Anda di halaman 1dari 12

Artikel satu

Waktu dalam Perspektif Ibn Arabi (1)

Waktu, jika Anda merenungkan kemunculannya, adalah sesuatu yang dapat diverifikasi; Namun, ia dapat
diketahui oleh (manusia) ketika berimajinasi (awham). Kekuatan waktu, seperti alam yang memiliki efek-
efek tertentu, meskipun esensi dari keduanya (waktu dan alam) adalah tidak eksis.[1] Melaluinya, semua
yang ada di dunia dapat ditentukan. Meskipun ia sendiri esensinya tidak eksis dengan sesuatu yang
dapat ditentukan.

Pada pembahasan sebelumnya kita melihat bahwa waktu merupakan masalah penting dalam filosofi
fisika dan kosmologis. Untuk alasan yang sama, Ibn Arabi menjelaskan dengan baik bahwa waktu
merupakan kunci utama untuk merealisasikan spiritual manusia. Pada pembahasan ini, kita akan melihat
relevansi pandangan Ibn Arabi mengenai waktu. Kita akan mendeskripsikan ide-idenya mengenai waktu
dan secara fokus membahas isu-isu seputar waktu. Untuk alasan ini, akan dilakukan pembahasan dari
berbagai referensi untuk menjelaskan masalah waktu secara detail.

Apakah Waktu?

Ibn Arabi memulai dengan menyatakan bahwa waktu merupakan atribut imajiner yang tidak eksis
dengan sendirinya; ia bukan merupakan entitas fisik atau non-fisik yang terpisah. Ia berargumen bahwa
hubungan waktu dengan manusia seperti hubungan keabadian dengan Tuhan, dan oleh karena
keabadian merupakan atribut negatif[2] yang tidak dapat eksis dengan sendirinya, hubungan waktu
dengan dunia kontingen dan seluruh kosmos (juga) atribut imajiner yang tidak eksis.

Dalam kitab utamanya Al-Futuhat Al-Makiyyah, ia berkata: Dalam kitab ini dan kitab The Time (Al-
Zaman) kami memperlihatkan bahwa waktu merupakan suatu eksistensi yang tidak riil. Meskipun kitab
yang terakhir sulit ditemukan pada masa sekarang, konsep Ibn Arabi mengenai waktu secara mendetail
dapat ditemukan dalam Futuhat yang tersebar dalam bab-babnya, seperti Bab 59, 291, dan 390.

Konsep waktu diperlukan untuk membandingkan urutan dari peristiwa atau gerakan, tetapi eksistensi
riilnya hanya diatributkan kepada suatu gerakan aktual bukan kepada gerakan abstraksi; gerakan waktu
dan ruang yang dapat diobservasi:
Waktu dan ruang merupakan konsekuensi dari eksistensi alam, tetapi waktu merupakan suatu bentuk
imajinasi yang tidak eksis (dengan sendirinya), ia diawali oleh gerakan suatu orbit yang terlokalisasi
ketika kita mengajukan pertanyaan kapan. Jadi, waktu dan ruang tidak eksis dalam realitas, tetapi
eksistensinya tergantung kepada faktor gerak dan diam.

Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa gerak, ruang, dan waktu tidak memiliki eksistensi fisik,
tetapi ketiganya bukan peristiwa yang terpisah dengan cara mengabstraksikannya: eksistensi ketiganya
merupakan ilusi; ketiganya hanya proyeksi dari imajinasi manusia (wahm).

Tidak mudah untuk menolak eksistensi waktu, ruang, dan gerak karena ketiganya merupakan
pengalaman dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bagaimanapun, Ibn Arabi bukan orang pertama yang
menyatakan proposisi tersebut. Kita mengetahui bahwa Aristoteles memberikan penjelasan sederhana
bahwa waktu tidak riil. Membuktikan kekeliruan pandangan gerak dan ruang memiliki eksistensi riil
sangat rumit. Mungkin hanya Zeno (488 SM) yang cukup berani untuk membuat postulat bahwa gerak
itu hanya ilusi, dan ia menyusunnya dalam bentuk teka-teki yang sulit untuk dipecahkan dengan logika.
Ide utama, di samping konsepsi misterius Ibn Arabi adalah teori kontroversialnya mengenai kesatuan
wujud, di mana hal tersebut menjadi fokus bahasan selanjutnya. Jika kita mendukung bahwa eksistensi
riil di dunia adalah satu keunikan, maka gerak menjadi tidak bermakna, begitu pula terhadap waktu
dan ruang; atau ketiganya perlu didefinisikan ulang. Kita akan mudah memahami paradoks Zeno dengan
mengikuti pandangan Ibn Arabi mengenai teori kesatuan wujud. Kembali kepada waktu, kita dapat
menjelaskan dengan mudah bahwa waktu itu imajiner. Aristoteles mengatakan dalam Physics bahwa
waktu terdiri dari dua bagian, salah satunya telah eksis (masa lalu) dan lainnya belum eksis (masa
depan). Jadi, bagaimana sesuatu dikatakan eksis jika tersusun dari yang tidak eksis? (Lettinck, 1994:
348).

Terdapat eksistensi rill dari waktu, yaitu pada masa sekarang, bukan masa lalu atau masa depan.
Aristoteles kemudian memberikan argumen lainnya bahwa sekarang itu bukan waktu. Masa sekarang
bukan waktu tetapi cenderung seperti titik waktu imajiner, seperti titik dalam garis; meskipun garis
disusun dari titik, tetapi tiap-tiap titik bukan garis.[3] Sebagaimana waktu yang merupakan jumlah dari
momen-momen masa sekarang yang eksis satu per satu, dan tiap momen masa sekarang (sendiri) bukan
waktu. Oleh karena itu waktu adalah proyeksi pikiran yang bersifat kontinu dari masa depan menuju
masa lalu melalui masa sekarang.

Ibn Arabi mengupas secara mendalam mengenai waktu. Pada Bab 390 dalam Futuhat, ia berkata:
Waktu dari sesuatu adalah kehadiran. Kemudian ia menjelaskan bahwa kedudukan waktu di hadapan
Tuhan adalah abdi dan waktu bagi abdi adalah Tuhan (al-Rabb). Tuhan patut diberikan nama demikian
oleh abdi, karena Dia tidak disebut Tuhan jika tidak ada abdi yang beribadah kepada-Nya; seperti abdi
yang patut diberi nama demikian (manakala dihubungkan) dengan Tuhan. Dalam cara yang sama, Ibn
Arabi mengatakan: Waktu dari ayah adalah anaknya dan waktu bagi anak adalah ayahnya. Itulah
sebabnya mengapa Ibn Arabi pada Bab 390 mengatakan: Waktu dari sesuatu adalah kehadiran, tetapi
Aku dan Anda keluar darinya, jadi Aku berada dalam waktu Anda dan Anda berada dalam waktuku.
Artinya, Aku berada dalam kehadiran Anda dan Anda berada dalam kehadiranku.

Waktu dalam kebiasaan orang adalah alat aktual yang digunakan oleh persepsinya untuk
mengklasifikasi peristiwa atau gerak objek secara kronologis; ia tidak memiliki arti tanpa gerakan atau
perubahan. Itulah sebabnya mengapa kita tidak merasakan waktu ketika tidur; kita dapat melihat
beberapa jenis gerakan standar dari (Matahari, Bulan, bintang, atau jam) untuk menentukan berapa
banyak waktu yang digunakan ketika tidur. Waktu tidak memiliki arti riil absolut; ia bersifat relatif
terhadap sesuatu untuk menjelaskan keadaan eksistensinya. Itulah sebabnya mengapa Ibn Arabi
menggunakan kata waktu dan keadaan secara sinonim, ketika ia berkata: Seperti saat Anda (dapat)
mengatakan waktu dari eksistensi atau keadaan (hal) dari eksistensi.

Jadi, arti riil waktu direduksi kepada eksistensi dunia dalam momen sekarang, di mana tidak ada durasi
atau perluasaan karena masa depan atau masa lalu adalah imajinasi. Ibn Arabi menyatakan bukan suatu
masalah ketika orang mengatakan bahwa waktu adalah siang dan malam, atau waktu adalah durasi
dalam gerak objek, atau waktu adalah perbandingan dari suatu peristiwa terhadap peristiwa yang lain
ketika menanyakan kapan?; sebab definisi-definisi tersebut dapat digunakan secara umum dan
dibenarkan bila dihubungkan dengan waktu menurut pendapat orang awam. Sebagaimana Ibn Arabi
katakan pada Bab 59 dalam Futuhat dengan judul Eksistensi dan Asumsi tentang Waktu, orang
menggunakan kata waktu (zaman)[4] dengan banyak cara: filsuf menjelaskan waktu sebagai durasi
dalam gerakan orbit dan teolog Muslim menjelaskan waktu sebagai peristiwa yang berurutan. Tetapi
makna zaman dalam tradisi Arab adalah waktu-malam (layl) dan waktu-siang (nahar). Ibn Arabi sendiri
kadang-kadang menggunakan kata zaman dengan arti siang dan malam. Hal ini hanya berupa konvensi;
sebab, hari (yawm) bersifat ketuhanan yang merupakan satuan utama yang tidak dapat dipisahkan dari
waktu. Jika waktu memiliki beberapa eksistensi riil, ia eksis sebagai hari-hari (untuk tiap sesuatu yang
riil secara instan) dengan bersifat ketuhanan, bukan sebagai jam atau detik sebagaimana konvensi yang
kita gunakan. Tidak seperti kata hari (yawm), siang (nahar), dan malam (layl), kata waktu (zaman) tidak
digunakan dalam Al-Quran.

[1] Alam di sini berarti level alam (martabat al-tabia) (yaitu empat elemen dasar) dan bukan alam
dalam arti fisik yang merupakan dunia material. Ibn Arabi menjelaskan bahwa level alam tidak memiliki
eksistensi fisik terpisah: Tuhan menetapkan level alam yang memiliki (riil) eksistensi berada di bawah
Jiwa, meskipun ia tidak benar-benar eksis, hal ini disaksikan oleh Yang Riil. Itulah sebabnya Dia
membedakan dan menetapkan level alam. Hal ini berkaitan dengan wujud alami dalam Nama-nama
ketuhanan: mereka dapat diketahui dan dibayangkan, efeknya dapat muncul dan tidak dapat diabaikan,
sedangkan umumnya mereka tidak memiliki esensi (terpisah). Demikian juga level alam memiliki bentuk
potensial yang rasional dan memiliki eksistensi riil, meskipun eksistensi riilnya tidak terpisah. Jadi, begitu
kuat keadaannya dan begitu tinggi efeknya!

[2] Dalam bahasa teologi kalam, atribut negatif (sifat salbiyyah) adalah atribut yang bukan gambaran
sesungguhnya, tetapi hanya sebuah negasi dari deskripsi yang dikemukakan. Lihat: The Book of
Eternity (Kitab al-Azal) karya Ibn Arabi.

[3] Untuk informasi lebih jauh mengenai analogi titik-garis dan waktu-sekarang, lihat: Hasnaoui
(1977). Hal: 50. Lihat juga karya Ibn Arabi Risalah fi Asrar al-Dhat al-Ilahiyyah dalam Rasail Ibn Arabi
(Beirut: Muassasat al-Intishar al-Arabi, 2002), ed. Said Abd al-Fattah, Vol. I: 193-206.

[4] Ada dua kata yang terkait erat dalam bahasa Arab yang digunakan untuk waktu: zamaan dan
zaman. Pada dasarnya, keduanya digunakan dalam konteks yang sama dan biasanya kamus bahasa Arab
(seperti: Lisan al-Arabi (Beirut: Dar Sadir, tt), XII: 200) tidak membedakan keduanya. Ibn Arabi juga
menggunakan dua kata ini secara bergantian dalam tulisan-tulisannya, meskipun begitu kita dapat
mengetahui suatu pola unik yang digunakan dalam Futuhat: dalam banyak tulisan ia menggunakan
zamaan untuk waktu dengan rentang yang lama, sementara kata zaman digunakan untuk waktu
sekarang atau waktu tertentu yang singkat dan jelas, seperti dalam pernyataan teknis waktu tunggal
(al-zaman al-fard) yang akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.

Artikel 2

Waktu Menurut Teori Kuantum dan Ibn Arabi

1 Vote

Waktu Kuantum

Mengenai pertanyaan tentang waktu instan; waktu berwujud kontinum linier berarti bahwa
didalamnya terdapat faktor tak terhingga. Hal ini berarti di antara dua waktu instan terdapat fakta
ketiga; waktu kontinu. Namun, terhadap waktu yang lebih pendek dari 10-43 detik, disebut waktu
Planck, sains tidak memiliki dukungan eksperimental atas kekontinuan waktu. Tapi fisikawan setuju
bahwa Relativitas Umum gagal untuk menjelaskan interval waktu yang lebih pendek dari waktu
Planck,[1] meskipun mereka tidak tahu persis bagaimana dan apa penggantinya.

Gagasan bahwa ruang atau waktu (ruang-waktu) bersifat diskrit muncul kembali dalam literatur ilmiah
baru-baru ini, tetapi asal-usulnya kembali ke filosofi kuno. Konsep baru yang dibawa oleh Mekanika
Kuantum (misalnya konsep ketidakpastian atau prinsip ketidakpastian) menyatakan bahwa ruang-waktu
dapat juga terkuantisasi seperti energi. Ini diperkuat dengan ditemukannya divergensi ultraviolet dalam
teori Medan Kuantum (Zee, 2003: 145-151), meskipun banyak konsep aneh dari kuantum yang diterima
fisika kontinum. Pada tahun 1980-an, kehandalan komputer telah menginspirasi munculnya pemikiran
mengenai sifat diskrit dalam fisika. Simulasi matematika yang rumit dalam super-komputer telah
membuka jalan bagi munculnya teori Kisi yang diaplikasikan dalam Mekanika Kuantum, termasuk
Gravitas Kuantum. Dalam Gravitas Kuantum, interval waktu Planck merupakan ukuran minimum yang
tidak dapat dilakukan pengukuran dengan akurat.

Hawking melihat ada alasan untuk meninggalkan teori-teori kontinum yang telah begitu sukses
sebelumnya. Menurutnya memungkinkan untuk menciptakan struktur diskrit ruang-waktu tanpa
meninggalkan teori kontinum jika dualitas diskrit-kontinum dapat di atasi sebagaimana dualitas
gelombang-partikel dapat di atasi oleh Mekanika Kuantum.[2]

Metode praktis dari kuantisasi waktu dalam teori-teori ilmiah modern didasarkan pada beberapa
persamaan matematika yang rumit seperti teori kisi dan otomata seluler yang berada di luar
pembahasan ini (Wolfram, 2002: 771). Patut dicatat di sini bahwa kuantisasi Ibn Arabi terhadap waktu
sangat unik dan didasarkan pada pandangan kosmologis yang lebih luas (kesatuan wujud).

Waktu dalam Pandangan Ibn Arabi

Ibn Arabi menganggap waktu adalah imajiner dan tanpa eksistensi nyata; waktu hanya alat yang
digunakan pikiran untuk mengatur kronologis suatu peristiwa, gerakan bola langit dan benda-benda
fisik. Selanjutnya Ibn Arabi membedakan dua jenis waktu: waktu alami dan waktu adi-alami. Dia juga
menjelaskan bahwa dasar asal-usul waktu imajiner dari dua kekuatan jiwa: daya aktif dan intelektif.

Meskipun waktu itu imajiner, Ibn Arabi menganggap waktu sebagai salah satu dari empat unsur utama
di alam: waktu, ruang, monad (al-jawhar), dan bentuk (al-arad). Seperti beberapa teori modern, Ibn
Arabi juga menentukan bahwa waktu itu siklik, relatif, dan homogen. Ibn Arabi memberikan definisi
yang tepat mengenai hari, siang, malam yang berhubungan dengan entitas real dan imajiner
terhadap orbit atau lintasan; setiap orbit memiliki hari tersendiri dan hari-hari tersebut diukur dengan
hari normal di Bumi.

Di sisi lain, Ibn Arabi menegaskan pentingnya satuan Minggu kosmis dan mengatakan bahwa hari
dalam satu minggu memiliki keunikan tersendiri dan satu sama lainnya tidak sama. Hari Sabtu (al-sabt)
khususnya, memiliki arti penting karena ia menganggap hari ini sebagai Hari Keabadian, sehingga hari
dalam seminggu yang diamati termasuk hari Sabtu itu sendiri. Awalnya mungkin hal ini membingungkan,
tetapi akan menjadi mudah setelah kita menjelaskan pandangan Ibn Arabi tentang prinsip penciptaan
kembali dan teori kesatuan wujud.

Pandangan Ibn Arabi yang sangat penting dan unik adalah waktu bersifat diskrit: terdapat hari atau
waktu minimumyang mengejutkan hari tersebut sama dengan hari normal yang kita gunakan dan
dibagi menjadi jam, menit, detik, dan satuan yang lebih kecil lagi. Konsepsinya terlihat ambigu, tetapi
ketika menjelaskan hal ini Ibn Arabi memperkenalkan tiga jenis hari yang tergantung pada aliran waktu
aktual yang tidak seragam dan tidak terasa sebagaimana kita bayangkan. Poin pentingnya, Ibn Arabi
menekankan bahwa menurut Al-Quran hanya ada satu peristiwa setiap hari (hari aktual) dan bukan
peristiwa berbeda seperti yang kita amati. Untuk mencapai pemahaman lebih mendalam dari kata kunci
di dalam Al-Quran, ia merekonstruksi realitas yang mendasari hari biasa dengan cara khusus dari
perbedaan hari dalam aliran waktu aktual.

Berdasarkan sejumlah ayat-ayat dalam Al-Quran, Ibn Arabi mengatakan bahwa dunia tidak eksis secara
langsung dan statis setelah penciptaan, tetapi mengalami keterciptaan yang berulang dan terus-
menerus. Kita akan melihat pandangan Ibn Arabi mengenai waktu dan bagaimana waktu mengalir
secara tepat dan unik; hal ini tidak pernah dibahas para filsuf atau ilmuwan. Kekhasan visi kosmis berupa
penciptaan terus-menerus akan memudahkan untuk memahami aliran waktu aktual yang didasarkan
pada tiga jenis hari sebagaimana disinggung di atas. Hal ini dapat digunakan untuk membangun model
kosmos yang akan dibahas selanjutnya.

[1] Ini dikarenakan Prinsip Ketidakpastian (Heisenberg) menyatakan bahwa untuk semua parameter
fisik (seperti: posisi [x] dan momentum [p]) dari suatu sistem tidak dapat ditentukan pada waktu
bersamaan. Secara matematis dinyatakan sebagai: x. p > h, di mana h adalah konstan Planck dengan
nilai 6 x 10-34 erg-detik.
[2] Sebelum munculnya Mekanika Kuantum terdapat perdebatan panjang tentang sifat cahaya, apakah
partikel atau gelombang. Beberapa percobaan (dan teori) menegaskan bahwa ia adalah partikel,
sementara yang lainnya menegaskan sebagai gelombang. Mekanika Kuantum memecahkan kontradiksi
ini dengan menyatakan bahwa partikel memiliki sifat gelombang dan gelombang memiliki sifat partikel.

Artikel tiga

Secara teoritis waktu tersingkat adalah 5,4 x 10E -44 detik (E, maksudnya pangkat). Bilangan ini disebut
waktu Planck (Planck time). Hingga tahun 2006, waktu tersingkat yang dapat diukur secara eksperimen
barulah satu ato (10E-18) detik atau masih sekitar 0,2 miliar-miliar-miliar kalinya waktu Planck.

Dalam Fisika kuantum, kaitan ruang waktu, gravitasi, dan efek kuantum, jarak terpendek yang secara
teori dapat diukur adalah sekitar 1,6 x 10E-35 m atau 10E-20 lebih kecil dari ukuran photon. Jarak ini
juga disebut jarak Planck (Planck length) atau panjang quantum.

Waktu Planck terkait dengan fisika kuantum dan sering disebut waktu quantum. Waktu ini diperlukan
bagi photon untuk menempuh jarak panjang Planck dalam kecepatan cahaya. Dalam perkembangannya
kini, waktu Planck dianggap sebagai waktu yang diperlukan bagi terciptanya alam semesta.

Artikel ke 4

menyelidiki keadaan awal

apa yang terjadi selama big bang? memang kita tidak dapat mencari saksi yang melihat big bang secara
langsung, jadi untuk menjawabnya para astronom harus melihat keadaan alam semesta sekarang dan
melihatnya kebelakang.

Latar radiasi kosmik memberikan kita informasi bahwa temperatur alam semesta sekarang sekitar 2.7
kelvin. Persamaan Hubble membantu kita mengetahui seberapa cepat semesta mengembang.
sebenarnya sangat sulit untuk melakukannya namun para astronom tetap berusaha dengan
menggunakan persamaan hubble untuk galaksi yang sangat jauh untuk melihat bahwa alam semesta
mengembang lebih cepat dimasa lalu.

astronom juga dapat mengukur timbunan relatif dari setiap element dan isotop yang terbentuk selama
awal big bang untuk memperkirakan seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membentuk atom-
atom sat big bang berlangsung.
dengan menggabungkan hasil pengamatan dan pandangan secara teoritik dari relativitas umum, para
kosmolog berusaha untuk memecahkan rahasia sejarah alam semesta dan sifat-sifat fisis seperti
temperatur dan densitas saat waktu yang berbeda sepanjang sejarah pembentukan semesta.

Keadaan Sebelum Awal

Alam semesta memulai bigbang saat waktu sama dengan nol detik. tapi bagaimana sebelum waktu nol
detik? dalam konteks teori big bang, tidak ada penjelasan ilmiah untuk pertanyaan semacam itu. nah ini
dia, setidaknya sampai titik ini, batasan yang mendasar sekali dari teori big bang. Belum ada satu teori
ilmiahpun yang dapat menjelaskan keadaan ini.

Waktu Planck

Teori bigbang juga memiliki keterbatasan selama selang waktu 10-43 detik pertama dari kejadian big
bang stelah watu nol. tenggang waktu ini didisebut waktu planck (masa planck) dimana muncul dari
mekanika kuantum.

tanpa penjelasan secara detail, mekanika kuantum memprediksi apapun yang memiliki ukuran keciiill
sekali lebih tepat dibandingkan mekanika newton . kita juga dapat memprediksi atau mengukur lintasan
planet-planet atau bahkan bola baseball, namun kita hanya bisa menentukan kemungkinan dari sebuah
elektron. Ketidakmampuan untuk menentukan atau mengukur lintasan elektron tersebut bukan karena
kesalahan alat ukur namun keterbatasan mendasar alam.

waktu plank adalah keterbatasan untuk pengukuran waktu. untuk waktu sejarah pembentukan alam
semesta kurang dari 10-43 detik, adalah keterbatasan mekanika kuantum untuk memprediksi atau
menugukur kondisi semacam itu. teori big bang yang kita ketahui saat ini adalah setelah waktu 10-43
detik itu. saat itu alam semesta memiliki kerapatan/densitas 1096 kali dari kerapatan air dan
diperkirakan memiliki temperatur 1032 kelvin. Semesta kita mulai memiliki keadaan masif dan sangat
puanaas luar biasa sekali. mulai saat itulah alam semesta memulai pengembangan big bang. apa yang
terjadi saat 0 detik sampai 10-43 detik? tidak akan ada yang mengetahuinya...

artikel ke 4
Biografi Ibnu Arabi

Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah al-Hatimi.
Ia keturunan dari Abdulah bin Hatim saudara Adiy bin Hatim dari kabilah Thai. Kuniahnya adalah Abu
Bakar dan laqab (julukannya) adalah Muhyiddin. Ia juga populer dengan sebutan Al-Hatimi dan dengan
sebutan Ibnu Arabi (tanpa al) untuk membedakannya dengan Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi. Ibnu Arabi
lahir pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M di Murcia,
Andalusia. Ayahnya -Ali bin Muhammad- termasuk salah seorang ahli fiqh dan hadits, juga seorang sufi
yang zuhud dan bertaqwa[1][9]. Ayahnya adalah orang shalih yang senantiasa tekun membaca Al-Quran
dan memiliki beberapa karamah, di antara karamahnya adalah bahwa ia tahu hari meninggalnya
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makiyah.[2][10]

Pada umur delapan tahun, Ibn Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, untuk
menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yaitu membaca al-Quran dan mempelajari hukum-
hukum Islam dari Syekh Abu Bakar bin Khalaf, kemudian ia pindah ke Seville yang saat itu merupakan
pusat sufi Spanyol dan menetap di sana selama tiga puluh tahun untuk mempelajari hukum, hadits,
teologi Islam, serta banyak belajar dari ulama-ulama dalam mempelajari tasawuf. Ia belajar tasawuf
kepada sejumlah sufi terkenal seperti Abu Madyan al-Gauts at-Talimsari, dan melanglang buana ke
berbagai negeri seperti Yaman, Syiria, Irak, Mesir, dan akhirnya pada tahun 620 H, ia menetap di Hijaz
hingga akhir hayatnya.[3][11]

KONSEP WIHDATUL WUJUD IBNU ARABI

Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wihdatul wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah
wihdatul wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal darinya, tetapi
berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya
tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang berjasa dalam mempopulerkan ke tengah masyarakat
Islam, meskipun tujuannya negatif.

Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek
dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalq) dan aspek dalam disebut Tuhan (al-Haqq). Menurut faham
ini aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah bayangan
dari aspek dalam tersebut.[4][13]

Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada hakikatnya wujud
khaliq pula. Tidak ada perbedaan di antara keduanya (khaliq dan makhluq) dari segi hakikat. Adapun
kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari
sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang
ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun padanya.[5][14] Hal ini
tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi,


Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala
sesuatu.[6][15]

Wujud alam, menurut Ibn Arabi, pada hakikatnya adalah wujud Allah juga. Allah adalah hakikat alam.
Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim, yang disebut khaliq dan wujud baru yang disebut
makhluq. Tidak ada perbedaan antara abid (yang menyembah) dan mabud (yang disembah). Bahkan
antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan hanya pada rupa dan ragam dari
hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn Arabi mengemukakan lewat syairnya[7][16]:

#


#

Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba, demi perasaanku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau
katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang
dibebani taklif?

Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti apa pun selain
Tuhan baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Kesimpulannya kata
wujud tidak diberikan kepada selain Tuhan. Akan tetapi kenyataannya Ibnu Arabi juga menggunakan
kata wujud untuk menyebut sesuatu selain Tuhan. Namun ia mengatakan bahwa wujud itu hanya
kepunyaan Tuhan sedang wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan
kepadanya. Untuk memperjelas uraiannya Ibnu Arabi memberikan contoh berupa cahaya. Cahaya hanya
milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Ibnu Arabi mengemukakan
teori tajalli yang berarti menampakkan diri. Tajalli artinya Allah menampakkan diri atau membuka diri,
jadi diumpamakan Allah bercermin sehingga terciptalah bayangan Tuhan dengan sendirinya. Dengan
teori ini, makhluk adalah bayang-bayang atau pencerminan Tuhan di mana Tuhan dapat melihat dirinya
sendiri tanpa kehilangan sesuatupun. Artinya tetap dalam kemutlakannya.[8][17]

Sebagaimana doktrin-doktrin beliau dalam kitab Futuhat Al-Makkiyyah dan Fushush Al-Hikam esensi ke-
Tuhanan bagi Ibnu Arabi adalah segala yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi
murni, tunggal dan tanpa atribut (sifat); dan (2) sebagai esensi yang dikaruniai atribut. Tuhan, karena
dipandang tidak beratribut, berada di luar relasi dan karenanya juga di luar pengetahuan. Dalam esensi-
Nya Tuhan terbebas dari penciptaan, tetapi dalam keTuhanan-Nya, Tuhan membutuhkannya. Eksistensi
Tuhan adalah absolut, ciptaannya ada secara relatif, dan yang muncul sebagai relasi realitas adalah
wujud nyata yang terbatasi dan terindividualisasi. Karenanya segala sesuatu adalah atribut Tuhan dan
dengan demikian semua pada akhirnya identik dengan Tuhan, tanpa memandang bahwa semua itu
sebenarnya bukan apa apa.[9][18]

Ibn Arabi memandang manusia dan alam sebagai cermin yang memperlihatkan Tuhan dan berkata
bahwa sang penerima berasal dari nol sebab ia berasal dari emanasi-Nya yang paling suci karena seluruh
kejadian (eksistensi) berawal dan berakhir bersama-Nya: kepada-Nya ia akan kembali dan dari-Nya ia
berawal.[10][19]
Ketika Tuhan berkehendak dengan nama-nama bagus-Nya (sifat-sifat) yang berada di luar hitungan,
esensinya bisa dilihat. Dia menyebabkan nama-nama itu bisa dilihat dalam sebuah wujud mikrokosmik
yang karena dikaruniai eksistensi meliputi seluruh obyek penglihatan dan melaluinyalah kesadaran
terdalam Tuhan menjadi termanifestasikan di hadapan-Nya.[11][20]

Lebih lanjut Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam menurutnya alam adalah
bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya.
Oleh karena itu alam tempat tajalli dan mazhar (penampakan Tuhan). Menurutnya ketika Allah
menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ke-Tuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti
cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia
untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari
asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya akan kehilangan makna dan
senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya, yang mutlak yang
tidak dikenal oleh siapapun.[12][21]

Banyak orang yang menyamakan antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Padahal terdapat
perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Konsep Wihdatul wujud menyatakan bahwa tidak ada
sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki atau mutlak kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah
wujud yang keberadaannya independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak
membutuhkan wujud lain untuk membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya
Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang berawal. Alam semesta dan
segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada
Wujud Mutlak.[13][22]

Oleh para sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda dengan Wujud Mutlak,
wujud al mukmin ini adalah wujud yang berawal, artinya baru ada pada waktu awal tertentu. Misalnya
alam semesta yang baru ada pada saat Big Bang (terjadinya ledakan besar, yaitu yang dianggap awal
mula terjadinya bumi oleh para ilmuwan), yang oleh para kosmolog diperkirakan terjadi 10 milyar tahun
yang lalu. Oleh karena itu, alam semesta ialah wujud al mukmin, karena keberadaannya diwujudkan
(maujud) oleh Allah.[14][23]

Harus dipahami bahwa paham Ibnu Arabi ini tidak menyamakan segala sesuatu yang tampak sebagai
bukan Allah itu dengan Allah. Sebab jika kita misalnya mengatakan bahwa manusia adalah Allah dan
Allah adalah manusia, maka kita akan jelas-jelas terjebak ke dalam Pantheisme. Menurut Ibnu Arabi,
keterbatasan persepsi manusia telah gagal untuk melihat kaitan integral antara keberadaan selain Allah
dengan keberadaan Allah sendiri.

Jelas ada perbedaan prinsipil antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Pantheisme menganggap
bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan wihdatul wujud menganggap bahwa
wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk. Jadi, bagi penganut Pantheisme, wujud Tuhan itu tidak
ada, karena Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan. Jelas dari sisi logika maupun dalil kepercayaan
Pantheisme ini adalah sesat.[15][24]
Doktrin wihdatul wujud Ibnu Arabi bersifat monorealistik, yakni menegaskan ketunggalan yang ada dan
mengada (tauhid wujudi). Teori wihdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala
sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati
berwujud, dsb. Maka akan timbul pertanyaan, apa yang membedakan antara wujud Tuhan dengan
wujud selainnya?[16][25]

Untuk menjawab persoalan yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan unitas wujudiyah
yang menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan
istilah maujud murakkab, dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya.
Segala sesuatu yang masuk dalam kategori ini pasti akan terbatas. Kedua, maujud basit, dimana jenis
wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya Ia tidak pernah terbatas. Wujud ini
(maujud basit) hanya milik Allah SWT saja, dimana wujud-Nya merupakan maujud-Nya itu sendiri.

Menurut Ibnu Arabi, tahap tertinggi yang bisa dicapai manusia adalah pengalaman langsung (dzauq).
Ibnu Arabi memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Menurutnya, saat mencapai
tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan diri (fana). Dan pada saat itulah ia akan
mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala sesuatu, yaitu kesatuan antara Yang Mencipta
dengan yang dicipta, dan Yang Abadi dengan yang binasa

Anda mungkin juga menyukai