Anda di halaman 1dari 4

RESUME MATERI PERTEMUAN 2,3 DAN 4

Oleh: Fatchul Manasik 2018.01.01.1040

A. Legalitas metode tematik dan etnografi dalam penafsiran al-Qur’an


Dalam kitab Mabahis fi Tafsir al-Maudhui karya Musthafa Muslim,
dijelaskan bahwa Tafsir ini berupaya menetapkan satu topik tertentu
dengan jalan menghimpun seluruh atau bagian ayat-ayat dari beberapa
surat yang berbicara tentang topik tersebut. Untuk kemudian dikaitkan
dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh
tentang masalah tersebut menurut pandangan Alquran. Atau bisa dikatakan
sebagai sebuah penafsiran, yang membahas persoalan-persoalan sesuai
dengan tema melalui penjelasan satu surah atau lebih.
Bagi sebagaian ulama, tafsir tematik dianggap sebagai metode
alternatif yang paling sesuai dengan kebutuhan umat di era saat ini. Hal ini
dikarenakan metode ini dianggap sebagai metode yang paling obyektif,
tentunya dengan batasan-batasan yang ada. Dalam metode ini, seolah
penafsir mempersilahkan Alquran berbicara sendiri melalui ayat dan kosa
katanya, terhadap persoalan tertentu atau biasa disebut dengan Istantiq
Alquran (ajaklah berbicara Alquran). Dan kata ini biasa dikumandangkan
oleh para pendukung metode tafsir ini.
Selain itu, metode ini dikatakan obyektif karena sesuai maknanya
yaitu maudhui, yang berarti sesuatu yang ditetapkan disebuah tempat dan
tidak kemana-mana. Para mufassir maudhui ketika menjelaskan pesan-
pesan Alquran terikat dengan makna dan permaslahan tertentu yang
terkait, dengan menetapkan setiap ayat pada tempatnya. Metode ini
dikembangkan oleh para ulama sebagai upaya untuk melengkapi
kekurangan yang terdapat pada khazanah tafsir klasik yang didominasi
oleh pendekatan tahlili. 

1
B. Pengertian Semantik, Etnografi, Semantik al-Qur’an dan Etnografi al-
Qur’an
1. Semantik dan Semantik al-Quran
Semantik secara bahasa berasal dadi bahasa Yunani semantakos
yang memiliki arti memaknai, mengartikan dan menandakan. Adapun
secara istilah semantic ialah ilmu yang menyelidiki tentang makna, baik
berkenaan dengan hubungan antar kata-kata dan lambang-lambang dengan
gagasan atau benda yang diwakilinya. Bisa juga diartikan kajian analitik
terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa denagn suatu pandangan yang
akhirnya sampai pada weltanschaung masyarakat dengan menggunakan
bahasa itu.
Untuk semantik al-Qur’an sendiri kajian analitik terhadap istilah-
istilah kunci suatu al-Qur’an dengan suatu pandangan yang akhirnya
sampai pada weltanschaung
2. Etnografi dan Etnografi al-Qur’an
Etnografi secara bahasa berasal dari bahasa Yunani ethnosgraphia
yang memiliki arti tulisan rakyat. Adapun secara istilah adalah suatu
bidang penelitian ilmiah yang sering digunakan dalam ilmu sosial,
terutama dalam antropologi dan beberapa cabang sosiologi. Bisa juga
merupakan suatu pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dan
bertujuan unutuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli.
Sedangkan etnografi al-Qur’an sendiri memiliki arti kajian analitik
domain dan taksonomi dalam al-Qur’an untuk mendapatkan tema al-
Qur’an.
C. Pengertian makna Referensial dan Relasional dan penerepannya pada
dalam al-Qur’an
1. Makna Referensial
Makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan
kenyataan atau memiliki referen (acuan), makna referensial dapat juga
disebut makna kognitif, karena memiliki acuan. Dalam makna ini
memiliki hubungan dengan konsep mengenai sesuatu yang telah

2
disepakati bersama oleh masyarakat bahasa, seperti meja dan kursi
adalah yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai
referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan
“kursi”. Makna referensial bersifat tetap dan melekat pada simbol
2. Makna Relasional adalah makna baru yang diberikan pada sebuah kata
yang bergantung pada kalimat dimana kata tersebut diletakkan atau
bisa juga diartikan makna yang muncul dari kesan yang ditimbulkan
oleh acuan. Makna relasional muncul dari hubungannya dengan kata
lain. Sebagai contoh kata libas pada ayat berikut:

‫نزَلنَا َعلَ ْي ُك ْم لِبَاسًا يُ ٰ َو ِرى َسوْ ٰ َءتِ ُك ْم َو ِري ًشا ۖ َولِبَاسُ ٱلتَّ ْق َو ٰى‬ ْ َ‫ٰيَبَنِ ٓى َءا َد َم قَ ْد أ‬
‫ت ٱهَّلل ِ لَ َعلَّهُ ْم يَ َّذ َّكرُون‬ َ ِ‫ٰ َذلِكَ خَ ْي ٌر ۚ ٰ َذل‬
ِ َ‫ك ِم ْن َءا ٰي‬
Meskipun dalam ayat yang sama, namun memiliki makna yang jauh
berbeda. Kata libas yang pertama memiliki perbedaan makna dengan
kata libas al-taqwa (libas yang kedua). Dengan demikian libas al-
taqwa tidak bisa dimaknai sebagai pakaian pada umunya. Ia sudah
memiliki makna relasional, yakni makna baru yang erat hubungannya
dengan ketaqwaan seseorang.

3
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
al-Sattar FathulLah Sa’id, Abdul. Al-Madkhal ilā alTafsīr al-
Mawdhū’ī. Cairo. Dār al-Tawzī’ wa al-Nasyr al-Islāmiyyah.
1991.
Izutsu,Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia. Yogyakarta. Tiara
Wacana. 2003.
Rashwani, Samir Abd al-Rahman. Manhaj al-Tafsir al-Mawdhu’i li al-
Qur’an alKarim. Alepo: Dar al-Multaqa. 2009.

Anda mungkin juga menyukai