Anda di halaman 1dari 11

Konsep Insan Kamil al-Jilli

(Biografi al-Jilli, konsep insan kamil, kedudukan insan kamil)


Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu:

Muhammad Endy Fadlullah, S.S, M.A, M.Fil.I

Oleh: Kelompok 7/PAI 3E

Mohammad ifan nur hidayat (2022390101615)

Kurniatul hasanah (2022390101604)

Syalung shah nizam (2022390101651)

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY GENTENG BANYUWANGI

2023
I. Pendahuluan

Tasawwuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisme diluar agama


Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.
Sedangkan intisari dan mistisme, termasuk didalamnya sufisme ialah kesadaran
akan adanya. komunikasi dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan
berkontemplasi (Nasution harun,1973:7).

Keinginan untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan ini, dikalangan sufi
biasa disebut kehidupan menyuci. Dan dalam menjalani kehidupan menyuci itu,
mereka berusaha untuk memalingkan dirinya dari kehidupan duniawi disamping
senantiasa berkontemplasi, yakni dengan jalan mendekati sifat yang mirip dengan
Mutlak. Untuk itu tidak sembarang orang dapat melakukannya. Menurut kaum
sufi, tingkat pertama manusia yang hidup dengan mendekati kemiripan dengan
Tuhan adalah Nabi, kemudian para suti istimewa dari yang istimewa dan para wali
Keberhasilan dalam mencapai tingkat hidup yang sempuma demikian tidaklah
diperoleh karena kapasitasnya sebagai manusia. Kaum sufi mengetahui hal itu
dimungkinkan karena seseorang melalui proses penyucian hatinya lalu mencapai
tingkat suci dengan jiwa sucinya lalu mampu mengadakan kontak dengan yang
Mutlak. Itulah cara hidup yang mendekati "Kemiripan dengan Tuhan" (Abuddin
Nata,2006:23).

Dalam dunia sufi berbagai macam aliran yang memiliki jalan yang berbeda
untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Salah satunya adalah jalan
(gagasan) yang dikemukakan seorang tokoh sufi yaitu Abdul Karim Al-Jili dengan
gagasannya Insan Kamil.

1
II. Pembahasan

A. Biografi AL-JILI

Nama Al-Jih cukup dikenal dalam kalangan peminat dan peneliti tasawuf,
tetapi riwayat hidupnya, yang mennyangkut tahun kelahiran, pendidikan, dan
perananya dalam masyarakat, sangat sedikit yang diketahui. Hai itu disebabkan
Al-Jili sendiri tidak meninggalkan catatan yang menceritakan tentang dirinya, dan
murid-muridnya pun tidak ada yang menulis tentang kehidupannya. Kendati
demikian, kehidupan Al-Jili tidak seluruhnya berada dalam kegelapan, karena
dalam beberapa tulisannya ia melengkapi uraiannya dengan mencantumkan
tempat dan tahun keberadaannya" (Abu Al-Wafa,1992:36).

Nama lengkapnya ialah 'Abd al-Karım ibu Ibrahim ibn Abd al-Karim ibn
Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud Al-Jili. la mendapatkan gelar kehormatan
"syaikh" yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar
"Quthb al- Din" (kutub/poros agama), suatu gelar tertinggi dalam himrki sufi.
Namanya dinisbatkan dengan Al-Jih karena berasal dari Jilan. Akan tetapi,
Gokiziher mengatakan, penisbatan itu bukan pada Jilan, tetapi pada nama sebuah
desa dalam. distrik Bagdad "jil'. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di
kota Bagdad, dengan alasan bahwa menurut pengakuannya sendiri ia adalah
keturunan Syeikh "Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu
perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan 'Abd al-Qadir al-Jilani berdomisili di
Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 11. Dan diduga
keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli.
Namun setelah ada penverbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang
dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yarman (kota Zabid) Di
kota inilah al-Jilli merklapatkan perklidikan yang memadai sejak dini. Dalam
catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 IH ia pernah mengikuti
pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H), dan
salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w. 821).

2
Pada tahun 790 II ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya.
Ketika berkunjung ke India ini. Al-Jili melihat tasawuf falsafi ibn Arabi dan
tarekat- tarekat antara lain Syisytiyah (didirikan oleh Mu'in al-Din al-Shysyti,
W.623H di Asia Tengah), Suhrawardiyah (didirikan oleh Abu Najib al-Suhrawardi,
W.563 H,di Bagdad), Naqsyabandiyah (didirikan oleh Baha al-Din al-
Naqsyaband, W.791 H.di Bukhara) berkembang denagn pesat. Sebelum sampai ke
India, ia berhenti di Persia dan mempelajari bahasa Parsi. Di sanalah ia menulis
karyanya Jannat-u al-Ma'arif wa Ghayat-u Murid wa al-Ma'arif.

Pada akhir tahun 799 H ia berkunjung ke Mekkah dalam rangka menunaikan


ibadah haji, namun dalam kesempatan ini ia sempat pula melakukan tukar pikiran
dengan orang disana. Hal ini menandakan bahwa kecintaannya terhadap ilmu
pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal lain. Empat tahun kemudian,
yakni tahun 803 H Al-Jili berkunjung ke kota Kairo. Dan disana ia sempat belajar
di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota
inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul. Ghunyah Arbab al-
Sama' wa Kasyf al-Qina an Wujud al-Istima.

Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di
kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah
kurang lebih dua tahun kemudian, ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan
bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti). Maka pada tahun 805 H ia kembali
ke Zabit dan sempat bergaul dengan gurunya itu selama satu tahun, karena pada
tahnu herikutnya gurunya meninggal.

Di ketahui bahwa tahun kunjungannya ke Gazzah merupakan tahun terakhir


dari perjalanannya ke luar Zabit. Dari itu, diketahui pula bahwa sekembalinya dari
Gazzah itu ia masih hidup selama lebih kurang 21 tahun dan masih tetap terus
aktif menulis sampai akhir hayatnya (Ibid).

3
B. KONSEP INSAN KAMIL AL-JILI

Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata insan dan kamil.
Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempuma. Dengan
demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.

Insan kamil artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan
yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofi ini
pertama. kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin
Ibrahim Al- Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi
bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis (Yunasril
Ali,1997:48).

Secara etimologi kata Insan Kamil berasal dari bahasa Arab yang terdiri
dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari
turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang
memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia
sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada
juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari "ain san", yang artinya seperti
mata. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil
yang artinya adalah 'sempurna, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini
sangat tepat sekali. digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata
yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap).
Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya melebihi kata tamam (lengkap).
Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada
kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itulah yang
disebut kamil (sempurna).

Al-Jili seperti ibn Arabi, memandang insan kamil sebagai wadah tajalli
Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa
segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud
mutlak, yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah, dan waktu. Ia
adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat, dan tidak mempunyai relasi

4
dengan sesuatu. Di dalam kesendirian-Nya yang gaib itu esensi mutlak tidak
dapat dipahami dan tidak ada kata- kata yang dapat menggambarkan-Nya, karena
indera, pemikiran, akal, dan pengertian mempunyai kemampuan yang fana dan
tidak pasti, hal yang tidak pasti akan menghasilkan ketidakpastian pula. Karena
itu, tidak mungkin manusia yang serba terbatas akan dapat mengetahui zat
mutlak itu secara pasti (Abdul Karim:72).

Al-Jili mengatakan, "Sesungguhnya saya telah memikirkan-Nya, namun


bersama itu pula saya bertambah tidak tahu tentang Dia". Ungkapan tersebut
senada dengan ucapan ibn 'Arabi, "Tidak ada yang mengetahui Allah kecuali
Allah sendiri." Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada
alamsemesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan penciptaan
alam yang dilakukan oleh tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada.
Menurut Al-Jili alam ini bukanlah dieptakan Tuhan dari bahan yang telah ada,
tetapi diciptakan-Nya dari ketiadaan (creatio ex nihilo) di dalam ilmunya.
Kemudian, wujud alam yang ada di dalam ilmu-Nya itu dimunculkan-Nya
menjadi alam empiris (Ibid:73).

Dengan terjadinya tajalli Tuhan pada alam semesta, tercerminlah


kesempurnaan citra-Nya pada setiap bagian dari alam, namun zat-Nya tidaklah
berbilang dengan berbilannya wadah tajalli tersebut, tetapi tetapi Esa dalam
segenap wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, setiap bagian dari alam ini
meneerminkan citra ketuhanan, namun apa yang tampak dalam dunia nyata
hanyalah bayangan dari esensi mutlak itu (Ibid).

Menurut pandangan Al-Jili dan juga ibn 'Arabi, Tuhan adalah transenden
dan sekaligus imanen. Al-Jili mengumpamakan hubungan Tuhan dan alam
laksana air dan es (air yang membeku). Tuhan al- Haqq, diumpamakan sebagai
air. Dan alam diumpamakan sebagai es. Dalam menjelaskan perumpamaan antara
"es" dan "air" ini, Yusuf Zaydan menyebutkan bahwa Al-Jili melihat adanya dua
bentuk wujud, yakni wujud haqqi dan wujud khalqi. Wujud khalqi hanya berupa
wujud "yang dipinjam" dari wujud haqqi. "Es" sebagai perumpamaan wujud
khalqi hanyalah wujud "pinjaman", sedangkan wujud yang hakiki ialah "air",

5
sebagai tamsilan dari wujud haqqi. Jadi, pada dasarnya hanya ada satu wujud,
yakni wujud haqqi, sedangkan wujud khalqi hanya berupa aspek lahir dari wujud
haqqi. Oleh karena itu, di tempat lain, Al-Jili menyebut haqqi dan khalqi, atau
kulli dan juz'i sebagai aspek aspek- aspek dari wujud yang satu.

Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli yang paripurna,
sementara di sisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena
pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam
fisika maupun metafisika. Selain itu, insan kamil adalah kutub yang diedari oleh
segenap alam wujud ini dari awal smapai akhirnya dan ia hanya satu, sejak
permulaan wujud sampai akhirnya.

Kesempurnaan insan kamil itu tidak lain adalah karena ia merupakan


identifikasi dari hakikat Muhammad Hakikat Muhammad, yang disebut dalam
istilah falsafah dengan logos, pada dasarnya merupakan arketipe kosmos.
Makhluk memperoleh kesejahteraan pada hakikat ini dan mendapat rezeki dari
wujudnya, la juga merupakan arketipe dari Bani Adam, yang semuanya secara
potensial adalah insan kamil, meski hanya dikalangan para nabi dan wali saja
potensi itu menjadi aktual (Hari Zamhari,1985:87).

Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi
Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-
haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam
pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur
(cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi,
disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke
dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul
al-Insan al-Kamil fi Ma'rifah al-Awakir wa al-Awa'il (Manusia Sempurna dalam
Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir)
mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua
pengertian (Ibid).

6
Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai
manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan
pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak
tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin
memiripkan diri pada sifat sempuma dari Yang Mutlak tersebut, maka makin
sempurnalah dirinya.

Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan
nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam
pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga
menjadi milik manusia. sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai
suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam
ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi
manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.

Bagi Al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui
latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak
ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan
manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil
bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa. Kalau
al-Hallaj memandang Nur Muhammad itu qadim dan ibn Arabi memandangnya
itu qodim dalam ilmu tuhandan baru ketika ia menyatakan diri pada makhluk,
maka Al-Jili memandangnya baru. Nagi Al-Jili hanya ada satu wujud yang
qadim, yaitu wujud Allah sebagai zat yang wajib(pasti, niscaya)ada. Wujud tuhan
dipandang qadim karena Dia tidak di dahului oleh ketiadaan. Al-Jili menjelaskan,
sekalipun wujud yang diciptakan itu sudah ada semsnjak qidam didalam ilmu
Tuhan, ia tetap dipandang baru dalam keberadaanya itu, karena ia "disebabkan
oleh wujud lain yang secara esensialtelah lebih dulu ada, yakni wujud Tuhan.oleh
karena itu, kata Al-Jili, a'yan tsabitah yang ada dalam ilmu Tuhan bukan qadim,
tetapi baru. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan "hakikat
muhammadiyali"

7
atau "nur muhammad" dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu
mengaktualisasikan Hakikat Muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia
yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut
dengan Insan Kamil. Aktualisasi "nur muhammad dalam pandangan al-Jilli dan
Ibn 'Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan
itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua
disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan
kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar
manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil (Ibid:90-96).

C. Kedudukan Insan Kamil

Seperti Ibn Arabi juga, Al-Jili memandang insan kamil berkedudukan


sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada karena pada diri insan kamil terdapat
kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan-kemampuan manusia
kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan. Kelebihan itu,
tidak lain adalah karena pada diri insan kamil terealisasi segenap asma dan sifat-
sifat Tuhan secara utuh. Sebagai contoh, Al-Jili menunjuk nabi Daud a.s. ia
mempunyai moral dan pengetahuan yang tinggi, melebihi manusia lain. Apalagi
pada diimya. termanifestasi sifat-sifat af'al (sifat-sifat aktif) Tuhan melebihi sifat-
sifat-Nya yang lain. Hal demikian adalah karena kitab zabur merupakan tajalli
dari sifat-sifat af al (Hari Zamhari,1985:65).

8
III. Kesimpulan

Seorang manusia yang menyandang Insan kamil sebagaimana yang


dikemukakan Ibn Arabi adalah merupakan manusia yang telah mencapai
perkembangan spiritual tingkat tinggi dan secara sempurna mencerminkan citra
Tuhan.
Dan dalam diri manusia lah terdapat 'cermin' yang mampu memantulkan
citra Tuhan, dengan bantuan cahaya (Hakikat Muhammadiyah) yang Tuhan
ciptakan pertama kali. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan
"Hakikat Muhammadiyah" atau "Nur Muhammad" dari Tuhan, tetapi manusia
yang mampu mengaktualisasikan Hakikat Muhammadiyah itu sangat terbatas, dan
manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang
disebut dengan Insan Kamil. Aktualisasi "Nur Muhammad" dalam pandangan al-
Jilli dan Ibn 'Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara
epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali
dan jalan kedua disebut taraqqi. Tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia
berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan
ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil.

9
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi "Pengembangan Konsep Insane Kamil Ibn
Arabi Oleh Al-Jili". Jakarta: Paramadina, 1997.
Al-Jili, Abdul Karim. Al-Insan al-Kamil fi Ma'rifat al-Awakhir wa al-Awali.
Beirut: Dar al-fikr, t.th.
Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman (terj).
Bandung: Pustaka, 1985.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Nurul Islam, 1980.
Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Bulan Bintang, 1973. Nata,
Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Zamhari, Hari. Insan Kami: Citra Sufistik Al-Jili tentang Manusia. Jakarta:
Grafitipers, 1985.

10

Anda mungkin juga menyukai