertian secara jelas bahwa
adanya perbedaan antara hamba dengan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi
hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau sekedar
terlebarnya nasut kedalam lahut, dan diantara keduanya tetap ada perbedaan. Untuk
lebih memahami doktrin hulul ini, lebih jelasnya dapat merujuk kepada rangkaian
penjelasan al-Hallaj berikut ini : “Siapa yang membiasakan dirinya
dalam ketaatan, sabar atas kenikmatan dan keinginan, maka ia
akan naik ketingkat muqarrabin. Kemudian ia senantiasa suci
dan meningkat terus hingga terbebas dari sifat-sifat
kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam dirinya
lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempat dalam
tubuhnya sebagaimana ia mengambil tempat pada diri Isa bin
Maryam. Dan ketika itu seorang sufi tidak lagi punya kehendak
kecuali apa yang dikehendak oleh ruh Tuhan sehingga seluruh
perbuatannya merupakan perbuatan Tuhan . Air tidak dapat
menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk ”.

2. Al-Haqiqah al-Muhammadiyah (Nur Muhammad)


Menurut al Hallaj Nur Muhammad merupakan asal atau sumber dari segala sesuatu ,
segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan . Dan dengan perantaraan Nur
Muhammad itulah alam ini dijadikan. Nur Muhammad bisa diartika juga sebagai pusat
kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat segala Nabi. Dan nabi-nabi itu,
nubuwwat-nya ataupun dirinya hanyalah sebagian dari Nur Muhammad itu. Segala
macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran dari Nur Muhammad.
Menurut Al Hallaj, kejadian Nabi Muhammad terbentuk dari dua rupa. Pertama,
rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang
ada ini. Kedua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang Rasul dan Nabi yang
diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang
qadim akan tetap ada meliputi alam.
Paham tentang Nur Muhammad ini berdasar pada hadis yang sangat populer di
kalangan ahli sufi, yaitu : “Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh
dunia berasal dari cahayku”. Dan paham ini kemudian dikembangkan dan
disebarluaskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabai (w638H) dan Abd.al Karim bin Ibrahim al
Jili (w.811H) dalam kerangka ide Insan Kamil.
Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran
filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta diperkenalkan oleh al
Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonisme Plotinus, maka dalam tasawuf
teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al Hallaj dengan konsep barunya yang disebut
Nur Muhammad atau Haqiqah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang
maujud. 

3. Wahdah al adyan (Kesatuan agama-agama)


Inti ajaran dari Wahdah al adyan adalah sebenranya nama agama yang berbagai macam,
seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat
yang satu saja. Nama berbeda, satu tujuan. Segala agama adalah agama Allah
maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam satu
agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara ibadah bisa
berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Paham Wahdah al-Adyan ini muncul
sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur Muhammad. Yakni pahamnya al-
Hallaj tentang qadimnya Nur Muhammad telah mendorongnya untuk berkesimpulan
tentang kesatuan agama.
Mengenai hal ini, ‘Abdullah bin Tahir al-Azdi mengatakan, sebagaimana dicatatkan oleh
al-Taftazani sebagai berikut:
“Suatu hari aku bertengkar dengan orang yahudi di pasar
baghdad. Diapun ku maki: hai anjing. Ketika itu al-Hallaj lewat
dan memandangku dengan geram. Dan tegurnya: jangan kau
maki anjingmu. Dan diapun langsung pergi. Setelah
pertengkaran itu, aku mencari al-Hallaj. Namun ketika ku
temui, dia memalingkan wajahnya. Akupun meminta maaf
kepadanya. Lalu dia berkata: wahai sahabatku, semua agama
adalah milik Allah. Setiap golongan menganut suatu agama
tanpa adanya pilihan, bahkan dipilihkan bagi mereka. Kerena
itu, barangsiapa menyalahkan apa yang dianut golongan itu
sama saja halnya dia telah menghukumi golongan tersebut
menganut agama atas upayanya sendiri. Ketahuilah ! agama-
agama yahudi, islam dan yang lain-lainya adalah sebutan serta
nama yang beraneka ragam dan berbeda. Akan tetapi tujuan
tujuan semuanya tidak berbeda” .
Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia,
karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya
berselisih dan bertingkah. Tetapi lebih baik perdalamlah agama masing-masing.

D. Pendapat Ulama Mengenai Pemikiran Al Hallaj


Berbagai macamlah perkataan ulama tentang al-Hallaj. Sebagian mengkafirkan dan
sebagian yang lain membela atau membenarkan. Beberapa perkataan, terutama dari
pihak masa kekuasaan pada masa itu tersiar bahwa ajaran al-Hallaj sangat merusak
ketentraman umum. Murid-muridnya sampai ada yang menyangka bahwa al-Hallaj
adalah Tuhan, sebagaimana prasangkaan orang nasrani terhadap diri isa al-masih. Dia
dianggap pandai menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit kusta.
Muridnya kian lama kian banyak. Dan setelah diselidiki oleh penyelidik kerajaan,
katanya dia mengadakan hubungan yang rapat dengan kaum karamithah, yaitu
segolongan umat di abad ketiga dan keempat yang menyerupai faham komunis di
indonesia. Sebab itu dia tidak mau mengakui kekuasaan pemerintahan yang sah. Dia
mengakui sebagian kepercayaan kaum ismailiyyah bahwa imam yang sejati ialah imam
yang ghaib.
Dan lagi menurut beritra yang tersiar itu pula beliau menfatwakan bahwasannya naik
haji yang lahir pergi ke mekkah itu tidaklah perlu dikerjakan. Sebab itu hanya
memayah-mayahkan diri saja. Itu boleh diganti dengan haji yang lain, yaitu dengan haji
rohani, dengan membersihkan diri dan jiwa dan tafakur mengingat Tuhan dalam
khalwat, sehingga ka’bah itu sendirilah yang datang kedalam khalwatnya menemuinya.
Disanapun dia boleh berthawaf.
Memang, banyak di antara ulama yang tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang
diajarkan oleh Al Hallaj ini, tetapi tidak sedikit pula para ulama yang sependapat dan
membelanya. Kebanyakan Ulama fiqih mengkafirkannya. Dengan alasan bahwasanya
mengatakan bahwa diri manusia bersatu dengan Tuhan adalah syirik yang amat besar.
Oleh karena itu Ibn at Taymiyah, Ibn al Qayyim, Ibn an Nadim dan lain-lain berpendapat
bahwa hukuman mati yang ditimpakan kepada Al Halaj memang patut diterimanya.
Tetapi ulama-ulama fiqih yang lain seperti Ibnu Syuraih seorang ulama yang sangat
terkemuka dari mazhab Malik, memberikan komentar: "Ilmuku tidak
mendalam tentang dirinya, karena itu saya tidak bisa berkata
apa-apa".
Pembela-pembela Al Hallaj menjernihkan ajarannya dari apa yang dituduhkan orang
kepadanya. Syaikh Abdurrahman As Saqqaf salah seorang Syaikh tarikat Alawiyah,
mengatakan bahwa dia sebelumnya menyangka pada diri Al Hallaj ada keretakan
karena sikapnya, seperti keretakan pada kaca, tetapi setelah sampai pada maqam al
qutbiyyah dia melihat bahwa Al Hallaj telah mencapai tingkat bila diandaikan buah dia
telah matang.
Imam Al Ghazali ketika ditanyai bagaimana pendapatnya tentang perkataan "ana al
haq?". Beliau menjawab," Perkataan demikian yang keluar dari
mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah. Apabila
cinta sudah demikian mendalamnya, tidak ada lagi rasa
berpisah antara diri seseorang dengan seseorang yang
dicintainya". Sehingga beliau, Jalaludin Rumi, dan Fariduddin al Attar memberinya
julukan "Syahidul Haq" (seorang syahid yang benar).
Beliau syekh Maftuh Basthul Birri salah satu masyayikh di ponpes Hidayatul Mubtadi’in
(lirboyo) dalam bukunya yang berjudul Manaqib 50 Wali Agung mengatakan “Syekh al-
Hallaj ini tinggi sekali ma’rifat dan ilmu haqiqatnya, jadzab dan cintanya dengan Allah
seperti imam Abu Yazid al-Bustomi, sehingga beliau pernah berkata ANAL HAQ. Maka
banyak orang yang ingkar karena tidak sampai kefahamannya”.

Kesimpulan
1. Al-Hallaj merupakan seorang ahli sufi, filsuf, dan sekaligus wali Allah yang hidup
pada masa khalifah al-muktadir billah dan beliau wafat karena dihukum mati untuk
mempertanggung jawabkan ajarannya yang dianggap sesat oleh beberapa ulama’
khususnya fuqoha pada masa itu.
2. Al-Hallaj tidak melakukan dosa terhadap kebenaran, tetapi beliau dihukum karena
tindakannya yang dipandang bertentangan dengan hukum. Beliau membuka rahasia
tentang Tuhan dengan mengemukakan segala yang dianggap misteri tertinggi yang
selayaknya hanya boleh diketahui oleh orang-orang terpilih saja.
3. Ajaran al-Hallaj yang mashur adalah hulul (ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam
diri insan (nasut)), al-haqiiqah al-muhammadiyyah (nur Muhammad), dan wahdatul
adyan (kesatuan semua agama).
4. Al-Hallaj mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan makhluk-
Nya sebagaimana dengan kesatuan ilahi yang melingkupi makhluk-Nya. Yang berbicara
Ana Al-Haq bukanlah al-Hallaj pribadi, melainkan Tuhan sendiri melalui mulut al-Hallaj.

Daftar Pustaka:
Massignon Louis, Al Hallaj, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, tt)
As Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Rosihon anwar dan Mukhtar sholihin, ilmu tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, tt)
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : PT. Pustaka Panjimas)
Basthul Birri Maftuh, Manaqib 50 Wali Agung, (Kediri:Lirboyo, 1999)
At Thawasin Al Azal
Oleh Hussain bin Manshur Al-Hallaj

1. Thasin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi


Muhammad S.A.W)
2. Thasin Al Fahm (Pemahaman)
3. Thasin Al Shafa (Kebeningan)
4. Thasin Al Dairah (Lingkaran)
5. Thasin Al Nuqthah (Titik)
6. Thasin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan
dan Derita  
    Eterniti / Keabadian dan Kekeliruan
Pemahaman)
7. Thasin Al Masyi-ah (Kehendak)
8. Thasin Al Tauhid (Keesaan)
9. Thasin Al Asrar fi al Tauhid (Kesadaran
Diri Dalam Tauhid)
10. Thasin Al Tanzih (Kesucian,
Keterbebasan)
11. Thasin Bustan Al Ma’rifah (Taman
Pengetahuan/Ma’rifat)

Thasin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi


Muhammad SAW)

1.      Sang Pelita (As-Siraj) tampak dan tercerah dari Cahaya


Keghaiban,ia terpancar dan (tampak) kembali, dan melampaui
pelita-pelita lain.Ia rembulan yang cerlang, yang
menampakkan kecemerlangannya lebih dari bulan-bulan lain.
Ia bintang yang graha perbintangannya di Langit ‘Azaly. Allah
menyebutnya ‘ummi (awam) atas dasar keterpusatan
aspirasinya,juga harami (suci) disebabkan kelimpahan
syafa’atnya, dan makki (pusat) karena kedekatannya di
Hadirat-Nya.

2.      Dia (Allah) lapangkan dadanya, Dia tingkatkan kekuatannya,


dan mengangkatnya dari beban “yang memberati
punggungnya” (Q. 94: 2-3) serta Dia tetapkan kewenangannya.
Sebagaimana Allah membuat ‘Badr’-nya terpancar,
demikianlah purnamanya muncul dari awan Yamamah,
mentarinya terbit di bukit Tihamah [Makkah],dan pelitanya
bersinar gemerlap dari sumur Karamah (Zamzam).

3.      Ia tidak menyampaikan sesuatu kecuali yang menyangkut


pandangan (bashirah) batinnya, dan tidak mewajibkan diikuti
keteladanannya kecuali yang menyangkut kebenaran Sunnah-
nya. Ia berada di Hadirat Allah, dan ia mengajukan yang lain
ke Hadirat-Nya.Ia telah ‘melihat’ (Kebenaran), lalu ia
sampaikan apa yang dilihatnya. Ia telah diutus sebagai sang
Pemberi Tunjuk, maka ia menggariskan batas (halal-haram)
perilaku.
4.      Tidak seorang pun mampu mengungkapkan kebenaran
maknanya kecuali sang Tulus Hati (Al-Amin) ini. Karena ia
menegaskan ke-syahid-annya, serta mengiringkannya, maka
tiada lagi tersisa perbedaan di antara kaumnya.

5.      Tiada seorang arif (‘irfan) pun yang merasa ‘kenal’ padanya,


yang tidak keliru mengenali kebenaran kualitasnya.
Kualitasnya hanya jelas kepada seseorang yang Allah bimbing
untuk menyingkap (kasyf) tabirnya, “Yaitu yang telah Kami
berikan kepadanya Kitab, mereka mengenalinya seperti
mengenali anak-anaknya. Namun, sebagian mereka
menyembunyikan kebenarannya, padahal mereka
mengetahui.” [Q. 2: 146]

6.      Segenap cahaya nubuwah berasal dari cahayanya, dan


cahayanya tercerahkan dari Cahaya yang Gaib.Di antara
cahaya-cahaya itu tidak ada yang lebih gemerlap, lebih nyata
atau lebih mutlak dari cahayanya sang Junjungan Semesta
Rahmat ini.

7.      Aspirasi (himmah)-nya mendahului segenap aspirasi lain,


adanya mendahului ‘Tiada’ (‘Adam), namanya mendahului
‘Pena’ (Qalam), sebab keberadaannya terdahulu ada sebelum
apa pun.

8.      Tidak pernah ada di atas semesta atau di luar semesta, tidak
juga di balik semesta, sesuatu yang lebih indah, lebih agung,
lebih bijak, lebih adil, lebih kasih, lebih taat atau lebih takwa,
yang lebih dari sang Tokoh Utama ini.Gelarnya adalah sang
Junjungan Makhluk, namanya adalah Ahmad, dan harkatnya
adalah Muhammad. Perintahnya penuh kepastian, hikmahnya
penuh kebaikan, sifatnya penuh kemuliaan, dan aspirasinya
penuh keunikan.

9.      Maha Suci Allah! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak,
lebih agung, lebih masyhur, lebih kemilau, lebih perkasa
ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia – sungguh – telah
dikenal sebelum penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta.
Ia senantiasa diingat sebelum adanya ‘sebelum’ dan setelah
adanya ‘setelah’, juga sebelum ada substansi dan kualitas.
Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya
adalah nubuwah, hikmahnya adalah wahyu, gaya bahasanya
adalah Arab, kesukuannya adalah “tiada Timur dan tiada
Barat” [Q. 24: 35], silsilahnya adalah garis kebapakan, misinya
adalah damai, dan sebutannya adalah ‘ummi (awam).

10. Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia


dan segenap jiwa terasa dengan kehadirannya yang ada.
Adalah Allah yang membuatnya fasih menghafalkan rangkaian
Firman-Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang
meneguhkannya. Juga Allah yang mengutusnya, dan ia adalah
Bukti – senyatanya Bukti. Adalah ia yang memuaskan dahaga
hati pedamba yang kehausan, yang tidak tersentuh apa pun,
tidak terkatakan lidah, tidak juga terekayasa, yang ‘menyatu’
dengan Allah tanpa terpisahkan, bahkan jauh di luar
jangkauan pikiran. Pokoknya ia yang mengabarkan adanya
akhir, dan akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya akhir.

11. Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-


Haram). Ia adalah ‘pembeda’, bahkan ia adalah panglima
perang. Adalah ia yang diperintah untuk meluluhlantakkan
berhala-berhala, juga ia yang diutus kepada ummat manusia
untuk membasmi pemujaan.

12. Di atasnya awan bergemuruh menyambarkan kilat, dan di


bawahnya kilat menyambar gemuruh, berkilatan,
mencurahkan hujan, serta menyuburkan. Segenap
pengetahuan hanyalah setetes dari samuderanya, segenap
kearifan hanyalah secauk dari bengawannya, dan segenap
waktu hanyalah sesaat dari masanya.

13. Allah (‘ada’) bersamanya, dan bersamanya adalah hakikat. Ia


yang pertama dalam kesatuan (penciptaan) dan terakhir yang
diutus sebagai Rasul, yang hakikatnya bersifat batin, dan
ma’rifatnya bersifat lahir.

14. Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya,


bahkan para filsuf niscaya tersadar atas kearifannya.

15. Allah tidak menyerahkan [hakikat-Nya] itu kepada makhluk-


Nya, sebab ia adalah ‘ia’, dan ia adanya bersama Dia,
sedangkan Dia adalah ‘Dia’.

16. Tidak ada apa pun yang keluar dari ‘Mim’ (‫) م‬-nya


Muhammad (‫) محمد‬, dan tidak ada yang masuk ke ‘Ha’ ( ‫)ح‬-
nya. Adapun ‘Ha’ (‫)ح‬-nya sebagaimana ‘Mim’ (‫)م‬-nya yang
kedua,  sedangkan ’Dal’ (‫)د‬-nya seperti ‘Mim’ ( ‫)م‬-nya yang
pertama. ‘Mim’ ( ‫)م‬-nya yang pertama adalah
peringkat (maqam)-nya, serta ‘Ha’ (‫)ح‬-nya adalah
keadaan (hal) spritualnya, sebagaimana ‘Mim’ (‫) م‬-nya yang
kedua.

17. Allah membuat bicaranya jelas, menambah nilainya, dan


membuat bukti (hujjah)-nya dikenal. Dia menurunkan wahyu
Pembeda [Al-Furqan] kepadanya. Dia membuat lidahnya fasih,
dan Dia membuat hatinya terang. Dia membuat ummat
sezamannya tidak mampu [memalsu Al-Qur’an].Dia pun
mengakui kejelasannya, dan memuji kemuliaannya.

18. Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syari’at-nya,


adakah jalan (lain) yang dapat kau tempuh, tanpa adanya
pembimbing, hai orang yang malang? Ketahuilah, segenap
fatwa para filsuf berantakan, seperti gundukan pasir,
dibandingkan hikmahnya. 

__________________________________________________

Thasin Al Fahm (Pemahaman)


1.      Pemahaman tentang alam-makhluk tidak terkait dengan
hakikat, dan hakikat tidak juga terkait dengan alam-makhluk.
Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid, dan taqlid-nya
alam-makhluk tidak ada keterkaitannya dengan hakikat.
Pengertian tentang hakikat itu sulit dicapai, makanya betapa
lebih sulit lagi mencapai pengertian tentang hakikatnya-
Hakikat (Allah). Apalagi, Allah itu di luar hakikat, dan hakikat
tidak dengan sendirinya menyatakan 'ada'-Nya Allah.

2.      Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar.
Lalu, ia kembali ke teman-temannya, dan menceritakan
keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh
kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api dalam
hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang
sempurna.
3.      Cahayanya nyala api adalah Pengetahuan ('llm) hakikat,
panasnya adalah Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan
dengannya adalah Kebenaran (Haqq) hakikat.

4.      Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan


panasnya, sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung.
Sementara itu, teman-temannya menantikan kedatangannya,
supaya ia menceritakan kepada mereka
tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak puas
dengan kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas
sirna (fana'),
musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa
tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi, dalam
peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman-temannya?
Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya
sekarang? Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin
niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja.
Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih
prihatin tentang pandangan batinnya.

5.      Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang


alpa, tidak juga manusia yang maya, atau manusia yang penuh
dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-nafsunya semata.

6.      Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan persamakan 'aku' (insani)


dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah sekarang, janganlah di masa
depan nanti, janganlah pula di masa lampau dulu.
Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian
seorang 'Arif, kendatipun ini merupakan
keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan.
Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.

7.      Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa


pemaknaan (masalah) itu bukanlah kebenaran bagi siapa pun
kecuali (bagi) Muhammad (shalallahu 'alaihi wasallam), dan
"Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang kerabatmu"
(Q. 33: 40) tapi Rasulullah (Utusan Allah) dan penutup para
nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan dirinya dari
manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke
(arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa kepalsuan hati
ataupun kemunafikan.
8.      Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9),
atau lebih dekat lagi, saat ia mencapai gurun Pengetahuan
hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati lahirnya (fu'ad)"
(Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat, ia
menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan
dirinya naik ke Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai
Kebenaran (Allah), ia pun kembali sambil berkata: "Hati-
batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman
kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia
berkata: "Aku tidak dapat memuji-Mu sebagaimana mestinya
Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai Kenyataan hakikat, ia
berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji Diri-Mu."
Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti panggilan
tugasnya, "hatinya tidak berdusta tentang apa yang
dilihatnya" (Q. 53:11) di maqam dekat Pohon-Batas-
Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak berpaling ke
kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah
Kenyataan hakikat. “Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak
berkisar daripada menyaksikan Dengan tepat (akan
pemandangan Yang indah di situ Yang diizinkan melihatnya),
dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)
__________________________________________________

Thasin Al Shafa (Kebeningan)

1.      Hakikat itu adalah sesuatu yang sangat halus, dan sulit
menguraikannya. Jalan untuk menempuhnya sempit, dan
tentang jalannya itu, seorang penempuh (salik) harus
mengarungi 'kobaran api' di tengah gurun yang dalam.
Seorang asing (gharib) telah mengikuti jalan ini, dan
menyampaikan bahwa apa yang dialaminya ada empat
puluh Maqam, yaitu:
1. Kesopansantunan ['adab],
2. Kegentarhatian [rahab],
3. Kejerihpayahan [nashab],
4. Penuntutan-diri [thalab],
5. Ketakjuban ['ajab],
6. Peniadaan ['athab],
7. Pemujaan [tharab],
8. Pendambaan [syarah],
9. Penjernihan [nazah],
10. Kelurusan [shidq],
11. Persahabatan [rifq],
12. Persamaan [litq],
13. Keberangkatan [taswih],
14. Penghiburan [tarwih],
15. Ketajaman [tamyiz],
16. Penyaksian [syuhud],
17. Keberadaan [wujud],
18. Penghitungan ['add],
19. Pengupayaan [kadda],
20. Pemulihan [radda],
21. Perluasan [imtidad],
22. Pengolahan [i'dad],
23. Penyendirian [infirad],
24. Pengendalian [inqiyad],
25. Kemauan [murad],
26. Kehadiran [hudur],
27. Pelatihan [riyadhah],
28. Kehati-hatian [hiyathah],
29. Penyesalan [iftiqad],
30. Kedayatahanan [istilad],
31. Pengawasan [tadabbur],
32. Keterkejutan [tahayyur],
33. Perenungan [tafaqqur],
34. Kesabaran [tashabbur],
35. Penafsiran [ta'abbur],
36. Penolakan [rafdh],
37. Pengoreksian [naqd],
38. Pengamatan [ri'ayah],
39. Pembimbingan [hidayah],
40. Permulaan-jalan [bidayah].
Maqam terakhir ini adalah maqam-nya orang-orang yang
Hatinya tenang dan suci (shufi).

2.      Tiap maqam memiliki keadaan (hal) spiritualnya sendiri


sebagai pahalanya, yang sebagiannya mungkin diperoleh dan
sebagian lainnya tidak.

3.      Adapun sang Gharib yang telah mengharungi gurun (hakikat)


dan menyeberanginya, telah mencakupnya serta
memahaminya secara keseluruhan. Ia tidak memperoleh
sesuatu yang lazim ataupun biasa, tidak di gunung ataupun di
darat.

4.      "Ketika Musa (as) menunaikan tugasnya", ia meninggalkan


ummatnya karena hakikat akan merengkuhnya sebagai 'milik'-
Nya. Tapi, masih juga ia berpuas dengan penerangan semu
tanpa pandangan (bashirah) batin langsung, sehingga ada
perbedaan antara ia dan sang Insan Kamil [Muhammad saw].
Karena itu ia (Musa as) berkata: "Siapa tahu aku dapat
membawa sedikit penerangan untukmu." [Q. 20: 10]

5.      Andaikan sang Pembimbing Utama puas dengan penerangan


semu, bagaimana dapat seseorang yang menempuh
jalan (thariqah) tidak mencukupkan dirinya dengan jejak
semu.

6.      Dari Semak yang Terbakar, di Bukit Sinai, apa yang


kedengarannya difirmankan Semak
bukanlah dari Semak atau belukarnya, tetapi (firman) Allah.

7.      Dan peranan 'aku' adalah seperti 'Semak' itu.

8.      Jadi, hakikat adalah 'hakikat' dan makhluk adalah 'makhluk'.


Makanya buanglah sifat kemakhlukanmu, supaya kau sesuai
dengan-Nya, beserta Dia -- kau pun dalam liputan hakikat.

9.      'Aku' sejati adalah subyek, dan obyek yang terurai adalah


subyek dalam hakikatnya.
Soalnya adalah bagaimana itu terurai?

10. Allah berfirman kepada Musa (as): "Kau bimbinglah


(ummatmu) pada Bukti (al-Hujjah)," tapi bukan pada
Obyeknya Bukti. Adapun bagi-Ku, Aku adalah 'Bukti' dari
setiap bukti.
11.  Allah membuatku melampaui apa adanya hakikat dengan
kesepakatan, perjanjian, dan persekutuan. Rahasiaku adalah
penyaksian (syahadah) langsung tanpa (keikutsertaan) pribadi
makhlukku. Itulah rahasiaku, dan inilah hakikat.

12. Allah memfirmankan pengetahuanku melalui 'aku' dari


hatiku. Dia menarikku dekat pada-Nya setelah jauh dari-Nya.
Dia membuat aku menjadi Sahabat (Waly)-Nya, Dia memilih
aku…
_________________________________________________

Thasin Al Dairah (Lingkaran)

1.      Pintu ‘ba’ (‫ )ب‬pertama melambangkan seseorang yang


menjangkau lingkaran Kebenaran.
Pintu ‘ba’ (‫ )ب‬kedua melambangkan orang yang
menjangkaunya, yang setelah memasukinya, sampailah ia ke
pintu yang tertutup. Pintu ‘ba’ (‫ )ب‬ketiga melambangkan
seseorang yang tersesat di gurun Sifatnya-Kebenaran.
2.      Ia yang memasuki lingkaran itu jauh dari Kebenaran, sebab
jalannya terjegal dan sang penempuh (salik) disuruh kembali.
Adapun noktah di atas melambangkan hasratnya. Noktah yang
lebih bawah melambangkan kembalinya ke titik-tolaknya, dan
noktah di tengah adalah kebingungannya.

3.      Lingkaran dalam tidak memiliki pintu ‘ba’ (‫)ب‬, dan ‘titik’ yang


ada di dalamnya adalah pusat Kebenaran.

4.      Makna tentang Kebenaran adalah yang darinya, baik lahir


maupun batin, tidak ada yang luput. Dan, ia pun tidak
direkayasa.

5.      Andaikan kau berhasrat memahami apa yang aku terangkan


ini.“ambillah empat ekor ‘burung’, cincanglah buatmu,” (QS. 2:
260) sebab Al-Haqq (Allah) ‘tak-terbang’.

6.      Adalah kecemburuan-Nya yang membuat ia tampak, setelah


Dia menyembunyikannya. Adalah keterpesonaan yang menjaga
keterpisahan kita. Adalah kebingungan yang mencabut kita
dari-Nya.

7.      Inilah makna tentang Kebenaran. Ia lebih licin dari lingkaran


Asal, ataupun rancangan Bidang. Dan, yang lebih licin lagi
adalah memfungsikan kearifan secara batin, karena
ketersembunyiannya (Kebenaran) dari khayalan.

8.      Ini karena sang pengkaji hanya mengkaji lingkaran dari


wilayah luar, bukannya dari wilayah dalam.

9.      Adapun tentang pengetahuannya-pengetahuan Kebenaran,


sang pengkaji tidak memahaminya, karena ia tidak mampu.
Pengetahuan menunjukkan tempat, sedang lingkaran
itu ‘tempat’ yang terlarang [haram].

10. Makanya mereka menamakan Sang Rasul (saw): Haramy,


sebab hanya ia seorang yang keluar dari Lingkarang Haram
itu.

11. Ia penuh kegentaran dan keterpesonaan, serta mengenakan


jubah Kebenaran. Ia keluar dan menyerukan “Ah!!!” (‫)اح‬
kepada segenap makhluk.
_________________________________________________

Thasin Al Nuqtah (Titik)


1.      Ada yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan tentang Titik
‘AzaliyAda yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan
tentang Titik ‘Azaliy yang berupa Asal, dan yang
(keberadaannya) tidak bertambah ataupun berkurang, tidak
juga habis sirna dirinya.

2.      Orang yang mengangkal keadaan (hal) batinku telah


menyangkalnya, karena tidak mengetahui aku, malah
menyebutku bid’ah. Dituduhnya aku dengan sebutan Iblis,
serta dianggapnya kekeramatanku sebagai praktik
perdukunan, juga demikian terhadap lingkaran suci yang
berada di luarnya-luar jangkauan, yang dicemoohkannya.

3.      Orang yang menjangkau lingkaran kedua membayangkan aku


menjadi sang Pemangku Ilham.

4.      Orang yang menjangkau lingkaran ketiga mengira aku berada


di bawah pengaruh nafsu.

5.      Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran


melupakan aku, bahkan perhatiannya beralih dariku.

6.      “Tentu saja tidak! Tidak ada seorang pelindung pun. Pada
hari itu hanya Tuhan penolongmu untuk kembali. Juga pada
hari itu setiap manusia akan diberi tahu tentang perbuatan
yang didahulukannya dan yang dilalaikannya.” (QS. 75: 11-13)
7.      Namun, umumnya manusia berpaling pada pernyataan semu,
melarikan diri pada sang pelindung, mengkhawatiri pertanda-
pertanda, tujuan hidupnya terpedaya, dan akibatnya tersesat.

8.      Aku terisap ke kedalaman samudera kelanggengan (baqa’).


Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran itu sibuk di
pantai samudera pengetahuan dengan pengetahuannya
sendiri, luput pandangan (bashirah) batinnya dariku.

9.      Aku melihat sejenis burung khasysy dari pribadi Shufi yang


terbang dengan dua sayap Tashawuf. Ia menyangkal
kekeramatanku, sebagaimana ia terus membumbung dalam
penerbangannya.

10. Ia menanyai aku tentang kesucian-batin, dan aku


menjawabnya: “Pangkaslah sayapmu dengan gunting
penyirnaan-diri (fana’). Kalau tidak, kau tidak dapat mengikuti
aku.”

11. Ia berkata kepadaku: “Aku terbang dengan sayapku menuju


Kekasihku.” Aku katakan kepadanya: “Hati-hati buat kau!
Sebab, tidak ada yang menyerupai-Nya. Hanya Dia sang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” Maka, seketika itu ia jatuh ke
samudera kearifan dan hilang tenggelam.

12. Orang dapat menggambarkan samudera kearifan sebagai


berikut:

Aku ‘melihat’ Tuhanku dengan mata hatiku, aku menyapa:


“Siapakah Engkau?” Dia menjawab: “Kau!” Namun, bagi-
Mu, ‘di mana’ tidak memiliki tempat. Dan, tidak ada ‘di
mana’ ketika perhatian hanya menyangkut-Mu. Akal pun tidak
punya bayangan tentang keberadaan-Mu dalam (dimensi)
waktu, yang memungkinkan akal mengetahui ‘di
mana’ adanya Engkau. Engkau adalah Sesuatu yang meliputi
setiap ‘di mana’, mengatasi ‘titik’ yang tak di mana-mana.
Jadi, ‘di mana’ Engkau adanya?
13. Sebuah titik-tunggal yang unik dari lingkaran (titik-titik),
menandakan beragamnya anggapan tentang kearifan. Adalah
sebuah titik-tunggal saja yang dirinya berupa Kebenaran,
sedangkan sisanya merupakan kekeliruan.

14.  Ia begitu dekat” saat kenaikannya (mi’raj) – “ia tampak


kembali” saat kemuncakannya (transenden). Karena
pencarian, ia begitu dekat. Karena kegairahan, ia tampak
kembali. Ia menanggalkan hatinya ‘di sana’, dan begitu dekat
kepada-Nya. Ia sirna (fana’) ketika ‘melihat’ Allah, kendati
demikian ia tidak sampai tuntas sirna (fana’ ul-fana’).
Bagaimana mungkin ia hadir sekaligus tak-hadir? Bagaimana
mungkin pula ia tampak dan sekaligus tak-tampak?

15. Dari ketakjuban ia melintas ke pencerahan, dan dari


pencerahan ke ketakjuban. Dengan kesaksian Allah,
ia ‘menyaksikan’ Allah. Ia sampai dan sekaligus pisah. Ia
mencapai Pujaan-Nya, dan terputus dari hatinya. “Hatinya
tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya.” (QS. 53: 11)

16. Allah menyembunyikannya ketika membuatnya begitu dekat.


Dia mengangkatnya dan menyucikannya. Dia membuatnya
dahaga dan menyegarkannya. Dia menyucikannya dan
memilihnya. Dia menyerunya dan memerintahkannya. Dia
menimpainya Cobaan dan menjenguknya untuk
membantunya. Dia mempersenjatainya dan mendudukkannya
di atas pelana.

17. Ada sebuah jarak dari “satu rentangan busur”, dan ketika ia
kembali, ia pun mencapai sasarannya. Ketika diseru, ia
menjawabnya – merasa dilihat, ia rendahkan dirinya. Karena
minum, ia merasa puas. Karena mendekat, ia dicekam
keterpesonaan. Dan, karena keterpisahan dirinya
dari Kota serta para pembantunya, ia pun terpisah dari
bisikan nurani, dari pandangan, juga dari lamunan makhluk.

18. “Sahabatmu tidak tersesat,” (QS. 53: 2) ia tidak lemah atau


bertambah sedih. Matanya tidak goyah atau lelah oleh
suatu ‘Saat’ dari sejatinya masa.

19. “Sahabatmu tidak tersesat” dalam tafakurnya mengenai


Kami. Ia tidak menyeberang dalam kunjungannya kepada
Kami, tidak juga melanggar terhadap Risalah Kami. Ia tidak
membandingkan Kami dengan yang lain kalau membicarakan
Kami. Ia tidak menyimpang di taman zikir dalam tafakurnya
mengenai Kami, tidak juga tersesat dalam pengembaraan di
alam fikir.

20. Cukuplah ia mengingat Allah (zikru’llah) dalam tarikan


nafasnya, dan kerdipan matanya. Bertawakkal kepada-Nya
dalam kesusahan, dan bersyukur atas nikmat-Nya.

21. “Ini tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan,” (QS. 53: 4)
dari Cahaya ke ‘Cahaya’.

22. Ubahlah bicaramu! Kosongkan dirimu dari khayalan,


angkatlah kakimu tinggi-tinggi dari manusia serta makhluk
lainnya. Bicaralah tentang Dia dengan selaras dan
sekadarnya! Jadilah berghairah, dan tenggelamlah dalam
keghairahanmu. Ketahuilah – bahwa kau akan terbang
melampaui gunung dan lembah, gunung kesadaran dan
lembah perlindungan, agar ‘melihat’ Dia yang kau puja-puja.
Dan, puasa wajib pun berakhir dengan datang ke Rumah
Suci (Ka’bah).

23. Maka, ia begitu dekatnya kepada Allah, seperti


seorang ’asyiq yang memasuki Ma’syuq. Selanjutnya ia
memaklumkan bahwa itu terlarang. Itu seperti sebuah
rintangan yang lebih dari cukup untuk melemahlunglaikan. Ia
melintas dari Maqam Pembersihan ke Maqam Pencelaan, dan
dari Maqam Pencelaan ke Maqam Kedekatan. Ia begitu dekat
sebagai pencari, dan ia kembali secara berlari. Ia begitu dekat
sebagai pendoa, dan ia kembali sebagai ‘Abdi. Ia begitu
dekatnya sebagai penyeru, dan kembali
dengan bai’at sebagai Qarib-Nya Ilahi. Ia begitu dekatnya
sebagai seorang saksi, dan kembalinya sebagai ahli tafakur.

24. Jarak di antara keduanya adalah “dua rentangan busur”. Ia


membidik tanda ‘di mana’ [‘ayna] dengan panah ‘di
antara’ [bayna]. Ia menyatakan bahwa ada dua rentangan
busur untuk menetapkan ketepatan tempat-nya, baik karena
tiada terlukiskannya sifat Zat, atau karena serasa lebih akrab
pada Zatnya-Zat.

25.  Sang Faqir yang Luar dari Biasa (Khariq ul-‘Addah) Al-


Husain ibn Manshur Al-Hallaj, berkata:
26. Aku tidak percaya bahwa ungkapan kita di sini dapat
dipahami, kecuali untuk orang yang sampai pada rentangan
busur kedua, yang adanya melampaui Lembaran yang
Terjaga [Lawh ul-Mahfudz].

27. Itulah suratan yang tidak mempergunakan huruf Arab


ataupun Persia.

28. Kecuali satu huruf saja, yaitu huruf ‘mim’  (  ‫ﻢ‬  ), yang


merupakan huruf pertanda “apa yang ia pancarkan.”

29. ‘Mim’ (  ‫ﻢ‬  ) yang menandakan “Yang Terakhir”.

30. ‘Mim’ (  ‫ﻢ‬  ) yang juga merupakan untaian “Yang Terawal”.


Rentangan busur pertamanya
adalah ‘Alam Kegagahan (Jabarut), dan yang keduanya
adalah ‘Alam Kerajaan (Malakut). Sedangkan Sifat-Nya adalah
untaian dua ‘Alam itu. Serta Zat-Nya yang Khusus
Beriluminasi (tajalliy khasysy) adalah panah yang Mutlak,
panahnya dua rentangan.

31. Panahnya itu dari Seseorang yang menyalakan api


Iluminasi (tajalliy).

32. Dia berfirman bahwa kepantasan dari pembicaraan adalah


yang pengertiannya merupakan gambaran kedekatan. Adapun
sang Firman dari pemaknaan ini adalah Kebenaran Allah,
bukan metode ciptaan-Nya. Dan, kedekatan ini juga hanya
berlaku dalam lingkaran ketepatan yang amat sangat tepat.

33. Kebenaran dan Kebenarannya-Kebenaran (Allah) ini terdapat


dalam halusnya perbedaan, lewat pengalaman sebelumnya,
dengan memakai penangkal yang dibuat oleh sang pecinta,
untuk membalas keterputusannya dengan segenap kecintaan
(makhluk), di pelananya yang sampai secara berbarengan,
karena bahaya terus mengancam, serta tajamnya perbedaan,
yang diatasinya dengan ayat pembebasan. Inilah
jalan (shufi) yang terpilih dalam memperhatikan Diri pribadi.
Dan, kedekatannya terlihat sebagai areal luas, agar sang
arif (‘irfan) yang taat mengikuti jalannya tradisi nubuwah ini
dapat dipahami adanya.
34. Sang Junjungan Yatsrib
(Muhammad), shalawat dan salam atasnya, memaklumkan
keagungan yang kerasukan jiwa anggun ini, yang tak-tergugat,
yang terawat dalam “Kitab Tersembunyi” (QS. 56: 78),
sebagaimana Dia menyatakannya dalam Kitab (alam) Terbuka,
dalam “Kitab Tertulis” yang menerangkan makna bahasa
burung, ketika Dia mengangkatnya ‘ke sana’.

35. Apabila kau memahami ini, hai pecinta, pahamilah bahwa


Tuhan tidak berbicara kecuali dengan Diri-Nya, atau
dengan Sahabat-Nya (waly).

36. Untuk menjadi Sahabat-Nya, janganlah punya Guru ataupun


Murid. Jadilah tanpa pilihan, tanpa perbedaan, tanpa kepura-
puraan atau sok-nasihat, jangan mengakui sesuatu itu
“miliknya” atau “darinya”. Tapi, apa yang ada padanya
cukuplah sebagai “apa yang ada padanya”, tanpa merasa
adanya itu “padanya”, sebagaimana gurun tanpa air di suatu
“gurun tanpa air”, juga sebagaimana pertanda di suatu
“pertanda”.

37. Wacana umum mengalihartikan maknanya. Makna pun


mengalihartikan maksudnya, sedangkan maksudnya terlihat
dari kejauhan. Jalannya sulit, namanya agung, tampilannya
unik. Pengetahuannya adalah ketidaktahuan,
ketidaktahuannya adalah kebenaran tunggal, keawamannya
adalah sumber rahasianya. Namanya adalah Jalannya,
karakter-lahirnya adalah kehangatannya, dan perlambang-
batinnya adalah kegairahannya.

38. Hukum syari’at [syar’iy] adalah ciri-khasnya,


kebenaran [haqa’iq] adalah gelanggangnya dan
keagungannya. Jiwanya adalah serambinya, Syaitan adalah
pengajarnya, dan setiap musafir yang ada dijadikannya
sebagai kerabatnya. Keinsanan adalah nuraninya,
kerendahhatian adalah kemuliaannya, kefanaan adalah
subyek zikir-nya, istri adalah tamansarinya, dan fananya-fana
adalah singgasananya.

39. Pelindungnya adalah perlindunganku, prinsipnya adalah


peringatanku, syafa’atnya adalah permohonanku, karunianya
adalah persinggahanku, dan duka-citanya adalah kesedihanku.
40. Pewarisannya adalah kedai tempat minum-(ku), lengan
bajunya bukan apa-apa kecuali sekadar pengelap debu-(ku).
Ajarannya adalah dasar pijakan keadaan (hal) batinnya,
sedangkan keadaan batinnya adalah kefanaan. Kendati
demikian, sembarang keadaan (ahwal) lainnya dapat menjadi
obyek kemurkaan Allah. Makanya cukuplah ini, semoga
rahmat Allah besertamu.

Thasin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan


dan Derita Eterniti/Keabadian dan
Kekeliruan pemahaman)

[: Untuk ia yang 'arif, dalam ke'arifannya-ke'arif saat


berhubungan dengan wacana publik
           tentang apa yang logis dalam memperhatikan
tujuan...]

1.      Sang Faqir, Abu Mughits (Al-Hallaj), semoga Allah


merahmatinya, berkata: "Tidak ada misi yang tangguh kecuali
yang diemban Iblis dan Muhammad,
shalawat dan salam atasnya. Hanya, Iblis terjatuh dari Zat,
dan Muhammad merasakan Zatnya-Zat."

2.      Telah dikatakan kepada Iblis: "Sujudlah!" (QS. 2: 34) dan


kepada Muhammad: "Tengoklah!" (QS. 53: 13) Namun, Iblis
tidak bersujud, dan Muhammad pun tidak menengok. Ia tidak
berpaling ke kanan atau ke kiri, "Matanya tidak celingukan,
tidak juga jelalatan." (QS. 53: 17)

3.      Sementara Iblis, setelah menyatakan misinya, ia tidak


kembali ke kemampuan awalnya.

4.      Sedangkan Muhammad, ketika menyatakan misinya, ia


kembali ke kemampuannya.

5.      Dengan pernyataan ini: "Bersama Engkau semata aku merasa


bahagia, dan kepada Engkau semata aku mengabdikan diriku."
Dan: "Wahai Engkau yang membolak-balik hati." Serta: "Aku
tidak tahu bagaimana memuji-Mu sebagaimana mestinya
Engkau dipuji."
6.      Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus peng-
Esa (Tawhid) yang seperti Iblis.

7.      Karena Iblis 'di situ' telah 'melihat' penampakan Zat Ilahi. Ia


pun tercegah bahkan dari mengedipkan mata kesadarannya,
dan mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan dalam pengasingan
khusyuknya.

8.      Ia dikutuk ketika menjangkau pengasingan ganda, dan ia


didakwa ketika menuntut kesendirian (Allah) mutlak.

9.      Allah berfirman kepadanya: "Sujudlah (kepada Adam as)!" Ia


menjawab: "Tidak, kepada yang selain Engkau." Dia berfirman
lagi kepadanya: "Bahkan, apabila kutuk-Ku jatuh
menimpamu?" Ia menjawab lagi: "Itu tidak akan mengazabku!"

10. "Pengingkaranku adalah untuk menegaskan Kesucian-Mu,


dan alasanku (ingkar) niscaya melanggar bagi-Mu. Tetapi,
apalah Adam dibandingkan dengan-Mu, dan siapalah aku --
Iblis, hingga dibedakan dari-Mu!"

11. Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia menjadi 'buta', dan


berkata: "Tidak ada jalan bagiku kepada yang lain selain dari-
Mu. Aku pecinta yang 'buta'!" Dia berfirman kepadanya: "Kau
telah takabur!" Ia menjawab: "Apabila ada satu saja kilasan
pandang di antara kita, itu cukup membuatku sombong dan
takabur. Kendati begitu, aku adalah 'ia' yang mengenal-Mu
sejak ke-baqa'-an masa Terdahulu, dan "aku lebih baik
daripadanya" (QS. 7: 12), sebab aku lebih lama mengabdi
kepada-Mu. Tidak ada satu pun, di antara dua jenis makhluk
(Adam dan Iblis) ini, yang mengenal-Mu secara lebih baik
daripadaku!" "Ada Kehendak-Mu bersamaku, dan ada
kehendakku bersama-Mu, sedangkan keduanya mendahului
Adam. Apabila aku bersujud kepada yang selain Engkau,
ataupun tidak bersujud, niscaya harus bagiku untuk kembali
ke asalku. Karena Engkau menciptakan aku dari api, dan api
kembali ke 'api', menuruti keseimbangan (sunnah) dan pilihan
yang adanya milik-Mu."

12. "Tidak ada jarak dari-Mu padaku, karena aku yakin bahwa
jarak dan kedekatan itu 'satu'!" "Bagiku, apabila aku
dibiarkan, pengabaian-Mu justru menjadi mitraku.
Jadi, seberapa pun jauhnya lagi, pengabaian dan cinta
tetap 'menyatu'!" "Terpujilah Engkau, dalam taufiq-Mu dan
Zat-Mu yang tiada terjangkau, bagi sang pemuja setia ini,
yang tiada bersujud ke yang selain Engkau!"

13. Musa (as) bertemu Iblis di lereng Bukit Sinai, dan bertanya


kepadanya: "Hai Iblis, apa yang mencegahmu dari bersujud?"
Ia (Iblis) menjawab: "Yang mencegahku adalah pernyataan
ikrarku mengenai Sang Pujaan yang Unik. Dan, jika aku
bersujud, aku akan menjadi sepertimu. Karena kau hanya
perlu dipanggil sekali, "Tengoklah ke gunung," kau langsung
menengok. Sementara aku, aku telah dipanggil ribuan kali
untuk menyujudkan diriku kepada Adam, aku tidak bersujud,
karena aku bersiteguh dengan 'Tujuan' Ikrarku."

14. Musa (as) bertanya: "Kau membangkangi perintah?" Iblis pun


menjawab: "Itu sebuah ujian, bukannya perintah." Musa
bertanya lagi: "Tanpa dosa? Kendati wajahmu berubah
begitu?" Iblis menyahut: "Hai Musa, keadaanku ini sekadar
kemenduaan dari penampilan-lahir, sementara
keadaan (hal) spiritualku tidak bergantung atasnya, bahkan
tidak berubah. Ma'rifat tetaplah benar sebagaimana pada
awalnya, dan itu tidak berubah kendatipun pribadinya
berubah."

15. Musa (as) bertanya: "Adakah kau mengingat-


Nya (zikir) sekarang?" "Hai Musa, pikiran yang murni tidak
membutuhkan daya-ingat, -- dengan itu aku mengingat (Dia)
dan Dia mengingat (aku). Ingatan-Nya adalah ingatanku, dan
ingatanku adalah ingatan-Nya.
Bagaimana mungkin, ketika kami saling mengingat, kami
berdua berlainan satu sama lain?" "Pengabdianku sekarang
lebih murni, waktuku lebih lapang, ingatanku lebih agung,
sebab aku mengabdi kepada-Nya secara mutlak demi
keberuntunganku, bahkan sekarang aku mengabdi kepada-
Nya demi Diri-Nya."

16. "Aku mencabut keserakahan dari segenap apa pun yang


mencegahku atau menahanku, baik demi kerugian ataupun
keuntungan. Dia mengasingkanku, membuatku mabuk-
kepayang, melinglungkanku, mengeluarkanku, sehingga aku
tidak dapat berpadu dengan para ruh suci. Dia menjauhkanku
dari yang lain, sebab kecemburuanku (kepada-Nya) supaya
Dia Sendiri saja. Dia mengubahku, sebab Dia mengagumiku.
Dia mengagumiku, sebab Dia membuangku. Dia membuangku,
sebab aku pengabdi. Dan, menempatkanku dalam ahwal
terlarang disebabkan kemitraanku. Dia mempertunjukkan
kekurangan nilaiku disebabkan aku memuji Keagungan-Nya.
Dia menyederhanakanku dengan sehelai kain ihram
disebabkan kehajianku [hijya]. Dia membiarkanku disebabkan
'penemuan'-ku atas-Nya dalam zikir. Dia
menyingkapkan (kasyf) hijabku disebabkaan penyatuanku.
Dia mempenyatukanku disebabkan Dia memencilkanku. Dan,
Dia memencilkanku disebabkan Dia mencegah hasratku."

17. "Dengan Kebenaran-Nya, maka aku tidak salah dalam


memperhatikan titah-Nya, bukannya aku menolak takdir. Aku
tidak peduli sama sekali tentang perubahan wajahku.
Aku hanya menjaga keseimbanganku (sunnah) melalui
hukuman ini."

18. "Kendatipun Dia mengazabku dengan api-Nya sepanjang


masa, aku tetap tidak akan bersujud kepada sesuatu (selain-
Nya). Aku tidak akan merundukkan diriku kepada pribadi atau
jasad (Adam as), sebab aku tidak mengaku berlawanan
dengan-Nya! Ikrarku khusyuk, dan aku memang seorang yang
khusyuk dalam 'cinta'!"

19. Al-Hallaj berkata: "Ada beragam teori yang berkenaan


dengan keadaan (hal) spiritualnya 'Azazyl ( ‫)عزازيل‬ [sebutan
Iblis sebelum kejatuhannya]. Seseorang mengatakan bahwa ia
ditugaskan dengan misi di surga, serta dengan suatu misi
(lainnya) di bumi. Di surga ia berkhutbah kepada malaikat,
menunjukinya tentang amalan yang baik.
Dan, di bumi ia berkhutbah kepada manusia dan jin,
menunjukinya tentang perbuatan yang jahat."

20. "Sebab, seseorang tidak akan mengenali sesuatu kecuali


dengan (mengenali) yang sebaliknya. Sebagaimana dengan
sutera putih halus, yang hanya dapat ditenun
dengan menggunakan lakan hitam di belakangnya -- makanya,
malaikat mempertunjukkan amalan baiknya, dan berkata
simbolis, "Jika kau beramal, kau akan mandapat pahala."
Namun, ia yang tidak mengenal kejahatan sebelumnya,
niscaya tidak dapat mengenali kebaikan."
21. Sang Faqir, Abu Umar Al-Hallaj, berkata: "Aku bersoal
dengan Iblis dan Fir'aun tentang kehormatan Sang Pemurah."
Kata Iblis: "Jika aku bersujud, aku niscaya kehilangan gelar
kehormatanku." Dan, kata Fir'aun: "Jika aku beriman kepada
Rasul (Musa as) itu, aku niscaya terjatuh dari harkat
kehormatanku."

22. Al-Hallaj pun berkata: "Jika aku memungkiri pengajaranku


dan pernyataanku,
aku juga niscaya jatuh dari altar kehormatanku."

23. Tatkala Iblis berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as),"


maka ia tidak melihat sesuatu pun selain dirinya. Tatkala
Fir'aun berkata: "Aku tahu pun tidak bahwa kau (Musa as)
mempunyai Tuhan yang selain aku," ia tidak mengetahui
bahwa sembarang rakyatnya dapat membedakan antara
kebenaran dan kepalsuan.

24. Jadi, aku (Al-Hallaj) berkata: "Andaipun kau tidak mengenal-


Nya, maka kenalilah pertanda-Nya. Akulah pertanda-
Nya [tajally], dan akulah Sang Kebenaran (anal'-Haqq)!
Hal ini disebabkan aku tiada henti menyadari 'ada'-Nya Sang
Kebenaran!"

25. Temanku adalah Iblis, dan guruku adalah Fir'aun. Iblis


diancam dengan api dan tidak mencabut pernyataannya.
Fir'aun ditenggelamkan di Laut Merah tanpa mencabut
pernyataannya ataupun mengakui sembarang
perantara (rasul). kendatipun begitu ia berkata: "Aku beriman
bahwa tiada Tuhan kecuali Dia yang diimani oleh Bani Isra'il."
(QS. 10: 90) Dan, bukankah kau melihat bahwa Allah pun
menentang Jibril dalam Keagungan-Nya? Dia berfirman:
"Mengapa kau penuhi mulutmu dengan 'pasir'?"

26. Jadi, aku (akhirnya) dibunuh, digantung, tangan dan kakiku


dipotong, tanpa aku mencabut pernyataan tegasku!

27. Istilah Iblis diperoleh dari 'mutasi' nama


pertamanya, 'Azazyl ( ‫)عزازيل‬.
'Ain'-nya ( ‫ )ع‬menunjukkan keluasan ikhtiarnya,
'zay'-nya ( ‫ )ز‬adalah bertambah kerapnya kunjungan (kepada-
Nya),
'alif'-nya ( ‫ )ا‬sebagai jalan hidupnya dalam harkat-Nya,
'zay'-nya ( ‫ )ز‬yang kedua keasketisannya dalam derajat-Nya,
'ya'-nya ( ‫ )ي‬langkah pengembaraannya ke penderitaannya,
dan
'lam'-nya ( ‫ )ل‬ketegarannya dalam kesakitannya.

28. Dia (Allah) berfirman kepadanya: "Kau tidak bersujud, hai


yang nista!" Ia menjawab: "Sebutlah lebih baik -- 'pecinta'!"
Karena pecinta dianggap rendah, maka Engkau menyebutku
nista. Aku telah membaca dalam Kitab yang Nyata, wahai
Sang Kuasa dan Setia, bahwa hal ini akan terjadi padaku. Jadi,
bagaimana mungkin aku menistakan diriku kepada Adam,
padahal Engkau menciptakannya dari tanah, sedangkan aku
dari api? Dua hal yang berlawanan tidak dapat diakurkan.
Dan, aku telah mengabdi-Mu lebih lama, juga memiliki
kebajikan yang lebih luhur, pengetahuan yang lebih luas, serta
aktivitas yang lebih sempurna."

29. Allah, yang senantiasa terpujilah Dia, berfirman kepadanya:


"Pilihan adalah milik-Ku, bukannya milikmu." Ia menjawab:
"Segenap pilihan, bahkan pilihan diriku, adalah milik-Mu.
Karena Engkau telah terpilih untukku, wahai Sang Khaliq. Jika
Engkau mencegahku dari bersujud kepadaanya (Adam as),
Engkau adalah 'Sebab' pencegahan itu.
Jika aku khilaf berbicara, Engkau tidak membiarkanku, karena
Engkau Sang Maha Mendengar. Jika Engkau berkehendak aku
bersujud kepadanya, aku niscaya taat. Aku tidak mengetahui
seorang pun di antara (makhluk) yang 'Arif, yang mengenal-
Mu secara lebih baik daripada aku."

30. Jangan persalahkan aku, ide kecaman jauh dariku,


anugerahilah aku, wahai Penguasaku, demi aku sendiri.
Kalaupun dalam hal janji, janji-Mu itu sejatinya Kebenaran
prinsip, tentunya prinsip ikhtiarku juga kuat. Ia yang
berhasrat menulis ikrarku ini, atau membacanya, akan
mengetahui bahwa aku (akhirnya) menjadi seorang Syahid!

31. Hai saudaraku! Ia (Iblis) disebut 'Azazyl karena ia


dibebastugaskan ('uzyla), dibebastugaskan dari kesucian
purbanya. Ia tidak kembali dari asalnya ke akhirnya, sebab ia
tidak keluar dari akhirnya. Ia dibiarkan, dikutuk dari asalnya.
32. Upayanya untuk keluar pun gagal, disebabkan perasaan iba-
dirinya. Ia mendapatkan dirinya antara api tempat
peristirahatannya dan cahaya posisi ketinggiannya.

33. Sumber air di darat adalah telaga yang rendah. Ia (Iblis)


terazab kehausan di tempat yang (airnya) berlimpah-ruah. Ia
menangisi kesakitannya, karena api telah membakarnya.
Kekhawatirannya tidak lain hanyalah kepura-puraan, dan
ke-'buta'-annya adalah kesia-siaan -- itulah ia adanya!

34. Hai saudaraku! Andaikan kau mengerti, kau telah


mempertimbangkan jalan sempit di kesempitannya yang
teramat sangat. Kau telah menunjukkan khayalan itu
kepadamu dalam kemusykilannya yang teramat sangat. Dan,
kau akan menderita serta penuh kegelisahan.

35. Kaum shufi yang paling terjaga pun tetap bungkam tentang
Iblis, dan para 'arifin tidak memiliki kemampuan untuk
menjelaskan apa yang telah dipelajarinya (tentang Iblis).
Iblis lebih kuat daripada mereka dalam hal pemujaan, dan
lebih dekat daripada mereka kepada Sang Zat Wujud. Ia (Iblis)
mengerahkan dirinya lebih dan 'lebih' setia pada perjanjian,
serta lebih dekat daripada mereka kepada Sang Pujaan.

36. Malaikat lain bersujud kepada Adam (as) karena dukungan


(Allah), sedangkan Iblis menolak (bersujud) karena ia
telah 'tafakur' sekian lamanya.

37. Kendati begitu, keadaannya menjadi membingungkan, dan


pikirannya kesasar, sehingga ia berkata: "Aku lebih baik
daripada ia (Adam as)." (QS. 7: 12) Ia tetap di balik tabir, tidak
menghargai 'debu' (asal kejadian Adam as), dan mengusung
kutukan di atas pundaknya hingga Akhir Ke-'baqa'-an
Masanya-Masa Ke-'baqa'-an nanti... 
_________________________________________________
Thasin Al Masyi-ah (Kehendak)

1.      Inilah penggambaran tentang Taqdir Ilahi. Lingkaran ( o )


pertama adalah Kehendak [masyi’ah] Allah, dan ( o ) kedua
adalah Hikmah-Nya, serta ( o ) ketiga adalah Kuasa-Nya,
sedangkan ( o ) keempat adalah  Ilmu-Nya yang ‘Azaliy.

2.      Iblis berkata: “Bila aku memasuki lingkaran pertama, aku


akan menempuh ujian dari (lingkaran) yang kedua. Dan, bila
aku melintas ke yang kedua, aku harus menempuh ujian dari
(lingkaran) yang ketiga. Bahkan, bila aku menyeberang ke
yang ketiga, aku mesti menempuh ujian dari (lingkaran) yang
keempat.”

3.      Maka – tidak (la), tidak (la), tidak (la), tidak (la), dan


tidak (la)! Bahkan, bila aku istirah di ‘tidak’ pertamaku, aku
pasti dikutuk sampai aku mengucapkan (‘tidak’) yang kedua,
dan dibuang sampai aku mengucapkan (‘tidak’) yang ketiga.
Jadi, apakah yang keempat berarti bagiku?

4.      Kalaulah aku tahu bahwa bersujud (kepada Adam as) pasti


menyelamatkan aku, aku niscaya bersujud. Kendati demikian,
aku tahu bahwa setelah lingkaran (pertama) itu ada lingkaran-
lingkaran (kedua, ketiga, dan keempat) lainnya. Dengan
pemikiran begitu, maka kukatakan kepada diriku: Kalaupun
aku selamat dari lingkaran (pertama) ini, bagaimana dapat
aku keluar dari (lingkaran) yang kedua, yang ketiga, dan yang
keempat?

5.      Adapun ‘Alif’ (  ‫ا‬  ) dari ‘La’ (  ‫ال‬  ) yang kelima adalah “Dia –


Tuhan, Sang Hidup.” (QS. 2: 255)

_________________________________________________

Thasin Al Tauhid (Keesaan)

1.      Dia – Allah, Sang Maha Hidup (Al-Hayy).

2.      Allah adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan ‘saksi’ sebagai
yang Satu.

3.      Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas


Penyatuan (Tawhid) yang Satu, Adalah ‘di Dia’ dan ‘dari Dia’.

4.      Dari-Nya datang jarak pemisah (makhluk) yang lain dari


Penyatuan-Nya, dan itu dapat dilambangkan demikian ini:

[Tauhid terpisah dari Allah, dan simbol ‘wahdaniyah’ ini


dilambangkan oleh ‘Alif’ ( ‫ﺍ‬    ) panjang, dengan sejumlah ‘dal’ (
‫د‬    ) di dalamnya. Adapun ‘Alif’-nya ( ‫ﺍ‬    ) merupakan Zat,
dan ‘dal’-nya ( ‫د‬    ) sebagai Sifat.]

5.      Pengetahuan Tauhid adalah sebuah ikhtisar kesadaran yang


mandiri, dan perlambangnya demikian ini:
[Inilah ‘Alif’ ( ‫ﺍ‬    ) purba-Nya Zat (’Alif’ panjang) dengan ‘alif-
alif’ ( ‫ ﺍ‬ ‫ﺍ‬    ) lainnya, yang merupakan wujud-wujud makhluk, dan
yang hidup di atas ‘Alif’ ( ‫ﺍ‬    ) utama.]

6.      Tauhid adalah sifat subyek makhluk yang melafalkan


ketauhidannya, dan bukan sifat sang Obyek yang
tersaksikan Satu.

7.       Apabila aku yang makhluk mengatakan “aku”, dapatkah aku


membuat-Nya juga mengatakan “Aku”? Tauhidku datang
dariku, dan bukan dari-Nya. Dia suci [munazzah] dariku dan
Tauhidku.

8.      Bila aku mengatakan: “Tauhid kembali  ke ‘ia’ yang


mengatakannya,” maka aku membuatnya (Tauhid) sebagai
suatu makhluk.

9.      Jika aku mengatakan: “Tidak, Tauhid itu datang dari sang
Obyek yang tersaksikan,” maka adakah hubungan yang
mengaitkan seorang peng-Esa (Tauhid) ke pernyataannya
tentang Penyatuan itu?

10. Andai kukatakan: “Memang, Tauhid adalah hubungan yang


mengaitkan sang Obyek  ke subyeknya,” maka aku telah
mengarahkan hal ini ke sebuah ketentuan nalar!

____________________________________________
Thasin Al Asrar fi al Tauhid (Kesadaran Diri
Dalam Tauhid)

1.      Adapun perlambang “Thasin Al Asrar fi al Tauhid :


Kesadaran-Diri dalam Tauhid” adalah demikian ini:

[‘Alif’ (  ‫ﺍ‬  ) panjang – Penyatuan; Tauhid. ‘Hamzah’ (  ‫)ﺀ‬ –


kesadaran-diri, beberapa di satu sisi dan beberapa lagi di sisi
lainnya. ‘Ain’ (  ‫)ﻉ‬ di awal dan akhir – Zat.]

Kesadaran-diri itu berproses dari-Nya, kembali pada-Nya, dan


beredar di dalam-Nya. Kendati demikian, secara nalar
semuanya tidak penting (bagi-Nya).

2.      Subyek sejatinya Tauhid berbolak-balik melintasi keragaman


subyek, sebab Dia tidak tercakup dalam subyek atau dalam
obyek ataupun dalam kata-ganti lainnya. Akhiran kata-
bendanya juga tidak terliput pada Obyeknya. Kata-
kepunyaan ‘ha’-nya (  ‫ )ﺡ‬adalah milik ‘Ah’-nya (  ‫)ﺡﺍ‬, dan
bukan ‘Ha’ (  ‫ )ﻫ‬lain, yang tidak membuat kita bertauhid.

3.      Bila kukatakan tentang ‘Ha’ (  ‫ )ﻫ‬ini ‘Wa-Ha’ ( ‫)ﻮﻫ‬, yang


lainnya akan berseru padaku, “Malangnya!”

4.      Itulah julukan, sebutan dan kiasan demonstrative yang


menembus (Tauhid) ini, sehingga kita dapat ‘melihat’ Allah
melalui keadaan (hal) senyatanya.

5.      Segenap peribadi insan seperti “sebuah bangunan yang


tersusun rapi”. Inilah ketentuannya, dan Penyatuan Allah
(Tauhid) tidak terkecuali bagi ketentuan ini. Kendati demikian,
setiap ketentuan adalah batasan, dan sifat batasan hanya
berlaku bagi obyek-terbatas. Sebaliknya, obyek Tauhid tidak
mengakui pembatasan tersebut.

6.      Kebenaran [al-Haqq] itu sendiri tidak lain dari singgasana


Allah, bukannya Zat Allah.

7.      Dikatakan, Tauhid tidak mencapai (Kebenaran) itu, karena


peran kebahasaan dari suatu istilah dan pengertiannya yang
pas, tidak berpadu satu sama lain, ketika menyangkut sebuah
imbuhan. Kalau begitu, bagaimana dapat semua berpadu,
ketika menyangkut Allah?

8.      Kalau kukatakan: “Tauhid terpancar dari-Nya,” maka aku


menggandakan Zat Ilahi, dan membuat pancaran dari Dirinya
sendiri, ada bersama dengan-Nya, ‘ada’ ataupun ‘tiada’ Zatnya
secara bersamaan.

9.      Andai kukatakan bahwa ‘ada’-nya tersembunyi ‘di dalam’


Allah, dan Dia mengejawantahkannya. Bagaimana itu
tersembunyinya, sedangkan di (Allah) sana tidak ada
‘bagaimana’ atau ‘apa’ ataupun ‘ini-itu’, dan di sana juga tidak
ada tempat [‘dimana’] yang memuat Dia.

10. Sebab, ‘di dalam ini-itu’ adalah ciptaan Allah, sebagaimana


adanya ‘di mana’.

11. Adapun yang mendukung suatu aksi (aksiden) bukannya


tanpa substansi. Dan, yang tidak terpisahkan dari jasad
bukannya tanpa unsur jasad. Juga yang tidak terpisahkan dari
ruh bukannya tanpa unsur ruh. Karena itu, Tauhid merupakan
sebuah perpaduan (spiritual).

12.  Kita kembali dulu, di luar semua itu, ke pokok masalah


[Obyek kita] dan memisahkannya dari kalimat tambahan,
pemaduan, penghitungan, peleburan dan penyifatan.

13. Lingkaran pertama [pada diagram berikutnya] terdiri


atas tindakan Allah, yang kedua terdiri
atas tiruannya (tindakan). Dan, inilah dua lingkaran (makhluk)
ciptaan.
14. Sedangkan (lingkaran) titik-pusat melambangkan Tauhid,
tetapi bukan (sebenarnya) Tauhid. Kalau tidak, bagaimana
mungkin itu terpisahkan dari lingkaran?
____________________________________________

Thasin al Tanzih (Kesucian, keterbebasan)


1.      Inilah lingkaran qiyas (alegori) Tauhid, dan inilah sosok
perlambangnya:

2.      Inilah kesemestaan yang dapat memperlihatkan kepada kita


mengenai fatwa dan hukum (Tauhid), juga buat para pakar,
ahli ‘ibadah dan ahli madzhab, ahli fiqih dan ahli kalam.

3.      Lingkaran pertama adalah ‘perasaan’ harfiah, yang kedua


adalah ‘rasa’ batin, dan yang ketiga adalah kias ‘ruh’ (yang
tidak terkiaskan).

4.      Itulah keseluruhan segala sesuatu, yang dicipta ataupun


digubah, yang dipakai, ditapis, disaring, disangkal, yang
dibuai ataupun dibius.
5.      Ia beredar dalam kata-ganti ‘kami’ subyek-subyek pribadi.
Seperti sebatang panah, ia menembusi sekujur mereka,
melengkapinya, mengejutkannya, dan membalikkannya. Ia
juga menakjubkan mereka, meneranginya, dan ia
mempesonakannya saat ‘menemui’ mereka.

6.      Itulah keseluruhan substansi dan kualitas makhluk. Adapun


Allah tidak berhubungan dengan perumpamaan ini.

7.      Kalau kukatakan: “Ia adalah Dia,” pernyataan itu bukanlah


(refleksi) Tauhid.

8.      Bila kukatakan bahwa Tauhid Allah itu shahih, orang akan


menjawabku – “Tidak sangsi lagi!’

9.      Andai kukatakan “tanpa waktu,” orang akan bertanya:


“Adakah maknanya Tauhid itu tamsil?” Padahal, tidak ada
perbandingan saat menggambarkan Allah. Tauhidmu itu tidak
ada hubungannya dengan Allah ataupun makhluk, sebab
faktanya mengungkapkan bahwa sejumlah waktu itu
mengintrodusir kondisi terbatas. Dalam hal ini, kau telah
menambahkan pengertian pada Tauhid, seolah (Tauhid) itu
bergantung. Bagaimanapun, kebergantungan bukanlah sifat
Allah. Zat-Nya itu Unik. Dan, sekaligus, baik Kebenaran
maupun apa yang gaib, tidak mungkin terpancar (keluar) dari
Zat-Nya Zat.

10. Jika kukatakan: “Tauhid adalah Firman itu sendiri,”


‘Firman’ adalah sifatnya Zat, bukan Zat itu sendiri.

11. Jika kukatakan: “Tauhid maknanya Allah berhasrat sebagai


yang Satu,’ ‘Kehendak’ Ilahi adalah sifatnya Zat, sedangkan
hasrat adalah makhluk.

12. Jika kukatakan: “Allah adalah Tauhidnya Zat yang dinyatakan


pada dirinya sendiri,” maka aku membuat Zat bertauhid, yang
bisa menjadi pergunjingan kita.

13. Jika kukatakan: “Tidak, ’ia’ (Tauhid) bukan Zat,” lalu


dapatkah aku menyatakan bahwa Tauhid adalah makhluk?

14. Jika kukatakan: “Nama dan obyek yang dinamai itu Satu,”


maka apakah pengertian (nama) yang dikandung Tauhid?
15. Jika kukatakan:” Allah adalah Allah, maka adakah aku
mengatakan bahwa Allah adalah zatnya-Zat, dan ‘ia’ (Tauhid)
adalah Dia?

16. Inilah “Tha-Sin” yang membicarakan tentang penyangkalan


atas alasan-alasan sekunder, dan inilah lingkaran-
lingkarannya, dengan ‘La’ (  ‫ )ﻻ‬yang tertulis di sini sebagai
sosoknya:

17. Lingkaran pertama adalah pra-Kelanggengan, yang kedua


Keterangjelasannya, yang ketiga Dimensinya, dan yang
keempat Berpengetahuannya.

18. Adapun Zat bukannya tanpa sifat.

19. Sang penempuh (lingkaran) pertama membuka Gerbang


Pengetahuan, dan tidak bertemu. Yang kedua membuka
Gerbang Penyucian, dan tidak bertemu. Yang ketiga membuka
Gerbang Pemahaman, dan tidak bertemu. Yang keempat
membuka Gerbang Pemaknaan, dan tidak bertemu. Tidak
seorang pun ‘ketemu’ Allah dalam Zat-nya atau dalam
Kehendak-Nya, tidak dalam pembicaraan, apalagi dalam Dia-
nya ‘Dia’ Sejati.

20. Maha Besar Allah, yang Maha Suci, yang dengan kesucian-
Nya tidaklah Dia terjangkau oleh segenap
cara (thariqah) sang arif, apalagi oleh segenap intuisi orang
kebatinan.

21.  Inilah “Tha-Sin” tentang Nafi’-Itsbat (Penyangkalan dan


Penegasan) dan inilah penjabarannya:
22. Rumus pertama membicarakan pikiran orang
kebanyakan (‘amm), yang kedua pemikiran orang
terpilih (khasysy). Dan, lingkaran yang
menggambarkan ‘Ilmu Allah ada di antara keduanya.
Adapun ‘La’ (‫ )ﻻ‬yang tertutup lingkaran adalah penyangkalan
atas segenap dimensi. Dua ‘ha’-nya ( ‫ )ﺡ‬adalah perangkatnya,
seperti pilar dua sisinya Tauhid, yang menopangnya ke atas.
Di luar itu berawal ketergantungan (makhluk).

23. Pikiran orang kebanyakan tercebur ke samudera khayal, dan


pemikiran orang terpilih (tercebur) ke samudera kearifan.
Tetapi, dua samudera itu akan mengering, dan jalan yang
mereka tandai akan terhapus. Pikiran dan pemikiran itu akan
lenyap, dua pilarnya akan runtuh, dua alam maujudnya akan
hancur, juga pembuktiannya serta pengetahuannya akan
musnah.

24. Sedangkan di hadirat Keilahian Allah, Dia tetap ‘Ada’,


mengatasi sekalian makhluk yang bergantung. Segenap puji
bagi Allah, yang tidak terjangkau oleh alasan sekunder. Bukti-
nya sangat kuat, dan kuasa-Nya sangat agung. Dia, Tuhan
Sang Kemegahan dan Keagungan serta Kemuliaan.
Maha Satu yang ‘Tiada-Terbilang’ dengan kesatuan aritmetis.
Tiada patokan, hitungan, awalan atau akhiran yang
menjangkau-Nya. Wujud-Nya ‘Tiada-Terbayang’ karena Dia
bebas dari maujud. Dia Sendiri saja yang mengetahui Diri-
Nya, Penguasa Keluasan dan Keluhuran (QS. 55: 27),
Pencipta (Al-Khaliq) ruh dan jasad.
____________________________________________

"THASIN": Pencapaian Sang Laron

Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar.


Lalu ia kembali ke rekan-rekannya, dan menceritakan
keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh
kesan.
Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api
dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang
sempurna.

Cahayanya nyala api itu adalah Pengetahuan hakikat,


panasnya adalah Kenyataan hakikat,
dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran hakikat.

Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan


panasnya,
sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung.
Sementara itu rekan-rekannya menantikan kedatangannya,
supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan'
aktualnya,
karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja.
Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'),
musnah dan buyar ke dalam kepingan-kepingan,
yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda
pengenal!
Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke rekan-
rekannya?
Dan keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya
sekarang?
Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin,
niscaya sanggup terlepas dari perkabaran saja.
Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin,
tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya...

(: Dari Fragmen "THAWASIN" Al-Hallaj...)

"THASIN TITIK 'AZALI"


(Sebuah Fragmen dalam "THAWASIN" Al-Hallaj)

... aku 'melihat' Tuhanku dengan mata hatiku,


aku menyapa: "Siapakah Engkau?"
Dia menjawab: "Kau!"
namun, bagiku, 'di mana' tak memiliki tempat,
dan tak ada 'di mana' ketika perhatian menyangkut-Mu,
akal pun tak punya bayangan
tentang keberadaan-Mu dalam (dimensi) waktu,
yang mengizinkan akal mengetahui 'di mana' Engkau adanya...
Engkau adalah 'Sesuatu' yang meliputi setiap 'di mana',
mengatasi 'Titik' yang 'tak-di mana-mana'.
jadi, 'di mana'-kah Engkau adanya...?

Diterjemahkan oleh AM Santrie dari “THAWASIN” edisi Arab,


terbitan Beirut dan edisi Inggris, terjemahan Aisha Abd
Arhman At-Tarjumana

Diposkan oleh Saifuddin bin Abd hafid bin Kali barru di 00.29
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Carian quicaq Al Ghoibi


Cari
Bugis To Barru
 2013 (20)
o Februari (1)
o Januari (19)
 KITAB RAHASIA APPONA KALI BARRU: Dalil-dalil dan h...
 PEMBANGKITAN KUNDALINI (KUNDALINI SHAKTI )
 DOA AKASYAH
 FADHILAH SHOLAT
 KITAB ZIKIR DOA
 RAHASIA SHOLAT IMAM GHAZALI
 AKU SEJATI
 ZIKIR MAKRIFAT
 RAHASIA PARA AULIYA DALAM IHSAN SEJATI
 AMALAN MAKRIFAT JAWA MENGENAL AKU SEJATI
 DZIKRULLAH
 KUBUR
 KHATM KHAWJAKAN
 HIZIB JA’FAR ASSHODIQ
 Jalan Tol Menuju Surga
 MASUK KE JURANG KEFANAAN ALA DZUN NUN
 Mengintip Perjalanan Ruh
 Dalil-dalil dan hadist ilmu ladunni tasawuf/hakeka...
 KITAB THAWASIN AL-HALLAJ

http://rahasiaallahu.blogspot http://rahasiaallahu.blogspot
.com/2013/01/zikir- .com/2013/01/dalil-dalildan-
makrifat_3799.html hadist-ilmu-ladunni.html

 

Dalil-dalil dan hadist ilmu ladunni Dalil-dalil dan hadist ilmu ladunni
tasawuf/hakekat Rahasia bathin tasawuf/hakekat Rahasia bathin

Dalil-dalil dan hadist ilmu ladunni Dalil-dalil dan hadist ilmu ladunni
tasawuf/hakekat Rahasia bathin Ol... tasawuf/hakekat Rahasia bathin Ol...

 
Martabat Tujuh (7) Martabat Tujuh (7)

quicaq al ghoibi Malenggank di langit   quicaq al ghoibi Malenggank di langit  


Istilah ajaran martabat tujuh, tidak Istilah ajaran martabat tujuh, tidak
pernah dikenal pada masa Rasulullah , pernah dikenal pada masa Rasulullah ,
beliau tidak menga... beliau tidak menga...

 

KITAB THAWASIN AL-HALLAJ KITAB THAWASIN AL-HALLAJ

Tasawuf Falsafi Al-Hallaj AL- Tasawuf Falsafi Al-Hallaj AL-


HALLAJ (Biografi,karya,tasawuf, dan HALLAJ (Biografi,karya,tasawuf, dan
pemikirannya) Latar Belakang Pada pemikirannya) Latar Belakang Pada
abad ke 9 Masehi, berkembang ... abad ke 9 Masehi, berkembang ...

 ZIKIR MAKRIFAT  ZIKIR MAKRIFAT

ZIKIR MAKRIFAT Quicaq Al Ghoibi ZIKIR MAKRIFAT Quicaq Al Ghoibi


Malenggank Di langit Bagaimana cara Malenggank Di langit Bagaimana cara
berdzikir kepada Allah SWT sehingga berdzikir kepada Allah SWT sehingga
kita siap untuk bertemu den... kita siap untuk bertemu den...

 AMALAN MAKRIFAT JAWA  AMALAN MAKRIFAT JAWA


MENGENAL AKU SEJATI MENGENAL AKU SEJATI

AMALAN MAKRIFAT JAWA AMALAN MAKRIFAT JAWA


MENGENAL AKU SEJATI Berikut MENGENAL AKU SEJATI Berikut
adalah amalan bagi para pejalan adalah amalan bagi para pejalan
spiritual untuk pembangkitan spiritual untuk pembangkitan
kesadaran akan diri sejat... kesadaran akan diri sejat...

 DZIKRULLAH  DZIKRULLAH

DZIKRULLAH ‫أشهد أن ال اله اال هللا و أشهد‬ DZIKRULLAH ‫أشهد أن ال اله اال هللا و أشهد‬
‫ أن محمدا رسول هللا‬quicaq Al ghoibi ‫ أن محمدا رسول هللا‬quicaq Al ghoibi
Malenggank di langit Beruntunglah, Malenggank di langit Beruntunglah,
Berbahagialah & ... Berbahagialah & ...
 

PEMBANGKITAN KUNDALINI PEMBANGKITAN KUNDALINI


(KUNDALINI SHAKTI ) (KUNDALINI SHAKTI )

PEMBANGKITAN KUNDALINI PEMBANGKITAN KUNDALINI


(KUNDALINI SHAKTI ) quicaq Al (KUNDALINI SHAKTI ) quicaq Al
ghoibi Malenggank di langit Assalamu ghoibi Malenggank di langit Assalamu
alaikum wr.wb Salam hormat dan alaikum wr.wb Salam hormat dan
takzim ... takzim ...

 RAHASIA SHOLAT IMAM  RAHASIA SHOLAT IMAM


GHAZALI GHAZALI

KITAB RAHASIA SHOLAT IMAM KITAB RAHASIA SHOLAT IMAM


GHAZALI ..DIKUTIP DARI KITAB GHAZALI ..DIKUTIP DARI KITAB
IHYA ILUMIDDIN KITAB IHYA ILUMIDDIN KITAB
RAHASIA SHALAT DAN SEGALA RAHASIA SHALAT DAN SEGALA
KEPENTINGANNYA ‫بِس ِْم هَّللا ِ ال‬... KEPENTINGANNYA ‫بِس ِْم هَّللا ِ ال‬...

 KITAB RAHASIA APPONA KALI  KITAB RAHASIA APPONA KALI


BARRU: Dalil-dalil dan hadist ilmu BARRU: Dalil-dalil dan hadist ilmu
ladunni tasawuf/hakeka... ladunni tasawuf/hakeka...

KITAB RAHASIA APPONA KALI KITAB RAHASIA APPONA KALI


BARRU: Dalil-dalil dan hadist ilmu BARRU: Dalil-dalil dan hadist ilmu
ladunni tasawuf/hakeka... : Dalil-dalil ladunni tasawuf/hakeka... : Dalil-dalil
dan hadist ilmu ladunni dan hadist ilmu ladunni
tasawuf/hakekat... tasawuf/hakekat...

 HIZIB JA’FAR ASSHODIQ  HIZIB JA’FAR ASSHODIQ

HIZIB JA’FAR ASSHODIQ quicaq Al HIZIB JA’FAR ASSHODIQ quicaq


ghoibi Malenggank Di langit Al ghoibi Malenggank Di langit
Assalammualaikum saudaraku semua. Assalammualaikum saudaraku semua.
Saya hamba Allah yang dhoif ini Saya hamba Allah yang dhoif ini
mau... mau...

INilah wali pitue Wali Tujuh Di Tanah Bugis


sayyidina Ali

K.H.Djamaluddin Aliah (Kali barru)


IMAM Husen

Syekh Abd Qadir Jaelani al bahdadi


H.abd hafid A

IMAM SAFE"I

AKU

Saifuddin bin Abd hafid bin Kali barru


Lihat profil lengkapku

Anda mungkin juga menyukai