Oleh : Hermansyah *
Bangun Museum Al-Qur’an” (Sabtu, 18 Februari 2012) telah terpincut hati saya untuk
mengamati, dan menghubungkannya dengan konteks Aceh. Kita patut apresiasi atas
komitmen Pemerintah Cina Kab. Otonomi Dongxiang Provinsi Gansu untuk membangun
menolak tawaran luar negeri. Sebaliknya, ia percaya dan akan lebih sangat berharga untuk
menjaga tetap di wilayahnya sebagai “kitab jiwa” negeri tirai bambu. Dengan demikian,
Usaha dan tekad tersebut mendapat apresiasi Pemerintah setempat, bak gayung
untuk menjaga ketahanan lembaran-lembaran kuno dan mengurangi dari kerusakan karena
usia, kelembaban cuaca serta bakteri pada kertas. Hal ini tidak mengherankan, karena Cina
merupakan salah satu negara di Asia yang sangat menjunjung sejarahnya, menghargai
peninggalan masa lalu, menjaga warisan budaya, dan mengapresiasi dalam bentuk
Bagi Aceh, Cina merupakan sahabat tertua, keduanya memiliki hubungan historis
yang sangat kuat, dan telah menjalin kerjasama di berbagai bidang, termasuk hubungan
dagang dan budaya sejak awal abad ke-9. Persahabat tersebut semakin mesra pada saat
*
Hermansyah : Staf Pengajar Kajian Naskah Fak Adab IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Laksamana Cheng Ho memberikan hadiah lonceng besar “Cakra Donya” pada Sultan
Pasai tahun 1409 M (812 H), yang kini berada di Banda Aceh. Peranan Samudera Pasai
sebagai kerajaan Islam terbesar pada abad tersebut menjelma menjadi pusat Islam Asia
Tenggara, pusat perdagangan, transit pelabuhan Internasional dan memiliki komiditi lada
terbaik yang diekspor ke India dan Cina. Sebaliknya, dari negeri tembok raksasa diimpor
Di Aceh, Mushaf Al-Qur’an kuno dan manuksrip bukanlah hal langka, ada sekitar
3.500 ribu lebih naskah kuno tersebar di Aceh yang sudah teridentifikasi, setengahnya
tersimpan di Museum Aceh, sisanya di Zawiyah Tanoh Abee dan kolektor pribadi
gudang, kolong atap meunasah atau mesjid, dan berserakan di rumah-rumah masyarakat
perawatan tradisional. Itupun belum termasuk kategori manuskrip Aceh di luar negeri yang
Mushaf Al-Qur’an kuno Aceh dapat dikenali dari motif, bentuk, corak dan warna
hiasannya yang sangat khas dan terpadu. Gaya dan ciri khas Iluminasi (Illumination) di
dalam mushaf Al-Qur’an Aceh tercermin dari motif hiasan dan ukiran yang lebih
didominasi warna merah, hitam dan kuning. yang berbeda dengan motif dan khat Rasm
Ustmani yang disebar pada abad ke-7 M. Oleh karena itu, penyalinan Mushaf Al-Qur’an
pertama kali di mulai di Aceh untuk wilayah Melayu-Nusantara, sekitar abad ke-11 dan
secara resmi abad ke-13 periode Kesultanan Pasai, termasuk pencetus iluminasi yang
Setidaknya ada tiga lembaga yang mengoleksi Al-Qur’an, seperti Museum Aceh
kurang lebih 38 Al-Qur’an, walaupun angka ini belum dapat dipastikan secara mutlak,
Museum Ali Hasjmy menyimpan 20 Al-Qur’an dan Zawiyah Tanoh Abee mengoleksi 23
Al-Qur’an. Selain tiga lembaga tersebut, di Aceh, sejumlah Al-Qur’an juga dijaga dengan
setia secara personal, yang sama bernilai dan berharga, seperti koleksi Tarmizi A Hamid
Banda Aceh, Harun Keuchik Leumik Banda Aceh, Syahrial bin Zainun Idris Aceh Besar,
Sedangkan di luar negeri, Al-Qur’an motif Aceh tersebar di beberapa negara Asia,
Arab dan Eropa. Malaysia telah mengoleksi tidak kurang dari 10 Al-Qur’an di 4 tempat
berbeda. Demikian beberapa Mushaf di Museum Brunai Darussalam, dan puluhan koleksi
sangat harmonis dan kental pada masa lalu. Tentunya, akan lebih menarik untuk didalami
hubungan sejarah Al-Qur’an keduanya, pengaruh budaya dan iluminasi Aceh di Cina, dan
paling penting, tokoh-tokoh Aceh yang berdakwah di Cina, termasuk penyalinan Mushaf
Al-Qur’an kuno.
Bercermin kepada komitmen negeri Cina, kita akan melihat ketimpangan yang
terjadi di negeri kita, fungsi Museum yang diharap dapat memberi akses informasi masa
lalu, ternyata menjadi gedung membisu. Dengan segudang dokumentasi dan naskah kuno
yang dimiliki tak mampu menjadi daya tarik bagi pengunjung dalam dan luar, serta tidak
menjadi pilihan utama bagi peneliti, tentunya ada mekanisme dan birokrasi yang
amburadul. Persoalan itupun ditambah lagi dengan tidak ada SDM di bidang-bidang
penting, sebut saja ahli mushaf Al-Qur’an, Iluminasi dan Seni Islam, Filolog (pengkaji
Di sisi lain, koordinasi antara beberapa lembaga Pemerintah yang terkait di bidang
dokumentasi, informasi dan kearsipan, khususnya untuk koleksi data naskah kuno
(manuskrip) masih nihil, bahkan tidak ada. Gedung-gedung itu semakin semrawut
manajemennya, apalagi tidak mendapat subsidi dan alokasi dana yang cukup dari
Pemerintah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, terutama tidak ada kebijakan yang
karena peninggalan dan warisan Islam di Aceh sama sekali tidak terealisasi dan jauh dari
perhatian Pemda. Seharusnya, ini menjadi tamparan sekaligus pelajaran untuk Pemda
Aceh, karena Cina dengan koleksi 46 mushaf mereka memiliki komitmen untuk
membangun museum modern dan canggih. Lantas, bagaimana komitmen Aceh “negeri
syariat” yang memiliki lebih seratus mushaf Al-Qur’an kuno sejak puluhan tahun yang
silam? Wallahu’alam. #
Biodata Penulis