Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar belakang Jika Aku mencintanya, Aku akan menjadi telinganya yang dia gunakan mendengar, matanya yang dia pergunakan melihat, tangannya yang dia pakai untuk menggenggam, dan kakinya yang dia pergunakan berjalan[Hadits Qudsi] Kekasihku memanifestasikan diri-Nya dalam berbagai eksistensi Maka setiap eksistensi adalah penampakan-Nya (Abd al-Karim al-Jili).1 Kehidupan menyucikan diri dalam kalangan sufi biasanya didasari oleh kehendak atau hasrat untuk hidup mendekati Tuhan. Jalan yang ditempuh adalah dengan mendekati sifat yang mirip dengan yang mutlak. Tidaklah sembarangan orang dapat menjalani cara hidup demikian. Begitulah mereka menafsirkan sejarah turunnya para nabi dan munculnya orang-orang istimewa sebagai kelompoik yang bisa melakukan hidup yang mirip dengan yang Mutlak. Jadi, menurut kaum sufi, tingkat pertama manusia yang hidup dengan mendekati kemiripan dengan tuhan adalah nabi, kemudian para sufi istimewa dari yang istimewa, dan para wali. Keberhasilan dalam mencapai tingkat hidup yang sempurna demikian tidaklah diperoleh karena kapasitas manusia. Kaum sufi mengetahui bahwa hal itu dimungkinkan karena seseorang telah melalui proses penyucian hatinya lalu mencapai tingkat suci dengan jiwa yang dihadapkan penuh kepada yang mutlak. Sedemikian pada tingkat tertentu, jiwa sucinya lalu mampu mengadakan kontak dengan yang Mutlak, itulah cara hidup yang mendekati kemiripan dengan Tuhan Dalam dunia sufi terdapat berbagai macam aliran atau tarekat. Tiap aliran biasanya memiliki pendekatan, prinsip, dan jalan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan adanya perbedaan itu, menjadi sukar untuk kita bagaimana menggambarkan dunia sufi, khususnya apa yang dimaksud manusia sempurna, secara umum. Oleh karena itu kami mencoba menggambarkan mengambil suatu

Abd al-Karim al-Jili, al-Na>dira>t al-Ainiyyah, (Cet. I; Kairo: Dar al-Amin, 1999), h. 87.

gagasan mengenai insan kamil yang dikemukakan oleh seorang tokoh sufi, yang bernama Al-Jili. B. Rumusan masalah 1. Bagaimana riwayat hidup profil al-Jili? 2. Bagaimana ajaran tasawuf al-Jili? 3. Bagaimana proses munculnya Insan Kamil dan kedudukan Insa>n Kami>l?

BAB II

PEMBAHASAN A. Riwayat hidup profil al-Jili. Nama Al-jili cukup dikenal dalam kalangan peminat dan peneliti tasawuf, tetapi riwayat hidupnya, yang menyangkut tahun kelahiran, pendidikan, dan perananya dalam masyarakat, sangat sedikit yang diketahui2. Hai itu disebabkan Aljili sendiri tidak meninggalkan catatan yang menceritakan tentang dirinya, dan muridmuridnya pun tidak ada yang menulis tentang kehidupannya. Kendati demikian, kehidupan Al-jili tidak seluruhnya berada dalm kegelapan, karena dalam beberapa tulisannya ia melengkapi uraiannya dengan mencantumkan tempat dan tahun keberadaannya. Nama lengkapnya ialah Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili3[ atau dikenal juga dengan Abdul Krim bin Ibrahim Al-Jili. Ia mendapatkan gelar kehormatan syaikh yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar Quthb al-Din (kutub/poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan Al-jili karena ia berasal dari Jilan (Gilan). Ia lahir pada tahun 767 H/1365-6 M. di Gilan, sebuah profinsi disebelah selatan Kasafia dan wafat pada tahun 1417 M4. Riwayat hidupnya tak banyak dikenal oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India pada tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf dibawah bimbingan Syekh Abdul Kadir Al-Jaelani5. Di sebutkan dalam riwayat lain bahwasanya ia adalah keturunan Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan Abd al-Qadir al-Jilani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir
http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html, dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html, dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
4 5 3 2

Solihin, M. Rosihan Anwar., Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 184. Ibid.

hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jili6. Sesuai dengan yang disebutkan dalam kitab lain bahwa, nama tersebut agaknya mempunyai kemiripan dengan nama pendiri tarekat qadariyah, yakni Abdul Karim Al-Jili atau Gilani, dikalangan masyarakat kita tokoh ini lebih dikenal dengan nama Abdul Kadir Jaelani.7. Namun setelah ada penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jili berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Dan pada waktu di Zabit ia berguru pula pada Syekh Syarafuddin Ismail bin Ibrahim AlZabarti8. Di India pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Ketika berkunjung ke India ini, Al-jili melihat tasawuf falsafi ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara lain Syisytiyah (didirikan oleh Muin al-Din al-Shysyti, W. 623 H. di Asia Tengah), Suhrawardiyah (didirikan oleh Abu Najib al-Suhrawardi, W.563 H,di Bagdad), Naqsyabandiyah (didirikan oleh Baha al-Din al-Naqsyaband, W.791 H. di Bukhara) berkembang denagn pesat. Sebelum sampai ke India, ia berhenti di Persia dan mempelajari bahasa Parsi. Di sanalah ia menulis karyanya Jannat-u al-Maarif wa Ghayat-u Murid wa al-Maarif9. Pada akhir tahun 799 H ia berkunjung ke Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji, namun dalam kesempatan ini ia sempat pula melakukan tukar pikiran dengan orang disana. Hal ini menandakan bahwa kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal lain. Empat tahun kemudian, yakni tahun 803 H. al-jili berkunjung ke kota Kairo. Dan di sana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu

http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html, dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html, dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html, dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html, dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
9 8 7

banyak para teolog, filsuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, G}unyah Arbabu al-Samawa Kasyfu al-Qinaan Wujudu alIstima>. Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ila>hiyah. Namun setelah kurang lebih dua tahun kemudian, ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti). Maka pada tahun 805 H. ia kembali ke Zabit dan sempat bergaul dengan gurunya itu selama satu tahun, karena pada tahnu berikutnya gurunya meninggal. Di ketahui bahwa tahun kunjungannya ke Gazzah merupakan tahun terakhir dari perjalanannya ke luar Zabit. Dari itu, diketahui pula bahwa sekembalinya dari Gazzah itu ia masih hidup selama lebih kurang 21 tahun dan masih tetap terus aktif menulis sampai akhir hayatnya10. Kecintaannya dengan keilmuan menjadikannya seseorang yang sangat luar biasa, al-Jili merupakan suatu contoh teladan dengan kegigihannya untuk mengkaji dan mendapatkan ilmu-ilmu dari para Syekhnya, menjadikannya salah seorang kutub yang sangat terkenal.. Walaupun tidak banyak yang didapat dari keterangan riwayat tentng hidupnya, dan juga cuma sebagian dari karya-karyanya saja yang dapat diketahui orang, hal itu tidak menjadikan seorang Jilli dilupakan, dan dengan salah satu karyanya yang sangat fenomenal yaitu al-Insan Kamil adalah maha karya al-Jili yang sangat berpengaruh bagi dunia sufi.

B. Ajaran tasawuf Al-Jili

Menurut Nicholson, al-Jili wafat pada 820 H. Goldziher dan Massignon memperkirakan wafatnya al-Jili antara 811 hingga 820 H. Sedangkan menurut Brockelmann adalah tahun 832 H/1428 M. Lihat Da>`irah al-Ma`a>rif al-Isla>miyyah: al-Jili, al-Tarjamah al-Arabiyah, Vol. V, h. 67. Bandingkan dengan C. Brockelmann, Geschichte Der Arabischen Litteratur, diarabkan oleh Abd alHalim al-Najar, Dar al-Ma`a>rif, cet. III, t.t., vol. II, h. 284.

10

Dari ajaran tasawuf Al-Jili, yang paling terpenting ialah ajaran tentang paham Insan Kamil (manusia paripurna) ajaran inilah yang akan kita bahas dalam makalah kami. Yaitu manusia yang dapat berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi yang bisa dilihat atau diukur dari beberapa dimensi. Sesuai dengan artinya Insan Kamil adalah manusia paripurna, yang berasal dari kata al-Insan yang berarti manusia dan al-Kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofis ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi, yaitu ajaran Hakikat Muhammadiyah-Nya, yang menyebutkan bahwa: wujud hakekat Muhammadiah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud tuhan. Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilniah dan alamiah yang terealisasikan pada diri para nabi Adam sampai Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya, kalangan para wali, dan Insan Kamil (manusia paripurna)11 [10]. Al-Hakikatu al-Mumammadiyah (nur Muhammad) maksudnya adalah nur yang menjadi asal segala sesuatu, dan ia bersifat qadim. Menurut penyelidikan para sarjana Islam dan orientalis Barat bahwa pencipta pertama teori nur Muhammad ini ialah Husin bin Mansur Al-Hallaj. Menurut dia, Nabi Muhammad itu terjadi dalam dua bentuk. Bentuk yang pertama ialah yang qadim yang terjadi sebelum adanya makhluk. Bentuknya yang kedua ialah yang serupa demngan manusia yang banyak. Dan dengan rupa yang kedua ini pula ia diutus sebagai Nabi dan Rasul. Muhammad dalam bentuk kedua menemui kematian. Dewasa ini dia telah mati dan berkubur di Madinah Al-Munawarah, dimakamkan seperti jenazah manusia yang lain. Dengan wafatnya muhammad dalam bentuk kedua ini sempurnalah tugas beliau sebagai Rasul-Allah. Adapun bentuknya yang pertama yang biasa disebut nur Muhammad,

11

http://fixguy.wordpress.com/insan-kamil, diakses, di Palopo tanggal 25 September 2012

tetap ada. Dia sudah ada sebelum terciptanya segala makhluk dan ia bersifat qadim, namun berbeda dengan qadim Zat Allah12. Dari konsepsi yang dikemukakan diatas oleh Abdul Karim Al-Jili, gagasan tersebut tentang faham Insan Kamil dikembangkan menjadi renungan mistis yang bercorak filosofis. Seperti Ibn Arabi juga, Al-Jili memandang insan kamil berkedudukan sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada karena pada diri insan kamil terdapat kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan-kemampuan manusia kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan. Kelebihan itu, tidak lain adalah karena pada diri insan kamil terealisasi segenap asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili, atau Al-Jili, yang menuangkan pengertianpengertiannya mengenai kehidupan yang sempurna dalam sebuah bukunya yang berjudul Insanul Kamil fi Marifatil Awakhiri wal Awaai (manusia yang sempurna dalam pengetahuan tentang sesuatu yang pertama dan yang terakhir). Berikutb ini kita akan mengungkapkan pokok-pokok isi gagasan tentang manusia sempurna yang terdapat dalam buku tersebut. Dan sebelum kita masuk ada dua hal yang perlu dijernihkan terlebih dahulu, yakni tentang konsep insan kamil tersebut13. 1. Insan Kamil adalah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan yang mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, Tuhan. Dimana yang mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Makin seseorang memiripkan diri kepada sifat yang sempurna dari yang mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.

Yunarsil Ali, Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bidah, dan Khurafat (Jakarta: Pustaka Setia, 1984, h. 98.
13

12

M. Dawam Raharjo, Insan Kamil (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985), h. 110.

2.

Anggapan atau keyakinan tentang adanya yang Mutlak ini mencakup tentang apakah itu namanya, sifatnya, dan apakah itu hakikat atau esensinya. Seterusnya bagaimanakah hal-hal tersebut berhubungan dengan manusia. Al-Jili mengemukakan mengenai pengertiannya yang ada dan pengelompokan

yang terdiri dari enam pokok bahasan yakni:14 1. Mengenai esensi sifat dan nama. 2. Mengenai pancaran (discen) dari yang Absolut. 3. Esensi sebagai tuhan. 4. Manusia yang surgawi atau manusia yang peripurna. 5. Mengenai makrokosmos. 6. Dan kembali ke esensi. Dari urayan diatas maka kami hanya akan memfokuskan pada pokok gagasan yang keempat tentang manusia paripurna . Sedangkan pada pokok-pokok gagasan selain pada yang keempat maka tidak akan kami uraikan secara tersendiri, karena semua itu akan berfungsi menjelaskan konsep pokok, yaitu tentang manusia yang surgawi Manusia yang sempurna adalah dia yang berhadapan dengan pencipta dan pada saat yang sama juga dengan makhluk. Manusia yang sempurna merupakan kutub atau axsis tempat segala sesuatu berkeliling dari mula hingga akhir. Oleh karena segala sesuatu menjadi ada, maka dia adalah satu wahid untuk selamanya. Ia memiliki berbagai bentuk dnan ia muncul dengan berbagai rupa. Untuk menghormati hal yang demikian, maka namanya dipanggil secara berbeda dan untuk menghormati selain daripadanya, maka panggilan yang demikian tidak dikenakan pada mereka, siapakah dia? Nama sebenarnya adalah Muhammad, nama untuk kehormatannya adalah Abdul Qosim, dan gelarnya adalah Syamsuddin atau sang matahari agama15.

14 15

Ibid. Ibid., h. 111.

Al-Jili merumuskan Insan Kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad saw. sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad saw. sebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal poros kehidupan di jagad raya. Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, dismping terdapat pada diri muhammad juga dipancarkan oleh Allah swt. Ke dalam diri Nabi Adam as. Bagi Al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna latihan rohani dan melalui pendekatan mistik,bersama dengan turunnya Yang Mutlak kedalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dari sifat-sifat Ilahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa16. Kalau al-Hallaj memandang nur Muhammad itu qadim dan ibn Arabi memandangnya itu qadim dalam ilmu tuhan dan baru ketika ia menyatakan diri pada makhluk, maka al-jili memandangnya baru. Bagi al-Jili hanya ada satu wujud yang qadim, yaitu wujud Allah sebagai zat yang wajib(pasti, niscaya)ada. Wujud tuhan dipandang qadim karena Dia tidak di dahului oleh ketiadaan. Al-jili menjelaskan, sekalipun wujud yang diciptakan itu sudah ada semenjak qidam didalam ilmu Tuhan, ia tetap dipandang baru dalam keberadaanya itu, karena ia disebabkan oleh wujud lain yang secara esensialtelah lebih dulu ada, yakni wujud Tuhan.oleh karena itu, kata al-jili, ayan tsabitah yang ada dalam ilmu Tuhan bukan qadim, tetapi baru. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan hakikat muhammadiyah atau nur muhammad dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu

mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan Kamil. Aktualisasi nur muhammad dalam pandangan al-Jili dan Ibn Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua

16

http://fixguy.wordpress.com/insan-kamil, diakses, di Palopo tanggal 25 September 2012

jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil17.

C. Proses Munculnya Insan Kamil dan Kedudukan Insan Kamil 1. Proses Munculnya Insan Kamil Al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses munculnya insan kamil. Menurut Al-Jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus-menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, di antaranya adalah: a. Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah Allah, karena dalam pandangan al-Jili sendiri, sebutan Allah merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya alAhad, yang digunakan oleh Ibn Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah).18 b. Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini menurut al-Jili mengalami tiga penurunan (tanazzul): 1) Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya. 2) Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib.

http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html. dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html. dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
18

17

3) Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran.19 c. Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan.20 d. Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan dengan kalimat kun (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang terdapat dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena bersamaan dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan21. e. Rububiyah, dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia (sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan Kamil. Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat); pertama tajjali perbuatan (tajjali al-afal), kedua tajjali nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali al-dzat)22.

http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html. dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html. dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html. dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 Insan Kamil dalam teori Ibn Arabi dapat dipandang dari tiga aspek: 1) dari segi eksistensinya sebagai manifestasi Tuhan yang sempurna; 2) dari segi fungsinya sebagai mediator Tuhan kepada makhluknya, yakni para Nabi. Nabi dalam pandangan Ibn Arabi adalah teofani Tuhan yang Azali. Tetapi penampakan Tuhan yang paling sempurna adalah terdapat dalam Haqiqat Muhamadiyyah atau Kalimat al-Muhadiyyah. Muhammad saw. adalah Titisan Perdana Tuhan, asal bagi wujud kosmos dan logos Tuhan; 3) dari segi pengetahuan yang ia miliki. Insan Kamil adalah
22 21 20

19

Sebagai seorang sufi, Al-Jili dengan membawa filsafat insan kamil merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seoang sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-Martabah (jenjang atau tingkat) menuju Insan Kamil tingkattingkat tersebut ialah: a. Islam, Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman para sufi tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dirasakan dan dipahami secara mendalam. Misalnya puasa, menurut Al-Jili merupakan isyarat untuk menghindari tuntutan kemanusiaan agar si shaim memiliki sifat-sifat ketuhanan, yaitu dengan cara mengosongkan jiwa dari tuntutan-tuntutan kemanusiaan maka terisilah jiwa dengan sifat-sifat ketuhanan23. b. Iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir ghaib, dan alat untuk membantu seseorang untuk mencapai tingkat atau makam yang lebih tinggi. Iman menunjukkan sampainya hati mengetahui sesuatu yang jauh di luar jangkauan akal, sebab sesuatu yang diketahui oleh akal tidak selalu membawa kepada keimanan24. c. Shalah, yakni dengan makam ini, seseorang sufi mencapai tingkat obadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja. Tujuan ibadah pada makam ini yaitu mencapai nukthah Ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai khasyaf, ia akan menanti syariat tuhan dengan baik25.

manusia yang secara esoteris mampu menghayati status kemanusiaannya. Ia mengerti eksistensinya adalah penampakan wujud Tuhan dan mikro-kosmos yang mengakomodir atribut-atribut Tuhan sekaligus atribut-atribut alam. Hal ini dijustifikasi oleh hadits, Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Insan Kamil aspek ketiga ini dapat dicapai oleh siapapun, tetapi pada realitas konkret, tidak ada yang dapat menembus derajat ini kecuali para nabi dan wali-wali kutub sufi. Lihat Husayn Muruwah, Nazah Madiyyah fi al -Falsafah al-Arabiyyah-al-Islamiyyah, Beirut: Dar al-Farabi, cet. II, 2002, vol. III, h. 184-186.
23 24 25

M. Rosihan Anwar Solihin,. op. cit., h. 189. Ibid. Ibid.,

d.

ikhsan, yakni makam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasakan seakan-akan berada di hadapan Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam taubat, inabah, zuhud, tawakkal, tafwid, rida dan ikhlas26.

e.

Syahadah, seorang sufi dalam makam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah pada Tuhan tanpa pamrih, mengingatnya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Dan syahadah ini terbagi kepada dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluknya secara ainulyakin, ini adalah tingkat yang paling tinggi. 27 Shiddikiyah, istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang marifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yakin, ainu-lyakin, sampai hakkulyakin. Ketiga tingkat makrifat itu dilalui oleh seorang sufisecara bertahap. Jadi, meurut Al-Jili, seorang sufi yang telah berhasil mencapai derajat shiddik akan menyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri- Nya. Setelah mengalami fana ia memperoleh baqa Ilahi. Apabila ia telah baqa dengan tuhan, akhirnay diikutkan dengan menampakkan nama-nama. Inilah batas pencapaian ilmu-lyakin. Selanjutnya , ketika penampakan sifat-sifat terjadi, akan diperoleh marifat Zat dari segi sifat. Demikian berlangsung selanjutnya sampai mencapai marifat Zat dengan Zat. Akan tetapi, karena merasa tidak puas dengan marifat Zat, ia mencoba melepaskan sifat-sifat Rububiah sehingga pada akhirnya dapat terhiasi dengan sifat-sifat dan nama Tuhan. Tingkat semacam inilah yang dfisebut haqqu alyakin28.

f.

26 27 28

Ibid. Ibid. h. 190. Ibid., h. 191.

g.

Qurbah, makam ini merupakan makam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yng mendekati sifat dan nama Tuhan.29 Demikian makam-makam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat pada

Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, mengetahui Zat yang mahatinggi itu secara kasyaf Ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan dia dihadapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu tidaklah mungkin hamba menjadi tuhan atau sebaliknya. Dengan pernyataan ini, dapat kita pahami sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-namanya. 2. Kedudukan Insan Kamil. Seperti Ibn Arabi juga, al-jili memandang insan kamil berkedudukan sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada karena pada diri insan kamil terdapat kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan-kemampuan manusia

kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan. Kelebihan itu, tidak lain adalah karena pada diri insan kamil terealisasi segenap asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Sebagai contoh, al-jili menunjuk nabi Daud a.s. ia mempunyai moral dan pengetahuan yang tinggi, melebihi manusia lain. Apalagi pada diirnya termanifestasi sifat-sifat afal (sifat-sifat aktif) Tuhan melebihi sifat-sifat-Nya yang lain. Hal demikian adalah karena kitab zabur merupakan tajalli dari sifat-sifat afal.30

BAB III PENUTUP

29 30

Ibid. dari buku

http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html. Abuddin Nata,. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006

A. Kesimpulan Dari urayan diatas tentu dapat kita simpulkan bahwa Al-Jili adalah seorang tokoh tasawuf yang sangat besar walau disebutkan tidak banyak keterangan yang merujuk tentang kehidupan seorang Al-Jili, tetapi dari tulisan-tulisan karangan beliau membuatnya dikenali dan banyak menyumbang karya-karya terhadap ilmu-ilmu sufi. Di antara buku-bukunya yang paling phenomenal adalah ilmu yang mengkaji tentang manusia paripurna yaitu Insan Kamil, sebagaimana sudah dijelaskan dalam makalah kami Insan Kamil yaitu suatu konsep manusia paripurna yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi yang bias dilihat dari berbagai dimensi. Untuk mencapai kesempurnaan diperlukan latihan-latihan atau taraqqi, atau dengan cara tajalli yang tuhan berikan kepada orang yang dipilihnya. Dan beberapa makam yang harus dilalui oleh seorang sifi untuk mendapatkan Insan Kamil, seperti yang telah diterangkan dalam makalah kami. Insan Kamil adalah sosok manusia sempurna dan kedudukannya adalah sebagai khalifah tuhan didunia.

DAFTAR PUSTAKA

al-Jili, Abd al-Karim al-Na>dira>t al-Ainiyyah. Cet. I; Kairo: Dar al-Amin, 1999. Solihin, M. Rosihan Anwar., Ilmu Tasawuf . Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Nicholson, Da>irah al-Maa>rif al-Isla>miyyah: al-Jili, al-Tarjamah al-Arabiyah, Vol. V, t.p. t.th. Abd al-Halim al-Najar, Dar al-Ma`a>rif, cet. III, t.p. t.th., vol. II. http://fixguy.wordpress.com/insan-kamil, diakses, di Palopo tanggal 25 September 2012 Ali, Yunarsil. Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bidah, dan Khurafat. Jakarta: Pustaka Setia, 1984. Raharjo, M. Dawam Insan Kamil. Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985. Husayn Muruwah, Nazah Madiyyah fi al-Falsafah al-Arabiyyah-al-Islamiyyah. Vol. III. Beirut: Dar al-Farabi, cet. II, 2002. http://ansoriuin.blogspot.com/2009/10/abdul-karim-al-jili-insan-kamil.html, dari buku Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

AL-JILI
(Riwayat Hidaup dan Ajarannya tentang Insa>n Kami>l)

MAKALAH Disampaikan dalam Forum Seminar Kelas Mata Kuliah Pemikiran Islam Konsentrasi Pendidikan Agama Islam Program Pascasarjana STAIN Palopo

Oleh, NASIRAH NIM.

Dosen Pemandu: Prof. Dr. H. Nihaya M., M.Hum. Dr. H. Fahmi Damang, M.A.

PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PALOPO 2012

Anda mungkin juga menyukai